Laman

Senin, 20 Januari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (35): Pemusik Indonesia, Dari Follower Menjadi Leader; Alip Ba Ta Buka Jalan Musik Dunia Maya


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Pada era dunia maya sekarang ini ada yang disebut follower dan ada juga yang disebut leader. Dalam musik dunia (world music) dan dunia musik, fingerstyler Alip Ba Ta dapat dianggap sebagai leader Indonesia. Paling tidak Alip Ba Ta sudah memiliki follower di seluruh belahan dunia. Bagaimana Alip Ba Ta menjadi leader sulit dijelaskan. Hukum alam(iah) berlaku, hukum alam yang mengatur. Dalam bahasa ilmu sosial, yang mengatur disebut invisible hand (diatur oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan). Dalam bahasa dunia maya yang sekarang, bukan ‘hukum rimba’ yang berlaku, tetapi ‘hukum pasar’ di dunia maya. Tentu saja situasi dan kondisi masa kini berbeda dengan tempo doeloe.

Dulu, ketika Apollo, pesawat ruang angkasa akan diluncurkan menuju bulan sejumlah hal dipersiapkan. Pilot tentu saja sudah dipilih Neil Amstrong yang dibantu Michael Collins dan Edwin Aldrin. Dalam persiapan itu dari sejumlah elemen-elemen bumi, hanya elemen musik yang belum dipilih. Kandidat musik yang akan dibawa ke bulan adalah musik klasik (pemilik portofolio tertinggi). Sejak itulah musik dunia, musik klasik diperdengarkan di bulan. Apa hasilnya? Tidak pernah dilaporkan. Lantas bagaimana dengan musik tradisi kita macam gamelan, degung dan gondang? Tentu saja tidak diperhitungkan. Akan tetapi, bumi terus berputar mengelilingi matahari dan bulan mengelilingi bumi hingga ini hari. Sementara di bumi, kehidupan berputar bagai roda pedati ada kalanya di bawah dan ada juga waktunya di atas (exchange: take and give). Hukum alam perputaran terus bekerja yang dalam bahasa bumi diatur oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan (Invisible Hands). Semakin kencang tingkat perputaran (exchange) itu, putarannya seakan diam (seakan tidak berputar). Situasi inilah yang disebut titik keseimbangan (equilibrium) yang baru. Pada era dunia maya yang sekarang akan terbentuk ekuilibrium yang baru, tidak terkecuali dalam hal musik. Musik klasik adalah masa lampau, musik pop akan segera berakhir dan musik tradisi akan eksis di masa dekat (ingat Javaansche Rhapsody door Paul Seelig lebih dari satu abad yang lalu, 1909). Dalam soal musik tradisi, Alip Ba Ta telah memulainya. Leader tidak lagi ditentukan oleh tingkat portofolio yang tinggi tetapi sangat ditentukan oleh talenta (bakat-bakat yang tidak kelihatan). Dalam bahasa viral, untuk menciptakan pesawat terbang di udara tidak hanya insinyur.

Pada masa lampau, pemusik (musisi) kita cenderung follower. Arus utama musik dunia adalah musik Eropa/Amerika, sebut saja misalnya musik klasik, musik blues dan musik rock. Musik kroncong produk asli Indonesia sulit bersaing dengan musik-musik yang telah mendunia tersebut. Alih-alih memajukan musik kroncong, justru pemusik kita hanyut dengan musik-musik Eropa/Amerika. Meski demikian (cara belajar meniru), faktanya itulah awal musik modern Indonesia. Dari proses peniruan itu, lahirlah penyanyi-penyanyi berbakat dan muncul grup-grup band seperti Koes Plus, AKA Group, The Mercy’s, The Lloyd, Panber's, Bimbo dan sebagainya. Di antara genre-genre musik yang populer terselip satu genre musik produk alam Indonesia, yakni dangdut. Lantas bagaimana itu semua terjadi secara estafet hingga kita menemukan leader musik Indonesia Alip Ba Ta? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.    

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Fase Transisi Musik Modern Indonesia: Dari Musik Kroncong ke Musik Hawaian

Rekaman musik-musik Barat sudah sejak lama beredar di Hindia. Ini sehubungan dengan diperdagangkannya alat pemutar gramofon. Untuk memenuhi tujuan segmen masyarakat tertentu (pribumi dan Timur Asing) lalu muncul perekaman musik-musik non Barat seperti musik kroncong dan musik gambus. Perkembangan perekaman musik semakin semarak sehubungan dengan muncul berbagai (siaran) radio amatir di sejumlah kota. Lebih-lebih setelah beroperasi stasion radio telegrafi Malabar, Bandoeng tahun 1923. Stasion radi Malabar ini memungkinkan komunikasi radio terhubung antara Hindia dan Belanda/Eropa.

Grup musik di Jawa, 1870
Di Batavia didirikan perusahaan rekaman Electric Recording Yokintjam di bawah Toko Populair di Pasar Baroe milik Yokintjam. Satu yang penting dari rekaman produksi Yokintjam ini adalah musik/lagu bergenre kroncong berjudul Indonesia Raja karya WR Soepratman. Rekaman ini diedarkan pada tahun 1927. Lagu inilah yang kelak dijadikan (dimodifikasi) menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

Dalam perkembanganya pemerintah memberikan konsesi kepada swasta untuk menyelenggarakan penyiaran radio secara nasional. Lalu pada tahun 1929 terbentuk radio NIROM. Pemilikan radio penerima masih terbatas pada orang-orang Eropa dan orang-orang kaya pribumi dan Timur Asing. Penjualan radio secara massal baru terjadi pada tahun 1933. Pemilik radio semakin banyak dan kemudian pada tahun 1933 terbentuk asosiasi pendengar radio.

Soerabaijasch handelsblad, 23-04-1934
Asosiasi pendengar radio adalah para pendengar radio yang dihitung berdasarkan kepemilikan radio. Setiap pemilik radio dikenakan pajak. Berdasarkan listing kepemilikan radio ini menjadi dasar munculnya asosiasi pendengar radio. Sementara itu stasion radio-radio swasta harus berafiliasi dengan sisaran radio nasional (NIROM).

Para pendengar radio tidak bisa menuntut layanan radio kepada radio-radio swasta. Para pendengar hanya bisa menuntut layanan radio kepada radio NIROM (yang dinaungi oleh pemerintah). Pada tahun 1934 muncul protes dari para pendengar radio karena layanan radio swasta dan radio NIROM tidak mempertimbangkan para pendengar pribumi dan Timur Asing. Program-program musik dan nyanyian hanya menyiarkan musik/lagu Eropa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1934). Protes ini kemudian diadopsi oleh manajemen radio NIROM. Sejak inilah musik pribumi mulai diperdengarkan di radio, suatu era baru perkembangan meluasnya musik pribumi.

Berdasarkan  daftar acara/radio yang diberitakan di surat kabar, musik-musik yang disiarkan selain musik dan nyanian Barat adalah musik kroncong dan musik gambus. Salah satu orkes gambus terkenal adalah orkes pimpinan Sech Albar (kakek Rocker Indonesia Achmad Albar). Sementara orkes musik kroncong adalah Populair Orchest yang dipimpin oleh Achmat Bandoeng (dari label Toko Populair).

Grup musik di Sipirok, 1880
Lalu dalam perkembangannya ragam musik non Barat sudah terdeteksi seperti musik gamelan (Jawa), musik Soenda, musik Batak. Dalam perkembangannya nama grup musiknya mulai dikedepankan seperti Populair Orchest (musik kroncong) dan Sech Albar Orchest (musik gambus). Grup-grup musik pribumi hanya terdeteksi Jong Batak Orchest (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-08-1937) dan grup musik Batak lainnya Orchest Andalas (lihat De Indische courant, 28-01-1938 dan De Indische courant, 30-11-1939). Musik-musik Jawa (gamelan) dan Soenda (degung) hanya bersifat anonim.

Grup musik di Sipirok, 1928
Salah satu anak Batak yang lahir sebagai musisi dari Jong Batak adalah  bermarga Tobing. Dialah yang kerap mengaransemen musik tradisi Batak di lingkungan Jong Batak. Masih muda dan sangat berbakat. Nama grup musik tradisi merupakan bagian dari organisasi Jong Batak dan namanya pun ‘Jong Batak’ di bawah pimpinan Mr. Tobing. Pementasan pertama grup ini direkam, dan disiarkan pada tanggal 27 Agustus 1937 pukul 19.15 dibawah tajuk Bataksche muziek oleh tiga radio bersamaan: Bandoeng II gel. 103, Batavia II gel. 190 dan PMH 1,5 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-08-1937). Mr. R. Tobing pimpinan musik tradisi Batak bernama Jong Batak ini bukanlah Gordon Tobing. Sebab Gordon Tobing (yang kelak menjadi musisi Batak terkenal) baru berumur 12 tahun dan masih tinggal bersama orang tuanya di Medan.

Nyanyian (lagu) pribumi yang dibawakan oleh penyanyi (yang tentu saja diiiringi musik) yang pertama muncul adalah nyanyian (liedren) dari Sipirok yang disiarkan oleh Raduio NIROM Bandoeng II, Batavia II dan PMH (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-09-1939). Ini satu indikasi bahwa para penyanyi (vokal) mulai lebih ditonjolkan. Para vokalis mulai muncul diantara para musisi-musisi. Nyanyian-nyanyian (vokal) Eropa/Belanda sudah sejak lama disiarkan.

Program radio NIROM tahun 1939 ini di bawah tajuk ‘Liederen uit Sipirok’ (nyanyian dari Sipirok) memperdengarkan musik tradisi Batak yang lebih baik sistem perekamannya (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie. 06-10-1939). Besar kemungkinan rekaman ini berasal dari grup musik dan vokal grup anak-anak Sipirok di Batavia. Dalam waktu singkat sejak 1937, musik tradisi Batak dan vokal grup telah menjadi bagian penyiaran radio yang telah menghibur tidak hanya warga Batak tetapi juga lainnya. Musik tradisi Batak di radio masih eksis hingga terjadinya invasi Jepang ke Nederlandsch Indie 1942.

Pada era pendudukan militer Jepang, musik dan lagu (nyanyian) Indonesia menjadi pengganti musik/lagu Eropa/Belanda. Para adiministratur militer Jepang juga di sana-sini memasukkan musik/lagu Jepang. Lagu kebangsaan Jepang selalu menjadi pembuka setiap siaran di pagi hari. Radio militer Jepang di Indonesia ini adalah hasil pengambilalihan radio nasional di era Belanda, NIROM.

Nieuwe courant, 02-07-1948
Tidak banyak informasi dan keterangan mengenai musik dan nyanyian di era pendudukan militer Jepang. Yang cukup berkembang adalah senia sastra. Meski demikian, musisi-musisi Indonesia terus bertambah. Radio militer Jepang hanya sekadar menjadi radio propaganda pemeritahan militer Jepang. Pun demikian informasi dan keterangan mengenaio musik dan nyanyian Indonesia di era perang kemerdekaan juga kurang terinformasikan. Dan baru terberitakan satu diantaranya pada tahun 1948 The Timor Rhythm Brothers (lihat Nieuwe courant, 02-07-1948).

Indonesian Rhapsody Memperkaya Musik Barat

Setelah kemerdekaan Indonesia dan semasa perang kemerdekaan Indonesia juga gaung musik Indonesia hanya sayup-sayup, Namun di Soerabaja diketahui telah muncul grup musik (band) pop keluarga (Herman) Tielman. Grup ini membawakan genre musik tradisi dengan balutan musik Barat dan Hawaiian. Selepas perang kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, grup musik keluarga Tielman pindah ke Belanda.

Penyanyi dan musisi asal Indonesia (lahir di Indonesia), selain grup musik keluarga Tielman juga muncul grup musik lainnya seperti The Black Arrows, The Blue Diamonds dan Daniel Sahuleka. Tentu saja ke dalam daftar ini masih dapat dimasukkan generasi kedua di Belanda (lahir di Belanda) seperti Eddie van Halen dan Alex van Halen. Tentu saja ada juga generasi kedua di Jerman, Belgia dan Amerika Serikat. Hah!  Di antara para musisi-musisi beradarh Indonesia tersebut tentu saja ada yang menyanyikan lagu-lagu Indoenesia dengan sentuhan pop Barat, ada juga yang hanya sekadar memasukkan elemen musik Indonesia (musik tradisi), dan tentu saja diantaranya tidak lagi mengenal musik Indonesia tetapi di dalam memainkan musik mereka masih mengalir darah Indonesia dengan jari-jari yang lincah pada permainan gitar. Secara teoritis, cara bermain musik juga diturunkan secara genetik. Coba perhatikan cara bermain gitar Eddi van Halen (yang bersifat unik dibandingkan dengan pemusik-pemusik asli Eropa dan Amerika Serikat). Untuk soal ini tidak usah jauh-jauh. Perhatikan diri kita sebagai penikmat musik ketika merespon musik (apa pun musiknya) selalu darah kita bergetar (sangat menikmati nuansa musiknya). Itu adalah cerminan genetik asli Indonesia (yang terbentuk ratusan tahun melalui musik tradisi yang kaya). Para ahli musik dan musisi dunia seperti Paul Seelig (1909) kelahiran Hindia dan Dr. Karl Halusa (1934) kelahiran Austria telah mengakui itu.  

Grup musik keluarga Tielman ini awalnya bernama The Timor Rhythm Brothers yang personilnya empat anak laki-alki dari Tielman. Band ini semakin mendapat pengakuan ketika Belanda/NICA berkuasa kembali, Herman P. Tielman sebelumnya adalah seorang KNIL yang menyukai musik. Pada tahun 1949 saudara perempuan dari personil band The Timor ini bernam Jane ikut bergabung dan melakukan tour pertama ke Indonesia Timur seperti Koepang dan Makassar. (lihat Nieuwe courant, 23-04-1949).
Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-03-1950

The Timor Rhythm Brothers di bawah naungan label Niwa Niwim melakukan tour keliling Sumatra Timur termasuk Medan awal tahun 1950 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-03-1950). Disebutkan pada pertunjukan terakhir di Medan band lima bersaudara itu sukses. Papa dan Mama Tielman juga hadir dalam pertunjukkan dua setengah jam itu. Personil Reggy 14 tahun pada gitar, Ponthon berusia 12 tahun pada bas, Andy 10 tahun pada gitar, Loeloe 8 tahun pada drum dan Jany 7 tahun. Dalam pertunjukan itu Papa Tielman bagai seorang virtuoso sejati pada banjo dan gitar, Pada parus pertama musik-musik Indonesia dan paruh kedua dengan musik Barat. Loeloe kecil juga memainkan solo drum dan Andy juga bermain solo gitar serta Reggy sang pemimpin juga memainkan banjonya. Tidak ketinggalan sebagai bintang se kecil Jany yang bernyani dan juga dengan penampilan ukulelenya.

Group band The Tielman Brothers boleh jadi adalah band pertama yang telah melakukan banyak perjalanan tour ke berbagai daerah. Dalam perkembangannya group band ini diketahui telah berada di Belanda dan tampil di acara televisi akhir pekan (lihat  Nieuwsblad van het Noorden, 23-01-1960). Dalam perkembangannya di Belanda, grup musik The Tielman Brother sangat sukses. Dalam hal ini, keluarga Tielman adalah satu contoh mengenai pemusik Indonesia di manca negara. Kedalam daftar ini dapat kita sebut Daniel Sahuleka dan bahkan Eddi van Halen (Grup musik rock Van Halen).

Eddie van Halen
Ayah Eddi van Halen adalah seorang musisi. Ketika bermain musik di Indonesia pada era kolonial, Jan Van Halen (berdarah campuran Belanda-Swedia) bertemua sang ibu seorang Indo (Belanda-Indonesia) di Rangkasbitung, Banten. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, orang tua Eddi van Halen pindah ke Belanda dimana Eddie van Halen lahir pada tahun 1955. Pada tahun 1962 saat Eddie van Halen berusia tujuh tahun, keluarganya hijrah ke Amerika di Pasadena, California. Ibunya Eugenia van Beers terus mendorong Eddie dan abangnya Alex van Halen untuk bergiat berlatih musik. Akhirnya Eddie dan Alex membentuk grup band yang kemudian terkenal dengan nama band Van Halen.

Pada tahun 1963 Tielman Brother sudah cukup terkenal di Jerman (lihat Trouw, 06-03-1963). Saat Tielman Brother terkenal di Jerman, sebaliknya grup yang terkenal di Belanda adalah grup terkenal The Black Arrows. Personil grup band The Black Arrows terdapat tiga bersaudara yakni Rinaldo, Jhonnie dan Casper Anthonio. Satu personil lainnya adalah Raoul Groen. Sebelum dua drup ini eksis sudah terlebih dahulu eksis duo Indo dengan nama grupnya The Blue Diamonds.

Trouw, 06-03-1963
Tiga bersaudara Anthonio ini, seperti Tielman Brother, juga berasal dari Indonesia (lihat Trouw, 06-03-1963). Namun tidak dijelaskan dari daerah atau kota mana mereka berasal. Johnny Anthonio yang berusia 20 tahun, bermain dengan sologitaar, sementara Casper Anthonio dengan slaggitaar, sedangkan Rinaldo Anthonio dengan basgitaar. Tiga bersaudara ini lahir di Indonesia. Keluarga mereka datang ke Belanda pada tahun 1949. Grup band The Black Arrows mendapat liputan yang luas pada debut mereka dan telah menghasilkan sejumlah hit dan tergolong grup band terkenal di Belanda. The Black Arrows masih eksis hingga tahun 1970an.

Het Parool, 20-11-1959
Satu lagi grup musik yang perlu mendapat perhatian adalah The Blue Diamonds. Grup musik ini kali pertama diberitakan di Belanda pada tahun 1959 (lihat Nieuwsblad van het Noorden, 02-11-1959). Grup musik ini disebutkan tampil cukup baik di acara televisi akhir pekan. Menurut De waarheid, 02-11-1959 debut duo ini telah mengubah streotif bermain gitar yang seimbang dengan vokal. Selama bulan November 1959 duo Indo ini banyak mendapat liputan dan ulasan media-media di Belanda. Grup musik ini berawal dari dua Indo bersaudara Ruud de Wolff (lahir1941) dan Riem de Wolff (lahir 1943) di Batavia/Djakarta yang pindah ke Belanda tahun 1949 mengikuti orang tua mereka. Setelah 10 tahun di Belanda dan tampil di televisi, grup dengan personel utama dua Indo ini tidak terbendung dengan rekaman mereka dimana lagu Ramona menjadi hit di Eropa dan Amerika. Ingat nama judul ini ingat juga nama penyanyi Indonesia Ramona Purba yang membawakan lagu-lagu yang mirip lagu-lagu yang dibawakan oleh The Blue Diamonds. Duo Indo van Driebergen, Utrecht yang mirip The Everly Brothers ini pernah tampil di Indonesia. Het Parool, 20-11-1959.

De Telegraaf, 27-02-1960
Satu yang unik dari eksistensi duo Indo The Blue Diamonds ini adalah secara tidak sengaja terdapat kemiripan dengan duo Amerika yang terkenal The Everly Brothers (lihat De Telegraaf, 27-02-1960). Disebutkan setelah terdengar kabar The Everly Brothers melejit di Amerika muncul gagasan dari produser di Belanda untuk membuat duo Belanda yang mirip The Everly Brothers. Tidak hanya itu producers Belanda juga ingin membuat seperti penyanyi solo terkenal di Jerman, Conny Froboess. Namun proyek ini gagal di pasar dan tidak bisa menarik para remaja Belanda. Saat kekosongan inilah muncul nama The Blue Diamonds yang memang mirip dengan The Everly Brothers yang dengan cepat menarik perhatian remaja Belanda. Seperti disebutkan, melejitnya The Everly Brothers karena para remaja berbeda  dengan penggemar Elvis Prcsley yang naik daun di Amerika, tempat dimana anak laki-laki dengan rambut panjang dan cambang serta suara-suara berat. The Everly Brothers muncul dengan suara lembut mereka di Amerika. Remaja mendapat idola baru yang juga menjalar ke Belanda. Sekali, lagi para producers Belanda gagal mengadaptasi keberhasil The Everly Brother Amerika di Belanda. Kini, remaja Belanda telah menemukan idola baru di Belanda, duo Indo The Blue Diamonds. Seperti kata pepatah: ‘memang suara dan jari-jari memainkan gitar ada genetiknya dan kuping tidak bisa ditipu’. The Blue Diamonds bukan produk instan tetatp bakat alamiah van Indonesia.

Tielman Brother kembali tampil di televisi sebagaiman terlihat dalam program acara televisi di surat kabar (lihat De Telegraaf, 13-08-1965). Lagu-lagu Tielman Brother masuk dalam Top 40.

Fase Adopsi Musik Barat: Klasik dan Latin

Pasca pengakuan kedaulatan RI (Desember 1949) dunia musik Indonesia berada dalam ketidakteraturan. Bajak membajak terjadi. Hal ini karena lagu-lagu pop Indonesia mulai menjamur untuk memenuhi kebutuhan publik/pasar yang semakin bergairan. Tentu saja kebutuhan radio-radio untuk mengisi acara/programa musik. Pengaturan hak cipta untuk lagu-lagu baru belum ada. Melihat banyak pelanggaran hak cipta, pada tahun 1950 seorang komponis Batak bernama R. Tobing merasa kesal dan meminta perhatian agar para composer mendapat perlindungan atas ciptaan mereka. Para musisi berkumpul di Bandoeng.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode,16-08-1950: ‘Untuk melindungi komposer Indonesia diperlukan pendirian lembaga tersendiri agar karya musik terlindungi. Sejumlah composer berkumpul di Bandung. Seorang pianis terkenal di Singapura dan komposer dari lagu Indonesia modern, telah tiba di Jakarta dan telah menghubungi berbagai pihak berwenang untuk mendirikan sebuah perusahaan penerbitan karya musik Indonesia di Bandung. Menurut Mr Tobing penerbit ini akan muziek kontemporer Indonesia akan menjamin hak cipta dari komposer. Menurut Tobing, bahwa komposisi yang dibuat sang pencipta karena kebanyakan dari mereka tidak pernah menulis di atas kertas, sering dimainkan secara sewenang-wenang tanpa persetujuan dari komposer yang bersangkutan. Bahkan sering terjadi, kata Mr Tobing yang karya musik yang dimainkan (siaran radio dan film) tanpa menyebutkan nama penulis. Terlepas dari isu karya-karya ini akan mendirikan studio musik di Bandung, yang tugasnya adalah untuk memberikan komposisi dari pengaturan yang diperlukan. Ini adalah niat untuk melakukan musik modern berbasis teknologi Barat, sehingga dapat dimainkan oleh orkestra di luar negeri, kata Mr Tobing. Pelaksanaan rencana ini akan segera menjadi konferensi di Bandung oleh komposer Indonesia, yang membahas masalah di atas. Komponis berbagai genre musik akan diundang ke konferensi ini’.

Siapa Mr. R Tobing belum diketahui secara jelas. Apakah R Tobing adalah pimpinan grup musik tradisi Jong Batak atau R. Tobing adalah seorang anak Medan yang selama pendudukan militer Jepang hingga agresi militer Belanda merantau dan menetap di Singapora? Juga belum jelas. Namun melihat posisinya dalam pertemuan musik di Bandung dan gagasannya soal hak cipta bukanlah pemusik biasa. Lantas pertanyaannya, apakah R. Tobing ayah dari Gordon Tobing, penyanyi yang mulai kesohor dari grup musik ‘Sinondang Tapanoeli’?

Pada tanggal 31 Mei 1952 Radio Jakarta (RRI Jakarta) pukul 22.10 mengumandangkan suara Gordon Tobing di bawah label Sinondang Tapanoeli (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 31-05-1952). Kemudian nama Gordon Tobing terdeteksi lagi di Radio Jakarta I dan Radio Jakarta II tanggal 1 November 1952 siaran pukul 21.15. Gordon Tobing kembali dengan grup Sinondang Tapanoeli (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-11-1952). Lalu tanggal 3 November Gordon Tobing kembali muncul, di Radio Jakarta III siaran pukul 22.15 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-11-1952). Gordon Tobing lahir di Medan, 25 Agustus 1925 adalah anggota grup musik Sinondang Tapanoeli, yang secara defacto adalah sanggar musik dan vokal grup yang umumnya terdiri dari anak-anak Sipirok. Grup musik Sipirok di Djakarta ini sudah eksis sejak era kolonial Belanda.

Pada awal pengakuan kedaulatan Indonesia ini, hanya penyanyi Gordon Tobing yang segera muncul ke permukaan. Gordon Tobing membawakan lagu-lagu Batak berirama rumba dan sebagainya. Lagu-lagu Batak tidak hanya di radio tetapi juga hadir di dalam pertemuan-pertemuan tertentu.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 02-01-1953: ‘kemarin warga Batak berkumpul di Concordia untuk merayakan tahun baru. Lebih dari dua ribu pengunjung yang hampir semuanya warga Batak di Bandung. Menurut adat, na.poso-bulung (laki-laki dan perempuan muda yang belum menikah) bertugas untuk menyiapkan kelancaran acara. Acara ini diselingi dengan nyanyian para muda-mudi. Mr. P. Harahap, ketua Komite Persiapan, dalam sambutannya mengatakan: Pertemuan ini adalah salah satu faktor dimana warga Batak untuk terus mengikat ke unit kohesif. Kami memiliki tradisi kuno dan budaya kuno Batak: termasuk aksara sendiri, bahasa sendiri, musik sendiri, tarian sendiri. Kami sudah berbaur dengan pengaruh asing, tetapi kami juga masih perlu untuk sekali-sekali untuk bisa kembali ke tanah air kami (kampong halaman)’. Catatan: Ketua komite persiapan dalam kegiatan ini adalah Ponpon Harahap, mahasiswa Institut Teknologi Bandung.

Tentu saja selain Gordon Tobing, juga muncul penyanyi-penyanyi baru seperti Mien Sondakh, Ade Ticoalu, Rose Sumabrata dan Dien Jacobus. Namun  penyanyi yang mendapat liputan luas adalah Gordon Tobing. Bahkan Gordon Tobing dan orchest kerap diundang ke istana.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 15-09-1954 (Presiden menerima bintang radio): ‘Senin pagi, Presiden dan Nyonya Sukarno, menerima peserta dalam pemilihan bintang radio 1954 di istana. Pada pertemuan ini atas permintaan Mrs. Soekarno untuk menyanyikan lagu berjudul ‘Alam Desa’ yang dinyanyikan oleh Gordon Tobing dan kemudian bersama-sama. Mien Sondakh dan Ade Ticoalu menyanyikan lagu berjudul ‘Njiur Melambai’

Gordon Tobing tidak terbendung. Gordong Tobing telah memiliki grup musik sendiri. Presiden kerap mengundang grup Gordon Tobing (Impola) manggung di istana ketika ada acara penerimaan tamu asing. Grup Impola Gordon Tobing juga beberapa kali termasuk dalam rombongan Presiden ketika berkunjung ke luar negeri.

Pada bulan April 1954, grup Sinondang Nauli dengan suara (vokal) Gordon Tobing secara mengejutkan disiarkan oleh Radio Nederland gel. 16.88, 19.45 en 19.71 pada pukul 20.30 (lihat De nieuwsgier, 29-04-1954). Pada bulan Juli 1954 suara Gordon Tobing muncul kembali di Radio Jakarta III, namun kali ini tidak disebutkan mewakili SinondangTapanoeli tapi dibawah judul: Zang door Gordon Tobing (Nyanyian oleh Gordon Tobing). Berita ini terdapat dalam jadwal programa radio De nieuwsgier edisi 24-07-1954. Ketika nama Gordon Tobing tidak mewakili Sinondang Tapanoeli (menjadi solo karir), maka grup musik Batak ini berubah nama menjadi Orkest Sinondang Sipirok. Grup musik Sinondang Sipirok tampil di RRI Djakarta tanggal 21 Juli 1954 dengan penyanyi R. Batubara (lihat  De nieuwsgier, 21-07-1954). Tiga hari kemudian nama Gordon Tobing secara solo (tanpa diiringi oleh Sinondang) juga muncul di RRI.

Gordon Tobing semakin kerap tampil secara solo di radio. Ini yang terjadi sebagaimana dilaporkan De nieuwsgier, 21-09-1954 bahwa Gordon Tobing di  Radio Jakarta III mebawakan lagu-lagu yang diiringi oleh piano Sudharnoto. Adakalanya Gordon Tobing berduet dengan penyanyi lain. Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-11-1954 memberitakan Rose Sumabrata dan Gordon Tobing berduet. Gordon Tobing kembali ke istana dalam suatu pesta yang dihadiri oleh Presiden Soekarno. Artis utama tadi malam adalah Gordon Tobing dan Bing Slamet (lihat De nieuwsgier, 08-12-1954).

Pada tahun 1955 muncul kali pertama majalah olah raga dan musik (besar kemungkinan yang pertama ‘majalah musik ‘di Indonesia). Majalah mingguan ini tidak terbit di Djakarta, tetapi majalah ini terbit di Medan dibawah pimpinan Emir Sipirok dan diterbitkan oleh Syarikat Tapanuli. Majalah ini berisi publikasi olahraga dan music serta film (Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-08-1955).

Emir Sipirok adalah ketua PWI Medan. Berprofesi sebagai wartawan dan fotografer. Pada tahun 1956 Emir Sipirok diundang oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk berkunjung ke Amerika Serikat dalam kaitan orientasi pengembangan pers, Emir berangkat dari Batavia via Australia. Kemudian pulangnya melalui Belanda (juga diterima selama sepuluh hari oleh pers Belanda)  Emir Sipirok, ketua klub Medan Press (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-02-1956). Keberangkatan Emir ke Amerika Serikat adalah bagian dari program pemerintah Amerika Serikat dalam pengembangan pers Indonesia. Sejumlah wartawan Indonesia yang diundang selain Emir dan Mochtar Lubis (pemimpin surat kabar Indonesia Raja).

Gordon Tobing terus meroket dan tidak tertandingi oleh grup vocal manapun di Indonesia. Gordon Tobing memang berada di jalur pop, tetapi bukan berarti tidak pernah terlibat dalam musik tradisi Batak. Sebagaimana Nahum Situmorang, di jalur pop tetapi juga masih menyukai musik tradisi Batak. Musik tradisi Batak pada dasarnya adalah suatu band yang berbasis ensambel gondang dan ensambel gong. Dua instrumen musik ini pada awalnya di jaman kuno menjadi alat komunikasi dalam religi yang dalam perkembangannya disandingkan dengan istrumen tradisi lainnya sehingga terbentuk band (musik tradisi Batak). Di dalam tradisi band inilah Nahum Situmorang dan Gordon Tobing mencuat ke permukaan sebagai musisi dan penyanyi pop.

Sementara Gordon Tobing terus berkibar pada tahun 1955 dan 1956, musik tradisi Batak kembali muncul di udara Jakarta dalam program acara Radio Jakarta. Selama tahun 1955 diantaranya: Sinondang Sipirok (De nieuwsgier 28-01-1955); Sinonadang Sipirok (De nieuwsgier 05-03-1955); Sinonadang Sipirok (De nieuwsgier 05-05-1955); ‘Oening-oeningan Batak’ (De nieuwsgier 09-04-1955); ‘Tumba Batak’ (De nieuwsgier, 08-08-1955) 19.20 Tumba Batak; ‘Kesenian Batak: Nauli Bulung’ (De nieuwsgier, 18-08-1955); ‘Orkes Jajasan Kebudajaan Batak’ (De nieuwsgier, 27-10-1955); ‘Tumba Batak’ (De nieuwsgier, 15-02-1956); ‘Ketjapi Batak’ (De nieuwsgier, 25-04-1956); Sinondang Sipirok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-07-1956). Namun di tahun 1957 musik tradisi Batak kembali sunyi, tetapi Gordon Tobing masih terus eksis di radio

Salah satu hasil rekaman suara Gordon Tobing dengan grup baru Impola (lagu-lagu rakyat) beredar secara luas pada tahun 1970an. Rekaman dan distribusinya dilakukan oleh Media Record. Lagu-lagu rakyat dalam rekaman ini oleh Gordon Tobing dengan suara Impola terdiri dari: (1) Soleram, (2) Mardalan ahu marsada-sada, (3) Mariam tomong, (4) Sajang dilale, (5) Terkenang tanah airku, (6) Sigulempong, (7) Inang sarge, (8) Kaparinjo, (9) Butet, dan (10) Tao na tio.   

Fase Perkembangan Musik Pop Indonesia: Blues dan Rock

Ada kesinambungan musik tradisi Batak ke musik pop (Indonesia dan daerah) hingga pada waktu nanti munculnya musisi dan penyanyi baru seperti lahirnya grup musik AKA dan Panber’s di Surabaja serta The Mercy’s di Medan. Sementara Gordon Tobing masih berkibar bermunculan musisi-musisi dan penyanyi-penyanyi lainnya.

Penyanyi generasi baru antara lain adalah Tetti Kadi dengan hitnya Sepanjang Jalan Kenangan dan Teringat Selalu; Erni Djohan dengan hitnya Teluk Bayur dan Kau Selalu Dihatiku; Rahmat Kartolo dengan hitnya Patah Hati; Titiek Puspa; Lilies Suryani dengan hitnya Gang Kelintji; Anna Mathovani. Para musisi seperti A Riyanto. Grup musik seperti Zaenal Combo, Koes Bersaudara, Sabda Nada (Keenan, Odink dan Debby Nasution). Perusahaan rekaman seperti Remaco.

AKA Group, Panber’s, The Mercy’s bersama sejumlah grup musik baru membuat semarak musik Indonesia pada tahun 1970an, seperti Koes Ploes, Dlloyd dan Bimbo.

AKA Group Soerabaja bertumpu pada Andalas Datu Oloan Harahap alias Ucok AKA. Sedangkan Djakarta Lloyd (Dlloyd) dengan personel Sjamsuar Hasjim, Bartje Van Houten, Andre Gultom, Chairoel Daud, Buddiman Pulungan dan Sangkan Panggabean.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Fase Kreasi Musik Indonesia: Musik Dangdut dan Modernisasi Musik Tradisi (New Rhapsody)

Sementara musik dan lagu pop Indonesia dan musik dangdut terus berkembang, satu yang penting dari fase terakhir ini adalah muncul gagasan musik kreatif dan modernisasi musik tradisi. Perkembangan musik tradisi ini anehnya juga munculnya perhatian pemusik atau ahli musik asing. Ini seakan era Paul Seelig seakan timbul kembali. Paul Seelig pada tahun 1909 menciptakan karya musik tradisi (gamelan) dan musik Barat yang disebutnya Javaansche Rhapsody.  

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar