Laman

Sabtu, 08 Maret 2025

Sejarah Diaspora (15): Orang Indonesia di Papua Nugini dan Timor Leste; Portugis dan Jerman, Australia, Jepang, Amerika, Cina


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Diaspora dalam blog ini Klik Disini

Sejarah diaspora Indonesia di Timor Leste sebenarnya sudah cukup jelas karena hanya berbagi daratan dengan (provinsi) Nusa Tenggara Timur. Eks koloni Portugis diintegrasikan sebagai suatu provinsi ke Indonesia tahun 1975 dan kemudian pada tahun 2002 yang disebut provinsi Timor Timur melepaskan diri dengan membentuk negara Timor Leste. Entah bagaimana bentuk dan pola warna bendera Papua Nugini dan Timor Leste memiliki kemiripan. Bendera kedua negara tersebut tidak ada yang mirip di Asia Tenggara maupun di Pasifik. 


Papua Nugini (Papua New Guinea), negara terletak di bagian timur pulau Papua, ibu kota di Port Moresby. Negara memiliki 850 bahasa asli. Sebagian besar penduduk di dalam perkampungan tradisional dan menjalankan sistem pertanian sederhana. Sekitar 300 tahun lalu, ubi jalar masuk Pulau Papua, yang telah diperkenalkan ke Maluku dari Amerika Selatan oleh Portugis. Orang Eropa pertama mengetahui pulau ini penjelajah Spanyol dan Portugis pada abad ke-16 (1526 dan 1527 oleh Jorge de Menezes). Nama negara mendapat nama dari nama pulau dan nama "New Guinea" dari Nueva Guinea oleh penjelajah Spanyol, Yñigo Ortiz de Retez, 1545 mencatat ada kemiripan orang-orang Papua dengan orang di sepanjang pesisir Guinea, Afrika. Wilayah ini dikuasai Jerman tahun 1884 sebagai Nugini Jerman. Setelah Perang Dunia I, Australia diberi mandat untuk memerintah bekas Nugini Jerman oleh Liga Bangsa-Bangsa. Papua Nugini memperoleh kemerdekaannya tanpa peperangan dari Australia pada 16 September 1975 (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah orang Indonesia di Timor Leste dan Papua Nugini? Seperti disebut di atas kedua negara tersebut berbagi daratan dengan Indonesia di pulau Papua dan pulau Timor. Sejarah kedua negera tersebut tidak hanya tehubung dengan Indonesia, juga sejak masa lalu sejak era Portugis dimana muncul nagara-negara lainnya seperti Jerman, Australia, Jepang, Amerika Serikat dan Cina. Lalu bagaimana sejarah orang Indonesia di Timor Leste dan Papua Nugini? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Indonesia di Timor Leste dan Papua Nugini; Portugis, Jerman, Australia, Jepang, Amerika Serikat dan Cina

Hubungan (wilayah) Indonesia dan (wilayah) Timor Leste dimulai sudah sejak lama. Ini bermula skuadron Belanda pada tahun 1613 menyerang benteng Porugis di Solor dan di Koepang. Ketidak berdayaan orang-orang Portugis kemudian menyingkir ke bagian timur pulau Timor. Dalam perkembangannya orang-orang Portugis membentuk pelabuhan baru di suatu tempat pantau timur laut pulau Timor yang dikenal kota Dilli yang sekarang. 


Ekspedisi pertama Belanda ke Hindia Timur berangkat dari pelabuhan (pulau) Texel tahun 1595 dan tiba di pulau Enggano bulanj Juni 1596. Dengan dibantu navigator pribumi, skuadron Belanda ini singgah di Lampong sebelum mencapai Banten. Namun di Banten mereka kurang diterima lalu menyingkir ke Soenda Kalapa tetapi juga kurang diterima, demikian juga di Sedaju tidak diterima dan terakhir juga tidak diterima di Arosbaja (Madura). Akibat satu kapal rusak karena serangan, skuadron Belanda terus yang sempat ingin ke Maluku terpaksa membatalkan dan memutar Haluan singgah di Lombok dan kemudian diterima di pantai timur Bali pada bulan Februari 1597. Setelah meninggalkan dua pedagangan di Bali, ekspedisi yang dipimpin Cornelis de Houtman kembali ke Belanda melalui Afrika Selatan (dan Sint Helena). Ekspedisi Belanda terus dikirim. Pada tahun 1598 ekspedisi Cornelis de Houtman berangkat ke Hindia Timur tetapi dia terbunuh di Atjeh dan adiknya Frederik de Houtman ditahan. Pada tahun 1605 skuadron Belanda yang dipimpin admiral van Hagen menyerang dan menduduki benteng Portugis di Amboina. Lalu Frederik de Houtman dalam skuadron ini diangkat menjadi Gubernur Maluku. Dengan dua pos perdagangan Belanda di Bali dan Amboina, pelaut-pelaut Belanda kemudian menyerang Portugis di Solor dan Koepang. 


Kekuatan Portugis sejak satu abad terakhir, pada akhirnya runtuh ketika VOC/Belanda dari Batavia menyerang dan mengusir Portugis di Malaka dan Kamboja tahun 1641. Sejak ini kedudukan Gubernur Portugis yang sebelumnya di Malaka kemudan dipindahkan ke Dili. Kekuatan Portugis di Hindia Timur menjadi hanya tersisa di Timor bagian timur dan Macao (pantai timur Tiongkok). Kedua tempat ini sangat terisolasi oleh Belanda di Hindia Timur dan Inggris di pantai timur Tiongkok.


Saat Alfonso d’Albuquerque menaklukkan Malaka pada tahun 1511, tiga kapal Portugis masing-masing Anthoni D'Abreu, Francisco Serrao dan Simao Alfonso Bisigudo pada bulan November melakukan survei ke Maluku. Salah satu pemimpin kapal adalah Fransisco Rodriguez. Rute yang diikuti oleh pelaut-pelaut Portugis ini adalah rute yang sejak lama dirintis oleh orang-orang Moor beragama Islam asal Afrika Utara dari Muar (Semenanjung) ke Ternate. Peta navigasi pelayaran yang dibuat oleh F Rodriguez dari kapal D’Abreau adalah peta pertama Portugis pertama. Lalu kemudian ekspedisi ke Maluku dilakukan pelaut Portugis pada tahun 1513 yang dipimpin oleh Joam Lopez Alvim. Dua ekspedisi ini masih sebatas survei (pemetaan). Dalam berbagai tulisan masa kini disebut Oecusse adalah tempat pertama orang Portugis mendarat di pulau Timor. Namun tidak diketahui siapa pelaut Portugis yang pertama mendarat di pulau Timor. Yang jelas bukan Fransisco Rodriguez dan Joam Lopez Alvim. Yang jelas Pedro Reinel yang melakukan ekspedisi pada tahun 1517 sudah mengidentifikasi nama pulau Timor, pulau Solor dan Batoetara. Pedro Reinel membuat sejumlah peta (akumulasi dari peta Fransisco Rodriguez. 1511). Lantas mengapa Pedro Reinel mengidentifikasi tiga nama geografis (pulau Timor, pulau Solor dan Batoetara)? Besar dugaan pulau Timor dan pulau Solor dianggap dua pulau paling penting sebagai penghasil kayu cendana dimana terdapat pedagang-pedagang asal Macassar. Nama Batoetara diidentifikasi diduga kuat adalah nama pelabuhan. Pada masa ini nama Batoetara adalah nama gunung di Pulau Komba. Nama kampong pelabuhan Batoetara merujuk pada nama gunung (atau sebaliknya). Batoetara ini adalah nama tempat yang paling dekat dengan Macassar (Pulau Macassar, menjadi Pulau Celebes). Dari pelabuhan inilah pedagang-pedagang Macassar mengumpulkan kayu cendana di pulau Solor dan pulau Timor. Orang Portugis pertama sendiri tidak berada di pulau Timor, akan tetapi di pulau Solor. Pada tahun 1557 misionaris Portugis membuka stasion di pulau Solor di kampong Lohayong yang sekarang. Kehadiran misionaris ini di pulau Solor karena orang-orang dari Macassar sudah sejak lama di pulau ini untuk produksi (mengumpulkan) kayu cendana. Saat misionaris Portugis datang, di pulau ini sudah banyak pendatang (yang berasal dari Macassar). Pedagang-pedagang Portugis jauh sebelum kehadiran misionaris (pertama) Portugis juga sudah membeli kayu cendana di pulau Solor (Lohayong) dan di pulau Timor (Pante Macassar). Karena rute perdagangan Portugis inilah kemudian misionaris Portugis menyusul. Seperti halnya orang-orang Melayu (Macassar) membentuk koloni di pulau Solor dan pulau Timor, orang-orang Moor sudah sejak lama bermukim (koloni) di Pulau Soembawa di Bima. Sejak 1593 orang-orang Jepara (Demak) berdagang dan membentuk koloni di pulau Lombok (perluasan dari pulau Bali). Orang-orang beragama Islam di Solor dan sekitar diduga kuat karena pengaruh perdagangan orang-orang Moor (seperti halnya di Ternate). Sementara orang-orang beragama Islam di Lombok diduga kuat karena pengaruh perdagangan orang-orang Jepara. Surat seorang Misionaris B Dias (1559) mengindikasikan bahwa orang Makassar di Celebes belum beragama Islam (tetap di Ternate dan Tidore sudah sejak lama).

Lantas sejak kapan munculan nama (kota) Dilli? Pada Peta 1695 di pulau Timor belum ada nama Dili diidentifikasi, tetapi nama Coepang diidenttifikasi sebagai suatu tempat yang penting di teluk di Timor bagian barat. Di pulau Timor bagian timur (Portugis) ada dua titik yang ditandai sebagai pelabuhan di pantai utara.  Nama Dilli baru teridentifikasi pada Peta 1756. Di area yang ditandai Dilli di sekitar muara sungai tidak ada indikasi pemukiman. Area pemukiman ada di sebelah barat Dilli (Liquica) dan di sebelah timur Dilli dan sebelah selatan pulau Timor. Di wilayah pemukiman ini ada sejumlah benteng yang dibangun.


Di wilayah yurisdiksi Belanda/VOC di pulau Timor hanya diidentifikasi satu benteng bernama Concordia di dekat Koepang. Ini mengindikasikan Timor Portugis lebih padat populasi dibandingkan dengan Timor Belanda. Boleh jadi di kawasan, wilayah yurisdiksi Portugis hanya terbatas di Timor bagian timur. Fakta bahwa luasan wilayah kedua pihak di pulau sama besarnya. Boleh jadi banyaknya benteng di Timor bagian timur karena sewaktu-waktu bisa dari Belanda muncul ancaman. Bagaimana nama Dilli muncul di pulau Timor? Tampaknya sulit dipastikan. Sebab di pantai timur Sumatra sudah lebih awal diidentifikasi nama Delhi (Deli atau Dely). Dalam perkembangannya juga nama Dilli di Timor adakalanya ditulis Dilly, Dhilly. Tentu saja di India juga ada nama Delhi (yurisdiksi Inggris). Namun jangan lupa pada masa itu sudah disebut Delli atau Dilli juga digunakan orang Eropa sebagai marga (family name). Keberadaan Dilli di Timor juga dapat dihubungkan dengan nama Delly di pantai timur Sumatra (wilayah kota Medan sekarang). Sebagaimana diketahui sejak era Portugis, pantai timur Sumatra merupakan wilayah perdagangan Portugis yang berpusat di pantai barat Semenanjung, yang diduga menjadi sebab mengapa pada era VOC muncul perkampongan orang-orang Melayu di pantai pulau Timor. Pada masa ini di pantai selatan NTT di pulau Timor yang berdekatan dengan Timor Leste ada nama kabupaten Malaka. Oleh karena itu sulit memastikan bagaimana nama Dilly muncul di pulau Timor. Fakta bahwa nama Dilli yang diidentifikasi pada Peta 1656 masih eksis hingga sekarang sebagai nama kota Dili (ibu kota negara Timor Leste).

Dilli di pulau Timor (wilayah Portugis) tampaknya adalah suatu kota baru. Kota-kota yang lebih tua sudah eksis jauh sebelumnya, termasuk kota Pante Macassar. Dalam peta yang lebih tua (Peta 1695) area yang diidentifikasi sebagai suatu pelabuhan bukan di area dimana kemudian muncul nama Dilli (Peta 1756). Lantas dimana pusat Portugis setelah terusir dari Timor bagian barat sulit diketahui secara pasti (sebab Dilli adalah tempat yang baru teridentifikasi). Namun untuk pusat Belanda tampaknya tetap di Koepang (eks kota Portugis) yang kemudian Belanda membangun benteng yang lebih kuat yang diberi nama Fort Concordia.


Antara Eropa dan Hindia Timur sungguh berjauhan. Properti Portugis yang tersisa dari era keemanasan pelaut/pedagang Portugis di Hindia Timur hanya tersisa di Timor dan di Macao. Nilainya juga mungkin tidak berarti bagi Kerajaan Portugis di Eropa karena mahal di ongkos. Namun secara sosiologis (secara administrasi koloni_ Timor dan Macao tidak dilupakan. Orang-orang Portugis di Timor tampaknya sangat tergantung pada perdagangan orang Belanda di Hindia, lebih-lebih pada era Pemerintah Hindia Belanda. Bagi orang Portugis di Eropa, posisi kepemilikan Timor ibarat hidup segan, mati tak mau

Pemerintah Hindia Belanda sudah begitu kuat di Hindia (baca: Indonesia), demikian juga Inggris sudah sangat kuat mulai dari India hingga Tiongkok di utara dan Australia di selatan. Salah satu pos perdagangan dan kekuatan militer Inggris di pantai timur Tiongkok berada di Hongkong. Kepemilikan Portugis seakan berada di bawah bayang-bayang Inggris di Macao dan Belanda di Timor. Bagi orang Inggris, wilayah Hongkong sendiri tidaklah ideal. Sebaliknya, orang-orang Inggris lebih menginginkan Macao (lihat Algemeen Handelsblad, 26-11-1847). Disebutkan orang Inggris di Hong Kong membandingkan masa tinggal mereka wilayah Makao, dan lebih memilih kepemilikan Portugis itu. Akankah mereka, dengan kekuatan hukum yang terkuat, menguasai tempat itu, dimana sekarang sekitar tiga abad bendera Portugis berkibar, atau membelinya dengan uang? Lalu bagaimana nasib Dilly di Timor, milik Portugis yang tak berarti itu, di tengah-tengah jajahan Belanda? Tampaknya kepemilikan Portugis yang tersisa di Hindia Timur di Timor tampaknya tidak menarik bagi (Pemerintah Hindia) Belanda, sebaliknya Macao di pantai timur Tiongkok sangat menarik bagi Inggris. Wilayah Hindia bagi Belanda (wilayah Pemerintah Hindia Belanda) begitu luas dan kaya, mungkin tidak terburu-buru untuk tertarik pada pulau Timor bagian timur (yang dapat disatukan dengan Timor bagian barat), tetapi bisa juga dapat segera diakuisi karena alasan tertentu.


De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 20-08-1852: ‘Salah satu artikel yang terbaca di Singapore Frec Press: Dalam tahun terakhir kami melaporkan kedatangan di Dilli (Timor) pejabat tinggi Portugis, Senor Lopus da Lima, yang berwenang untuk membawa Timor dalam semua keputusan, pemukiman Portugis yang bersangkutan di Timor dan Solor. Tampaknya dari laporan yang baru-baru ini kami terima dari Koepang (pemukiman Belanda di Timor) bahwa pejabat tersebut melangkah lebih jauh dengan mengizinkannya untuk menjual Solor dan ujung timur Florcs kepada otoritas Belanda sebagai milik Portugis dari Larantuka dan Solor ditarik garus untuk memberi jalan bagi pasukan Belanda dari Jawa. Kami sudah menduga hal seperti ini tidak akan terjadi, karena kami, beberapa bulan yang lalu, orang Portugis pejabat Dilli telah melakukan negosiasi dengan pemerintah (Hindias Belanda) di Batavia, dan dengan Dilli. telah kembali dengan kesepakatan yang sangat masuk akal untuk perbendaharaan disana, tetapi seberapa jauh kekuasaan penuh gubernur Portugis mungkin telah terbentang, dia disebut dengan cara yang menunjukkan dengan jelas bahwa penghubungnya belum disetujui oleh pemerintahnya bahwa pemindahan itu telah dijelaskan oleh pemerintah Belanda sebagai perluasan pemukiman Portugis di Timor, dan konon sebuah kapal uap Belanda yang berlabuh pada 11 April di Koepang hendak mengamuk di Dilli, pada akhir masa itu, jika perlu. dengan beberapa bala bantuan untuk merebutnya. Selama bertahun-tahun, sejak kunjungan "komisi Mineralogi" pada tahun 1829, pemerintah Belanda telah melakukan upaya besar untuk mengeluarkan Portugis dari kepemilikan pulau ini, objek semangat ini, harus dilihat, tetapi yang pasti karena pepatah penduduk asli mengatakan bahwa tambang tidak dapat ditambang sampai seluruh pantai berada di bawah kendali satu kekuatan agar pedalaman dapat diusahakan’.

Antara Belanda dan Portugis berbeda pandangan soal keberadaan Timor bagian timur. Tampaknya ada kemauan Belanda untuk mengakuisisi wilayah Portugis di pulau Timor bagian timur, tetapi sebaliknya diantara Portugis sendiri tampaknya ada perbedaan soal apakah Timor bagian timur dijual atau tetap dipertahankan. Ini mengindikasikan, sekali lagi, bahwa bagi Portugis keberadaan Timor bagian timur ibarat hidup segan mati tak mau.


Meski Timor Portugis tidak dijual, hubungan pemerintah (Gubernur Portugis) di Timor dengan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia/Buitenzorg baik-baik saja. Timor timur juga tidak rewel yang dapat menggangu wilayah Hindia Belanda, demikian sebaliknya Pemerintah Hindia Belanda/Residen Timor en Onderh, di Koepang tidak ada niat menekan wilayah koloni Portugis yang kecil dan terpencil tersebut. Lalu lintas perdagangan melalui kapal dari Timor Portugis bahkan mencapai Batavia (lihat Bataviasche courant, 24-07-1819). Tidak hanya soal lalu lintas perdagangan, pemerintah Gubernur Portugis di Dilli mencari kontraktor melalui tender untuk pembangunan tower mercusuar di pelabuhan di Dilli (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 24-04-1860). Lalu lintas pelayaran regional di Hindia Belanda juga tidak menepikan Timor Portugis (misalanya lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-12-1876). Rutenya adalah Bali Boeleleng, Bali, Ampanan, Sumbawa, Bima, Koepang, Dillij, Rotti, Savoe, Soemba.

Untuk pelayaran nasional yang dioperasikan maskapai nasional Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan keputusan untuk melayani jalur ke Dilli (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-12-1883). Pelabuhan Dilli di Timor dapat dikatakan pelabuhan terbesar di Timor Portugis, tetapi relative kecil dibandingkan dengan pelabuhan Macassar dan Soerabaja. Sementara untuk lalu lintas nasional juga melalui Dilli yakni Batavia via Semarang ke Soerabaja, Macassar, Bima, Larantuka, Kopang, Dilli, Banda, Amboina, Boeroe, Ternate, Gorontalo, Manado, Ameroean, Tantoli, Paloe, Macassar dan Soerabaja (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1887). 


Pelabuhan Dilli sendiri bukan pelabuhan militer, Sebab kapal perang Portugis di Timor bergerak mobile. Posisi GPS pelabuhan tidak aman dari aspek navigasi, sangat terbuka (berbeda dengan pelabuhan Koepang yang terlindung di dalam teluk). Oleh karena itu kapal-kapal yang buang sauh di sekitar Dilli adakalanya diterjang badai besar. Hal seperti itu yang terjadi dengan kapal Jerman yang singgah didorong angin badai hingga menabrak pantai karang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-08-1889).

Fakta bahwa Timor bagian timur meski tetap milik Portugis tetapi tetap menjadi masalah tersendiri bagi Portugis. Lalu apakah di Timor timur aman nyaman saja penduduknya. Selama ini di Timor Portugis tidak pernah dilaporkan adanya perlawanan penduduk terhadap otoritas Portugis hingga muncul pemberontakan di Fatoemea pada tahun 1895 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-10-1895).


Disebutkan terjadi masalah di Timor Dellij. Oleh Residen Timor dan Onderh. atas laporan bahwa terjadi kerusuhan di wilayah Portugis pulau Timor, residen bergegas ke Atapoepoe tanggal 18 September lalu, surat berikut diterima pada suatu hari dan disampaikan kepada berikut rincian dalam hal ini. Untuk memaksa distrik Voharain milik wiliah (Portugis) tersebut, yang menolak membayar 1.000 gulden setahun yang dikenakan oleh Pemerintah Portugis, untuk membayar dengan kekerasan senjata, diputuskan bahwa sekretaris Pemerintahan Portugis dari Batu Gadé, sebuah pos Portugis di NE dari Atapoepoe. Voharainion maju dengan pasukan 240 Maradors (semacam Mardijkere) dari Dilly dan Batoe-Gade dan 250 pasukan tambahan dari distrik Balibo. Kowa, Koto Bahboe dan Senirang. Dengan pasukan ini sekretaris melewati wilayah kami (Timor Hindia Belanda) di Fialarang ke Fatoemea, dimana sebuah pos militer Portugis didirikan. Setelah itu Sekretaris maju ke Voharain, tetapi alih-alih pergi untuk mendapatkan uang tebusan, orang Koware yang dikirim dengan bala bantuan kembali menyerang Komandan Fatoemea dan membunuhnya dengan 18 tentaranya. Seluruh distrik Kowa bangkit melawan. Atas pesan ini Sekretaris ingin mundur ke Fatoemea, tetapi disergap di sungai yang kering, membunuh pasukannya; dia berhasil melarikan diri dengan 40 orang, tetapi ketika dia ditembak oleh Kowa disergap dan dibunuh oleh penduduk. Orang Koware yang sudah terlalu percaya diri, kemudian berbaris menuju Batu Gade, menghancurkan benteng, menjarah dan membakar kampung dan membunuh pemimpin lokal. Beberapa waktu kemudian 10 pejuang melapor ke pos kami (Hindia Belanda) di Atapoepoe, diikuti segera setelah itu oleh 2 orang Portugis dan 2 tentara Hindustan, semuanya dikembalikan ke Dillij oleh Residen di Atapoepoe setelah tiba kapal perang Portugis "Dillij" disana dengan surat dari Gubernur kepada pemegang pos yang meminta ekstradisi para pejuang dan penduduk yang melarikan diri dan senjata apa pun yang mereka bawa. Residen kemudian memberikan kesempatan kepada Perwira Komando untuk berbicara sendiri dengan penduduk yang melarikan diri, tetapi yang terakhir menolak karena takut tidak kembali ke tempat tinggalnya. Sementara itu, 3 senapan dan 50 butir peluru yang hilang, yang telah diserahkan kepada pemegang pos kami, diserahkan kepada komandan kapal ‘Dillij’.

Tampaknya pemberontakan di Fatoemea telah menyentak pemerintahan Portugis di Dilli. Apakah pemerintah tidak siap dengan apa yang telah terjadi? Sejauh ini di Timor Portugis tampaknya hanya ada dua buah kapal perang. Apakah dua kapal perang tersebut adalah kapal-kapal tua yang tidak kapabel lagi di Portugal? Tidak begitu jelas. Yang pasti dua kapal perang Portugis tersebut yang bernama ‘Bengo’ dan ‘Dillij’ telah tiba di Soerabaja unrtuk melakukan perbaikan (lihat Soerabaijasch handelsblad, 20-11-1895). Sebagaimana diketahui di Soerabaja terdapat galangan kapal dan dikenal sebagai salah satu pusat perbaikan kapal di Hindia Belanda.


Pemberontakan di Fatoemea tahun 1895 apakah menjadi penanda awal terjadinya perlawanan terhadap otoritas Portugis di Timor timur yang berpusat di Dilli? Di wilayah Hindia Belanda perlawanan serupa itu sudah terjadi selama berabad-abad. Hingga tahun 1895 Pemerintah Hindia Belanda yang memiliki masalah dengan penduduk hanya tersisa di ujung utara pulau Sumatra, yakni di wilayah Tanah Batak bagian barat laut (perlawanan yang dipimpin Sisingamangaradja) dan di di wilayah Atjeh barat daya (perlawanan yang dipimpin oleh Teukue Umar). Lantas siapa pemimpin perlawanan terhadap otoritas Portugius di Timor timur? Boleh jadi para pemimpin itu adalah pahlawan-pahlawan Timor Leste terdahulu jauh sebelum dikenal nama-nama seperti Xanana Gusmao dkk.

Salah satu pulau di dekat kota Dilli, pulau Atauro selama ini dijadikan sebagai kamp konsentrasi tahanan politik Portugis yang dibawa dari Portugal sebagaimana diceritakan oleh Letnan Carona (lihat Overijsselsch dagblad, 30-07-1932). Disebutkannya mereka yang menjadi tahanan politik dibawa dengan kapal Pedro Gomez. Pemberangkatan kami terjadi dalam kondisi terburuk. Ketika kami tiba di pulau Timor, kami diarahkan ke stad Atauro, dimana kamp konsentrasi para tahanan politik telah didirikan. Kota itu terletak di kawasan dimana kehidupan secara fisik mustahil bagi orang Eropa, yang tidak terbiasa dengan iklim tropis. Tidak diragukan lagi karena alasan inilah tempat itu dipilih untuk orang-orang yang dideportasi seperti kami disana. Gubuk-gubuk malang berfungsi sebagai rumah kami. Kami tidak memiliki alat pertahanan melawan wabah nyamuk dan panasnya sedemikian rupa sehingga pada jam delapan pagi termometer menunjukkan 33 derajat di tempat teduh. Pulau Timor disebut beranda kematian (het voorportaal van den dood),


Pengalaman Letnan Pedro Gomez ini tidak disebutkan kapan mereka alami, berapa lama ditahan. Namun dalam gambaran Letnan Pedro Gomez ini cukup menjelaskan situasi dan kondisi di pulau Atauro. Suatu pulau yang malang bagi tahanan Eropa banyak nyamuk dan suhu udara yang panas. Satu yang penting dari keterangan ini Letnan Pedro Gomez menyebut nama kampong Atauro yang menjadi nama pulau tersebut.

Satu wilayah penting di pantai selatan Timor Leste adalah Viqueque. Apa pentingnya? Yang jelas wilayah (distrik) Viqueque sudah terkenal sejak lama paling tidak di kawasan pantai selatan tersebut terdapat gunung lumpur Bibilutu dan lokasi pengeboran tua Aliambata sebelumnya dimiliki oleh orang Australia (lihat Soerabaijasch handelsblad, 01-06-1937). Pada masa kini wilayah Viqueque dihubungkan dengan Timor Gap (dimana kini terdapat pertambangan minyak lepas pantai yang diusahakan Australia).


Distrik Viqueque (Vikeke) adalah distrik terbesar di Timor Leste. Ibu kota distrik Viqueque di pantai selatan Timor Leste. Wilayah Viqueque terdiri dari subdistrik Lacluta, Ossu, Uatolari (Leça atau Watulari), Uato Carabau (jWatukarbau) dan Viqueque (Cabira-Oan). Viqueque ialah tanah asal bahasa Melayu-Polinesia bahasa Tetun. Di Timor Leste merupakan salah satu bahasa resmi dengan bahasa Portugis. Penduduk asli bagian timur distrik ini bertutur bahasa Papua Makasae.

Seperti disebut di atas, yang diduga menjadi tempat pertama Portugis di masa lampau, wilayah (district) disebut Oecusse (Okusi) beribukota di Pante Macassar (namanya merujuk Sulawesi). Pada masa ini wilayah ini disebut wilayah kantorng (enclave) Timor Leste. Namun sesungguhnya sejak masa lampau hanyalah wilayah yang terpisah dari (provinsi) Nusa Tenggara Timur (Hindia Belanda). Pada masa ini secara teknis district Oecusse tidak berada di dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Timor (Indonesia). Hal ini berbeda dengan Vatikan, yang berada di dalam (enclave) negara Italia.


Konfigurasi wilayah seperti Oecusse tidak hanya antara Indonesia dan Timor Leste, tetapi banyak. Yang paling dekat adalah antara Indonesia (Kalimantan: Barat, Tengah dan Utara) dan Malaysia (Serawak dan Sabah). Yang mirip konfigurasi Indonesia-Timor Leste, posisi Oecusse ini adalah antara district Temburong (Brunei) dengan wilayah Serawak (Malaysia) atau wilayah Gaza (Palestina) dan Israel. Oleh karena konfigurasi ini masih dihubungkan (terhubung) laut tidak terlalu masalah (terutama soal pabean). Yang menjadi pertanyaan, mengapa harus terpisah jauh dan mengapa tidak bisa direkatkan. Tentu saja ada sejarahnya. Seperti halnya orang Belanda pertama mendarat di (pulau) Enggano, kerap Oecusse disebut sebagai tempat mendarat orang Portugis di Pulau Timor. Kesan itu tidak sepenting orang Belanda di pulau Enggano (Bengkulu), pendaratan pelaut Portugis di Oecusse merupakan rangkaian pelayaran Portugis setelah menguasai kota Malaka.

Residentie Timor en Onderhoorigheden (kini wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur) pada tahun 1940 normal-normal saja. Perdagangan antara pulau, lalu lintas pos berjalan seperti biasa. Demikian juga administrasi dan mutasi pegawai pemerintah dan militer berjalan rutin. Kehidupan masyarakat berjalan seperti biasanya. Tidak ada kesan pertikaian politik atau bencana yang dialami oleh penduduk. Kegiatan misionaris juga berjalan normal. Namun di luar dunia sana hiruk pikuk politik dan memanasnya suhu perang Pasifik tidak terlalu terasa di Koepang maupun kota-kota lain di berbagai pulau di Residentie Timor.


Sementara penduduk di Residentie Timor (Belanda) dan penduduk Timor Timur (Portugis), secara khusus aparatur pemerintah di Residentie Timor tenang-tenang saja. Namun berbeda dengan di Koepang, di Batavia muncul desas-desus dan kecurigaan tentang minat (negara) asing di Dili (Timor Timur). Ini dapat dibaca pada surat kabar De Indische courant, 17-01-1941: ‘Dalam koran Java Bode kita membaca: Pulau Timor menerima banyak minat dari pihak maskapai penerbangan pada jalur yang lama menghubungkan Singapura, Batavia dan Soerabaia dengan Sydney dan kini, Dilly, ibu kota Timor Portugis juga mulai menarik perhatian. Beberapa bulan yang lalu sebuah jalur udara dibuka antara Kupang dan Dilly. Sementara itu Jepang diizinkan untuk membuat sambungan kabel (telegraf dan telepon) reguler antara Kepulauan Palau dan Timor Portugis. Meskipun layanan kabel itu belum dibuka secara resmi, beberapa penerbangan uji coba telah dilakukan dan orang Jepang menunjukkan minat mereka di bidang ini juga dengan menaruh minat finansial yang kuat di Timor Portugis. Koran Java Bode sekarang mengetahui bahwa Timor Portugis juga cukup diminati di kalangan Australia. Secara signifikansi dipertimbangkan untuk membuat jalur penerbangan antara Sydney dan Dilly secara terpisah. Kemungkinan layanan semacam itu setidaknya sedang disurvei saat ini. Mengenai masalah penerbangan, saat ini sedang dalam perjalanan ke Australia di Dilly muncul pertanyaan secara lokal. Karena Dilly tidak memiliki pelabuhan pesawat amfibi- ada rencana untuk pendiriannya-jalur antara Sydney dan Timor Portugis harus dioperasikan dengan pesawat darat. Layanan semacam itu tidak terlalu menarik sebagai objek komersial, kami yakin kami tahu bahwa layanan reguler koneksi udara antara Sydney dan Dilly kemungkinan besar akan segera dibangun’.

Berbeda dengan di Koepang (Residentie Timor), tiba-tiba di Dili (Timor Timur) menjadi menarik bagi dua negara (Australia dan Jepang). Seperti disebutkan Dili tidak terlalu menarik secara komersil bagi dua negara itu dan hanya ada pengembangan jalur perdagangan normal antara Koepang dan Dili. Ada apa? Tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba Jepang ingin menarik kabel dari Palau dan membuka jalur penerbangan ke Koepang, dan sebaliknya Australia tiba-tiba ingin menggeser jalur rute normal Singapoera-Sydney via Soerabaja dengan memperluas via Dilli dan bahkan akan membangun jalur penerbangan khusus antara Dilli dan Sydney.


Begitu luasnya Indonesia (baca: Hindia Belanda), Pemerintah Hindia Belanda yang sedikit goyah (karena invasi Jerman ke Belanda di Eropa) dan suhu politik dalam negeri dari para pemimpin pribumi yang semakin kencang membuat Pemerintah Hindia Belanda tidak seteliti sebelumnya. Jepang dengan maksud tertentu (yang mungkin tidak diketahui pemerintah) sebelumnya sudah membuka hubungan kabel ke Manado dan semakin banyaknya kapal-kapal dagang Jepang yang mengambil hombase di Kema. Sebaliknya dalam situasi dan kondisi yang dihadapi Pemerintah Hindia Belanda, pemerintah Inggris di Singapoera juga seakan melakukan persiapan diam-diam untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perang Pasifik yang sudah terlihat di horizon. Pemerintah Hindia Belanda dalam hal ini sesungguhnya dalam masalah besar: putus hubungan dengan ibu pertiwi (negeri Belanda) dan Inggris (di Semenanjung) melihat ancaman Jepang dari satu sisi dan juga melihat jalur keluar di Australia di sisi lain. Pemerintah Hindia Belanda yang dari dalam oleh para revolusioner Indonesa terus diganggu, dalam posisi yang dapat dikatakan sudah setengah menjerit. Sedangkan di Timor Timur sendiri kerajan Portugal di Eropa sudah lupa-lupa ingat, di Timor Timur hanya Gubernur Portugis yang bersifat swadaya (tidak ada bantuan apapun lagi dari Portuga) mengambil keputusan. Niat Jepang dan Australia di Dilli hanya berada di bawah keputusan Gubernur Timor Timur (yang sangat lemah). Uji coba ketiga penerbangan Jepang antara Palau dan Timor dapat akan dilakukan pada tanggal 23 dengan 17 penumpang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-01-1941).

Minat Jepang dan Australia terhubung dengan Dili (Timor Timur) akhirnya setelah pecah perang Asia Pasifik di kawasan Asia Tenggara, dimana Jepang memborbardir Indochina dan Semenanjung Malaya sejak minggu pertama Desember 1941, Singapoera yang menjadi benteng Inggris masih mampu bertahan. Australia segera menduduki Dilli (Timor Leste).


Pendudukan Australia atas Timor Timur dilakukan pada tanggal 17 Desember secara diam-diam (sambil mengirim delegasi runding kepada Gubernur untuk alasan penjegahan invasi Jepang ke Indonesia, karena menurut intelijen Timor Timur dicantumkan dalam rencana strategis Tokyo). Gubernur Timor Timur memprotes, karena dia mengatakan belum menerima instruksi apapun dari Lisbon, tetapi tidak ada perlawanan terhadap pendaratan Belanda-Australia di Dilli.

Lalu sepenuhnya pulau Timor diduduki oleh Belanda dan Australia (lihat Onze toekomst, 14-01-1942). Lalu apakah Jepang telah didahului oleh Australia di Timor? Tampaknya demikian. Namun Australia segera terdesak. Pada tanggal 11 Januari sebelumnya Jepang telah menyerang kilang minyak Tarakan dan pasukan Belanda di Kakas (Minahasa). Saat ini Australia telah menduduki Timor Timur. Ini seakan Australia ingin menyambut kehadiran Jepang dan juga tentu untuk berjaga-jaga agar Jepang tidak terlalu jauh ke selatan di Australia. Militer Jepang sudah menyerang Sorong dan Ternate. Sebelum militer Jepang mengarahkan serangan ke Jawa, militer Jepang ingin menyingkirkan Australia dari Dili (Timor Timur) dan tentu saja Belanda di Timor Barat (Koepang). Inggris yang telah terusir dari Singapoera dan Semenanjung, di pulau Timor membentuk koalisi perang (sekutu) antara Belanda di Timor Barat, Australia plus Inggris di Timor Timur.


Lalu pada tanggal 20 Februari 1942 terjadi pertempuran di Selat Lombok dan militer Jepang mendarat di Timor. Pada tanggal 21 Februari Soerabaya dan Koepang dibom oleh Jepang. Namun meski Jepang telah berhasil menduduki pulau Timor, tetapi taktik gerilya Australia yang disuplai dari Darwin terus dilancarkan ke Timor. Setelah jatuhnya Singapoera dan Palembang, praktis bagian utara Indonesia (baca: Hindia Belanda) telah dikuasai oleh Jepang. Demikian juga militer Jepang sudah menduduki Bandjarmasin. Militer Jepang mulai menatap tajam Jawa (pusat dan konsentrasi kekuatan Belanda). Dari Palembang ke Batavia dan dari Bandjarmasin ke Soerabaja.

Australia semakin was-was, apalagi Inggris di Singapoera sudah kalah. Australia masih berharap Jawa dapat dipertahankan. Hal itulah mengapa Australia ikut membantu Belanda seperti di Timor. Jika Jawa jatuh dan tidak bisa mengharapkan Inggris, Australia tampaknya masih bisa melirik Amerika Serikat (yang basis terdekatnya di Filipina). Pemerintah Hindia Belanda sudah mempersiapkan invasi Jepang ke Jawa (lihat Onze toekomst, 25-02-1942).  Namun persiapan itu tampaknya akan sia-sia. Sebelumnya pada serangan militer Jepang di Soerabaja dan Koepang, militer Jepang juga melakukan manuver di atas udara Batavia. Singkat cerita, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda menyerah pada tanggal 8 Maret 1942.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Portugis, Jerman, Australia, Jepang, Amerika Serikat dan Cina: Timor Leste dan Papua Nugini dalam Sejarah Indonesia

Timor Leste bergitu dekat dengan sejarah Portugis di pulau Timor. Hal itulah diduga yang menjadikan banyak kosa kata Portugis masuk ke dalam bahasa penduduk asli di Timor Leste (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1867). Namun yang menjadi bahasa lingua franca di seputar pulau Timor adalah bahasa Melayu. Lantas bagaimana dengan wilayah seputar pulau Papua khususnya di bagian timur di Papua Nugini?


Sketsa dan peta yang menggambarkan geografis Papoea sudah ada sejak era Portugis. Namun identifikasi dalam peta diduga kuat hanya sebatas informasi yang didapat dari pedagang-pedagang pribumi di Amboina, Banda dan Ternate (Tidore). Sejak kehadiran Belanda di Hindia Timur (VOC) laporan-laporan navigasi pelayaran orang Eropa ke wilayah timur Maluku (Papoea) semakin intens. Yang terkenal adalah ekspedisi Abel Tasman pada tahun 1643. Praktis sejak 1657 kekuatan Portugis dan Spanyol telah menghilang dari wilayah Maluku. Klaim Tidore atas Papua ini tentu saja didasarkan wilayah Papua sebagai bagian dari otoritas kerajaan Tidore sejak 1667. Wilayah Papoea terhubung dengan perdagangan Tidore (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1883). Disebutkan pada paruh terakhir abad ke-17, pedagang-pedagang Belanda di Banda memelihara hubungan reguler dengan pulau di pantai barat Papua di sekitar Semenanjung Onin. Pada awal abad ke-18 VOC berulang kali mengirimkan misi eksplorasi ke Kepulauan Bapu dan pantai utara Papua hingga ke Teluk Geelvink. Sebagai penguasa tertinggi Sultan Tidore, VOC mempunyai hak penuh untuk menjalankan kekuasaan tertingginya atas sebagian besar Papua yang berada di bawah kekuasaan para pangeran dan pengikut mereka. Ekspedisi James Cook sekitar tahun 1770 menjadi awal Inggris untuk lebih mengenal Australia dan pulau-pulau di timur pulau Papua. Sejak 1776 Australia di Sidney dijadikan Inggris sebagai koloni baru. Sementara itu VOC/Belanda melemah dan akhirnya dinyatakan bangkrut pada tahun 1799 yang kemudian diambilalih kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1800. Inggris yang semakin kuat di wilayah Australia, lalu Inggris yang berpusat di India (Calcutta) dan koloninya di Bengkoeloe melakukan invasi ke Jawa pada tahun 1811. Dalam perjanjian antara pemerintah Inggris dengan Sultan Tidore tanggal 27 Oktober 1814, kekuasaannya atas kepulauan Papua dan sebagian daratan Papua (yang sejak era VOC seluruh garis pantai Papua dari sudut timur Teluk Geelvink hingga Semenanjung Onin, pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil, berada di bawah kendali para Sultan ini dan pangeran bawahan mereka di kepulauan Papua) diakui dan dijelaskan. Namun Inggris tidak lama, karena Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan pada tahun 1816. Setelah pemulihan Pemerintah Hindia Belanda dengan keputusan tanggal 24 Agustus 1828. Pada saat Dr. Solomon Muller ingin ke Papua pada tahun 1828, dia kesulitan mendapatkan dokumen di Ambon tentang hubungan politik antara wilayah Pemerintah Hindia Belanda di Ambon dengan wilayah para pemimpin lokal di Papua. Ini mengindikasikan bahwa wilayah (daratan) Papua masih terbilang independen. Sebagaimana diketahui batas-batas yurisdiksi antara Belanda dan Inggris disepakati pada tahun 1824 (Traktat London, 17 Maret 1824) yang juga termasuk di wilayah (pulau) Papua Nova Guinea. Perjanjian (baru) antara Pemerintah Hindia Belanda (tentu saja termasuk Papua eks kekuasaan Tidore) dengan Sultan Tidore dan Sultan Tidore dibuat pada tanggal 27 Mei 1824. Sebelumnya, Gubernur Jenderal sudah tiba di pelabuhan Ternate tanggal 17 Mei 1824 dan dua hari kemudian dibentuk raad van justitie di (residentie) Ternate dan dinobatkannya (kembali) Sultan Ternate dan Sultan Tidore (lihat Bataviasche courant, 31-07-1824). Bukti hubungan baik antara Pemerintah Hindia Belanda dengan radja-radja di (residentie) Ternate pada tanggal 9 Agustus 1824 telah tiba di Semarang sebanyak 200 orang pasukan yang diberikan oleh Sultan Ternate dan 700 orang pasukan dari Sultan Boeton (lihat Dagblad van 's Gravenhage, 17-12-1828). Sedangkan batas antara Inggris dan Belanda untuk wilayah Papua diproklamasikan (diumumkan) pada tanggal 24 Agustus 1828. Port du Bus selama tahun 1828 hingga 1836 ditinggalkan Belanda, tidak ada pemukiman di Teluk Tritons. Pada tahun 1845 wilayah Papua bagian barat dimasukkan ke dalam wilayah Residentie Ternate. Berdasarkan beslit tanggal 30 Juli 1848, diumumkan secara terbuka bagian mana dari Papua yang menjadi milik Belanda (batas antara wilayah Papua dan wilayah Papua Nugini yang sekarang). Dokumen politik yang menyatakan hubungan politik antara Pemerintah Hindia Belanda dengan wilayah Papua terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Negara, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. 30 Juli 1848 yang dalam uraiannya disebutkan tanah milik Residentie Ternate yang membentang di wilayah Tidore hingga Nieuw Guinea (Papua). Sejak tahun 1850 kapal perang telah berangkat ke Papua Belanda hampir setiap tahun. Pada tahun 1854 pemasangan patok untuk perbatasan dilakukan. Para misionaris Utrechtsche mendirikan stasion sejak tahun 1855 di Dorei dan di tempat-tempat sekitarnya di Teluk Geelvink. Lalu pada tahun 1858 Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu komisi yang bertugas untuk mengidentifikasi dan memetakan (pulau) Papua bagian barat yang laporannya dipublikasikan pada tahun 1862. Pemetaan ini dimaksudkan untuk persiapan pembentukan cabang pemerintah Hindia Belanda. Batas Papua dengan Papua Nugini berada pada garis lurus dari pantai utara di distrik Muara Tami (Kota Jayapura yang sekarang) hingga pantai selatan di distrik Naukenjerai (kabupaten Merauke yang sekarang). Dalam publikasi Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1862 nama yang disebut di sekitar wilayah Sorong yang sekarang hanyalah Dore dan (pulau) Mifore. Publikasi ini adalah suatu hasil kajian suatu komisi yang dibentuk yang didalamnya termasuk ahli geografi dalam rangka persiapan pembentukan cabang pemerintahan di wilayah Papua (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1862). Diantara berbagai publikasi satu yang pertama yang mendeskripsikan nama Sorong adalah buku yang ditulis oleh Pieter Arend Leupe yang diterbitkan 1875 dengan judul ‘De Reizen der Nederlanders naar Nieuw-Guinea en de Papoesche Eilande in de 17de en 18de eeuw’. Dari judulnya, isi buku memuat informasi sejak era VOC (abad ke-17). Pelayaran kapal uap dirintis di pesisir Onin, sejak tahun 1877, dan kini dikunjungi empat kali setahun oleh maskapai kapal uap perusahaan Hindia Belanda. Bagian timur perbatasan ini sejak 1884 di bawah yurisdiksi Jerman. Pengesahan Manokwari adalah salah satu pelabuhan resmi (otoritas pemerintah) berdasarkan Artikel 13 tentang contract tanggal 22 Oktober 1894 yang dilakukan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Tidore yang ditandatangani di Soasio tanggal 13 Juni 1900 yang diundangkan berdasarkan besluit 7 Juli 1901 No. 2 yang disebut politiek contract.

Pada saat ini di wilayah Papua Nugini (bagian utara) dikuasai Jerman hubungan Belanda (Pemerintah Hindia Belanda) dengan Jerman sangat baik. Hal itu bisa jadi karena faktor kedekatan geografis Belanda dan Jerman di Eropa. Sementara hubungan Belanda dan Inggris terbilang pasang-surut sejak lama.


Het vaderland, 19-10-1896: ‘Mengenai emigrasi penduduk asli Hindia Belanda ke koloni asing, Gubernur Jenderal telah berulang kali memanfaatkan hak yang diberikan kepadanya oleh Pasal 1895. 5 dari ordonansi tanggal 9 Januari 1887 (Lembaran Negara Hindia Belanda no. 8) memberikan kewenangan untuk mengizinkan perekrutan penduduk asli untuk melakukan pekerjaan di luar Hindia Belanda dalam kasus-kasus khusus. Lima izin diberikan kepada Nugini Jerman, yaitu kepada Konsul Jenderal Kekaisaran Jerman di Batavia, untuk perekrutan orang Jawa sebanyak-banyaknya 400 orang untuk bekerja di perkebunan, dan 15 orang untuk bekerja sebagai pelaut, serta kepada perusahaan Heineken & Co. di Surabaya, untuk perekrutan 12 orang Madura beserta keluarga mereka untuk bekerja di lahan pertanian milik perusahaan Astrolabe di Stephansort, dan satu orang untuk menjadi penggembala sapi. Semua izin tersebut diberikan berdasarkan persyaratan khusus sebagaimana disebutkan dalam laporan sebelumnya, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan fakta bahwa pada bulan Agustus. 1895 suatu wabah cacar dilaporkan di Nugini Jerman, selanjutnya dilengkapi dengan ketentuan bahwa para kuli harus divaksinasi atau dievakuasi kembali sebelum keberangkatan mereka dari Hindia Belanda, sementara selanjutnya para kepala pemerintahan daerah di Jawa dan Madura, dengan surat edaran tertanggal 6 Agustus. 1895, didorong untuk memastikan bahwa para rekrutan diberitahu tepat waktu mengenai iklim yang tidak menguntungkan di koloni yang dimaksud. Pegawai negeri sipil yang disebutkan di atas sejak saat itu, sesuai dengan pandangan Pemerintah India, telah menjadi. telah ditetapkan peraturan mengenai distribusi harta warisan para emigran yang meninggal di Nugini Jerman (yang akan diajukan laporan yang sesuai) dan telah dibuat ketentuan untuk melindungi mereka yang kembali dengan tabungan dari risiko mempertaruhkan harta tersebut dalam perjalanan pulang. Pemerintah India juga telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa otoritas kolonial Cayman-Wilhelmsland dapat selalu memperoleh semua informasi yang diperlukan mengenai kerabat yang ditinggalkan di Hindia oleh almarhum, untuk kepentingan pengelolaan harta warisan para emigran Belanda-India yang meninggal di sana. Mengenai perekrutan untuk Nugini Jerman, dapat pula dilaporkan bahwa Perusahaan Nugini di Berlin telah meminta pemulangan segera ke tempat asal para kuli Hindia Belanda yang bekerja di perusahaan-perusahaannya di daerah itu yang menderita beri-beri. Terhadap permohonan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda tidak mengajukan keberatan, namun dengan syarat pemulangan tersebut tidak dipungut biaya’.

Sementara itu, pembentukan cabang Pemerintahan Hindia Belanda di bagian barat pulau Papua tidak segera terlaksana, dan baru benar-benar terwujud cabang pemerintahan dibentuk pada tahun 1898 di afdeeling West-Zuidkust Niew Guenea dengan ibu kota di Fakfak dan afdeeling Noord-Oosterkust Niew Guinea. Ibu kota di Manokwari.


Pada tahun 1900 muncul suatu kejadian luar biasa dimana penduduk asli di barat perbatasan menyerang warga yang berada di wilayah timur perbatasan. Pemerintah Australia (Inggris) melakukan protes untuk diselidiki dan para pelaku diekstradisi ke Australia (di Pulau Thursday). Pemerintah Hindia Belanda segera merespon dengan mengirim suatu ekspedisi tahun 1900. Salah satu hasil ekspedisi ini adalah merekomendasikan agar di Merauke ditempatkan pejabat pemerintah dengan memekarkan Afdeeling West en Zuidkust Nieuw Guiena. Lalu pada tahun 1905 ibu kota wilayah di pantai selatan didirikan di Merauke. Sejak itulah wilayah perbatasan di pantai selatan di distrik Naukenjerai menjadi terkendali. Wilayah perbatasan di pantai utara mulai dipersiapkan cabang pemerintahan di Afdeeeling Noors en Oostkust Nieuw Guinnea (ibu kota di Manokwari) seperti halnya sebelumnya pemekaran di Merauke, Cabang pemerintahan yang dipilih di Afdeeeling Noord en oostkust Nieuw Guinea dipilih di teluk Humboldt. Tempat yang dipilih adalah lokasi pabrik Belanda di Hollandia (kelak dikenal sebagai Jayapura). Untuk tujuan ini diawali dengan suatu pengukuran perbatasan antara Duitsche Nieuw Guinea (Jerman) dengan Afdeeling Noord en Oostkust Nieuw Guinea (Nederlandsche) yang akan disahkan (lihat Algemeen Handelsblad, 13-12-1910). Dalam proses pengukuran perbatasan ini di pedalaman yang dimulai dari Muara Sungai Tami sudah dibentuk tim ekspedisi masing-masing di pihak Pemerintah Hindia Belanda dan di pihak Jerman (German Nieuw Guinea). Dua tim ekspedisi beda bangsa ini saling bekerjasama. Ketua tim ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda dipimpin oleh Kaptein Sachse (yang berdinas di Humboldt Baay) pada bulan April dan Mei 1910 sebelum kehadiran tim Jerman. Pada bulan Juni Kaptein Sache dibantu oleh Luitenant laut Luymes dan Luitenant Dalhuisen serta petugas kesehatan Gjellerup. Tim dari pihak Hindia Belanda ini turut ahli fauna Dr. van Kampen. Tim ini juga disertai seorang juru foto Eropa, satu orang scouut pribumi, satu sersan Belanda dan seorang kopral pribumi dan tujuh orang pribumi yang membatu, dua orang mantri pribumi bertugas untuk koleksi botani dan zoologi, juru bahasa seorang Ternate, seorang pemandu dan dua kuli Papua. 64 pekerja paksa yang mana di antaranya 25 orang sebagai pembawa bagasi dan 39 orang pembawa perlengkapan. Sementara itu dari pihak Jerman diketuai oleh Prof. Schultze, Tim Jerman ini bekerja terpisah dan mengikuti rute yang dilalui oleh Luymes dan Sasche. Ekspedisi ini berhenti pada tanggal 12 Juli karena faktor kesulitan di suatu titik yang disebut Terminus, sejauh ini hasilnya 96 Km sungaui dan jarak dari Muara Tami sudah menempuh jarak 220 Km. Lalu tim kembali dan pada tanggal 17 tiba kembali di pos Bergend. Pada tanggal 31 Juli tiba di pantai teluk Hunboldt di Hollandia. Prof Shultze dari Muara Tami berlayar ke timur. Perjalanan bolak balik ke pedalaman dari dan ke teluk Huboldt dari tanggal 12 Juni hingga 31 Juli telah menempuh 410 Km. Dalam laporan yang dimuat pada Algemeen Handelsblad, 13-12-1910 ekspedisi lain juga dilakukan dengan menggunakan kapal perang HM Edi pada tanggal 6 Agustus melalui sungai Kaiserin Agusta (kini sungai Sepik). Namun karena masalah navigasi hanya berlayar hingga tanggal 12 Agustus. Pada tanggal 22 Agustus diadakan pertemuan antara Hindia Belanda dan Jerman di sekitar kawasan (kapal HM Edi) untuk menyatukan laporan dari dua ekspedisi tersebut. Ekspedisi ke pedalaman dari pantai utara ini menjadi informasi yang penting untuk Pemerinatah Hindia Belanda dan Menteri Koloni di Belanda sebagai bahan perencanaan pembentukan cabang pemerintahan di di sekitar teluk Humboldt. Hal serupa ini yang telah dilakukan dalam ekspedisi Merauke pada tahun 1900 yang dipimpin oleh Asisten Residen Afdeeling West en Zuidkust van Nieuw Guinea Kroesen di Fakfak dengan dua kapal perang HS Serdang dan HS Sumatra. Dalam ekspedisi ini Kroesen juga melaku eksplorasi wilayah (sejauh tertentu) di sungai Merauke dan sungai Digoel.

 

Pengukuran dan penarikan batas antara Papua wilayah barat dan wilayah timur baru dilakukan pada tahun 1910. Dalam hal ini bagian wilayah timur sebelah utara dikuasasi Jerman dan bagian selatan dikuasai Inggris.


Pada awal tahun 1914, hawa perang di Eropa sudah terasa. Satu hal pokok yang dibicarakan seperi di Belanda, Inggris, Jerman dan Prancis adalah masalah persenjatan dalam masalah politik (lihat La gazette de Hollande, 14-01-1914). Tidak lama kemudian pada bulan Juli (28 Juli) konflik ini dibuka dengan invasi Austria-Hongaria ke Serbia, diikuti invasi Jerman ke Belgia, Luksemburg dan Prancis; dan serangan Rusia ke Jerman. Terjadilah Perang Dunia di Eropa (yang kini disebut Perang Dunia I). Dampaknya terasa di Asia Tenggara sebagaimana komentar pers Inggris yang dikutip di Belanda. 

Dalam situasi perang di Eropa, suatu kekhawatiran muncul dalam suatu artikel pada surat kabar Singapore Free Press yang terbit di Singapoera tentang Jerman dan Belanda soal Hindia Belanda (lihat La gazette de Hollande, 27-11-1915). Isunya adalah soal apakah Jerman akan mengambilalih Hindia Belanda (baca: Indonesia) dari Belanda. Artikel ini kemudian mendapat komentar dari pers Inggris yang dikutip surat kabar Belanda berbahasa Inggris (La gazette de Hollande). Boleh jadi isu ini menguat di Asia Tenggara karena Jerman memiliki koloni di Papua Nugini, sementara Belanda di Eropa, meski cenderung netral tetapi sangat lemah, dapat diduduki oleh Jerman. Hal ini tentu, jika terjadi demikian, akan ada gangguan stabilitas di kawasan. Pers Inggris menulis: ‘Belanda adalah tetangga Inggris di Semenanjung Malaya: Perubahan kepemilikan Hindia Belanda tidak akan ditoleransi untuk sesaat, bahkan jika Pemerintah Belanda yang malang dipaksa oleh force majeure untuk melaksanakan instrumen diplomatik yang mendukung pemindahan wilayah tersebut. Inggris akan segera memutuskan bahwa Hindia Belanda akan tetap, seperti sekarang, di bawah pemerintahan Belanda, di bawah bendera Belanda, bahkan mungkin — dengan asumsi lagi bahwa yang terburuk datang menjadi yang terburuk — bahwa Ratu Wilhelmina mungkin diusir dari Den Haag. Dutch to All Time’.


Dalam komentar pers Inggris, posisi Hindia Belanda akan tetap aman, meski Jerman menguasai Belanda di Eropa, Inggris di Semenanjung akan ikut menjaganya, karena menurut pandangan orang Inggris, Belanda di Hindia Belanda adalah tetangga yang baik. Dari komentar pers Inggris itu terungkap justru yang terganggu selama ini (secara psikologis) adalah Australia dan Selandia Baru terhadap eksistensi Jerman di Papua Nugini.

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar