Laman

Rabu, 01 Juli 2020

Sejarah Lombok (25): Pelabuhan Lembar, Tempo Doeloe Namanya Laboehan Tring; Kini, Pelabuhan Terbesar di Pulau Lombok


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Dalam penulisan sejarah (pelabuhan) Lembar di (pulau) Lombok adakalanya ditulis kurang akurat dan justru membuat bingung, misal ‘awalnya pelabuhan Lembar ini berada di Ampenan’ (lihat Wikipedia) dan ‘Lembar, pelabuhan tertua di Nusantara (lihat Tempo.co). Sebaiknya penulisan dibuat menjadi: ‘awalnya pelabuhan Lombok di Ampenan, kemudian dipindahkan ke Lembar’ dan ‘Lembar, kini menjadi pelabuhan terbesar di Lombok’. Dengan penulisan yang tepat akan memancing minat pembaca untuk memahami sejarah (pulau) Lombok khususnya sejarah pelabuhan-pelabuhan di Lombok.

Laboehan Tring (Peta 1850)
Dalam sejarah (pulau) Lombok, terdapat sejumlah pelabuhan yang mengitari pulau. Pelabuhan pertama yang diidentifikasi adalah (pelabuhan) Lombok (di timur pulau). Keberadaan pelabuhan Lombok ini berada di teluk Lombok dicatat dalam ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman pada tahun 1597. Dalam peta-peta selanjutnya selain pelabuhan Lombok juga sudah diidentifikasi (pelabuhan) Laboehan Tjarik (di pantai utara Lombok)  Dalam perkebangan berikutnya diidentifikasi dua pelabuhan baru diidentifikasi, yakni pelabuhan Ampenan di pantai barat Lombok dan pelabuhan Pijoe di pantai tenggara Lombok. Karena berbagai alasan, pelabuhan Ampenan menjadi lebih populer dan menjadi pelabuhan terbesae. Sejajar dengan pelabuhan Pijoe, di pantai barat daya Lombok juga diidentifikasi (pelabuhan) Laboehan Tring [baca: Labuhan Tereng]. Pelaboehan Pijoe karena alasan tertentu tidak berkembang, tetapi justru (pelabuhan) Laboehan Hadji yang berkembang menjadi pelabuhan utama di pantai timur Lombok. Idem dito, meski secara teknis navigasi Laboehan Tring di pantai barat Lombok yang lebih baik, tetapi (pelabuhan) Ampenan yang terus berkembang menjadi pelabuhan utama di seluruh Lombok.

Lantas bagaimana sejarah Pelabuhan Lembar? Nah, itu dia. Yang jelas tempo doeloe di area pelabuhan Lembar yang sekarang, pelabuhan terkenal adalah Laboehan Tring. Suatu pelabuhan yang ditempati orang-orang Bugis. Baru pada era Republik Indonesia, Lamboehan Tring yang telah bermetamorfosi menjadi Pelabuhan Lembar ditingkatkan menjadi pelabuhan utama di Lombok (untuk menggantikan pelabuhan Ampenan). Okelah. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Pelabuhan Lembar (Now)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sejarah Awal Pelabuhan di Lombok

Departemen Koloni di Belanda menerima telegram dari Gubernur Jenderal kemarin, 14 Oktober 1894. Pada paragraf pertama isi telegram tersebut berbunyi sebagai berikut: ‘Pendudukan Mataram, termasuk bagian utara, terus berlanjut, tanpa perlawanan. Dua ratus orang Bali, termasuk wanita dan anak-anak, menyerahkan diri dengan selusin pemimpin. Mereka dilucuti dan dikirim ke Lembar di teluk Laboean Tring. Diantara mereka yang terluka pada umumnya tidak terlalu menkhawatirkan’ (lihat De standaard, 16-10-1894). Berita ini merupakan informasi yang pertama tentang keberadaan (kampong) Lembar sejak Heinrich Zollinger pada tahun 1847 berkunjung ke teluk ini.

Ekspedisi militer Pemerintah Hindia Belanda di Lombok dimulai 5 Juli 1894 di pelabuhan Ampenan. Penduduk Bali yang tidak ingin berperang menyerahkan diri. Mereka inilah yang kemudian di evakuasi ke kampong Lembar di teluk Laboehan Tring. Lembar menjadi kamp untuk penduduk Bali di Lombok selama berlangsungnya perang. Sementara sebagain kapal-kapal Pemerintah Hindia Belanda yang sudah melaksanakan tugas mengambil posisi aman untuk parkir di teluk Laboehan Tring.

Dalam laporan Heinrich Zollinger tidak menyebutkan nama Lembar ketika membandingkan sejumlah pelabuhan penting di pantai-pantai Lombok. Heinrich Zollinger hanya mengidentifikasi pelabuhan Laboehan Hadji di teluk yang sama namanya, suatu pelabuhan yang tenang tetapi daratan di pantai tidak sehat. Ada tiga perkampongan di LaboehanTring yakni perkampongan yang dihuni orang-orang Bugis, Sasak dan Bali.

Teluk Laboehan Tring (peta Cornelis de Houtan, 1597)
Heinrich Zollinger (1847): ‘Teluk Ampanan sangat besar, tetapi sangat terbuka untuk angin NW. Satu pelabuhan yang terlindung dari angin sehingga kapal-kapal terbesar yang berlabuh dapat tetap berada disana dengan keamanan paling tinggi, pelabuhan itu disebut Laboehan Tring (tring berarti bambu). Pelabuhan terletak di 16 pal ke arah selatan dan ¼ pal ke arah timur dari Ampanan. Pintu masuknya sangat sempit. Seluruh teluk yang bentuknya mirip bentuk satu tangan, dikelilingi oleh bukit-bukit yang sangat berhutan, yang ketinggianya sekitar 200-300 kaki. Kiri (atau ke barat) adalah terumbu di kaki bukit yang harus dihindari dengan hati-hati. Ada dua aliran sungai yang mengalir ke teluk sehingga kapal bisa mendapatkan air segar selain kayu dengan kualitas yang sangat baik. Di teluk itu sendiri atau di daerah sekitarnya ada tiga parkampongan  orang-orang Bugis, Sasak dan Bali. Jadi kita masih bisa membeli sesuatu meskipun jumlah kecil. Hutan di sekitar dan pulau-pulau di luar teluk kaya akan segala jenis satwa liar. Ketika badai datang, kapal-kapal dari jauh yang menuju ke utara, mereka hampir selalu membawa kapal ke Laboean Tring dan tinggal disana sampai badai berlalu. Sayangnya lanskap di sekitarnya sangat tidak sehat. Tuan King yang pernah mempekerjakan orang untuk membangun kapal disana gagal karena telah kehilangan hampir semua pekerjanya, pekerja Eropa juga  Cina, dan pelaut Jawa dan Bugis yang harus bekerja disana. Saya kira hutan menyebabkan kesehatan yang buruk ini. Tidur di kapal berarti lebih sedikit bahaya. Tuan King tidak pernah tidur di darat ketika dia pergi ke Laboean Tring’.

Deskripsi Heinrich Zollinger tentang Laboehan Tring terbilang cukup lengkap. Sebagai suatu pelabuhan sangat sesuai untuk navigasi dan semua yang dibutuhkan tersedia, seperti air segar kayu dan bahan-bahan lainbya. Namun, sayangnya seperti disebut Heinrich Zollinger areanya terbilang kurang sehat untuk para pendatang. Oleh karena Heinrich Zollinger hanya mendeskripsikan tentang pelabuhan (Laboehan Tring), tidak mencatat keberadaan nama kampong Lembar.

Teluk Labiehan Tring (Peta 1720)
Dalam peta yang dibuat oleh seorang ahli lithograph, E. Spanier yang diterbitkan pada tahun 1850, nama kampong Lembar diidentifikasi yang letaknya berada di belakang kampong Laboehan Tring. Dalam peta ini nama teluk disebut teluk (baai van) Laboehan Treing. Meski Heinrich Zollinger tidak menyebut nama teluk tetapi Heinrich Zollinger dan E Spanier saling melengkapi. Sudah barang tentu, laporan Heinrich Zollinger yang dimuat pada majalah Tijdschrift voor Neerland's Indie edisi September 1847 juga telah menjadi salah satu sumber E Spanier dalam menyusun peta.

Teluk yang disebut teluk Laboehan Tring dari tempo doeloe sudah kerap dikunjungi oleh kapal-kapal Belanda. Paling tidak hal ini dapat diperhatikan peta yang dibuat pada tahun 1720. Dalam peta ini teluk (yang kelak disebut teluk Laboehan Tring) telah didentifikasi perihal navigasi tentang hasil pengukuran kedalaman laut di teluk. Kedalaman laut yang dicatat dalam peta dekat pantai sedala 20 meter. Pencatatan kedalaman laut di teluk tidak terlalu beberda dengan hasil pencatatan yang dilakukan seabda sebelumnya yang dilakukan oleh ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman pada tahun 1597.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lamboehan Tring dan Lembar  (Pelabuhan Lembar)

Seperti diberitakan pada tahun 1894 yang menjadi kamp orang Bali (dalam Perang Lombok) besar kemungkinan kampong Lembar telah berkembang, paling tidak menjadi nama kampong yang penting. Nama kampong Laboehan Tring tampaknya sudah meredup, yang menjadi populer adalah kampong Lembar. Dalam peta tahun 1908 nama kampong Laboehan Tring tetap menjadi  nama teluk, sedangkan penanda geografis nama kampong Laboehan Tring diidentifikasi dengan nama Telokwaroe. Kampong Laboehan Tring/Telokwaroe masih tampak lebih penting/lebih besar dari kampong Lembar.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar