Laman

Sabtu, 27 Februari 2021

Sejarah Ternate (22): Sejarah Pendidikan Aksara Latin di Ternate; Mengapa Sekolah Lebih Awal di Amboina daripada Ternate?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Ternate dalam blog ini Klik Disini

Sejatinya pendidikan modern (baca: aksara Latin) terbilang awal di Malaka dan Maluku. Itu bermula karena kebutuhan orang-orang Portugis untuk mampu membantu orang-orang Portugis untuk perdagangan dan kegiatan misi. Di wilayah Maluku meliputi Amboina, Ternate dan Banda. Pengebangan pendidikan ala Portugis ini tetap terselenggara pada era Belanda (VOC). Namun yang tetap menyelenggarakan adalah para misionaris Portugis. Perhatian pemerintah VOC belum ada untuk kegiatan pendidikan penduduk pribumi. Baru pada era Pemerintah Hindia Belanda kebijakan dan program pendidikan bagi penduduk pribumi dimulai secara sistematik.

Kegiatan misionaris (Katolik) pada era Portugis memiliki kaitan erat dengan pengenalan pendidikan aksara Latin kepada penduduk pribumi. Hal ini berbeda dengan kegiatan penyiaran agama Islam yang memperkenalkan aksara Arab, kegiatan misionaris memperkenalkan akasara Latin karena kitab suci Injil ditulis dalam aksara Latin bahasa Portugis dan aksara Latin dalam bahasa Melayu. Dalam pengajaran agama inilah, para misionaris Portugis, tidak hanya mengajar membaca (dan menulis) dalam aksara Latin, juga ditambahkan pelajaran berhitung sederhana. Dengan adanya pelajaran membaca, menuslis dan berhitung ini secara tidak langsung telah terbentuk sistem pendidikan di tengah penduduk peribumi meski kegiatannya hanya diselengarakan di rumah-rumah penduduk. Hanya pusat misionaris (stasion) yang memiliki ruang kelas belajar untuk menyiapkan para pemuda-pemudi sebagai guru bantu. Namun kegiatan pendidikan ala misionaris ini tidak terlalu berkembang karena kurangnya dukungan pemerintah Portugis, karena di Hindia Timur yang berkuasa adalah pemerintah Belanda (VOC).

Lantas bagaimana sejarah pendidikan di Maluku khususnya di Ternate? Seperti yang disebut di atas, pendidikan aksara Latin ala (misionaris) Portugis dianggap tidak memenuhi syarat pada era Pemerintah Hindia Belanda (tidak ada perencanaan dan pengawasan). Ketika diperkenalkan pendidikan di Maluku, sistem pendidikan ala misionaris itu ditingkatkan sesuai standar nasional pemerintah. Lalu bagaimana sejarah pendidikan aksara Latin di Ternate? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sekolah dan Pendidikan Aksara Latin di Ternate

Sejak kembalinya Belanda berkuasa pada tahun 1817 (pasca pendudukan Inggeris), pada tahun 1819 mulai ditempatkan guru-guru di beberapa kota seperti di Batavia, Semarang, Soerabaja dan Padang. Tampaknya itu masih terbatas untuk warga Eropa. Sementara itu, sejak 1824 Residentie Ternate dimekarkan dengan membentuk Residentie Manado en Gorontalo. Dengan demikian di Province Molukkas terdapat empat reisidentie dimana Gubernur berkedudukan di Amboina,

Dalam Almanak 1827 sejumlah kota di Jawa sudah secara intens kehadiran guru-guru sekolah. Guru-guru sekolah di kota-kota di luar Jawa berada di Makassar, Amboina, Banda, Padang dan Koepang.Yang sudah ada pengawas terdapat di Makassar, Amboina dan Padang. Disamping itu, selain ditempatkan pendeta di Batavia, Semarang dan Soerabaja di Jawa, juga pendeta ditempatkan di Amboina. Selain pendeta-pendeta tersebut, zendeling (misionaris) juga ditempatkan di Amboina, Banda dan Ternate. Penempatan pendeta dan misionaris di Amboina, Banda dan Ternate diduga untuk mengimbangi keberadaan pendeta dan misionaris Katolik yang sudah ada selama ini.

Dalam Almanak 1831 sudah dibentuk komisi pendidikan termasuk di Amboina dan Banda. Juga disebutkan sudah adanya sekolah pemerintah yakni bangunan atau ruangan yang secara khusus digunakan untuk sekolah. Dalam Almanak ini juga sudah dicatat keberadaan sekolah berbahasa Melayu untuk penduduk pribumi di Padang dan Koepang. Sekolah berbahasa Melayu di Koepang ini adalah sekolah pemerintah dan sekolah non pemerintah di beberapa tempat di Timor. Boleh jadi sekolah pribumi di Koepang ini adalah satu-satunya sekolah pemerintah yang ada. Di Amboina, Banda (dan Ternate) tampaknya masih sekolah ala misionaris Portugis..Sementara sekolah Kristen di Toegoe dan Depok sudah dicatat. Pada tahun 1834 seorang pendeta-misionaris di Amboina (BNJ Roskott) berinisiatif untuk mendirikan sekolah guru untuk pribumi.

Dalam Almanak 1836 dicatat sudah ada guru dan sekolah pemerintah di Ternate. Juga dicatat adanya guru swasta. Tidak ada sekolah berbahasa Melayu untuk pribumi.Selain itu di Ternate sudah dicatat sekolah panti asuhan (Weeshuis School) yang dikelola oleh guru S Manuputi.

Hingga pada tahun 1850 di Ternate belum ditemukan ada laporan yang menjelaskan ada sekolah untuk penduduk pribumi. Memang ada sekolah pribumi di Ternate sejak 1834 tetapi hanya bersifat khusus sebagai panti asuhan (yang dikaitkan dengan kegiatan zendeling). Sementara di Amboina sejak 1834 sudah didirikan sekolah guru (yang didirikan zending Belanda). Sekolah guru Amboina ini menjadi kawah candradiuka untuk penyediaan guru-guru di kepulauan Maluku, tidak hanya di Amboina juga di Ternate, Banda dan Manado.

Di beberapa tempat di Jawa sudah ada sekolah-sekolah untuk penduduk pribumi dengan bahasa dan aksara Jawa serta aksara Latin bahasa Melayu seperti di Soeracarta. Di luar Jawa sekolah-sekolah untuk pribumi masih sedikit. Seperti disebut di atas sudah sejak lama diadakan di kota Padang. Pada tahun 1846 dilaporkan pendidikan aksara Latin sudah diperkenalkan di pedalaman di Residentie Padangsche Bovenlanden di Fort de Kock. Beberapa tahun kemudian pada tahun 1849 juga pendidikan aksara Latin sudah diperkenalkan di afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli. Sejauh ini di Batavia sendiri belum ada sekolah untuk pribumi. Pada tahun 1951 di Soeracarta dilaporkan sekolah guru didirikan oleh Mr P van der Broek (kemudian menjadi sekolah guru pemerintah yang pertama).

Pada tahun 1851 terbit suatu laporan pendidikan di Hindia Belanda per 31 Desember 1949 (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 21-07-1851).  Sayangnya surat kabar ini hanya mengutip tentang situasi dan kondisi sekolah-sekolah Eropa dan sekolah-sekolah pribumi yang dihubungkan dengan kegiatan misionaris (zending) khususnya di kepulauan Maluku. Dalam laporan ini dicatat beberapa sekolah baru untuk orang Eropa didirikan seperti di Bangkalan dan Ternate pada tahun 1834, di Bengkoelen tahun 1835 dan di Manado pada tahun 1836 (catatan: sekolah di Bangkalan ditutup tahun 1843). Hingga pada akhir tahun 1845 sekolah dasar Eropa memiliki dua puluh empat sekolah dasar negeri dan dua puluh tiga sekolah swasta. Jumlah ini telah meningkat pada tahun 1851 menjadi 37 buah sekolah negeri (jumlah sekolah swasta tidak berubah). Penambahan sekolah negeri ini di Banten, Buitenzorg., Salatiga, Pattie, Kedirie, Probolingo, Palemhang, Timor dan Banjermassin.

Sekolah Kristen pribumi terus bertambah banyak di Jawa dan Sumatra terutama di province Maluku yang perkembangannya pesat yang boleh jadi karena ada sekolah guru di Amboina (sejak 1834). Di Residentie Amboina terdapat sebanyak 67 buah sekolah dengan total 7.323 siswa. Sementara di residentie Banda hanya sebanyak 90 siswa.Sedangkan di Jawa sebanyak 90 siswa, (residentie) Ternate en Batjan sebanyak 125  siswa, residentie Manado 5.006 siswa, Residentie Timor 2.500 siswa, dan Borneo 420 siswa yang secara keseluruhan 15.535 siswa.

Pada tahun 1856 sekolah guru pemerintah yang kedua di Fort de Kock didirikan JAW van Ophuijsen. Lalu pada tahun 1857 satu lulusan sekolah dasar di Afdeeeling Mandailing en Angkola Residentie Tapanoeli bernama Si Sati berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan akte guru. Si Sati alias Willem Iskander lulus tahun 1860 dan pada tahun 1861 kembali ke tanah air. Pada tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, ondeafdeeling Mandailing. Sekolah guru Tanobato ini menjadi sekolah guru pemerintah yang ketiga di Hindia Belanda. Pada tahun 1865 Inspektur Pendidikan Hindia Belanda Mr CA van der Chijs mengumumkan sekolah guru Tanobato yang terbaik di Hindia Belanda.

Sejak 1862 sekolah guru (zending) di Amboina ditutup karena pemerintah menganggap tidak layak dan tidak memenuhi standar. Pada tahun 1866 sekolah guru yang baru dibuka di Bandoeng dan Amboina.  Sekolah pemerintah untuk pribumi sendiri di pulau Jawa baru terdapat sebanyak 65 buah. Di Residentie Manado terdapat di Minahasa sebanyak 12 buah dan di Gorontalo sebanyak empat buah serta di Talaud satu buah. Di Residentie Celebes baru dua buah di Makassar dan Maros. Di Amboina dan Timor sudah cukup banyak. Di Sumatra baru terbatas di Residentie Padangsche (20 buah), Residentie Tapanoeli, Residentie Bengkoelen (6 buah) serta di Residentie Lampong dan Residentie Banka masing-masing satu buah. Di Residentie Tapanoeli hanya terbatas di satu afdeeling (Afdeeling Mandailing en Angkola) yakni sebanyak sembilan buah. Hal ini karena sekolah guru telah didirikan tahun 1862 oleh Willem Iskander di Tanobato,. Sampai sejauh ini di Ternate belum ada laporan adanya sekolah pemerintah untuk pribumi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sekolah Guru di Amboina: Pengadaan Guru di Ternate dan Manado

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar