Laman

Kamis, 02 Juli 2020

Sejarah Lombok (26): Dari Kuta ke Kuta, dari Bali ke Lombok dan dari Lombok ke Bali; Destinasi Pariwisata di Tanah Sasak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Kuta di Bali, juga ada Kuta di Lombok. Kuta di Bali sudah lebih dulu dikenal dan terkenal. Kuta di Lombok baru belakangan dikenal dan baru mulai terkenal. Sebagai destinasi pariwisata, Kuta di Bali sudah mencapai kematangan, sementara Kuta di Lombok baru tahap perkembangan. Seperti kata orang Mataram, di Lombok ada Bali, tetapi tidak ada Lombok di Bali. Sekarang, orang di Denpasar mungkin bertanya: ‘mengapa ada Kuta di Lombok?

Kampong Koeta di Lombok (Peta 1927)
Kuta adalah nama generik. Nama kuta terdapat dimana-mana dengan dialek (pelafalan) sendiri-sendiri. Terminilogi kuta berasal dari era Hindoe sebagai suatu tempat (kampong). Orang Minangkabau menyebutnya kotta. Orang Batak lain lagi, yakni huta dan lain pula di Aceh yang disebut koeta seperti Koeta Radja (kini Banda Aceh). Terminologi kampung sendiri berasal dari Belanda sebagai kamp atau kampement (perkampongan). Orang Melayu menyebutnya kota. Dalam bahasa Melayu juga ditemukan terminologi negorij [negeri], yang di Minangkabau disebut nagari. Dalam hal ini, meski ada sedikit perbedaan, negeri dan kota merujuk pada satu hal: tempat tinggal. Lantas apakah di Bali dan Lombok merujuk pada kota, kotta, huta?

Lantas mana yang duluan eksis, Kuta di Bali atau Kuta di Lombok? Yang jelas, kini wilayah selatan pulau Lombok sedang berkembang sebagai destinasi pariwisata. Satu tempat yang penting di selatan pulau Lombok ini adalah Kuta. Destinasi pariwisata Kuta ini akan saling memperkuat dengan rencana pembangunan sirkuit MotoGP di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Mandalika. Okelah, untuk menambah pengetahuan  tentang sejarah Kuta di Lombok dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Desa Kuta di Lombok (Now)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Kuta di Bali dan Lombok

Nama kampong Kuta di Bali sudah diidentifikasi pada Peta 1906. Tentu saja kampong Kuta belum menjadi destinasi pariwisata. Kampong Kuta hanyalah kampong kecil dimana para nelayan-nelayan Bugis dan Mandar berlabuh untuk menjual ikan hasil tangkapan mereka di laut. Orang Bali dan orang Lombok bukan pelaut.

Kampong Koeta di Bali (Peta 1906)
Pada tahun 1906 adalah tahun kelam bagi kerajaan Badoeng yang ber ibu kota di Den Pasar. Apa pasal? Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer untuk melawan radja Badoeng. Kapal-kapal Belanda memasuki Badoeng dari Sanoer dan dari Koeta. Dari pelabuhan Koeta angkatan laut memborbardir puri kerajaan Badoeng di Denpasar, sementara pasukan infantri menjepit dari pelabuhan Sanoer terus merangsek ke Denpasar. Puri Badoeng hancur rata dengan tanah dan radja Badoeng dan pasukannya berhasil ditaklukkan. Era baru di Denpasar, Badoeng dimulai. Pelabuhan Koeta sendiri pada waktu itu adalah pelabuhan nelayan, sedangkan pelabuhan Sanoer adalah pelabuhan ekspor-impor dari kerajaan Badoeng. Petugas bea dan cukai hanya ada di pelabuhan Sanoer. Pabean ini disewakan Radja Badoeng kepada pedagang Cina (semacam sjahbandar). Tentu saja juga Sanoer belum destinasi wisata saat itu, tetapi hanya pelabuhan dagang dimana terdapat kampement (perkampongan) Tionghoa

Berdasarkan Peta 1908, di pantai selatan Lombok belum teridentifikasi nama Koeta. Pada peta ini baru sekadar identifikasi teluk Ajang. Berbeda dengan pantai selatan Bali, wilayah pantai selatan Lombok bertopografi pegunungan. Populasi padat penduduk Sasak berada di bagian tengah pulau dari barat hingga ke timur. Nama kampong Koeta di Lombok baru diidentifikasi pada Peta 1927. Gambaran tentang pantai selatan Lombok dideskripsikan oleh Heinrich Zollinger pada tahun 1847.

Pantai selatan Lombok (Peta 1908)
Populasi di pulau ini [Lombok] dibagi ke berbagai bagian pulau sebagai berikut: di pegunungan utara populasi 40.000 jiwa, di pegunungan di sekitar selatan sekitar 10.000 jiwa, bagian barat dari dataran (rendah) sebanyak 220.000 jiwa dan timur 135.000 jiwa. Gunung-gunung mengelilingi laut di sisi selatan dan utara, pantai-pantai ini memiliki air yang buruk, dan beberapa mata air hampir tidak cukup untuk mendukung sedikit pertanian. Orang-orang Bali maupun para Sasak tidak suka pergi melaut, memancing hanya dilakukan di pinggir pantai, mereka bahkan tidak menangkap ikan yang cukup untuk keperluan rumahtangga. Sebaliknya produk ikan datang dari nelayan-nelayan terutama Makasar dan Jawa. Tidak ada satu pun di seluruh pulau yang tidak dapat dilayari, bahkan untuk kapal. Selama musim hujan selatan ke arah tiur seseorang tidak bisa masuk. Di pantai selatan hanya satu teluk yang dapat diakses yaitu teluk Blongas di sebelah barat kampong Pagantat. Teluk ini dapat terlindung dari angin Monsoon barat. Oleh karena itu pantai selatan tidak berkembang di pinggirannya, tidak ada yang bisa dilakukan atau didapat, kecuali kayu dan satwa liar (lihat HeinrichZollinger dalam Tijdschrift voor Neerland's Indie, edisi September 1847).

Berdasarkan deskripsi Heinrich Zollinger dapat dipahami mengapa pantai selatan Lombok kuran berkembang jika dibandingkan pantai selatan Bali yang justru sebaliknya cenderung datar. Tentu saja di pantai selatan Lombok jarang penduduk Sasak, Besar dugaan perkampongan yang terbentuk di pantai selatan Lombok dihuni oleh para pendatang apakah untuk tujuan menangkap ikan atau mengumpulkan hasil-hasil hutan untuk perdagangan seperti kayu dan satwa liar. Berdasarkan epistemologi nama koeta, kampong Koeta baik di Bali maupun Lombok diduga kuat terbentuk oleh para pendatang. Nama kota, kuta atau huta bersifat generik yang mana bahasa Melajoe sebagai lingua franca (bahasa yang juga digunakan dalam navigasi).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kuta Bali Menjadi Destinasi Pariwisata

Orang Eropa pertama tinggal di Koeta, Bali adalah Hans Lange. Pedagang Denmark ini harus menyingkir ke Koeta, wilayah terpencil di selatan Bali. Itu terjadi pada tahun 1838 ketika terjadi perang saudara sesama Bali di Lombok antara kerajaan Mataram dan kerajaan Karangasem. Lange bersaudara yang berkongsi dengan radja Karangasem membangun pos perdagangan di pelabuhan Tandjoeng Karang, sementara GP King pedagang asal Inggris membuka pos pedagangan di pelabuhan Ampenan.

Dalam perang tersebut, Radja Mataram terbunuh, tetapi pasukan kerajaan Karangasem kalah. Kraton kerajaan Karangase hancur, Radja Karangasem dan keluarga termasuk istri-istri dan anak-anak mereka melakukan membakar diri. Sejak itulah pangeran (radja) Mataram menjadi penguasa tunggal di Lombok. Saat GP King berada di atas angin, Hans Lange dan keluarga menyingkir ke Koeta, Bali.

Tentu saja usaha Lange dan keluarga tidak berkembang di Koeta. Hal ini karena tempatnya sangat terpencil. Lagi pula pusat perdagangan berada di Sanoer yang sudah dihuni oleh orang-orang Cina (kongsi dengan Radja Badoeng). Tidak diketahui kabar selanjutnya usaha Lange di Koeta.

Pada tahun 1840 Pemerintah Hindia Belanda dikabarkan akan membuka pos perdagangan di Bali (lihat Algemeen Handelsblad, 20-03-1840). Pos perdagangan ini kemudian diketahui berada di Koeta, Badoeng (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 12-07-1844). Namun tidak lama kemudian muncul persoalan tentang Tawan Karang di Bali. Pemerintah Hindia Belanda menuntut pangeran Boeleleng namun tidak digubris. Lalu pada tahun 1946 Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi ke Boeleleng. Perlawanan Boeleleng yang dibantu kerajaan Karangasem ini baru berakhir tahun 1849. Sejak itu pos perdagangan Pemerintah Hindia Belanda dipindahkan ke Boeleleng sehubungan dengan pembentukan cabang pemerintahan Residentie Bali en Lombok yang ber ibu kota di Boeleleng. Dalam penaklukkan Boeleleng dan Karangasem ini turut dibantu radja Bali Selaparang di Lombok.

Kampong Koeta kembali sunyi sendiri. Kampong Koeta, kampong nelayan tetap menjadi kampong nelayan. Situasi di Koeta berubah setelah terjadinya ekspedisi militer Pemerintah Hindia Belanda di pantai selatan Bali (kerajaan Badoeng) pada tahun 1906.

Pada perang 1906 kota Denpasar hancur, rata dengan tanah termasuk puri dari Radja Badoeng. Pasca perang, kota Denpasar kembali dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini sehubungan dengan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 membentuk afdeeling Zuid Bali dengan menempatkan seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar. Ini dengan sendirinnya Denpasar menjadi ibu kota dan pebangunan kota diulai.

Pada tahap pertumbuhan kota Denpasar dan perkembangan pemerintahan di wilayah pantai selatan Bali, arus orang Eropa secara perlahan meningkat. Para pejabat-pejabat Belanda terus bertambah yang ditempatkan di Denpasar. Ketika mulai meningkatnya populasi orang Eropa di Denpasar dan sekitarnya, seorang Meksiko yang lama tinggal di Amerika Serikat José Miguel Covarrubias melakukan petualangan dan berakhir di Bali. José Miguel Covarrubias kembali ke Bali bersama istrinya. Covarrubias adalah seorang pelukis profesional dan istrinya seorang fotografer.

De Maasbode, 20-10-1937
José Miguel Covarrubias memulai karir sebagai pelukis dan pembuat karikatur di kota kelahirannya di Mexico City. Saat asih berusia sembilan belas tahun di kota kelahirannya menjadi terkenal. Lalu dianugerahi beasiswa dan berangkat ke New York dan bertemu penulis Carel van Vechten. Covarrulbias berkontribusi pada pengenalan seni rakyat di New York sekitar tahun krisis 1929. Setelah itu José Miguel Covarrubias melakukan perjalanan di seluruh dunia. Pada perjalanan ini ia berakhir di Bali pada tahun 1930 yang membuatnya segera terkesan luar biasa. Dia menggambar dan melukis di Bali selama sembilan bulan dan memamerkan karyanya di New York yang menarik perhatian orang Amerika. Pada tahun 1933 bersama istrinya kembali ke Bali. José Miguel Covarrubias bersama istri tinggal di Denpasar. Mereka menempati salah satu paviliun di halaman I Goesti Alit Oka (pemimpin orkest musi gamelan Bali), sepupu dari almarhum radja terakhir Badoeng (yang meninggal tahun 1906). Pasangan beda ras ini tinggal di Denpasar selama dua tahun dan telah mengunjungi berbagai tempat di Bali khususnya wilayah selatan Bali. Mereka meninggalkan Bali pada tahun 1934 dan kembali ke New York. Sementara karya-karya mereka dipamerkan di New York, José Miguel Covarrubias menyelesaikan bukuanya tentang Bali.

Pada tahun 1937 buku José Miguel Covarrubias terbit dengan judul Island of Bali. Buku ini ditulis dalam bahasa Inggris setebal 417 halaman yang diterbitkan sebuah penerbit di New York (Alfred A. Knopf). Buku ini dilengkapi oleh foto-foto hasil pemotretan yang dilakukan oleh istrinya Rose Covarrubias. Buku ini tentu saja beredar luas karena ditulis dalam bahasa Inggris. Pembaca orang-orang Belanda molohok.

Sebenarnya tidak hanya José Miguel Covarrubias di Bali. Seorang pelukis Jerman Walter Spies telah bekerja di Bali selama bertahun-tahun. Pekerjaan Walter Spies telah memberi pengaruh besar pada seniman Bali seperti I Sobrat. Publikasi José Miguel Covarrubias yang menbedakan diantara keduanya. Walter Spies adalah orang Eropa pertama yang tiba di Bali 1920 yang secara sadar bekerja untuk seni Bali. José Miguel Covarrubias melengakapinya.

Tulisan-tulisan berbahasa Belanda selama ini kurang memperhatikan soal seni orang Bali dan lebih banyak berbicara tentang kisah para pelancong, perkembangan pemerintahan dan hal-hal yang terkait perdagangan. José Miguel Covarrubias berhasil memancing minat pembaca tentang pantai di Koeta, pantai di Sanoer dan tentang orang Bali sendiri yang artistik.

Sejak buku José Miguel Covarrubias ini beredar, pelancong-pelancong Belanda sendiri mulai menambah daftar destinasi mereka. Tida hanya, Batavia, Buitenzorg, Soerakarta, Djogjakarta tetapi juga pulau Bali. Saat itu berbagai kota di Hindia Belanda sedang giat-giatnya mempromosikan kota dan wilayahnya untuk dikunjungi para wisatawan. Buku José Miguel Covarrubias tampaknya promosi gratis dari pemerintah daerah Hindia Belanda di Residentie Bali en Lombok (yang ber ibu kota di Boeleleng) khususnya pemerintah daerah di Afdeeling Zuid Bali.

Uniknya ketertarikan para pembaca tersebut justru lebih banyak dari orang-orang non Belanda terutama yang berbahasa Inggris (Anglo-saxon). Orang-orang Belanda tampanya nyinyir terhadap kehadiran buku ini. Mereka mengkritik buku ini ditulis dalam bahasa Inggris. Boleh jadi karena hanya sebagian kecil orang Belanda yang berbicara bahasa Inggris. Tentu saja orang Belanda tidak terlalu menginginkan Bali yang dipromosikan, karena orang Bali sejatinya sangat tidak senang orang Belanda, lebih-lebih setelah intervensi militer Belanda di Noor Bali (1846-1849), di Lombok (1894-96) dan di Zuid Bali (1906-1908). Oleh karenanya bagi pelancong Belanda, buku José Miguel Covarrubias seakan-akan ditujukan kepada orang-orang non Belanda.

José Miguel Covarrubias dapat dikatakan sebagai orang pertama yang mempromosikan Bali ke daftar destinasi para pelancong dunia. Di antara pers Belanda baik di Hindia maupun Belanda mulai muncul pro kontra. José Miguel Covarrubias telah mengabil peran yang seharusnya menjadi tugas dan tanggungjawab orang Belanda.

Tidak lama setelah buku José Miguel Covarrubias beredar dan menjadi viral di surat-surat kabar yang terbit di Belanda dan di Hindia Belanda, Pemerintah Hindia Belanda mendukung suatu konsorsium untuk menyelenggarakan sutau pameran dan diskusi tentang Bali di Museum Simpang, Soerabaja. Program ini dimulai tanggal 29 September yang mana pameran ini dapat dikunjungi oleh semua orang di museum secara reguler yaitu, dari pukul setengah delapan pagi sampai setengah satu siang dan 4-6 di sore hari (lihat De Indische courant, 29-09-1938).

De Indische courant, 29-09-1938
Berita ini juga diikuti subjudul ‘De openlegging van Bali’ yang isinya sebagai berikut: ‘Dalam segala hal tentang Bali dan seni Bali, begitu juga dengan kainnya, kita tidak boleh lupa bahwa ini adalah 30 tahun pertama sejak Bali dipaksa untuk membuka perbatasannya dengan orang asing, tanpa perbedaan. Dengan diperkenalkannya cabang pemerintahan Hindia Belanda otoritas membuka jalan bagi perdagangan dan wisatawan; dua elemen, yang memiliki pengaruh besar di seluruh negeri, tetapi terutama pada ekspresi seni. Tentu! Sejak dulu selalu ada perdagangan di wilayah pesisir. VOC melakukan perdagangan budak di pelabuhan "Coutaen", sekarang Kuta. Lagi pula budak dan budak perempuan Bali bahkan yang sangat dicari, yang mana banyak raja Bali membuat keuntungan darinya;.

Pegiat pariwisata dan pemerintah akan diuntungkan dengan program baru ini karena akan menambah devisa karena kunjungan wisata mancanegara. Program ini menjadi prakondisi untuk memarakkan tahun-tahun awal kunjungan wisata ke Bali (domestik) sebelum wisatawan mancanegara berdatangan (internasional).

Seperti kota-kota besar lainnya, sebelumnya pegiat pariwista kota Soerabaja sudah menginisiasi destinasi wisata seperti ke Dieng, Batoe dan sebagainya. Program Bali bagi pegiat pariwisata di Soerabaja akan mendapat keuntungan dari destinasi baru ke Bali. Kota Semarang sudah lama menginisasi destinasi wisata ke Soerakarta dan Djogjakarta; Bahkan kota Batavia sudah lebih awal dengan destinasi wisata ke Buitenzorg, Soekaboemi dan Bandoeng sehubungan dengan dibukanya jalur kereta api dari Batavia ke Bandoeng pada tahu 1883. Di Sumatra, pegiatan pariwisata yang intens mempromosikan destinasi wisata adalah kota Medan dengan mengandalkan Brastagi dan Parapat (danau Toba).

Dalam hal ini, pengembangan destinasi pariwisata ke (pulau) Bali diinisiasi oleh para pegiat pariwisata di Soerabaja. Sudah barang tentu, José Miguel Covarrubias memiliki andil besar dalam upaya memperkenalkan wisata Bali. Tentu saja yang tidak boleh juga dilupakan adalah Walter Spies. Sebagaimana kita lihat nanti pegiat pariwisata di Bali (Denpasar, Kuta dan Sanur) akan dengan sendirinya menginisasi destinasi pariwisata ke Lombok, selain Senggigi dan tentu saja kemudian menyusul ke Kuta Lombok.

Inisiasi pengembangan destinasi pariwisata di Hindia Belanda sudah pernah dilakukan melalui media tulisan termasuk brosur yang diedarkan ke manca negara. Salah satu bentuk inisiasi tersebut adalah penerbitan buku berbahasa Belanda yang ditulis oleh EW Viruly yang diterbitkan penerbit De Bussy pada tahun 1923 dengan judul ‘Met de camera door Nederlandsch-Indie’. Buku ini tebalnya 413 halaman yang disertai dengan foto-foto (sesuai judulnya camera). Buku ini terdiri dari 20 bab termasuk Bali dan Lombok sebagai berikut: 1. Bij de Bataks; 2. Naar het Laut-Tawar in de Gajolanden; 3. Van Medan naar Padang; 4. In de Padangsche Bovenlanden; 5. Op de Pagai  en Mentawei eilanden; 6. Poeloe Tello; 7. Van Benkoelen naar Palembang; 8. Van Moeara Enim naar Telok Betong; 9. Een paar tochten in West-Java; 10. Iets over de Preanger; 11. In Djocja; 12. Over tempels en nog wat in Midden-Java; 13. In het gebied van Tengger en Smeroe; 14. In den Oosthoek; 15. Om en bij Soerabaja; 16. Een Molukkenreis; 17. Bali; 18. Op Lombok; 19. Naar de Kratermeren van den Keli Moetoe op Flores; 20. Op Timor.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kuta Lombok Menjadi Destinasi Pariwista Baru

Kuta Lombok belum lama menjadi destinasi pariwisata. Tujuan wisatawan ke (pulau) Lombok umumnya ke Senggigi plus gili Trawangan, Para wisatawan asing umumnya datang ke Senggigi setelah dari Bali (Kuta atau Sanur). Ada pelayaran reguler dari pelabuhan Padang Bai Bali ke pelabuhan Lembar di Lombok (dan sebaliknya). Dengan kapal cepat tidak terlalu lama di tengah laut,

Saya masih ingat betul pada tahun 1991, saya pernah ke Sembalun Lawang untuk menemui tim survei saya, menginap di pesanggrahan yang pada malam hari sangat dingin. Ada juga satu dua wisatawan asing yang datang saya temui di punggung gunung Randjani tersebut. Saya sedikit heran mengapa mereka datang ke tempat yang terpencil itu. Saya coba menanyakan dan mereka menjawab ingin  melihat danau. Setelah usai survei, anggota tim saya mengajak wisata ke Senggigi dan juga ke gili Trawangan. Tentu saja banyak wisatawan asing karena sudah ada hotel di Senggigi.

Menjelang kepulangan saya ke Jakarta, salah satu anggota tim saya yang berasal dari Praya memancing minat saya. ‘Apa tidak ke Kuta melihat keindahan alam dulu sebelum pulang?’. Saya tidak terlalu tertarik, karena dalam pikiran ingin pulan karena sudah seratus hari di Lombok. Tapi teman itu terus menggoda. ‘Nanti nyesal lho tidak kesana?’. Saya baru menyadari jika teman itu mengajak serius. Lalu saya bertanya. ‘Memang, seperti apa di sana?; ‘Pasirnya sangat alami’ jawab teman itu. Saya semakin tertarik. ‘Bagaaimana kita ke sana?’. ‘Hanya bisa naik motor’ jawabnya. Keesokan harinya saya sewa motor dan kemudian menjemputnya di tempat yang dijanjikan. Kami berangkat dengan motor Honda Astrea.

Sesampai di Kuta, kami menyusuri pantai. Pasir pantainya sangat khas, sudah barang tentu karena pengaruh laut selatan.  Airnya sangat bersih dan sehat. Masih sepi dan saya tidak menemukan wisatawan asing. View terbaik bukan di pantai tetapi di atas dari arah kami datang. Di area pantai, di sana sini terdapat beberapa sampah, tapi bukan limbah seperti plastik atau buangan rumahtangga tetapi ranting-ranting pohon atau semak yang terbawa arus ombak ke pantai.

Itulah kunjungan saya yang pertama ke Kuta dan juga yang terakhir, Meski masih ada beberapa kali bertugas ke Lombok pada tahun-tahun berikutnya tetapi tidak ke Kuta lagi. Tentu saja Kuta kini sudah sangat jauh berubah. Tidak lagi sepi seperti dulu, sudah jauh berkembang. Melihat peta satelit, Kuta telah bertransforasi mengejar Kuta Bali. Saat menulis artikel ini saya kembali melihat Kuta melalui peta satelit.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

1 komentar:

  1. Sejarah raja raja keseluruhan ada bos sampai kesumatra

    BalasHapus