Laman

Rabu, 17 Juni 2020

Sejarah Lombok (9): Sejarah Praya, Tengah Pulau Lombok; Ampenan (Bali Selaparang) versus Labuhan Haji (Lombok Selaparang)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Bagaimana cara memahami sejarah Praya, tentu tidaklah mudah. Hal ini karena Praya di tengah, jauh di pedalaman. Hal ini berbeda dengan sejarah Selong dan Laboehan Haji di timur dan sejarah Mataram dan Ampenan di barat. Praya seakan tersembunyi di lembah Lombok uang subur. Praya adalah tempat di tengah-tengah Tanah Lombok yang subur yang tidak pernah kekurangan air untuk pertaniannya. Wilayah Praya (yang kini menjadi ibu kota kabupaten Lombok Tengah) adalah permadani ekonomi di Lombok (yang memasuk sebagian besar produk perdagangan ke Ampenan dan Laboehan Hadji).

Pelabuhan-pelabuhan di pulau Lombok dari masa ke masa
Pada saat Cornelis de Houtman berkunjung ke Lombok pada tahun 1597 di kampong Lombok yang menjadi kota pelabuhan di teluk Lombok, pelabuhan ini besar dugaan satu-satunya di (pulau) Lombok. Lalu pada awal era VOC, pedagang-pedagang Eropa-Belanda meramaikan Ampenan yang menjadi pelabuhan baru di barat Lombok. Dua pelabuhan ini adalah pelabuhan terbaik di jalur pelayaran Eropa-Belanda dari Batavia ke Banda. Dua pelabuhan ini terbentuk ke arah selatan pulau karena tempat-tempatr di pantai utara tidak bisa dijadikan pelabuhan (besar) karena angin dan ombak yang besar menghantam pantai. Dalam perkembangannya para pedagang-pedagang VOC lebih menyukai membuang jangkat di arah selatan (kelak Laboehan Hadji). Hal ini karena Laboehan Lombok tidak terlalu dalam. Meski teluk Pidjoe di selatan lebih baik namun karena terlalu jauh dari jalur pelayaran di pantai utara, Laboehan Hadji yang terus berkembang. Hal yang sama di pantai barat Lombok, pelabuhan Ampenan tidak selalu aman terutama pada musim badai, sehingga adakalanya kapal-kapal VOC berlabuh di Padang Rhea (tengah) dan yang lebih aman di selatan di Laboehan Tring (yang kini menjadi Pelabuhan Lembar). Pelabuhan Ampenan dan pelabuhan Laboehan Hadji meski tidak ideal tetapi kedua pelabuhan ini dapat dikatakan pelabuhan abadi (sepanjang masa). Tempat-tempat di pantai selatan tidak ditemukan tempat yang baik untuk kapal berlabuh karena tebing dan ombak yang besar, lagi pula jalur pelayaran (perdagangan) berada di pantai utara. Dalam konteks inilah Praya di tengah pulau Lombok tersembunyi (dari luar).

Oleh karena itu, sejarah Lombok tidak hanya dimulai di pantai (Ampenan dan Laboehan Hadji) tetapi juga di pedalaman (Praya). Namun persoalannya, bagaimana menemukan datanya. Itu satu hal. Hal lain yang lebih penting adalah seperti apa peran Praya dalam konstruksi sejarah Lombok. Banyak pendekatan yang dapat digunakan. Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah menemukan titik terpenting (ruang dan waktu) yang secara prospektif meneruskan garis sejarah ke masa depan (ke masa kini) dan juga melakukan retrospektif secara spasial ke masa lampau dengan merujuk pada perkembangan di pantai-pantai timur dan barat pulau Lombok. Nah, untuk menambah pengetahuan tentang sejarah Praya, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Ampenan: Laboehan Lombok dan Laboehan Pijoe

Hampir tidak ada dokumen (surat kabar, majalah dan dokumen pemerintah) yang mengindikasikan keberadaan Praja di Lombok. Keberadaan Praja bahkan tidak diidentifikasi oleh botanis Jerman Heinrich Zollinger ketika melakukan ekspedisi ke (pedalaman) pulau Lombok pada tahun 1847 (pasca Perang Bali: antara Pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan Boeleleng).

Heinrich Zollinger mengidentifikasi dua jalan utama dimulai dari Ampanan dan Mataram. Satu melintasi pulau dari barat ke timur, yakni setelah melewati Batu Kliang membentuk dua cabang, satu mengarah ke tenggra ke Pidjoe, yang lainnya ke timur ke (Laboehan) Lomlok. Di Kota Radja, cabang ketiga menuju ke timur laut terus ke Soembaloen.

Heinrich Zollinger boleh jadi lalai mengidentifikasi Praja karena dia tidak pernah ke Praja atau memang nama kampong Praja belum begitu penting jika dibandingkan dengan nama-nama kampong yang diidentifikasi Heinrich Zollinger.

Nama-nama kampong yang diidentifikasi Heinrich Zollinger adalah sebagai berikut: Ampenan, Mataram, Karang Assam, Pagassangan, Pagoetan, Pringa Rata, Batoe Kleang, Kotta Radja, Loijok, Lombok, Laboean Hadjie, Pidjoe, Soembaloen dan Soegian, Tandjong Karang, Padang Rhéa, Laboean Tring. (pulau) Trawangan dan Goenoeng Rata. . .

Tunggu deskripsi lengkapnya

Praja: Perang Lombok

Nama Praja baru meuncul pada tahun-tahun terakhir (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1892). Ini bermula karena banyaknya penduduk Sasak yang dimobilisasi Radja Bali Selaparang untuk berperang di Bali.

Perseteruan antar kerajaan di Pulau Bali, selalu berimbas ke kerajaan Bali Selaparang di Lombok. Meski memiliki garis leluhur yang sama, kerajaan-kerajaan di Bali seakan berlomba untuk menjadi penguasa tunggal. Game Theory yang berlaku. Ketika kerajaan Mangwi menyerang Gianjar, kerajaan Kloengkong mebantu Gianjar. Lalu kerajaan Karangasem Bali yang mendukung Mangwi akhirnya pecah perang antara Karangasem Bali dan Kloengkong. Karangasem Bali yang didukung kerajaan Bali Selaparang dapat menundukkan kerajaan Kloengkong. Sementara itu, pada tahun 1846 kerajaan Bali Selaparang justru membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam menghukum kerajaan Boeleleng yang didukung kerajaan Karangasem. Dalam hal ini di pulau Bali antar kerajaan tidak menyatu sama lain dan gampang berselisih. Sementara di pulau Lombok hanya ada satu interaksi langsung yakni hubungan panas dingin dari waktu ke waktu antara kerajaan Bali Selaparang dengan pemimpin (penduduk) Sasak.

Menurut laporan pemerintah keperawatan yang buruk dan nutrisi yang kurang menjadi tidak memadai di antara pasukan-pasukan dari penduduk Sasak mengakibatkan kematian yang luar biasa.

Kasus yang mirip pernah terjadi pada Perang Bali (1846-1849). Radja Karangasem memobilisasi warga pendatang yang berada di Bali (Boegis) untuk berperang dalam melawan ekspedisi militer Belanda. Sebelumnya, perempuan dan anak-anak telah diambil dan diisolasi di pegunungan dan diminta memilih berperang atau anak-istri terancam. Pasukan tak terlatih yang ditempatkan di garis depan menjadi korban perang.

Banyaknya korban perang pada penduduk Sasak menyebabkan munculnya kegelisahan dan kebencian diantara penduduk Sasak. Lantas mulai muncul pertempuran-pertempuran di pulau Lombok antara penduduk Sasak dengan pasukan-pasukan Bali Selaparang. Sejak inilah muncul nama Praja.

Orang-orang Muslim asli Lombok, yang disebut Sasak, menurut laporan sebelumnya sudah ada ketidakpuasan besar dengan penguasa Hindu mereka sebagai akibat dari rezim pemerintah yang keras (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1892). Disebutkan bahwa, terutama dalam beberapa tahun terakhir atas dorongan putra tertua pangeran, Anak Agong Made menjadi semakin terfermentasi dan ketika pelepasan kontingen prajurit baru diperintahkan, ini sudah cukup untuk memberontak di lanskap Praja. Namun Anak Agong Made bukannya mencoba bertindak dalam semangat berdamai dengan memeriksa dan menanggapi keluhan orang-orang Sasak, tetapi aksi terburu-buru Anak Agong Made, yang mengancam dengan menghancurkan segala sesuatu dengan api dan pedang, untuk dapat menundukkan pemberontakan, menyebabkan gerakan gerakan perlawanan menyebar ke seluruh lanskap Sasak (seluruh Lombok). Terlepas dari semua upayanya yang mendapat dukungan kuat yang diberikan kepadanya oleh para pangeran (kerajaan) Karang Asem, Anak Agong Made malah tidak berhasil mendapatkan kembali kendali atas wilayahnya, yang sebelumnya mencakup sebagian besar pulau Lombok. Menurut laporan dari pertengahan Mei kedua belah pihak masih saling berseberangan (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1892). Disebutkan pemimpin-pemimpin perlawanan di pihak Sasak adalah Goeroe Bangkol di lanskap Praja, Mamy Norsasay di lanskap Sakra dan Raden Pringga di lanskap Pringga Raja.

Pemberontakan Sasak telah memicu emosi pangeran Bali Selaparang hingga ke ubun-ubun. Pangeran ingin menghabisi penduduk Sasak yang memberontak. Sementara itu pasukan Sasak yang berhasil ditangkap sebanyak 300 orang di internir di pulau Trawangan tanpa diberi makan. Residen Bali en Lombok yang berkedudukan Boeleleng yang mendapat laporan menyurati pangeran Bali Selaparang namun tidak ditanggapi. Untuk mempercepat penghancuran penduduk Sasak yang berseberangan, pangeran Bali Selaparang telah meminta bala bantuan dari kerajaan Karangasem dan  mengirm sjahbadanr Ampenan untuk membeli kapal perang ke Singapoera.  Namun misi ini ditolak otoritas Inggris di Singapoera karena terikat perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda. Misi ini sepulangnya berhasil membeli dua kapal di Singapoera dengan diberi nama Sri Mataram dan Sri Tjakranegara yang di dalamnya dikendalikan oleh orang-orang Eropa. Melihat perkembangan situasi dan kondisi yang ada, Pemerintah Hindia Belanda telah melanggar beberapa perjanjian damai antara Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan Bali Selaparang kontrak politik tanggal 7 Juni 1843. Sehubungan dengan perjanjian-perjanjian damai, Pemerintah Hindia Belanda (melalui Residen Bali en Lombok) untuk menghentikan perang dengan Sasak dan mencaro solusi damai dan juga Pemerintah Hindia Belanda mendesak penghentian permusuhan antara kerajaan Karang Asem dan kerajaan Kloengkoeng yakni permintaan agar mengembalikan kepada pangeran Kloengkoeng dari wilayah Gianjar yang telah dirampas Karangasem sebagai solusi perdamaian di pulau Bali. Selain perang terhadap Sasak tidak dikomunikasi oleh pangeran Bali Selaparang (sesuai perjanian yang ada) Pemerintah Hindia Belanda juga keberatan dengan upaya pangeran Bali Selaparang untuk mengangkut pasukan dari Karangasem ke Lombok dengan menggunakan kapal-kapal Inggris Hal ini sama sekali tidak diizinkan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena ini menyangkut transportasi kebutuhan perang tanpa persetujuan sebagaimana dilarang dalam harus sesuai dengan larangan dalam Staatsblad 1876 No. 302, untuk menghindari munculnya bentrokan antara kapal-kapal sesama Eropa di lautan. Sebelumnya juga dipergoki kapal bongkar di Ampenan membawa senjata dan perlengakapan perang dari Singapoera, awalnya Bali Selaparang melakukan protes namun penyitaan ini tetap tidak digubris (karena dianggap pelarangan perjanjian impor barang kebutuhan perang).

Pemerintah Hindia Belanda mulai curiga, pangeran Bali Selaparang telah menutupi dengan rapi tentang perang dengan Sasak di pedalaman. Untuk mengetahui sesuatu tentang hal ini, Residen melakukan perjalanan di sepanjang Pantai Timur Lombok dan kemudian disusul oleh inspektur. Dalam kunjungan ini para pemimpin Sasak yang disampaikan dalam surat menyatakan keinginan mereka agar Pemerintah Hindia Belanda melakukan intervensi. Hasil kunjungan ini kemudian ditindaklanjuti inspektur untuk menemui pangeran Selaparang pada bulan Februari 1892. Lalu pada bulan Mei disepakati perundingan di Ampenan, tetapi pangeran Bali Selaparang tidak hadir. Perundingan ini dua agenda yakni konfirmasi terhadap pelanggaran perjanjian dan perturan perundangan yang diakui Bali Selaparang dan agenda mencari solusi perdamaian antara Bali Selaparang dengan penduduk Sasak. Semua jawaban dari Bali Selaparang pada tanggal 7 Juni, Residen menulis kepada raja bahwa ia tidak dapat puas dengan cara dimana pertanyaannya dijawab, dan bersikeras bahwa klarifikasi tersebut diberikan dalam waktu tiga hari jika pemerintah dapat menerimanya. Pangeran Bali Selaparang mulai tidak bisa mengendalikan diri, pintu belakang belum aman kita di pintu depan membuat masalah baru. Pemerintah Hindia Belanda berharap ada kedamaian antara Bali Selaparang dengan Sasak, sebaliknya pangeran Bali Selaparang mengabaikan Pemerntah Hindia Belanda dan penduduk Sasakan. Klarifikasi tidak pernah muncul lalu pada tanggal 12 Juni Residen Bali en Lombok akan menerapkan langkah-langkah pemaksaan lebih lanjut. Langkah pertama adalah menghalangi kapal Sri Tjakranegara untuk mengangkut pasukan Karangasem ke Lombok. Residen kemudian memgirim ultimatum yang harus dijawab dalam dua hari. Namun jawaban baru diterima tanggal 18 Juni yang isinya tidak memuaskan. Pemerintah Hindia Belanda sekarang berpikir terlalu lelah untuk menunggu dan melihat apakah penerapan tindakan pemaksaan yang terus-menerus akan memengaruhi pengaruh yang diinginkan pada Sasak (Lomboksche). Inilah awal terjadinya Perang Lombok (seperti dapat dilihat nanti berakhir pada bulan November 1895). Tampaknya Bali Selaparang lebih memilih mati dan hancur sekalian melawan gajah (Belanda) daripada hanya sekadar mendengar keluhan penduduk Sasak agar tercapai keadilan dan kedamaian di pulau Lombok.

Lanskap Praja dimana penduduknya telah disatukan oleh Goeroe Bongkol untuk berjuang melawan rezim Bali Selaparang telah membuka sejarah Praya untuk kali pertama. Sejak ini nama Praja mulai dikenal, suatu nama yang boleh jadi tersembunyi sejak lama di tengah pulau Lombok.

Bahkan pada saat kunjungan Heinrich Zollinger ke pedalaan pulau Lombok tahun 1847 nama Praja tidak dikenal. Baru pada tahun 1892 (awal Perang Lombok) diketahui keberadan Praja. Para pengeran Bali Selaparang menutup diri terhadap kehadiran orang Eropa-Belanda di pedalaman Lombok, lantas apakah kerajaan Bali Selaparang selama ini telah menutupi apa yang yang terjadi di (lanskap) Praja? Bahkan Heinrich Zollinger sendiri tidak mengetahuinya? Pemberontakan Sasak di Praja dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam analisis retrospektif tentang sejarah Praja. Sudah barang tentu nama Paraja bukan nama baru, tetapi boleh jadi nama tempat Praja sudah eksis sejak beberapa dekade atau sejak beberapa abad yang lampau.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Praja

Heinrich Zollinger (1847) tidak berhasil mengidentifikasi nama (kota) Praja. Lalu bagaimana dengan identifikasi Dr CJ Neeb dan Luitenant WE Asbeek Brusse dalam buku mereka yang terbit pada tahun 1897? Mereka berdua ini ikut berpartisipasi dalam Perang Lombok (1892-1897).

Sebelum Dr CJ Neeb dan Luitenant WE Asbeek Brusse menerbitkan buku mereka, situasi dan kondisi di pulau Lombok mulai digali dimana terdapat kota Praja yang dipublikasikan. Beberapa publikasi antara lain (1) Vragen van den dag; Populair tijdschrift op het gebied van staathuishoudkunde en staatsleven, natuurwetenschappen, uitvindingen en ontwikkelingen, aardrijkskunde, geschiedenis en volkenkunde, kolonien, handel en nijverheid, 1894; (2) De vrije kerk,1894; dan (3) Tijdschrift voor Neerland's Indie, berbagai edisi 1894 dan berbagai edisi 1895; (4) Het Oosten; wekelijksch orgaan der Weesinrichting te Neerbosch, 1894; (5) Militair weekblad, gewijd aan de belangen van sta..m berbagai edisi 1895 dan 1896; (6) De militaire gids, 1896; dan (7) Verslag over de burgerlijke openbare werken in...n 1896.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar