Laman

Senin, 29 April 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (23): Sejarah Bank BNI 1946 Sebenarnya; Didirikan Modal Utang 200 Juta Rupiah dari Rakyat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946) adalah bank negara Indonesia yang didirikan tahun 1946. Lembaga keuangan negara ini adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang mematenkan tahun di belakang namanya. Itu bukan hanya karena bank tersebut didirikan tahun 1946 tetapi juga karena tahun itu adalah tahun sangat sulit bagi negara baru Indonesia. Negara harus berutang kepada rakyat untuk membiayai pemerintahan. Berutang kepada rakyat ini termasuk untuk menyediakan modal awal pendirian Bank Negara, bank negara yang kini dikenal sebagai Bank Negara Indonesia (BNI).

De Volkskrant, 11-11-1946
Penetapan nama Bank Negara Indonesia (BNI) menjadi Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946) dan statusnya menjadi Bank Umum Milik Negara (BUMN) berdasarkan Undang-Undang No. 17 tahun 1968 tentang Bank Negara Indonesia 1946. Pada logo baru Bank BNI yang dibuat tahun 2004 angka (19)46 sengaja lebih ditonjolkan. Ini seakan menagaskan bahwa angka tahun 1946 begitu penting bagi Bank Negara Indonesia (BNI).

Bagaimana Bank Negara Indonesia (BNI) bisa berutang pada saat pendiriannya tahun 1946? Itu pertanyaannya. Fakta ini tidak ada akan ditemukan dalam sejarah BNI. Sebab Bank BNI saat ini adalah bank yang sangat kaya. Untuk mengingatkan BNI jangan sampai jatuh menjadi sombong di tengah masyarakat, kita perlu membangkitkan memory bahwa Bank BNI pernah berutang saat pendiriannya tahun 1946. Mari kita perlihat sumber-sumber masa lampau.

Poesat Bank Indonesia

Poesat Bank Indonesia (Centrale Indonesische Bank) didirikan pada tanggal 14 Oktober 1945 dan memulai kegiatannya pada bulan November 1945. Pembentukan itu diperlukan karena sistem perbankan benar-benar terganggu setelah kemerdekaan Indonesia. Pada pertemuan badan ekonomi pusat (centrale economische organisatie) yang diadakan di Jogjakarta mengumumkan pendirian Poesat Bank Indonesia (PBI) yang mana Dr. Karim sebagai direktur (Leeuwarder koerier, 02-03-1946). Disebutkan pendirian PBI ebagai bank sentral Indonesia ini sangat didukung oleh pemerintah Republik.

Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Djakarta ke Jogjakarta. Perpindahan ini secara bertahap dimulai sejak awal tahun 1946. Rombongan terakhir terjadi pada bulan Oktober 1946 (lihat Nieuwe courant, 17-10-1946). Disebutkan rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Sutan Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan yang mana yang memimpin rombongan terakhir ini adalah Mr. Arifin Harahap yang berangkat dari Stasion Manggarai menuju Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda.

Sementara RUU sedang disiapkan untuk diajukan mengenai dasar bank negara, PBI bertanggungjawab untuk mengeluarkan pinjaman dua kali 500 Juta rupiah. Dari 500 Juta rupiah pertama, sebanyak 100 Juta rupiah digunakan untuk menutupi defisit anggaran pemerintah, 200 Juta rupiah sebagai modal bagi Bank Negara yang akan didirikan dan 200 Juta rupiah untuk pekerjaan umum. Untuk 500 Juta rupiah kedua akan ditempatkan di Sumatra (lihat Algemeen Handelsblad, 31-05-1946).

Pada bulan Februari 1946 Bank Rakjat Indonesia (BRI) dibuka (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 10-04-1946). Disebutkan Bank Rakjat Indonesia telah memiliki tidak kurang dari 70 cabang di Jawa dan Madoera yang akan mendukung Republik [Indonesia] dalam perjuangan, konstruksi dan ekonomi. Cabang BRI ini adalah eks Syomin Ginko pada era pendudukan Jepang dan Volkscredietbank di era kolonial Belanda. Pendirian Bank Negara dalam hal ini terutama untuk menjadi sirkulasi (bank sentral).

RUU tersebut disahkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 tahun 1946 tentang Bank Negara Indonesia.  Perpu ini ditetapkan di Jogjakarta pada tanggal 5 Juli 1946 yang ditandatangani Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Menteri Keuangan Soerachman. Perpu ini kemudian diumumkan oleh Sekretaris Negara AG Pringodigdo. Dengan adanya perpu ini maka bank negara Bank Negara Indonesia mulai melakukan fungsi moneter.

Dalam Perpu Pasal 4 usaha Bank Negara Indonesia ialah (dua yang pertama): 1.Mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas Bank; 2.Memberi crediet kepada badan-badan pemerintah, bank-bank Indonesia dan badan perekonomian rakyat lain.

Het Parool, 15-07-1946: ‘Bank Negara indonesia. Itu dinyatakan dalam komunike kepresidenan. Setelah disetujui oleh komite kerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), bank negara Indonesia akan segera memulai pekerjaannya dan pengedaran uang Republik sudah di depan mata. Bank akan memiliki modal awal 10 Juta rupiah (Gulden) untuk mencetak uang kertas dan untuk mengelola keuangan negara dan kegiatan normal lembaga perbankan. Selanjutnya ia akan menentukan nilai tukar dengan negara lain. berdagang emas batangan dan umumnya memfasilitasi hubungan ekonomi Indonesia dengan dunia luar’.

Setelah disahkannya perpu, Bank Negara Indonesia didirikan pada tanggal 17 Agustus 1946. Pendirian bank negara ini dengan sendirinya menggantikan (sebagai kelanjutan) dari PBI, yang mana PBI sendiri yang telah menerima modal awal 340.000 gulden pendudukan Jepang dari ‘Dana Kemerdekaan’. Yang menjadi Presiden Bank Negara Indonesia adalah Margono Djojohadikoesoemo dan sebagai penasehat keuangan Drs Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D (lihat Nieuwe courant, 17-10-1946). Disebutkan Bank Negara Indonesia juga terdiri dari beberapa direktur.

Drs Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D adalah anak dari Margono Djojohadikoesoemo. Soemitro Djojohadikoesoemo adalah seorang ekonom yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang ekonomi di Rotterdam tahun 1943 (lihat  Algemeen Handelsblad, 13-03-1943). Desertasinya berjudul ‘Het volkscredietwezcn in de depressie’ (lihat Maandschrift van het Centraal Bureau voor de Statistiek = Revue mensuelle du Bureau Central de Statistique du Royaume des Pays-Bas, 31-10-1943). Margono Djojohadikoesoemo sendiri pernah menjadi pejabat di era kolonial Belanda di Afdeeling Cooperatie en Binnenland. Handel van het departement van Economische Zaken (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-12-1941).

Pada akhir bulan Oktober 1946 BNI dalam fungsi moneternya mulai mengedarkan uang Republik.  

Provinciale Drentsche en Asser courant, 09-11-1946: ‘Sebagian besar orang Indonesia dan Cina mengembalikan uang Jepang mereka ke Bank Negara Indonesia. Sementara yang lainnya lebih suka membeli Gulden NICA untuk itu di pasar gelap. Pedagang pasar gelap dan bisnisnya yang berkembang pesat di Batavia's Chineesche kwartier’.

Pada awal bulan Desember 1946 menerbitkan kurs uang Republik versus uang asing dan juga tersiar kabar bahwa di Jogjakarta akan dibuka sefera bursa efek Indonesia.

Nieuwe courant, 02-12-1946: ‘Uang Republik. Bank Negara Indonesia menerbitkan kurs uang Republik versus uang asing sebagai berikut: Pound Australia 7 gulden, Pound Australia 6 guilders republik, Staits Doilar 0,80 guilders republik, Rupee India 0,50 guild republik dan Dolar Amerika 1,50 guild republik... bursa efek Indonesia akan segera dibuka di Djokjakarta’.

Dua bank yang berada dibawah pengawasan Pemerintah RI mulai aktif memberikan pinjaman. Bank BNI telah memberikan pinjaman sebesar 4 Juta rupiah. Sementara Bank BRI telah memberikan pinjaman hampir senilai 10 Juta rupiah. Pinjaman-pinjaman tersebut terutama kepada perusahaan milik negara dan perusahaan swasta strategis.

Het nieuws: algemeen dagblad, 25-02-1947: ‘Menurut laporan resmi oleh Komisi Kredit Indonesia, lebih dari 16 Juta rupiah telah dipinjamkan kepada Pemerintah dan perusahaan swasta di Jawa hingga akhir Januari tahun ini, dalam bentuk pinjaman yang diberikan oleh berbagai lembaga perbankan Indonesia. Jumlah terbesar diberikan oleh Bank Rakjat Indonesia, lebih dari 9,9 Juta rupiah kepada yakni 5 perusahaan yang digerakkan oleh negara sebesar 8 Juta rupiah dan sisanya untuk 3 perusahan swasta. Sementara itu Bank Negara Indonesia telah meminjamkan lebih dari 4 Juta rupiah kepada 7 perusahaan negara’.

Sehubungan dengan sulitnya hubungan antara wilayah Republik di Jawa dan wilayah Republik di Sumatra dibuat kebijakan untuk mengeluarkan uang kertas sendiri di Sumatra. Sebelumnya uang kertas OERI (Oeang Republik Indonesia) hanya terbatas di Jawa.

Provinciale Drentsche en Asser courant, 16-04-1947: ‘Surat kabar Waspada di Medan melaporkan bahwa uang kertas Republik dikeluarkan di Sumatra mulai tanggal 10 April 1947. Uang baru ini memiliki nominal seratus gulden Jepang terhadap satu gulden Republik di samping uang kertas Jepang. Uang baru dicetak di [Pematang] Siantar, yang bertanda tangan adalah Menteri Keuangan dan Direktur Bank Negara Indonésia.

Pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer ke wilayah-wilayah Republik di Jawa dan Sumatra. Dalam aksi militer Belanda ini juga termasuk di ibukota Sumatra di Pematang Siantar. Oleh karena dalam pertempuran yang dilakukan, Republiken (TRI dan Republiken) mengungsi ke Tapanoeli. Militer Belanda menemukan jutaan gulden perhiasan di Bank Negara Indonesia di Pematang Siantar. Brankas Bank Negara Indonesia ini diduga tidak sempat terselematkan sehingga dapat dijarah oleh militer Belanda.

Provinciale Drentsche en Asser courant, 04-08-1947: ‘Akhir-akhir ini penyerangan ke wilayah Republik, JJ van de Velde dan komandan teritorial, Kolonel P. Scholten mengunjungi Siantar. Di Bank Negara Indonesia di [Pematang] Siantar ditemukan perhiasan dari pemerintahan (RI) yang jumlahnya bernilai jutaan gulden’.

Laporan Pertama Bank Negara Indonesia: Opium Juga Tidak Apa!

Bank Negara Indonesia sebagai bank sentral Indonesia telah menjalankan fungsi moneternya meski situasi Indonesia dalam perang (dengan Belanda). Bank Negara Indonesia telah didirikan di berbagai wilayah RI. Dalam situasi perang ini, Bank Negara Indonesia telah menunjukkan kinerjanya. Ini dapat diketahui dalam laporan keuangannya yang perdana, Disebutkan Bank Negara Indonesia telah memberikan pinjaman yang meningkat dari waktu ke waktu. Dalam laporan ini juga Bank Negara Indonesia telah memperoleh pendapatan yang cukup berarti.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-12-1948
Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-12-1948: ‘Laporan Bank Negara Indonesia di Djokjakarta, 6 Dee. (Antara). Laporan pertama dari bank negara republik, Bank Negara Indonesia, melaporkan kepada Antara bahwa jumlah pinjaman yang diberikan kepada perusahaan swasta dan perusahaan pemerintah telah meningkat dari 3 Juta rupiah pada bulan Desember 1946 menjadi sebesar 40 Juta pada bulan Desember 1947. Pada akhir tahun 1947 pendapatan [Bank Negara Indonesia] telah mencapai 436.354 rupiah. [Kantor berita] Antara menambahkan bahwa bank negara didirikan pada 17 Agustus 1946 sebagai kelanjutan dari Bank Sentral (PBI) yang telah menerima modal awal sebesar 340.000 gulden Jepang dari Dana Kemerdekaan. Bank Sentral ini didirikan pada tanggal 14 Oktober 1945 dan menurut Antara kepentingan publik yang dinikmati terbukti dengan fakta bahwa dalam waktu singkat jumlah simpanan yang disimpan mencapai sebesar 31 Juta gulden Jepang. Setelah kantor bank dipindahkan dari Batavia ke Djokjakarta pada awal 1946, bank itu dibubarkan pada Agustus  tahun yang sama. Antara juga menjelaskan bahwa bank negara saat ini memiliki fungsi triple yaitu bank sirkulasi, pusat koordinasi semua lembaga perbankan swasta dan untuk mengatur mata uang dan paritas uang republik. Laporan bank menyatakan bahwa sedikit perbaikan ekonomi terjadi ketika gulden Jepang digantikan oleh rupiah republik pada bulan November 1946. Selanjutnya laporan itu menunjuk pada devaluasi bertahap dari alat pembayaran republik yang mana fenomena menurut laporan tersebut disebabkan oleh karena fakta bahwa perselisihan politik antara Republik dan Belanda belum diselesaikan’.

Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan agresi militer kembali (Agresi Militer Be;anda II) ke wilayah-wilayah Republik di Jawa dan Sumatra. Dalam aksi militer Belanda ini juga termasuk di ibukota RI di Jogjakarta. Agresi militer ini juga meliputi wilayah Tapanoeli dan beberapa wilayah Republik di Sumatra seperti di Djambi.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-01-1949: ‘Dikatakan bahwa perintah penyerangan dapat diharapkan hari ini untuk komandan pasukan di Sumatra. Itu juga secara resmi dilaporkan di Sumatra. Di Pekan Baroe, TNI telah dimurnikan. Tindakan pemurnian juga telah dimulai di pulau-pulau di lepas pantai Sumatra di Selat Malaka. Wilayah pertambangan batubara di Sawahloento juga ditempati (militer Belanda). Di Telukbetoeng, setelah pasukan Belanda menduduki tempat ini, tampaknya tidak ada kerusakan yang terjadi. Oosthaven (pelabuhan Telok Betong) benar-benar utuh. Sejak awal aksi ini sebanyak 66 tentara tewas di pihak Belanda menurut data yang diterima sejauh ini, sementara 172 tentara terluka. Dari sumber-sumber militer juga dilaporkan bahwa dii Djambi sebanyak 70 kg opium ditemukan di Bank Negara Indonesia yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai mata uang asing bagi otoritas Republik (dalam bertransaksi dengan asing). Pnduduk yang sebagian telah melarikan diri, sekarang kembali dalam jumlah besar. Banyak mantan pejabat kembali menyediakan layanan’.

Dari laporan militer Belanda ini terindikasi bahwa Bank Negara Indonesia telah mentoleransi opium sebagai alat transaksi. Dalam berbagai laporan seperti opium di Bank Negara Indonesia di Djambi ini juga ditemukan di Jawa. Kasus di Jawa adalah opium yang dibawa oleh para pedagang opium ke wilayah Republik untuk didistribusikan ditemukan oleh militer. Penyitaan opium ini menjadi milik negara. Opium-opium sitaan inilah yang diduga dimanfaatkan oleh Bank Negara Indonesia untuk bertransaksi dengan asing di Singapoera (untuk mendatangkan barang impor). Tentu saja dalal hal ini pihak RI tidak memiliki gulden dan hanya OERI (yang mungkin tidak/belum berlaku di luar negeri).

Pengembalian Utang Republik Indonesia

Satu butir kesepakatan dalam KMB di Den Haag adalah bahwa dengan pembentukan negara RIS, Javasche Bank adalah bank sirkulasi untuk seluruh RIS. Meski demikian, fungsi bank RI masih berajalan sebagaimana biasanya. Hanya saja soal sirkulasi dan peredaran uang sudah sepenuhnya di bawah tanggungjawab Javasche Bank.Bank BNI mulai fokus pada perihal perbankan umum terutama diarahkan untuk bank devisa. Bank BNI akan berubah menjadi Bank (perusahaan) komersial, Sementara Bank BRI lebih difokuskan untuk peningkatan produksi dan ekonomi rakyat.

Setelah terbentuknya RIS, Margono melpaskan jabatannya di Bank BNI dan diangkat sebagai penasehat khusus Perdana Menteri Mohamad Hatta.

Oleh karena Javasche Bank menjadi bank sirkulasi tunggal, Pemerintah RIS menempatkan seorang wakil pemerintah di dalam Javasche Bank (sebagai saatu dari direktur). Javasche Bank sendiri adalah bank swasta Belanda yang mana Presiden Direktur adalah N. Tennissen.

Pemerintah RIS melakukan devaluasi uang. Menteri Keuangan RIS mengumumkan pada hari Minggu devaluasi mata uang yang beredar sebesar 50 persen (lihat Algemeen Handelsblad, 20-03-1950). Langkah ini mulai berlaku pada hari Minggu malam pukul 8. Sejak itu, uang kertas dan guilder Indonesia hanya akan memiliki setengah nilainya. Semua bank dan kantor pembayaran akan ditutup hingga 22 Maret. Setelah dibuka kembali, uang lama akan dapat ditukar dengan setengah nilai untuk yang baru sampai 16 April. Menteri Keuangan Sjafruddin mengatakan dalam pidato radio bahwa setengah dari uang dan setengah dari semua rekening bank akan dianggap oleh pemerintah sebagai pinjaman publik. Bank harus mentransfer 60 persen dari semua rekening dengan nilai setengahnya ke rekening khusus untuk pinjaman ini. Setiap uang kertas dari lima gulden harus dibagi menjadi dua bagian, separuh akan berlaku hingga 9 April sebagai tender legal dengan nilai setengahnya. Kemudian harus ditukar dengan uang baru. Setengah yang tepat dapat ditukar dengan obligasi pemerintah pada setengah dari nilai nominal pada waktunya. Sjafruddin mengatakan bahwa tindakan cepat dan drastis ini diperlukan untuk melindungi situasi ekonomi. Menurut pendapat pemerintah, ini hanya bisa dicapai dengan langkah saat ini, yaitu penerbitan pinjaman nasional dan penarikan uang dari peredaran, sementara pemerintah dengan mengeluarkan pinjaman darurat, yang setengah dari jumlah uang yang beredar sekitar 1.500.000.000 gulden, yang akan dibayar 40 persen. Pemerintah mengharapkan bahwa rencana baru ini - yang telah diadopsi sebagai undang-undang darurat - sebagian besar akan menebus defisit untuk tahun berjalan tanpa meningkatkan uang yang beredar atau meningkatkan inflasi’.  

Setelah devaluasi, Pemerintah RIS melakukan kebijakan penyederhanaan jenis-jenis uang yang beredar. Sebelum terbentuknya RIS, pemerintah RI memiliki kebijakan tersendiri dengan mencetak dan mengedarkan uang kertas OERI (di Jawa dan Madura) dan pemerintah RI di Sumatra mengeluarkan jenis uang kertas yang berbeda di sejumlah wilayah seperti misalnya di Sumatra OERITA di Residentie Tapanoeli, OERIPSOE (Uang Republik Indonesia Piopinsi Sumatera Oetara).

Trouw, 15-04-1950: ‘Setelah restrukturisasi uang secara drastis di Indonesia, pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi pada banyaknya jenis uang yang diedarkan oleh semua jenis otoritas. Bahkan dengan perkiraan, tidak mungkin untuk menentukan berapa banyak uang yang telah dimasukkan ke dalam sirkulasi. Menteri Keuangan sekarang telah menetapkan nilai tukar dimana jenis uang yang beredar di luar wilayah federal dapat dipertukarkan...Uang OERI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang beredar di Jawa dan uang OERIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Piopinsi Sumatera) yang dicetak di Pematang Sianter dan Bukittinggi, OERITA (Oeang Repoeblik Indonesia Tapanoeli); OERIPSOE (Oeang Republik Indonesia Propinsi Sumatera Oetara. Penukaran dimulai pada 30 Maret di kantor pegadaian di daerah Renville dan kemungkinan akan diperluas ke kantor pos dan Bank Rakjat Indonesia (Volksbank Indonesia). Jadi dengan cara ini apa yang diharapkan meningkatkan daya beli penduduk di wilayah Djokja. Tidak ada data yang diketahui tentang sejauh mana peredaran jenis uang ini, bahkan perkiraan, yang didasarkan pada kenyataan.Secara umum harus dinyatakan bahwa tingkat konversi untuk uang Republik lebih baik dibandingkan dengan harga perdagangan tidak resmi/

Selain perihal devaluasi dan peredaran uang kertas, Pemerintah RIS juga mulai melunasi utang yang pernah dibuat Pemerintah RI. Bagi Pemerintah RI sendiri sudah waktunya pula mengembalikan dana-dana pinjaman dari masyarakat. Pemerintah RI pernah melakukan pinjaman dari masyarakat pada tahun 1946 dan pada tahun 1948. Pinjaman tersebut khususnya pinjaman tahun 1946 salah satu alokasinya untuk pembentukan modal pendirian Bank Negara Indonesia.

De vrije pers: ochtendbulletin, 11-07-1950: ‘Pinjaman Nasional RI. Menteri Keuangan RIS, dengan keputusan tanggal 19 Juni 1950, mengeluarkan peraturan tentang pendaftaran Pinjaman Nasional tahun 1946 dan Janji Negara tahun 1948. Mereka yang memiliki klaim dengan Pemerintah RI dalam bentuk Pinjaman Nasional 1946 dan atau Janji Negara tahun 1948 harus mendaftar untuk ini sebelum tanggal 31 Agustus 1950. Pendaftaran dapat dilakukan: untuk Pinjaman Nasional 1946 yang dapat dibuktikan oleh penerima di Bank Rakjat Indonesia terdekat. Untuk Pinjaman Nasional yang dapat dibuktikan dengan kantong di Bank tempat nota yang bersangkutan diterbitkan pada saat itu; untuk Janji Negara tahun 1948 di Bank Rakjat Indonesia atau Bank Negara Indonesia terdekat. Saat mendaftar, bank-bank yang ditunjuk diharuskan untuk memberikan bukti penerimaan sebagai imbalan atas surat-surat hutang yang dikeluarkan. Jika kewajiban registrasi ini tidak dipenuhi, hak untuk mengklaim dengan pemerintah RI akan berakhir’.

Pembentukan Bank Indonesia

Pada tanggal 18 Agustus 1950 RIS dibubarkan dan kembali ke negara kesatuan (NKRI). Pada tanggal 6 September kabinet baru (NK)RI dibentuk yang mana sebagai perdana menteri adalah Natsir (menggantikan Mohamad Hatta). Menteri Keuangan dalam Kabinet Natsir adalah Sjafrodin Prawiranegara. Segera setelah kabinet baru, Lukman Hakim, mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia di Djogjakarta ditunjuk sebagai (salah satu) Direktur Javasche Bank (lihat De West: nieuwsblad uit en voor Suriname, 08-09-1950). Selama era RIS, meski Javasche Bank sebagai bank sentral, tetapi tidak satupun orang Indonesia yang duduk di jabatan pimpinan. Dalam hal ini, Lukman Hakim adalah orang Indonesia pertama di Javasche Bank.

Hal pertama yang dilakukan oleh Lukman Hakim sebagai direktur di Javasche Bank adalah berangkat ke kantor pusat Javasche Bank di Amsterdam (Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad,    12-09-1950). Disebutkan Lukman Hakim akan berangkat akhir bulan September dan bertugas di Amsterdam selama enam bulan untuk mempelajari berbagai hal terkait dengan Javasche Bank.

Pada tanggal 29 Mei 1951 Dr. A. Houwink mengundurkan diri sebagai Presiden Komisaris Javasche Bank dan mengembalikan mandat itu kepada Presiden Soekarno. Lalu kemudian muncul rumor bahwa pemerintah merekomendasikan yang menggantikannya adalah Sjafroeddin Prawiranegara (lihat De nieuwsgier, 02-06-1951). Boleh jadi ini karena Sjafroeddin Prawiranegara dalam posisi menganggur setelah Kabinet Natsir dibubarkan.

Pada tanggal 28 Juni Menteri Keuangan (Wibisono) membentuk komisi untuk mempersiapkan nasionalisasi Javasche Bank. Pada tanggal 4 Juli sidang kabinet menyetujui pengangkatan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara sebagai Presiden Javasche Bank.

Nieuwe courant, 13-07-1951: ‘Dengan keputusan Menteri Keuangan 4 Juli 1951 memutuskan untuk memberikan semua jenis koin dari Republik Indonesia (OERI, Oeridab, Oerips, Oerita, Oeripsu, Oeriba, Oerin dan koin lokal di Bengkulen dan Palembang, mulai 1 Agustus hingga 31 Desember 1951 ditahan dan dibekukan dan dapat ditukar di Bank Negara Indonesia atau Bank Rakjat Indonesia di Jawa dan Suimatra dengan uang yang beredar saat ini’,

Untuk memperkuat rencana pemerintah terhadap nasionalisasi Javasche Bank pemerintah telah mengundang seorang pakar keuangan dari Jerman, Dr. Hjalmar Schacht. Pakar ini tiba di Indonesia pada tanggal 3 Augustus atas undangan pemerintah Indonesia. Dalam kedatangan Dr. Schacht ini, pemerintah juga mengumumkan bahwa akan membeli saham Javasche Bank dengan harga 120% dari nilai nominal.

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,             14-11-1951: ‘Javasche Bank. Pembelian saham. Dalam sebuah pertemuan yang berlangsung selama satu setengah jam, tentang nasionalisasi Javasche Bank, Dewan Menteri membahas beberapa undang-undang dan melampirkan itikad baik untuk pendirian Kantor Pengawasan Pasca-Surveilans, saran apa yang akan diberikan kepada Presiden, Dari BRI, Harsoadi memberitahu Mononutu menyatakan bahwa pembelian seumur hidup Javascne Bank senilai f 8.800.000 nominal sekitar 97%. Bahwa Indonesia, sebagai bangsa, harus menjadi bank sentral dengan karakter nasional. properti, kepentingan publik bank harus menjadi milik negara, yang sejauh ini Javasche Bank telah ada sejauh ini didanai oleh orang asing, Bahwa untuk mengakhiri posisi Javasche Bank harus dinationalisasi. Tentang pengangkatan ketua Dewan Pengawas juga Harsoadi dari BRI terdiri dari anggota: RM Margono Djojohadikusumo, presiden Bank Negara Indonesia, M. Sutoto, Sekretaris Jenderal Kementerian Koneksi, TB Sabaruddin, Direktur Foreign Exchange Institute dan N Tennissen, Direktur Javasche Bank’.

Upaya pemerintah untuk menasionalisasi Javasche Bank mendapat respon positif dari parlemen. Pada tanggal 30 November 1951, parlemen telah menyetujui deklarasi Rancangan Undang-Undang tentang nasionalisasi Javasche Bank. Dalam situasi dan kondisi inilah Lukman Hakim, direktur Javasche Bank dan Sjafroeddin Prawiranegara, Presiden (komisaris) yang baru Javasche Bank saling bahu membahu untuk menasionalisasi Javasche Bank dan menggantinya dengan nama yang baru, yakni Bank Indonesia.

Nasionalisasi Javasche Bank tentu saja tidak mudah dan berlangsung setahap demi setahap. Hal ini di satu pihak karena keuangan Pemerintah Indonesia belumlah kuat dan di pihak lain para investor di Javasche Bank yang berkedudukan di Amsterdam masih wait en see. Tentu saja ini terkait dengan masalah politik antara Indonesia dengan Belanda yang mana Pemerintah Indonesia ingin membatalkan perjanjian KMB sementara Pemerintah Belanda tidak terlalu meresponnya.

Sejak kepulangan direktur Javasche Bank Mr. Lukman Hakim dari Belanda, pemerintah dan otoritas bank sentral di Indonesia (Javasche Bank) terus melakukan konsolidasi. Undang-Undang Pokok Bank Indonesia telah diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1953. Ini sehubungan dengan tuntasnya upaya nasionalisasi Javasche Bank.

Dengan diberlakukannya undang-undang Bank Indonesia maka Mr. H. Teunissen, salah satu direktur di Javasche Bank yang merangkap wakil presiden terhitung tanggal 1 Juli harus mengundurkan diri dari jabatannya, Susunan pimpinan baru Bank Indonesia telah ditetapkan (Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 14-07-1953). Disebutkan dewan eksekutif Bank Indonesia terdiri sebagai berikut: Gubernur: Sjafroeddin Prawiranegara; direktur adalah Mr. Lukman Hakim yang merangkap sebagai Wakil Gubernur dan Mr. Indrakoesoema. Sebelumnya berbagai kalangan sempat mengkhawatirkan fungsi bank sentral akan berantakan setelah pengunduran diri Dr. A Houwink.  Namun penunjukkan Sjafroeddin Prawiranegara untuk menggantikan Houwink secara perlahan mampu menghilangkan persepsi tersebut.

Javasche Bank tamat sudah setelah beroperasi di Indonesia (baca: Hindia Belanda) sejak 1824. Tahun 1953, Bank Indonesia (suksesi Javasche Bank) memulai babak baru dalam kebanksentralan di Indonesia yang mana semua posisi strategis telah diisi oleh 100 persen orang Indonesia. Bank Indonesia adalah suksesi Bank Negara Indonesia.

Bank Negara Indonesia di Tapanoeli, 1946

Pada tahun 1946 Bank Negara Indonesia didirikan dengan utang dari rakyat. Kantor Pusat Bank Negara Indonesia berada di Jogjakarta. Sehubungan dengan pendirian Bank Negara Indonesia ini di sejumlah tempat didirikan cabang termasuk di Pematang Siantar (ibukota Provinsi Sumatra), Bukittinggi (ibukota Residentie Sumatra Barat) dan Sibolga (ibukota Residentie Tapanoeli).

Sehubungan dengan kembalinya Belanda/NICA dan semakin menguatnya posisi mereka di berbagai kota, pusat pemerintahan RI dipindahkan. Ibukota RI di Djakarta dipindahkan ke Jogjakarta; ibukota (provinsi) Sumatra dipindahkan dari Medan ke Pematang Siantar dan ibukota Residentie Sumatra Barat dipindahkan dari Padang ke Bukittinggi. Ibukota Residentie Tapanoeli tetap di Sibolga (tidak termasuk sasaran utama Belanda).

Di Sibolga dibentuk cabang dari Bank Negara Indonesia. Yang diangkat sebagai kepala cabang Bank Negara Indonesia di Sibolga adalah Djames Harahap. Wakil Residen Tapanoeli adalah Abdul Hakim Harahap.

Pada era kolonial Belanda ada sejumlah pribumi yang menjadi pejabat di Kementerian Ekobnomi (Economisch Zaken). Tiga diantaranya adalah Margono Djojohadikoesoemo, Soerjaatmadja dan Abdul Hakim Harahap. Sebelum pendudukan Jepang, Margono sebagai direktur koperasi dan Abdul Hakim Harahap sebagai kepala cabang ekonomi di Groot Indie (Indonesia Timur) yang berkedudukan di Makassar,

Djames Harahap bersama Ismail Harahap dan Muslim Harahap adalah tiga pemuda dari Tapanoeli pada tahun 1938 berangkat studi ke Batavia. Djames Harahap dan Muslim Harahap masuk sekolah ekonomi sementara Ismail Harahap masuk sekolah apoteker.Setelah lulus pada tahun 1941 Ismail Harahap ditempatkan di Soerabaja sebagai apoteker. Sementara Muslim Harahap melamar kerja di Bank Nasional Indonesia di Medan. Sedangkan Djames Harahap melamar menjadi pegawai di Econemisch Zaken, tempat dimana Margono dan Abdul Hakim Harahap sebagai pejabat.

Bank Nasional Indonesia didirikan tahun 1930 di Soerabaja. Bank swasta pribumi di Soerabaja ini digagas oleh Dr. Soetomo. Bank swasta pribumi pertama Bataksche Bank didirikan di Pematang Siantar pada tahun 1920 oleh Dr. Mohamad Hamzah Harahap. Bank Nasional Indonesia dalam perkembangannya membuka cabang di sejumlah tempat termasuk di Medan.

Pada saat pendudukan Jepang, Abdul Hakim Harahap dan Djames Harahap pulang kampung ke Tapanoeli. Sementara Muslim Harahap tetap di Medan. Sedangkan Ismail Harahap tetap tinggal di Soerabaja.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Abdul Hakim Harahap yang menjadi pejabat di Tapenoeli di era Jepang diangkat Pemerintah RI untuk menjadi Wakil Residen Tapanoeli bersama dengan Residen Tapanoeli Dr. FL Tobing. Besar dugaan Margono meminta rekan lamanya Abdul Hakim Harahap untuk membentuk Bank Negara Indonesia di Sibolga. Untuk menjadi kepala cabang adalah Djames Harahap. Sementara itu di Medan yang menjadi kepala Bank Nasional Indonesia adalah Muslim Harahap. Pada tahun 1951 ketika Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara, kepala BNI Cabang Medan adalah Djames Harahap. Untuk sekadar diketahui Ismail Harahap di Soerabaja kelak dikenal sebagai ayah dari Andalas Datoe Oloan Harahap atau Ucok AKA (pionir musik rock Indonesia), sementara Djames Harahap di Medan kelak dikenal sebagai ayah dari Rinto Harahap dan Erwin Harahap (pendiri grup musik The Mercy’s).

Demikianlah sejarah Bank Negara Indonesia atau BNI 1946


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar