Laman

Senin, 30 Desember 2019

Sejarah Jakarta (72): Sejarah Ancol dan Jeremis van Riemsdijk; Benteng Ancol di Sungai Antjol, Akses Baru ke Weltevreden


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Ancol pada masa ini haruslah dibilang sebagai taman impian warga Jakarta ketika akses ke laut begitu sulit didapat. Namun cerita-cerita tentang Ancol yang membuat pengunjung terasa terhenyak ketika berada di Ancol bukan soal wahananya. Yang banyak dibicarakan justru yang aneh-aneh seperti kisah ‘Si Manis Jembatan Ancol’. Namun ada satu hal, tetapi agak jarang dipertanyakan yakni soal mengapa ada benteng kuno di Ancol. Pertanyaan mengapa dan bagaimana benteng itu belum ada yang bisa menjawabnya.

Benteng (fort) Antjol, 1656
Tempat wisata Ancol dibangun sejak era kemerdekaan Indonesia. Konon, sejak kepulangan Presiden dari Amerika Serikat, 1856 gagasan pembangunan Ancol dimulai. Pembangunan Ancol dimaksudkan untuk meniru Disneyland Amerika Serikat, Setelah land clearing, pembangunannya sempat tersendat. Pembangunan tempat rekreasi Ancol baru dilanjutkan dan selesai pada era Presiden Soeharto. Kini, tempat rekreasi Ancol yang disebut Taman Impian Jaya Ancol yang dikelola oleh PT Pembangunan Jaya masih eksis. Namun tidak lagi menjadi impian seperti dulu. Itu semua karena pertanyaan tentang mengapa ada benteng di Ancol belum terjawab.

Lantas seperti apa sejawah awal Ancol? Itu dia yang juga ynag harus diimpikan. Satu sejarah awal terpenting di Ancol adalah keberadaan benteng (fort) Antjol. Berdasarkan catatan sejarah tertulis, benteng ini sudah eksis pada tahun 1656. Suatu benteng yang dibangun untuk basis pertahanan dalam melindungi kota (stad) Batavia. Sejak adanya benteng ini, area Antjol mulai dikembangkan. Salah satu pengembang terkenal di (land) Antjol adalah Jeremias van Riemsdijk (yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal VOC). Untuk menambah pengetahuan kita, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Jakarta (71): Sejarah Awal Gunung Sahari; Bukan Gunung Sebenarnya, Tempo Dulu Daratan Kering di Tengah Rawa Luas


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Di Jakarta ada namanya kawasan Gunung Sahari (di sebelah timur Pasar Baru). Satu yang menarik pada masa ini, tidak ada yang menulis sejarah Gunung Sahari secara lengkap (dari awal sampai akhir). Hanya ditulis sepotong-sepotong dari sejarah panjang Gunung Sahari. Padahal tidak ada sejarah di Jakarta yang bersifat misteri (sulit diketahui). Semua tempat di Jakarta saling terhubung satu sama lain.

Peta 1624 dan Peta 1665
Sesungguhnya tidak sejengkal pun tanah di Jakarta tanpa memiliki sejarah. Semuanya memiliki sejarahnya sendiri-sendiri namun tidak berdiri sendiri. Antara satu tempat dengan tempat lainnya di Jakarta satu sama lain memiliki keterkaitan dalam proses yang panjang. Oleh karena itu, menulis sejarah suatu tempat di Jakarta tidak bisa melihat keseluruhan tanpa memperhatikan relasinya dengan yang lain. Dalam hubungan ini, jika tidak memperhatikan relasi tersebut maka yang terjadi adalah gagal paham (tidak memberi kontribusi dalam pengetahuan). Analisis relasi dalam merekonstruksi sejarah suatu tempat (dalam hal  ini di Jakarta) menjadi sangat penting. Satu hal yang terpenting dalam menarik relasi tersebut haruslah didukung data sejarah yang valid. Pemahaman terhadap tipologi (scientific) tempat serupa dapat memperkuat pemahaman (seperti tipologi Tangerang dan Bekasi). Dalam penulis sejarah suatu tempat kita tidak bisa secara gegabah menggunakan pendekatan toponimi (yang cenderung bersifat art).

Relasi terdekat Gunung Sahari adalah Pasar Baru (bukan Senen dan juga bukan Kemajoran). Kedekatan sejarah Gunung Sahari, selain Pasar Baru aalah Mangga Dua dan Ancol. Tiga area ini harus dilihat secara simultan dalam memahami sejarah Gunung Sahari. Yang di masa lalu ketiga tempat ini secara alamiah terhubung dengan eksistensi sungai Ciliwung. Dengan pendekatan metodologis ini dimungkinkan untuk merekonstruksi sejarah Gunung Sahari. Untuk menambah pengetahuan kita, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Sabtu, 28 Desember 2019

Sejarah Jakarta (70): Sejarah Gambir, dari Koningsplein hingga Lapangan Merdeka Tugu MONAS; Pasar Gambir Sejak 1904


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Secara teknis, sejarah Gambir dan Pasar Gambir belum pernah ditulis. Padahal, secara teoritis Gambir sudah sejak lama dipersepsikan sebagai pusat Batavia yang tidak tergantikan bahkan hingga ini hari sebagai pusat Jakarta yang notabene juga menjadi pusat Indonesia. Dalam bahasa tata surya, keberadaan Gambir adalah semacam ‘lobang hitam’ yang mampu menyedot perhatian semua rakyat Indonesia. Lantas mengapa sejarah Gambir terabaikan? Nah, itu dia.

Koningsplein (Peta 1860) dan Tugu Monas
Nama Gambir menjadi muncul populer sejak tahun 1904. Ini sehubungan dengan pembukaan festival yang kali pertama diadakan. Festival ini berpusat pada area Pasar Gambir. Festival ini baru menemukan bentuknya pada tahun yang ketiga tahun 1906 sebagai pasar tahunan (jaarmarkt) untuk pribumi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-08-1906). Pada era Republik Indonesia tradisi ini tetap diteruskan dengan nama Pekan Raja Djakarta (Djakarta Fair dan selanjutnya disebut PRJ). Festival atau Pasar Gambir dengan nama terakhir PRJ tamat setelah direlokasi ke Kemayoran tahun 1992 dengan nama Jakarta International Expo (JIE).  
.   
Dalam blog ini, penulisan Sejarah Gambir adalah bagian dari keseluruhan Sejarah Jakarta Pusat yang mana pada altikel sebelumnya sudah ditulis sendiri-sendiri tentang sejarah Pasar Senen, sejarah Tanah Abang, sejarah Menteng (plus sejarah kanal Gresik), sejarah Kwitang, sejarah Salemba (Struiswijk), sejarah Kemayoran, sejarah Matraman, sejarah Istana Merdeka, sejarah Sawah Besar (plus sejatah jalan Lautze), sejarah Pacenongan, sejarah Pasar Baru dan sejarah Petojo. Beberapa artikel menunggu editing antara lain sejarah Gunung Sahari, Ancol, Kemayoran, Rawasari dan sejarah Bukit Duri. Untuk segera menambah pengetahuan kita tentang Sejarah Gambir mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. menambah pengetahuan kita tentang Sejarah Gambir mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 27 Desember 2019

Sejarah Jakarta (69): Sejarah Petojo, Sudah Dikenal Sejak VOC/Belanda; Fort Riswijk, Pabrik Batu Bata, Pabrik Batu Es Terkenal


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Petojo bukanlah nama baru di Jakarta. Nama Petojo bahkan sudah eksis sesjak era VOC/Belanda. Kampong Petodjo terletak tidak jauh dari benteng (fort) Riswijk. Posisi GPS kampong Petodjo berada di sisi barat sungai Krokot (sementara Fort Riswijk berada di sisi timur sungai Krokot). Dua situs tua ini diduga terkait satu sama lain. Situs pertama adalah Fort Riswjik. Kampong Petodjo diduga adalah pemukiman awal pasukan pribumi yang bekerja di Fort Riswijk. Namun nama Petodjo baru populer pada era Pemerintah Hindia Belanda sebagai pusat industri batu bata.

Javasche courant, 08-12-1838
Pada era VOC/Belanda (1619-1799), pusat industri batu bata berada di utara sawah besar. Lalu lintas utama di area industri batu bata ini kemudian dikenal sebagai Steenbakker Gracht (kanal pembakaran batu bata). Kanal ini tampaknya menjadi moda transportasi air untuk mengangkut batu bata ke kota (stad) Batavia. Kanal ini terhubung dengan sungai Tjiliwong di Mangga Besar. Dalam perkembangannya, di sisi kanal Steenbakker Gracht dibangun jalan darat yang kini dikenal sebagai jalan Tangki Lio.

Pabrik batu bata di Petodjo dikelola oleh pemerintah (lihat Javasche courant, 08-12-1838). Disebutkan, para pekerja yang bekerja di pabrik batu bata di Petodjo dan orang yang bekerja di benteng (fort) Prins Frederik (nama baru Fort Noordwijk) dibiayai oleh pemerintah. Informasi ini mengindikasikan bahwa fort Riswijk tidak difungsikan lagi (tetapi Fort Noordwijk masih difungsikan). Kini, kampong Petodjo menjadi dua kelurahan di kecamatan Gambir, Jakarta Pusat: Petojo Selatan dan Petojo Utara. Untuk menambah pengetahuan kita tentang sejarah Petojo mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. 

Kamis, 26 Desember 2019

Sejarah Jakarta (68): Sejarah Pasar Baru, Kampong Noordwijk Menjadi Wijk Pasar Baroe; Komunitas India di Pasar Baru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Namanya Pasar Baroe jelas pasar yang baru. Pasar lamanya adalah Pasar Senen. Pertanyaannya mengapa dibangun pasar yang baru di kawasan (area) Noordwijk sementara sudah ada pasar di area Weltevreden (Sebelumnya disebut Pasar Vinke atau Pasar Snees). Jarak antara Pasar Senen dengan Pasar Baroe tidak begitu jauh. Tentu saja ada sebabnya yang menjadi sejarah Pasar Baroe penting diketahui. Pada masa ini Pasar Baroe ini berada di kelurahan Pasar Baru, kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Pasar Baru (Peta 1860)
Pada tahun 1865 Residentie Batavia terdiri dari tujuh afdeeling (semacam kabupaten): Tangerang, Batavia, Weltevreden, Meester Cornelis, Tandjong, Tjibinoeng dan Buitenzorg  (lihat Dr. Hollander, 1869). Afdeeling Stad en voorsteden (Batavia dan Weltevreden) terdiri dari area-area Molenvliet; Noordwijk, Rijswijk, Batoe Toelis; Pasar Baroe, Parapattan, Tanah-abang, Weltevreden, Kramat, Struiswijk, Goenoeng Sari, Tanah Njonja. Jumlah penduduk sekitar 63.000 jiwa yang mana diantaranya terdapat sekitar 3.000 Europeanen en 17.000 Chinezen. Pada tahun 1900, Batavia (Afd. Stad en voorsteden: District Batavia dan District Weltevreden) terdiri dari enam onderdistrict, yakni: Manggabesar, Pendjaringan, Tandjong Priok, Gambir, Tanahabang dan Senen (lihat W. J. van Gorkom, 1912). Nama-nama kampong di onderdistrict Manggabesar adalah Klenteng, Kebondjeroek, Patjebokan, Sawah Besar, Djawa, Kroekoet, Petodjo Ilir, Petodjo Sawah, Doeri, Tanah Sreal, Tandjong Kramat, Angke, Djembatan 5 Koelon, Djembatan 5 Wetan, Blandongan dan Pintoe Besie.

Berdasar Sensus 1930 Sawah Besar dikategorikan sebagai kampong sementara Pasar Baroe dikategorikan sebagai wijk [lihat Alphabetisch Register van de Administratieve-(Bestuurs-) en Adatrechtelijk Indeeling van Nederlandsch-Indie. Deel I: Java en Madoera. Door W. F. Schoel. Landsdrukkerij, Batavia, 1931].

Rabu, 25 Desember 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (28): Organisasi Mahasiswa Indonesia; Indische Vereeniging (1908) Hingga Dewan Mahasiswa UI (1952)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Organisasi mahasiswa telah memainkan peran yang sangat berarti dalam tiga fase: (1) Gerakan keabangsaan dalam pembentukan Indonesia hingga merdeka (1908-1945). Organisasi mahasiswa juga terus aktif mempertahankan kemerdekaan Indonesia (1947-1949). Organisasi mahasiswa tetap aktif mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa (1952-1953). Tiga fase ini bersifat continuum.

Sejarah Organisasi Mahasiswa Indonesia, 1908-1952
Organisasi mahasiswa pertama Indonesia dengan nama Indische Vereeniging  didirikan pada tahun 1908 di Leiden, Belanda. Organisasi ini digagas dan dipimpin oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Organisasi ini tetap eksis yang diantara pemimpinnya yang terkenal antara lain Dr. Soetomo (1921), Mohamad Hattta (1924) dan Parlindungan Lubis (1938). Pimpinan terakhir pada tahun 1945 adalah FKN Harahap. Pada perang kemerdekaan Indonesia terbentuk dua organisasi mahasiswa. Di Jogjakarta didirikan organisasi Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) yang dipimpin oleh Lafran Pane dan di Djakarta dibentuk organisasi Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia (PMUI) yang dipimpin oleh Ida Nasution. Lalu pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda dalam rangka untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa pada tahun 1952 didirikan dewan mahasiswa Universitas Indonesia di dua wilayah: Di Djakarta ketua terpilih adalah Widjojo Nitisastro (dari fakultas ekonomi) dan di Bandung ketua terpilih adalah Januar Hakim Harahap (dari fakultas teknik). Pada tahun 1953 ketua dewan mahasiswa Akademi Wartawan, AM Hoetasoehoet diangkat menjadi ketua Panitia Peringatan Sumpah Pemuda di Djakarta.

Kesinambungan organisasi-organisasi mahasiswa sejak pembentukannya yang pertama menunjukkan peran mahsiswa cukup besar mulai dari membangunan kesadaran bebangsa, aktif dalam pergerakan politik hingga ikut berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Bagaimana organisasi-organisasi mahasiswa ini terbentuk menarik untuk diketahui. Tentu saja juga menarik untuk mengetahui mengapa semua inisiator organisasi mahasiswa (Soetan Casajangan, Lafran Pane, Ida Nasution dan Januar Hakim Harahap) berasal dari Kota Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan)? Untuk tidak lupa sejarah organisasi mahasiswa Indonesia, mari kita telusuri sumber-sumber (tertulis) tempo doeloe.

Selasa, 24 Desember 2019

Sejarah Jakarta (67): Sejarah Pacenongan, Awalnya Bernama Moordenaarslaan (Gang Pembunuh); Pusat Percetakan Tempo Dulu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Di Jakarta, dekat Monas terdapat satu kawasan (area) yang disebut Pacenongan. Kawasan Pacenongan ini berpusat di Jalan Pacenongan. Dengan memperhatikan namanya, kawasan ini dapat dibilang sebagai kawasan tertua di Indonesia. Kawasan ini awalnya disebut kawasan para Pembunuh (Moordenaars), namun dalam perkembangannya diperhalus menjadi hanya Pacenongan. Apa arti pacenongan? Kita lihat nanti.

Javasche courant, 21-08-1841
Pada awal pemerintahan Hindia Belanda Jalan Pacenongan adalah batas wijk (kelurahan) yakni Wijk 19. Wijk 19 meliputi area yang dibatasi oleh kanal Riswijk di selatan, jalan Molenvliet di barat, jalan Prinsen di utara dan jalan Moordenaars di timur. Dengan memperhatikan peta masa kini, Wijk 19 ini termasuk kawasan Sawah Besar, kampong halaman Ridwan Saidi. Apakah Ridwan Saidi mengetahui riwayat ini?  

Tentu saja sejauh ini sejarah Pacenongan belum pernah ditulis. Oleh karena di Pacenongan tempo doeloe terdapat situs-situs penting dan kejadian-kejadian penting, maka oada ini hari perlu kiranya didokumentasikan kembali agar tidak gagal paham tentang Kawsan Pacenongan. Untuk memahami sejarah Paconangan lebih jauh, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 23 Desember 2019

Sejarah Jakarta (66): Jalan Lautze, Doeloe Namanya Chinese Kerkweg (Jln Klenteng); Siapa Lautze, Mengapa Ada Masjid Lautze


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Di Jakarta ada namanya jalan Luutze. Nama jalan ini unik karena tidak ada di kota lain. Nama Lautze ditabalkan sebagai nama jalan untuk menggantikan Chinese Kerkweg terjadi pada tahun 1950 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-10-1950). Ruas jalan Lautze ini berada di antara jalan Taman Sari dan jalan Kartini di Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Java-bode, 17-10-1950
Di Bandung ada namanya jalan Pasteur, tidak ada di tempat lain. Di Medan ada jalan Multatuli. Di Surabaya, di Semarang dan di Jogjakarta tidak ada nama siapa-siapa. Ini menunjukkan setiap kota memiliki caranya sendiri-sendiri memandang sejarah masa lampaunya dan sadar menabalkan nama jalan untuk memberi inspirasi ke masa depan. Di Semarang dan Soerabaua nama-nama jalan berbau Belanda dan Cina telah dihapus. Di Jogjakarta tidak ada yang dihapus karena dari doeloe memang tidak ada yang berbau Belanda dan Cina.

Apa hebatnya Lautze sehingga harus ditabalkan menjadi nama jalan menggantikan Chinese Kerkweg? Itu die pertanyaannya. Lantas siapa Lautze? Satu yang terpenting pada masa ini di jalan Lautze terdapat masjid Tionghoa yang diberi nama masjid Lautze. Masjid ini unik karena berbau Tionghoa. Nah, utuk menghindari gagal paham, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Jakarta (65):' Kali Gresik' Menteng Bukan Sungai; Selokan Drainase Eks Jalur Rel Kereta Api yang Membuat Gagal Paham


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Di Menteng tidak ada Kali Gresik, yang ada adalah Kali Cideng. Lho, kok! Sungai atau kali secara alamiah mengalir dari arah hulu (atas) ke hilir (bawah) seperti Kali Cideng. Kali Gresik di Menteng arahnya melintang. Kali Cideng berhulu di Depok (atas) dan bermuara ke Kali Kroekoet (bawah). Lantas, Kali Gresik berhulu dimana? Nah, lho! Pertanyaan ini membuat kita gagal paham.

'Kali Gresik' di Menteng (Old en Now)
Air mengalir yang arahnya melintang di Jakarta cukup banyak. Yang paling besar adalah Banjir Kanal Barat, suatu kanal pengendali banjir (sungai Ciliwung) yang dialirkan ke arah barat. Kanal ini dibangun pada tahun 1918. Pada masa ini pasangan Banjir Kanal Barat adalah Banjir Kanal Timur (BKT). Dalam konstruksi BKT diintegrasikan dengan Kalimalang. Seperti halnya Kali Gresik, Kalimalang juga bukan sungai karena arahnya juga melintang. Ringkasnya: jika bukan sungai (secara alamiah bersumber dari mata air) berarti yang dimaksud adalah kanal (secara buatan yang bersumber dari sungai). Jadi, Kali Gresik adalah selokan atau kanal, namun bukan kanal pengendali banjir, tetapi kanal drainase. Sedangkan kanal Kalimalang dibangun tidak hanya untuk tujuan pengendali banjir, tetapi juga untuk kebutuhan irigasi (sawah) dan kebutuhan air bersih. Kanal Kalimalang bersumber dari sungai Citarum (di Purwakarta). Untuk sekadar catatnn: Kanal Kalimalang tidak ditulis sebagai Kali Malang, sebab Kalimalang adalah singkatan dari (Kali) Bekasi dan Setu (Malang).    

Yang disebut Kali Gresik di Menteng yang berada diantara Jalan Sutan Syahrir (dulu disebut Madoeraweg) dan Jalan Mohamad Yamin (dulu disebut Greiseeweg), pada awalya adalah lintasan jalur kereta api (Paseban-Tanah Abang). Jalur ini dilikuidasi sehubungan dengan dibangunnya jalur kereta api sejajar Banjir Kanal Barat tahun 1921. Eks jalur kereta api di jantung Perumahan Menteng inilah kemudian dibangun kanal drainase. Kanal drainase yang kini disebut salah kaprah sebagai Kali Gresik sangatlah lebar dan tetapi pendek, Lalu untuk membuat lingkungan (perumahan) Menteng terkesan indah, diperlukan sumber air baru untuk mengaliri kanal agar tampak bersih. Bagaiamana itu semua terjadi? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 21 Desember 2019

Sejarah Jakarta (64): Sejarah Sawah Besar, Kampung Ridwan Saidi; Baheula di Pinggir Kali Ciliwung, Kini Lintasan Kereta Api


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Sawah Besar, dari namanya, tidak hanya soal sawah yang sangat luas, tetapi juga tergolong area yang terbilang relatif masih baru (sawah luas terbentuk karena dibangunnya irigasi). Menurut Ridwan Saidi di area inilah beliau dilahirkan. Dalam bahasa sekarang: ‘Anak Sawah Besar’. Kini, area sawah yang luas itu berada di tengah kota yang sangat sibuk dan padat penduduknya, Begitu padatnya wilayah area Sawah Besar, lintasan rel kereta api harus diangkat ke atas (menjadi jalur layang kereta) dan mulai dioperasikan pada pertengahan tahun 1992.

Area Sawah Besar (Peta 1682)
Pada era kolonial Belanda nama area Sawah Besar ditabalkan menjadi nama onderdistrict. Pada era Republik Indonesia, onderdistrict Sawah Besar ditabalkan sebagai nama kecamatan di wilayah Jakarta Pusat. Salah satu nama kelurahan di kecamatan Sawah Besar adalah Karang Anyar dimana saya pernah memimpin survei rumahtangga pada tahun 1997 dan 1999 (dalam rangka mengumpulkan data untuk analisis pengukuran dampak krisis ekonomi). Saya sendiri ketika itu masih tinggal di Sawo Kecik. Begitu cintanya Ridwan Saidi terhadap kampong halamannya di Sawah Besar, dengan sepenuh hati beliau telah menulis sejarah Sawah Besar tahun 2011 dengan judul: ‘Riwayat Sawah Besar’. Sayang saya tidak bisa mengakses buku tersebut ketika menulis artikel ini.

Satu hal yang paling menarik dari warisan sejarah masa lalu adalah bahwa tempo doeloe (baheula) di tengah area yang menjadi sawah luas itu (terbentuknya kampong Sawah Besar) mengalir kali Ciluwung, air yang tenang tetapi menhanyutkan. Untuk mewujudkan perluasan kota, mengedalikan banjir dan mengoptimalkan pengaturan ketinggian air di pelabuhan (yang berpusat di Kali Besar) lalu ruas sungai Tjiliwong antara benteng Noordwijk (kini stasion Juanda) dan Manggadoea (kini stasion Mangga Dua) ‘dilikuidasi’. Lalu pada tahun 1869 di bekas kali Tjiliwong itu dibangnn rel kereta api (ruas stasion Juanda dan stasion Mangga Dua). Bagaimana itu semua terjadi dan terhubung? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 18 Desember 2019

Sejarah Kota Surabaya (25): Sech Albar--Ayah Ahmad Albar--Pionir Musik Gambus; Ucok AKA Harahap, Pionir Musik Rock


*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disin

Kota Surabaya adalah kota musik, kota terawal dalam musik Indonesia. Uniknya Kota Surabaya adalah kota terawal dalam musik gambus Indonesia. Pionirnya adalah Sech Albar. Lantas apakah mungkin anak Sech Albar sebagai pemusik gambus memiliki anak seorang pemusik rock? Ahmad Albar adalah anak Sech Albar seorang pemusik rock.

DUO KRIBO: Ahmad Albar dan Ucok AKA Harahap
Apakah musik gambus dan musik rock bisa dipadukan? Tentu saja bisa yakni dengan menggabungkan nada-nada qasidah dan nada-nada rock. Itu pernah dilakukan oleh Ucok AKA Harahap (AKA Group). Ucok AKA adalah pionir musik rock Indonesia yang juga dari Surabaya. Last but not least: Apakah Ucok Harahap dan Ahmad Albar dapat dipertemukan? Ucok Harahap dan Ahmad Albar pernah membentuk duo yang diberi nama: Duo Kribo.  

Siapa sesungguhnya Sech Albar? Ke dalam pertanyaan ini juga dapat ditambahkan, siapa sesungguhnya ayah Ucok AKA Harahap? Yang jelas Sech Albar adalah pionir musik gambus Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran siapa mereka sesungguhnya, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 17 Desember 2019

Sejarah Jakarta (63): Ridwan Saidi dan Kontroversi Sejarah Jakarta; Mari Kita Luruskan Jalan Rekonstruksi Sejarah Jakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Tidak ada seorang pun yang sangat peduli sejarah Jakarta, kecuali Ridwan Saidi. Upaya Ridwan Saidi untuk merekonstruksi sejarah Jakarta patut didukung. Ridwan Saidi tampaknya merasa ada yang salah atau keliru menulis narasi sejarah Jakarta dan karena itu Ridwan Saidi mulai melakukan pelurusan sejarah. Satu yang penting cara berpikir Ridwan Saidi adalah berani berpendapat, suatu yang langka selama ini tentang sejarah Jakarta.  

Sejarah adalah sejarah, suatu narasi fakta masa lampau. Sejarah bukan narasi yang bersifat fiksi. Narasi fiksi adalah skenario (drama) yang tujuannya untuk membuat terhenyak atau terhibur. Kesalahan penulisan sejarah adalah alamiah, suatu kesalahan yang bisa diperbaiki. Yang perlu dihindari adalah pembohongan dalam narasi sejarah. Kesalahan sejarah dan pembohongan sejarah akan sendiri akan terkoreksi sehubungan dengan tersedianya data sejarah yang lebih lengkap dan lebih valid.

Upaya Ridwan Saidi meluruskan sejarah Jakarta dengan rekonstruksi baru tetap kita dukung. Namun jika ditemukan terdapat kesalahan-kesalahan dalam cara berpikir dan cara menginterpretasikan yang dilakukan oleh Ridwan Saidi, sebagai pendapat baru harus kita kemukakan. Dengan demikian upaya yang dilakukan Ridwan Saidi dalam membangun sejarah Jakarta yang benar menjadi lebih kuat. Artikel ini sebagai log. Mari kita mulai dari yang ringan-ringan lebih dahulu.