Laman

Kamis, 08 Juli 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (77): Taprobana adalah Borneo; Kapuas, Kahayan, Barito. Mahakam, Kayan, Sugut Pulau Kalimantan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Pulau Taprobana? Itu nama pulau yang yang diketahui di Eropa, sebagai pulau terjauh di ujung bumi. Anehnya dimana pulau itu berada masih terus diperdebatkan, bahkan hingga ini hari. Sebab tidak diketahui siapa orang Eropa yang sudah kesana. Peta pulau ini ditemukan dalam catatan geografi yang disalin Ptolomeus pada abad ke-2. Pulau Taprobana hanya sekadar nama pulau zaman kuno yang terus disalin hingga generasi Christopher Columbus (akhir abad ke-15).

Pada saat Kristoforus Kolumbus (baca: Christopher Columbus) masih menjajakan proposalnya untuk menembus Lautan Atlantik, semua orang masih pesimis dan bahwa usul itu dianggap keterlaluan. Pesimis itu juga sesuai dengan bait nyanyian lama Lusitana yang berjudul Os Lusiadas: ‘As Armas, e os Baroes assinalados--Que da Occidental praia Lusitana--Por mares nunca d'antes navegados--Passaram ainda alem da Taprobana’. Artinya kira-kira begini dalam bahasa Portugis: ‘Prestasi senjata dan baron termasyhur, dari pantai barat Lusitana, tidak pernah berlayar di laut sebelumnya, telah menembus tidak lebih jauh dari sejauh Taprobana’. Nyanyian menyiratkan bahwa sejauh ini navigasi pelayaran baru sejauh Taprobana. Pada saat itu, ujung dunia adalah (pulau) Taprobana.

Lantas apa hubungannya dengan Sejarah Indonesia? Sementara nama pulau itu belum diketahui posisi GPSnya berada dimana, sejak lama di Eropa dimana pulau itu berada diduga adalah pulau Ceylon (di selatan India) atau pulau Sumatra. Hanya sedikit orang yang meyakini itu, pulau Kalimantan (bukan pulau Ceylon). Salah satu yang yakin pulau Taprobana itu adalah pulau Kalimantan adalah Dhani Irwanto yang dalam artikelnya telah dibuktikannya. Wikipedia sendiri hingga tulisan ini dibuat masih menyebut pulau itu Sri Lanka.  Saya sependapat dengan Dhani Irwanto, akan tetapi bagaimana saya membuktikannya sangat berbeda. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pulau Taprobana: Perdebatan Sepanjang Masa

Sebagaimana telah dideskripsikan tentang (wilayah) paparan Sunda pada artikel sebelumnya, perhatian dari banyak ahli maupun peminat sejarah juga banyak difokuskan pada pertanyaan tentang pulau Taprobana. Sejak kehadiran Eropa di Hiudia Timur (yang dimulai Portugis) pertanyaan tentang dimana pulau berada semakin mengemuka. Hal ini karena hasil dari laporan pelaut-pelaut Portugis mulai dibandingkan dengan peta kuno yang disalin Ptolomeus yang ditemukan (kembali). Para ahli geografi dan kartografi menghubungkan pulau Taprobanda itu dengan pulau Ceylon.

Perbandingan pulau Taprobana dengan pulau Ceylon terkesan diragukan karena ada juga yang berpendapat bahwa pulau Taprobana adalah pulau Sumatra. Namun kesimpulan para ahli umumnya mengasosiasikan pulau Taprobana dengan pulau Ceylon.

Setelah sekian lama soal pulau Taprobana dihubungkan dengan pulau Ceylon, dan orang-orang Belanda yang pernah lama di India (era VOC) hanya mengamini pulau Taprobana tersebur adalah pulau Ceylon.  Namun menjadi menarik perhatian di Hindia Belanda ketika seorang yang mendapatkan dari pedagang antik di Jerman mengirim salinan peta pulau Taprobana ke redaksi Deli Courant yang terbit di Medan (lihat De Sumatra post, 15-05-1913). Salinan peta yang diterima dari pembaca Jerman tersebut berjudul ‘Sumatra ein grosse lnsel so von den alten Gaographen Taprobana ist genennt worden’ yang dalam bahasa Jerman diartikan ‘Sumatera adalah sebuah pulau besar yang dinamakan demikian oleh para gaografer kuno sebagai Taprobana’. Peta tersebut dibuat pada tahun 1578 (diduga terkait dengan nama seorang Jerman Sebastian Munster). Para redaksi yang menganalis peta itu, meski sangat sulit menolak pulau Ceylon, tetapi mereka meragukan karena ada bagian peta yang tidak bersesuaian dengan pulau Ceylon tetapi bisa jadi itu pulau Sumatra (seakan mereka setuju dengan pembuat peta 1578 tersebut). Apa saja yang tidak bersesuaian itu dideskripsikan di bawah. Ulasan surat kabar Deli courant tersebut kemudian dilansir oleh surat kabar De Preanger-bode, 29-05-1913 dengan memperkaya ulasannya sendir

Nama Taprobana sebagai nama pulau zaman kuno dalam hal ini adalah satu hal. Nama Taprobana juga dihubungkan dengan nama tokoh penting dalam kejadian (ajaran) Hindoe yang masih banyak penganutnya di Hindia Belanda (lihat Deli courant, 24-01-1894). Disebut nama Taprobana sebagai Adima (laki-laki) dan Heva (perempuan) dalam bahasa Sanskerta. Lalu Brahma mengatakan Aku sebagai Tuhan semesta alam, menciptakan kamu untuk menyembah Aku. Mereka yang percaya kepada-Ku akan berbagi keselamatan-Ku ketika semua hal duniawi dihancurkan. Ajari anak-anak Anda bahwa; bahwa mereka selalu mengingat saya; selama mereka memanggil namaku, aku akan bersama mereka. Kemudian Dia melarang Adima dan Heva meninggalkan Taprobana, dan selanjutnya berkata: ‘Tugasmu adalah untuk mengisi tempat yang mulia ini’. Setelah mengucapkan kata-kata itu, Sang Pencipta menghilang. Kemudian Adima menoleh ke istri mudanya dan menatapnya. Jantungnya berdegup kencang saat melihat keindahan yang sempurna itu. Gambaran tersebut adalah tentang asal usul pasangan manusia pertama. Lantas apakah dari kisah penciptaan ini (Taprobana) yang dijadikan penulis-penulis geografi di Eropa untuk menamai sebuah pulau tertentu, yang kemudian diperdebatkan apa peta yang berjudul pulau Tabrobana itu benar-benar pulau Ceylon?

Sejak ditemukannya peta bertarih 1578 itu nama pulau Taprobana menjadi mulai ada yang menganggap pulau Sumatra (bukan pulau Ceylon). Para peminat sejarah (peta) kuno mulai terbelah di Hindia Belanda. Meski demikian di dunia internasional pulau Taprobana itu masih terikat dengan pendapat dengan pulau Ceylon. Adanya pengikut Sumatra di Hindia Belanda (dan juga di Belanda) tentu saja karena ada versi lain (peta lama 1578 yang dibuat di Jerman) yang menyimpulkan sebagai Sumatra, yang notabene orang-orang Belanda di Hindia Belanda akan bangga jika itu adalah pulau Sumatra (bukan Ceylon). Ketika zaman sebelumnya banyak yang mengamini para ahli geografi Portugis (Ceylon), maka kini giliran orang-orang yang mengamini pendapat ahli geografi atau ahli kartografi Jerman (Sumatra).

Pada tahun 1914 diadakan pertemuan semacam seminat di Inggris tentang perihal peta-peta kuno (lihat Algemeen Handelsblad, 08-04-1914). Pertemuan yang diselenggarakan British Royal Geographical Society di Museum British juga dihadiri oleh ahli peta dari Belanda. Dalam pertemuan ini juga dibahas sejarah kartografi, yang dimulai dari karya geografis Yunani Ptolomeus. Berbagai peta-peta kuno (seperti Italia, Portugis, Inggris) akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 ditampilkan dan berbagai buku-buku yang membahasnya juga disertakan yang berasal dari berbagai negara termasuk catatan dari ahli geografi Belanda. Tempo doeloe Johannes Kuysch.

Oleh karena dimana pulau Taprobana berada, yang dianggap masih debatable, tentu saja pengikut Ceylon dan pengikut Sumatra akan terus eksis, Hal yang mirip-mirip dengan ini adalah tentang Ophir (yang terdapat pada Perjanjian Lama). Lagi-lagi orang-orang Portugis yang pertama mengintepretasi berada di Sumatra. Hal itulah mengapa orang-orang Portugis mengidentifikasi gunung Pasaman sebagai gunung Ophir. Orang-orang Portugis berkeyakinan bahwa Ophir ada di Sumatra, bukan Abyssinia (di Arab Selatan) yang dipercaya sebelumnya. Orang-orang Portugis setelah mencapai Sumatra (di pantai barat) dengan berbagai argumen menyimpulkannya.

Soal Taprobana, dimana letaknya dan pulau apa itu tidak terdapat pendapat yang menyakinkan hingga berakhirnya era kolonial di Indonesia. Orang-orang Belanda yang sudah pulang kampung ke Eropa, sebagian besar masih percaya bahwa pulau Taprobana adalah pulau Sumatra, Mereka bahkan mengaitkan pulau Taprobana dengan pulau emas sebagaimana pada era Raja Solomon dan keberadaan gunung Ophir.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pulau Taprobana: Ceylon atau Sumatra

Seperti disebut di atas bahwa ketika pelaut-pelaut Portugis belum mengarah navigasi pelayaran ke arah timur, saat mana Columbus masih menjajakan proposal kepada raja0raja di Eropa (Portugis dan Spanyol), orang-orang di Portugis hanya yakin ujung bumi terjauh adalah pulau Taprobana. Hal ini karena masih dinyanyikan bait Lusitanie tentang Taprobana. Meski dalam lagu itu belum disebut pulau Taprobana adalah Ceylon tetapi pada masa itu orang-orang Portugis paham benar pulau Taprobana yang dimaksud adalah pulau di selatan India lewat pelaut-pelaut orang Moor.

Tentu saja pelaut-pelaut Portugis belum sejauh pulau Taprobana berlayar. Di dalam pikiran orang-orang di Portugis baru sekadar dalam pikiran atau syair dan lagu. Namun pengetahuan tentang pantai India dan pulau Taprobana yang dimaksud sudah diketahui lewat pedagang-pedagang Moor yang daya jelajah navigasinya sudah mencapai India bahkan Hindia Timur dan Tiongkok. Bukti mengenai ini seorang Moor asal Tunisia Ibnu Batutah sudah pernah berkunjung ke selat Malaka dan Tiongkok pada tahun 1345 (pada era Kerajaan Aru dan Kerajaan Majapahit).. Pelaut-pelaut Portugis dalam soal navigasi pelayaran masih anak kemarin sore jika dibandingkan pelaut-pelaut orang Moor. Untuk sekadar tambahan pada saat navigasi pelayaran pertama Portugis yang dipimpin Vadco da Gama mencapai India sejatinya termasuk pelaut-pelaut orang Moor di dalamnya, hanya saja hal itu tidak terinformasikan sengaja atau tidak sengaja oleh orang-orang Portugis (yang seakan mereka Portugis sendiri yang seakan pertama menemukannya). Orang Moor adalah pedagang-pedagang beragama Islam yang sejatinya penduduk Eropa Selatan (Spanyol dan Portugis) yang terusir pada Perang Salib. Ilmu orang Moor sudah setinggi langit, hal itulah mengapa bisa membangun kota-kota besar di Spanyol seperti Cordoba. Sementara itu nyanyian Lusitanie berjudul Os Lusíadas digubah oleh Luís de Camoes (1524-1580)

Sejak Vasco da Gama mencapai India, laporan dari para anak buahnya yang beredar di Portugis tentang pulau Ceylon. Dari sisnilah kemudian para ahli geografi dan ahli kartografi mulai mengangkat pena untuk membahas peta kuno Ptolomeus yang telah ditemukan. Analisis dan pencocokan nama-nama yang terdapat dalam peta dengan laporan dari pelaut-pelaut Portugis menjadi bahan diskusi para ahli. Sebagaimana disebut di atas, tentu saja para ahli di Portugis melihat ada perbedaan nama lama (peta) dengan nama baru (laporan). Namun para penulis Portugis tetap berkeyakinan bahwa pulau Taprobana yang juga terdapat pada nyanyian di Portugis adalah pulau Ceylon. Laporan-laporan pelaut Portugis semakin memenuhi data para ahli lebih-lebih pelaut-pelaut Portugis sudah mencapai Malaka dan Maluku pada tahun 1511. Namun demikian, meski ruang navigasi pelayaran Portugis sudah begitu jauh hingga Jawa dan Maluku, nama legendaris Taprobana tetap dianggap pulau Ceylon.

Pada saat pelaut-pelaut Pertugis sudah berada di Malaka, Maluku dan Tiongkok, kisah-kisah lama masih menyelimuti pikiran para ahli di Portugis. Tentu saja para pelaut-pelaut sendiri tidak terlalu memikirkankan itu, mereka hanya fokus pada pelayaran dan pencatatan nama-nama baru, terutama nama tempat yang mereka kunjungi ke dalam peta-peta mereka. Di satu pihak para pelaut terus membekali para ahli geografi dan kartografi, di pihak lain para ahli itu terus menghubungkan kisah-kisah lama dengan penemuan baru seperti kisah Raja Solomon, keberadaan (gung) Ophir dan sebagainya. Mendes Pinto yang mengunjungi Lampung pada tahun 1349 dalam pelayaran ke Banten menemukan cerita rakyat di Lampung bahwa di daerah itu pernah terdapat pusat perdagangan (kota pelabuhan) Ratu Sheba. Tentu saja meski itu hanya cerita rakyat dan kisah lama, Mendes Pinto menganggap itu penting dan karenanya tidak lupa menyebutnya kembali di dalam bukunya.

Pelaut-pelaut Portugis sendiri baru mengunjungi pulau Kalimantan pada tahun 1521. Boleh jadi ini karena situasi terpaksa. Sebab pelaut-pelaut Portugis yang telah mengicar Maluku kemudian mengunjungi pulau Tunmen di Tiongkok pada tahun 1515. Sudah ada hubungan yang baik dengan Kaisar Tiongkok, tetapi menjadi bermasalah ketika Fernao Pires melakukan kesalahan dengan orang-orang Tiongkok di Canton yang akhirnya orang-orang Portugis terusir dari pulau Tunmen tahun 1520. Kehilangan Tiongkok inilah yang menyebabkan George Menesez tahun 1521 dari benteng Malaka mengunjungi Boernai. Sejak inilah nama pulau Kalimantan disebut Borneo (merujuk nama pelabuhan Broenai).

Adanya kerjasama dengan Broenai (dan juga diperluas ke Manila di pulau Luzon), pelaut-pelaut Portugis merintis rute pelayaran mengikuti rute pelayaran tradisional Kerajaan Aru dan pedagang Moor dari pantai timur Sumatra ke Maluku via Broenai dan Mangindanao dan semenanjung Celebes. Sebelum rute navigasi pelayaran Portugis ke Melaku melalu Jawa dan pulau Nusa Tenggara. Dengan demikian pelaut-pelaut Portugis memiliki dua rute (selatan dan utara). Gagal membangun benteng di pulau Tunmen, pelaut-pelaut Portugis membangun benteng di semenanjung Celebes untuk lebih mengamankan bavigasi pelayaran antara Malak adan Maluku via Broenai. Tidak diketahui persis benteng di Gorontalo ini dibangun apakah sebelum atau sesudah pelaut-pelaut Spanyol menemukan jalan dari timur ke pulau Zebu pada tahun 1524. Rute navigasi pelayaran tradisional Kerajaan Aru ini semakin ramai yang menyebabkan pantai utara Jawa semakin jarang dikunjungi pelaut-pelaut Portugis (disamping di Jawa juga terjadi pergolakan politik yang dipimpin Kerajaan Demak).

Pemetaan pulau Kalimantan (Borneo) oleh pelaut-pelaut Portugis ini semakin memperkaya pengetahuan para ahli geografi dan kartografi di Portugis di Eropa. Namun tentang pulau Taprobana yang terlanjur sudah melekat dengan pulau Ceylon jelas tidak pernah terpikirkan para ahli untuk membandingkan peta kuno Ptolomeus dengan pulau Borneo. Boleh jadi karena pulau Borneo bagi pelaut-pelaut Portugis tidak terlalu penting kecuali pantai utara yang berpusat di Broenai (yang menjadi salah satu titik persinggahan yang penting antara Malaka dan Maluku). Kehadirab Spanyol di kawasan utara, terutama antara pulau Zebu dan Maluku di satu sisi terbentuk dinamika navigasi pelayaran yang intens, juga muncul persaingan antara Spanyol dan Portugis di (kepulauan) Maluku.

Sebelum kehadiran pelaut-pelaut Eropa di Hindia Timur, kawasan utara adalah ruang navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aru yang beribukota di Binanga di muara sungai Barumun di pantai timur Sumatra. Bukti-bukti ini dapat diperhatikan pada abad ke-2 yang ditemukan dalam catatan dinasti Ming, prasasti Vo Cahn abad ke-3, prasasti Kedukan Bukit abad ke-7, prasasti Ligor abad ke-8 dan prasasti Laguna 900 M. Tentu saja prasasti Laguna ini dapat dihubungkan dengan prasasti Minahasa dan prasasti Seko (Toraja). Navigasi pelayaran Kerajaan Aru di kawasan semakin kuat dengan adanya kerjasama yang intens dengan para pedagang-pedagang Moor. Dalam hal inilah laporan Ibnu Batutah pada tahun 1345 lebih dapat dimengerti. Hingga era Portugus di Malaka, hubungan Kerajaan Aru dan pedagang-pedang Moor ini masih berlangsung. Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aru di ibukota Panajju (Panai) menyebut Kerajaan Aru memiliki kekuatan pasukan sebanyak 15.000 tentara, yang menurut catatan Mendes Pinto, diantara pasukan itu terdapat 7.000 orang yang berasal dari Minangkabau, Indragiri, Jambi, Brienai dan Luzon. Untuk sekadar menambahkan bahwa sistem pemerintahan telah diperkenalkan oleh Kerajaan Aru dengan konsep (bentuk) federasi di teluk Manila (Luzon), Borneo Utara, Minahasa, Toraja-Luwu dan Maluku.

Apapun yang telah bertambah dalam penemuan navigasi pelayaran Portugis (plus Spanyol) di Hindia Timur, para ahli geografi dan karigrafi di Eropa khususnya di Portugis dan Spanyol tidak pernah mengubah kesimpulan bahwa pulau Taprobana adalah pulau Ceylon. Namun, seperti yang disebut di atas, ahli geografi di Jerman membuat kesimpulan bahwa pulau Taprobana bukan Ceylon tetapi menyimpulkan pulau Sumatra (sebagaiman dirilis dalam petanya yang diterbitkan di Jerman pada tahun 1578).

Peta Taprobana Ptolomeus (abad ke-2) adalah karya terakhir dalam bidang geografi di Eropa. Ketika pelaut-pelaut Portugis mencapai India pada akhir abad ke-15, pelaut-pelaut Portugis mempercaya pulau yang mereka temukan (Ceylon, Sri Lanka) adalah pulau Taprobana. Hal ini karena posisinya di dalam peta Ptolomeus memang pulau Sri Lanka atau Ceylon. Tentu saja pelaut-pelaut Portugis menemukan nama-nama tempat di pulau Ceylon berbeda dengan yang diidentifikasi Ptolomeus. Lepas dari pada itu, laporan-laporan pelaut Portugis memenuhi data geografi para ahli di Eropa. Pada era Portugis inilah, salah satu ahli geografi Jerman mulai melihat perbedaan peta Taprobana Ptolomeus berbeda dengan Sri Lanka, sehubungan dengan pengetahuan yang terus bertambah dari laporan-laporan Portugis dan catatan-catatan perjalanan pada abad-abad terakhir (seperti Marcopolo abad ke-13, Ibnu Batutah tahun 1345 dan Nicolo de Conti abad ke-15). Mungkin saja juga mendapatkan catatan-catatan dari Tiongkok dari pihak ketiga. Tampaknya ahli geografi Jerman tersebut mulai curiga dan meragukan peta Ptolomeus.

Sudah barang tentu, pendapat seorang Jerman ini tidak bisa mendobrak pendapat lama (khususnya pendapat Portugis yang mengacu pada peta Ptolomeus). Oleh karena itu peta yang dibuat di Jerman tahun 1578 dengan sendirinya terkubur sendiri hingga seorang pembaca mengirimkan salinannya kepada redaksi Deli Courant di Medan pada tahun 1913. Persoalan yang lama mengendap, terapung kembali.

Pelaut-pelaut Belanda yang menyusul kemudian dalam navigasi pelayaran  perdagangan ke Hindia Timur pada tahun 1595 yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman tidak terlalu memusingkan apa yang diperdebatkan sebelumnya. Sebab navigasi pelayaran pertama ini sangat tergantung pada peta-peta buatan Portugis. Pelaut-pelaut Belanda yang terus berdatangan hanya memperkaya dari pengetahuan yang sudah ada. Dalam literatur Belanda baik semasa VOC maupun semasa Pemerintah Hindia Belanda (koran, majalah dan buku), meski kerap dikutip tetapi tidak ada yang mempersoalkan status pulau Taparobana. Baru tahun 1913 mulai mempersoalkannya setelah suratv kabar Deli courant mempublikasikan pulau Taprobana versi Jerman.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Epistemologi: Data hanyalah Syarat Perlu, Syarat Cukupnya adalah Penalaran

Pada era Portugis sebenarnya sudah begitu banyak peta-peta yang dibuat, termasuk peta-peta di Hindia Timur. Kehadiran pelaut-pelaut Spanyol di Hindia Timur tidak hanya menambahkan data baru juga saling memperkuat dengan data pada peta-peta Portugis. Para ahli geografi dan ahli kartografi menjadi bekerja secara terus menerus, hingga pelaut-pelaut Belanda yang memulai navigasi pelayaran tahun 1595 sudah tersedia peta-peta di pasaram Eropa. Tentu saja pelaut-pelaut Belanda juga turut aktif memperkaya peta yang sudah ada. Dalam hal ini peta-peta awal terus mengalami perubahan dan perbaikan yang semakin signifikan lebih-lebih dengan penggunaan alat-alat dan adanya peningkatan teknologi peralatan navigasi.

Tonase kapal dan kecepatan kapal juga memberi pengaruh pada pemetaan, karena kapal-kapal semakin banyak menampung perbekalan dan barang dagangan yang memungkinkan navigasi pelayaran lebih lama dan lebih jauh. Tonase dan kecepatan kapal adalah modal, sedangkan untuk menutupnya adalah transaksi perdagangan dan potensi nilai perdagangan tambahan di wilayah yang baru, bahkan wilayah yang belum pernah dikunjungi sama sekali. Dari perspektif inilah terbentuknya peta-peta yang semakin banyak dan semakin akurat.

Oleh karena tujuan pembuatan peta adalah untuk melengkapi dan meningkatan akurasi, para pembuat peta semakin tidak menyadari bahwa di satu sisi ada dalam beberapa peta ada perbedaan tidak hanya dari sisi teknis peta, tetapi juga di sisi lain peta yang paling mutakhir yang dijadikan sebagai pedoman baru untuk meningkatkan kelengkapan dan akurasi menyebabkan munculnya anggapan bahwa peta-peta diagap tidak berguna lagi kecuali hanya sebatas (data) sejarah. Kecuali beberapa orang yang tidak diperhitung, nyaris tidak ada lagi yang coba nenbandingkan antara satu peta terdahulu dengan peta-peta selanjutnya. Hal seperti itulah yang terjadi pada peta kuno pulau Taprobana, yang banyak dibahas di awal tetapi kemudian terabaikan hingga ditemukannya peta yang dibuat di Jerman tahun 1578.

Pengetahuan tentang pulau Ceylon pada era Portugis, terutama pada era VOC sudah begitu lengkap. Perbedaan yang ada antara nama-nama geografis pada peta kuno Taprobana dan peta mutakhir pulau Ceylon tidak begitu disadari lagi. Kemajuan teknologi navigasi dan ketepatan para ahli kartografi membuat peta, perbedaan yang ada dianggap semua yang terdapat pada peta-peta lama hanyalah kesalahan para perintis, yang menjadi tugas baru generasi penerus memperbaikinya. Penggambaran peta yang dipandang tidak akurat hanya kesalahan alami, dan perubaham nama tempat dianggap sebagai adanya perubahan nama tempat atau antara promosi (muncul) dan degradasi (hilang) serta pengidentifikasian yang keliru baik yang terkait dengan kesalahan teknis pembuatan peta maupun dalam mengkoding nama-nama geografi dari bahasa asli (lokal) ke dalam bahasa sendiri (Portugis, Belanda dan lainnya). Namun anggapan-angapan seperti ini menjadi fatal, karena ada masalah tersembunyi yang terus tertinggal di perpustakan maupun museum. Peta pulau Taprobana sebagai contohnya, dan bukan satu-satunya.

Penemuan kembali, peta kuno yang dianggap tidak penting lagi di berbagai negara, tetapi seperti disebut di atas, pembaca yang menemukan peta yang dibuat di Jerman pada tahun 1578 sayang dilewatkan begitu saja. Hal itulah mengapa pembaca yang menemukan tidak mengirimkan ke redaksi surat kabar di Eropa, tetapi mengirimkannya jauh-jauh ke Sumatra kepada surat kabar lokal Deli courant yang terbit di Medan. Tentu saja peta itu dianggap masih penting sebab terkait dengan pulau Sumatra sendiri. Para redaktur serius memperhatikannya, sebab itu dapat menjadi kebanggaan lokal dan ada tantangan untuk menganulir pendapat yang selama berabad-abad pulau Taprobana disimpulkan sebagai pulau Ceylon. Oleh karena itu soal pulau Taprobana terbuka kembali untuk diperdebatkan. Jelas bahwa di negara-negara lain seperti Portugis khususnya tidak digubris, tetapi di tempat dimana orang Belanda berada khususnya di Hindia Belanda menjadi sangat berharga peta kuno 1578 itu.

Sejak diangkatnya ke permukaan peta kuno buatan tahun 1578 itu, di satu sisi jelas tidak ada media yang mengapungkannya, kecuali surat kabar dan jurnal yang terbit di Belanda dan Hindia Belanda, tetapi di sisi lain, promosi pulau Taprobana adalah pulau Sumatra semakin kerap dikomunikasikan tidak hanya oleh para jurnalis, peminat sejarah juga para ahli yang melakukan studi-studi geografi dan studi eksplorasi pertambangan, Bukankah pulau Taprobana di zaman kuno dikaitkan dengan sumber emas.

Namun dalam perkembangannya, peta kuno Jerman 1578 hanyalah diangap sebagai nama alternatif pulau Ceylon. Memang para redaksi surat kabar coba mengabalis nama-nama yang terdapat dengan peta dengan peta terbaru, sesungguhnya beberapa nama saja yang dapat dihubungkan meski sangat dipaksakan. Tetapi itu tidak mengurangi nilai peta itu bagi Sumatra, karena nama dalam peta juga nyaris tidak mencerminkan nama-nama geofrafi di pulau Ceylon dari peta terbaru. Ini seakan kembali ke masa kampau ketika seorang Jerman membuat analisis alternatif bahwa peta kuno itu bukan Ceylon tetapi Sumatra. Dalam hal ini diskusi peta kuno pada tahun 1913 itu hanya soal klaim mengklaim, yang tidak memiliki makna sejarah apapun. Klaim tentang Sumatra dalam hal ini tidak diketahui apakah menambah masalah baru atau justru membuka perhatian baru untuk penyelidikan lebih lanjut? Yang jelas bahwa pulau Taprobana sebagai pulau Ceylon versus pulau Sumatra tidak terpecahkan hingga berakhirnya era kolonial.

Pasca kolonial, tentu saja masih ada yang terus mengapungkannya. Tidak laigi soal klaim mengklaim memang tetapi lebih pada suatu penyelidikan sejarah zaman kuno yang berdimensi akademik dibandingkan hanya sekadar mengejar sensasi. Dalam fase pasca kolonial inilah, diskusi di berbagai negara terutama di Eropa, dengan sendirinya di Indonesia mendapat respons karena soal peta Taprobana jelas berurusan dengan Indonesia. Hal itulah yang dilakukan oleh peminat sejarah Dhani Irwanto yang bahkan hasil kajiannya sendiri itu telah dipublikasikan.

Saya sendiri sekitar 10 tahun lalu sudah berulangkali menemukan perdebatan ini dalam literatu berbahasa Belanda, tetapi saya hanya meresponnya sebagai suatu hal masa lalu. Lebih-lebih perhatian saya hanya fokus pada pemahaman sejarah menjadi Indonesia selengkap-lengkapnya dan seakurat-akuratnya dengan berbagai metodologi baik untuk mengumpukan data maupun menganalisis data. Dalam fase-fase inilah saya mulai menyadari bahwa penyelidikan sejarah tidak hanya soal data lama (teks, peta, foto dan lainnya), tetapi juga soal penalaran.

Sekitar tujuh tahun yang lalu saya mereformasi cara mengumpulkan data dengan membanguna manajemen data. Data-data lama saya kemudian saya klassifikasikan berdasarkan wilayah (kota atau pulau) dan berdasarkan topik. Dengan demikian, data yang terkumpulkan berikutnya akan dengan memudahkan untuk pengelompokkan dan memasukkanya di forlder mana. Dari data-data yang terbentuk menurut ruang dan waktu inilah terbentuk artikel-artikel yang saling memperkuat satu sama lain. Tema-tema artikel terus mengalir dan bahkan kecepatannya sudah mengimbangi bagaimana kecepatan dalam pengumpulan data. Dalam pengolahan data-data, analisis dan interpretasi muncul gagasan untuk menerapkan semua metode untuk memverifikasi apakah penggunaan data peta satelit (googlemap)n dan yang terbaru dengan menggunakan data googleearth serta video drone yang banyak ditemukan dalam Youtube. Juga membuka data statistik (yang dikumpulkan BPS) tidak terhindarkan. Tentu saja data dari percakapan lokal (karena semua wilayah juga dicakup dalam analisis dan penulisan) baik teks maupun audio(-visual) juga dibutuhkan terutama dalam aspek linguistik dan cerita-cerita yang berkembang di wilayah setempat.

Dalam penerapan penalaran inilah semua metode digunakan. Saya tidak lagi berbicara hanya sekadar total sejarah, tetapi juga total metode. Hal itulah yang membuat saya perlu melakukan studi retrospektif pada data-data yang saya miliki, Saya tidak lagi berbicara mengurutkan data (seperti tahun kejadian atau tahun pembuatan peta) ke depan, tetapi juga harus vis-à-vis mundur ke belakang sehingga muncul dialog dalam membuat interpretasi. Salah satu hasilnya adalah artikel sejarah Teluk Naga (Tangerang). Metode ini sebenarnya bukan baru, karena saya sudah pernah menggunakannya 10 tahun lalu ketika mengidentifikadsi perkembangan wilayah (lanskap) kota Medan dan Kerajaan Aru. Namun penerapannya semakin intens setelah artikel Teluk Naga (karena sudah menyertakan data googleearth dan video drone). Ketika menganalisis sejarah Kalimantan, saya teringat kembali misteri pulau Taprobana sehingga menemukan jalan saya terhubung dengan tulisan Dhani Irwanto.

Namun demikian saya tidak sedang terburu-buru, saya tidak hanya memerlukan pemetaan sejarah untuk wilayah Indonesia yang masih tersisa, saya juga perlu memperdalam pemahaman ke topik-topik sejarah zaman kuno (prasasti, candi dan benteng). Hal ini tidak hanya memperkaya pemahaman Sejarah Menjadi Indonesia, tetapi juga pada akhirnya saya harus memutuskan untuk memperlajari sejarah di luar Indonesia (terutama Semenanjung, Filipina dan Australia). Saya memang tidak dalam konteks sedang menulis sejarah mereka tetapi menulis sejarah yang terkait dengan Indonesia. Saya juga membutuhkan pekerjaan lama yang terbengkalai dalam hal pembuatan code book yang dapat membantu dalam analisis.

Pada saat menulis artikel-artikel sejarah zaman kuno pada bulan-bulan terakhir ini saya anggap sesuai waktunya yang tepat untuk menulis kembali sejarah kuno yang selama ini terus dianggap misteri termasuk soal paparan Sunda dan pulau Taprobana plus soal Atlantis. Tentu saja banyak soal yang bersifat misteri dalam sejarah Indonesia sudah terpecahkan yang sudah ditulis pada artikel-artikel sebelum ini. Yang jelas dalam analisis dan interpretasi sejarah zaman kuno ini dibutuhkan penalaran (tidak hanya berbasis data saja).

Penalaran yang banyak dilakukan penulis-penulsi sejarah selama ini adalah penalaran yang bersifat intrapolasi. Yakni suatu analisis mengisi kekosongan data diantara dua titik (ruang atau waktu) yang berbeda. Oleh karena sudah sejak lama terbiasa dengan statistik (data dan analisis) maka hal itu mudah dipahami. Yang jarang dilakukan, mungkin tidak terpikirkan adalah melakukan analisis ekstrapolasi pada analisis sejarah. Sebenarnya metode ekstrapolasi ini kurang lebih sama dengan metode intrapolasi. Namun karena ada kekosongan data yang berada pada interval waktu yang panjang pada satu ruang tertentu, maka diperlukan metode ekstrapolasi yang pada dasarnya mirip dengan metode forecasting atau metode proyeksi. Oleh karena semua data yang saya perlukan (paling tidak minimal) telah saya miliki maka analisis ekstrapolasi ini dapat dilakukan. Ini memang tidak lazim digunakan dalam penelitian sejarah, tetapi sejarah sebagai masa lalu, lebih-lebih sejarah yang lebih tua maka data yang ada adakalanya jarak waktu satu sama lain sangat berjauhan. Dalam hal ini sangat naif untuk menghubungkan langsung. Untuk mengisi kekosongan data inilah diperlukan metode intrapolasi (interval pendek) dan metode ekstrapolasi (interval panjang).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pulau Taprobana adalah Pulau Kalimantan: Mari Kita Buktikan!

Sebenarnya semua wilayah (pulau) pada dasarnya memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Namun sangat jarang suatu wilayah atau pulau dianalisis dengan pendekatan sejarah. Demikian juga sangat jarang dalam penulisan sejarah menggunakan data berdasarkan peta (dalam arti time-series). Hal itulah mengapa bidang ini (sejarah peta) kurang mendapat perhatian dan para peminatnya sangat minim. Salah satu topik pada bidang ini adalah kasus pulau Taprobana.

Kasus peta Taprobana muncul ke permukaan yang mendapat perhatian sejak lama (terutama sejak era Portugis) sebenarnya karena adanya persoalan pada peta itu sendiri. Jika peta itu dibuat dengan sebenarnya tidak ada hal yang perlu diperhatikan, tetapi diperlakukan sebagaimana peta-peta lainnya. Hanya saja informamasi dalam peta itu yang membuat bingung, terutama tentang judul peta (nama pulau) yang dihubungkan dengan nama-nama geografi di dalamnya. Sumber kebingungan ini bermula karena ada kekeliruan dalam pemberian nama pulau. Untuk membahas ini lebih lanjut akan diuraikan pada bagian akhir tulisan ini.

Sebagaimana umumnya dalam memahami peta, selalu dimulai dari peta itu sendiri. Pada kasus peta Taprobana identifikasi dimulai dari tempat strategis, yakni pulau Taprobana sendiri. Pulau-pulau kecil lainnya dianggap sekunder dan berada pada urutan terakhir dalam pemahaman, Sebab begitulah peta dibuat. Oleh karenanya memahaminya (membaca) peta mengikuti bagaimana peta dibuat. Baik si pembuat peta maupun si pembaca peta mengikuti azas yang sama.

Namun dalam analisis sejarah peta, si pembaca yang hidup dalam generasi yang berbeda dengan si pembuat peta, selalu berasumsi bahwa wujud peta tidak pernah berubah. Perubahan yang ada hanya dianggap terjadi pada kesalahan teknis pembuatan peta, apakah dari sumber data atau si pembuat peta karena perbedaan pemahaman atau teknologi yang berlaku pada saat pembuatan peta, Oleh karena itu kesalahan itu dapat dimaklumi dan yang diperlukan hanya penyesuaian saja. Sangat jarang yang menyadari secara fisik pulau yang dipetakan dapat berubah dari waktu ke waktu akibat faktor tertentu. Asumsi yang menyatakan bahwa peta itu tidak pernah berubah secara fisik alias tetap apa adanya justru menjadi sumber masalah baru.

Dalam kehidupan itu sendiri mengajarkan bahwa mengetahui lebih banyak akan lebih mudah memahami (mempelajari) yang lebih sedikit. Sebaliknya, kurangnya pengetahuan cenderung buta untuk memhami (melihat) sesuatu yang lebih besar atau yang lebih luas. Itu ibarat semua orang buta dalam memahami gajah besar hanya melahirkan persepsi yang berbeda-benda, tergantung bagian mana dari tubuh gajah yang dipegang.

Untuk menghindari cara berpikir seperti itu, memperluas pengetahuan adalah cara memperkirakan jarak apakah kita harus menggunakan cara teleskop (jauh dan besar) atau cara mikroskop (dekat dan kecil). Dalam hal ini memperluas pengetahuan akan menghindari kita salah sasaran menuju tujuan.

Saya beruntung telah mempelajari sejarah pulau Kalimantan. Bahkan semua sudut-sudut pulau Kalimantan. Kebetulan pendekatan yang saya gunakan adalah total sejarah (memahami semua aspek) dengan menggunakan semua sumber data (teks, peta dan lainnya) dan semua metode analisis (intrapolasi dan ekstrapolasi). Dengan begitu saya telah memperluas pengetahuan. Pada fase terakhir dalam mempelajari sejarah pulau Kalimantan itu saya teringat perdebatan lama dalam sejarah peta (yakni peta kuno Taprobana). Saya dengan sendirinya secara otomatis terhubung antara pertanyaan dan jawaban. Apakah saya secara tidak sengaja menemukan jawaban pertanyaan lama? Itulah awal munculnya gagasan menulis topik (artikel) ini.

Dalam menganalisis sejarah suatu wilayah (kota, pulau) saya selalu memulai dari situs-situs penting sebagai permulaan navigasi, Untuk wilayah yang lebih luas saya mulai dari tanda-tanda geografis terpenting, nama tempat, nama sungai, nama gunung dan sebagainya. Dalam analisis peta Kalimantan itulah saya menemukan pola aliran sungai-sungai yang mirip dengan pola aliran sungai yang terdapat pada peta Taprobama. Tentulah pola aliran sungai setiap pulai di Indonesia berbeda satu sama lain. Pada analis peta Sumatra sebelumnya saya tidak pernah memiliki kesadaran untuk menghubungkan pola sungai yang terdapat peta Taprobana, tetapi pada peta Kalimantan memori pulau Taprobana muncul. Tentu saja itu tidak cukup meski saya hubungkan dengan pola rantai pegunungan.

Ketika saya memperhatikan kembali nama-nama geografi yang terdapat di dalam peta pulau Taprobana, saya semakin terkejut ada sejumlah nama geografi dengan yang saya ingat tentang nama-nama geografi pada pulau Kalimantan. Seperti disebut di atas, metode penalaran pun saya terapkan dalam menghubungkan semua pengetahuan saya dengan merumuskan peta Taprobana. Eureka!

Bagaimana merumuskannya adalah sebagai berikut: (1) Sungai-sungai yang digambarkan pada peta Taprobana lebih pendek dari situasi dan kondisi sekarang pulau Kalimantan. Proses sedimentasi menjadi sebab sungai-sungai di Kalimantan lebih panjang dibandingkan dulu (hal ini juga saya temukan di Sumatra dan Jawa); (2) Dengan menarik garis sungai lebih panjang bertemu dengan nama-nama pulau di peta Taprobana yang sudah menyatu dalam peta-peta pada era Portugis (dan VOC); (3) Pulau-pulau kecil yang menyatu dengan pulau Kalimantan memperkuat dugaan saya sebelumnya bahwa terdapat wilayah yang lebih tinggi diantara kawasan sedimentasi (ini juga pernah saya temukan di Kota Padang dan Kota Palembang); (4) Pada peta Ptolomeus ada garis equator yang sesuai dengan posisi pulau Kalimantan; (5) Menarik kesimpulan bahwa peta Taprobana era Ptolomeus adalah sebagian dari wujud fisik peta Kalimantan pada masa ini. Dengan demikian peta Taprobana bukan pulau Ceylon dan juga bukan peta Sumatra

Dengan kesimpulan bahwa peta Taprobana era Ptolomeus adalah pulau Kalimantan pada masa ini maka dapat disusun deskripsi lengkapnya (memperbandingkan peta Taprobana dengan perubahan-perubahan yang terjadi selama sekian abad dengan mengurutkan semua peta-peta yang ada sejak era Portugis. Perbedaan antara satu peta dengan peta pada pulau yang sama dengan waktu yang berbeda (versi) sesungguhnya hanyalah soal presisi (karena perbedaan tingkat teknologi pengukuran).

Orang zaman kuno dengan orang zaman Now sesungguhnya kepintarannya sama, karena volume otaknya sama. Dalam hal ini orang zaman kuno, seperti Ptolomeus  bukanlah orang bodoh. Mereka memiliki nalar seperti kita sekarang, bernalar dengan menggunakan basis data (empiris), melakukan versifikasi dan menginterpretasi sesuai nalar-empiris. Bagaimana saya bisa kepada cara bernalar untuk membandingkan peta Taproban Ptolomeus dengan peta masa kini (googlemap), sebelumnya saya sudah melakukan hal yang sama dengan pulau Sumatra, bahwa kota Palembang dan kota Jambi di era zaman kuno berada di pantai (untuk memahami itu saya bandingkan peta-peta jadul antar waktu dengan peta rupa bumi zaman Now dengan googleearth dan video drone yang diupload di Youtube serta data statistik tentang ketinggian lokasi dpl yang dikeluarkan oleh BPS).

Berikut adalah beberapa tanda-tanda geografis berdasarkan peta Taprobana Ptolomeus dengan situasi dan kondisi di pulau Kalimantan dan sekitar pada masa ini.

Arah pemetaan: Ptolomeus menyusun peta dari sudut pandang dari barat, tetapi sumber peta awal berasal dari arah utara (Tiongkok). Pada era Ptolomeus sudah ada navigasi pelayaran dari Laut Merah ke pulau Ceylon (India selatan). Hal ini karena catatan geografi Ptolomeus juga sudah menyebuat Sumatra dan Katigara (Kamboja). Sedangkan pada era jauh di belakangnya arah navigasi dari daratan Indochina atau Tiongkok (Katigara).

Arah pemetaan ini juga dilakukan pada awal era Portugis. Dalam catatan dinasti Shua abad ke-2 sudah ada kontak perdagangan dengan Kerajaan Aru pantai timur Sumatra dengan Tingkok di Annam (Yeh-shin). Keberadaan Annam ini juga dicatat pada prasasti Vo Cahn abad ke-3. Arah pedagangan zaman kuno sejak Kerajaan Aru ini yang kemudian diikuti oleh pelaut-pelaut Portugis yang berpusat di Malaka. Oleh karena itu pada era Portugis sudah banyak nama-nama yang diidentifikasi di pantai utara Borneo. Sementara di bawah garis khatulistiwa tidak begitu dikenal.

Pegunungan: Rantai pegunungan di dalam pulau dari arah timur laut ke arah barat daya. Dengan kata lain rantai pegunungan saat ini dari Sabah hingga bagian tengah pulau Kalimantan. Pada rantai pegunungan inilah ditemukan puncak-puncak gunung. Sementara itu terdapat dua gunung yang terpisah. Di sebelah barat (Kalimantan Barat) puncak gunung tertinggi adalah gunung Niut setinggi 1.701 M dan yang terpisah di sebelah selatan (Kalimantan Selatan) dengan puncak tertinggi gunung Besar setinggi 1.892 M. Pada tempo doeloe (peta Ptolomeus) dua gunung terpisah tersebut berada di pulau terpisah dari pulau Taprobana. Gunung Besar ini adalah puncak tertinggi di pulau Calandradua (peta Ptolomeus)

Pada peta Taprobana Ptolomeus, nama pegunuangan Malea (Malea mons) yang berada di tengah pulau diduga kuat merujuk pada nama Himalaya. Nama Melea ini juga ditemukan di Semenanjung dan Tapanuli. Nama Malea di pulau Taprobana diduga menjadi asal usul Melawi yang pada era Portugis Melawi diidentifikasi sebagai Laue. Untuk sekadar catatan tambahan bahwa sebelum disebut nama sungai Kapuas, nama sungai adalah sungai Melawi. Namun dengan terbentuknya kerajaan besar di pantai barat (Pontianak) nama sungai Melawi berganti dengan nama Kapuas di hilir tetapi di wilayah hulu tetap disebut sungai Melawi. Hal serupa ini banyak ditemukan di wilayah Indonesia seperti sungai Jacatra (Tjiliwong); Bekasi (Tjilengsi), Karawang (Tjitaroem) dan Tangerang (Tjisadane). Hal yang sama juga dengan sungai Barito (Doesoen), sungai Mahakam (Koetai) dan sungai Bulungan (Kayan)

Daerah aliran sungai. Pada peta Taprobana Ptolomeus ada beberapa sungai besar yang diidentifikasi. Sungai ke arah barat adalah bagian hulu sungai Kapuas, ke arah selatan adalah hulu sungai Barito, ke arah tenggara adalah hulu sungai Mahakam. Diuia sungai di arah timur laut adalah sungai Kayan (sungai Boeloengan) dan sungai Sugut (Sabah). Pada peta  Ptolomeus di muara sungai sebelah barat adalah Sindocanda yang diduga kuat pada masa ini dengan nama Sekadau.

Bagaimana dengan sungai Kahayan yang sekarang? Pada zaman Ptolomeus, bagian hulu sungai Kahayan dianggap masih sungai kecil. Sungai Kahayan yang sekarang membesar pada bagian hilir yang merupakan kawasan rawa-rawa awalnya dan kemudian dengan adanya proses sedimentasi jangka panjang terbentuk daratan yang luas mulai dari Palangkaraya yang sekarang.

Equator: Pada era Ptolomeus atau sebelumnya, posisi equator begitu penting dalam pemetaan dan navigasi pelayaran (dalam memanfaatkan arah angin). Pulau Taprobana yang digambarkan Ptolomeus di lalui garis equator. Pada saat ini garis equator di pulau Kalimantan melewati kota Pontianak dan Kutai Kartanegara. Pulau Ceylon di India selatan tidak dilalui garis khatulistiwa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kilas Balik Apa yang Menimbukan Nama Taprobana Begitu Sulit Dipahami?

Apakah Taprobana atau pulau Borneo adalah pulau yang benar-benar disebut Ptolomeus atau hanya sekadar judul yang diberikan oleh para ahli lain sebelum orang-orang Portugis mendapatkan peta tersebut? Sebab peta Ptolomeus itu merupakan salinan yang diperoleh dari pihak ketiga yang digunakan oleh para ahli geografi dan ahli kartografi di Portugis. Tidak begitu jelas siapa yang memberikan nama peta (Taprobana, Sri Lanka dan Ceylon), sedangkan nama-nama geografi di dalam peta merupakan akumulasi dari berbagai sumber yang terus diupdate hingga saat Ptolomeus menyalinnya.

Nama pulau hanya diberikan jika tidak ada nama tempat di dalamnya? Jika pulau besar sudah ada nama tempat, umumnya nama pulau tidak disebut lagi tetapi nama yang muncul adalah nama wilayah. Penamaan nama wilayah ini ada yang mengikuti nama tempat yang dijadikan sebagai nama pulau lalu menjadi nama wilayah, tetapi ada juga nama wilayah diberikan oleh para ahli apakah berdasarkan kesepakatan atau karena peta yang dibuat satu orang lalu diikuti (diteruskan) oleh ahli berikutnya. Hal itulah yang terjadi dengan nama pulau Jawa dan pulau Sumatra. Sedangkan kasus nama pulau Kalimantan berbeda lagi sebab yang memberikan nama Borneo adalah pelaut-pelaut Portugis berdasarkan kota pelabuhan yang mereka kunjungi tahun 1521 (Boernai). Akan tetapi nama pulau Kalimantan sendiri sudah eksis (yang diduga merujuk pada nama Kari Mata atau Kari Matan). Sedangkan nama Semenanjung berawal dari nama geografi (gunung dan tempat) yakni Malaya menjadi Malaka kemudian muncul nama Melayu. Untuk penamaan pulau Sulawesi bahkan masih terbilang baru. Pada awal era Portugis tidak diketahui persi nama pulau, tetapi pelaut  Portugis awalnya mengidentifikasi sebagai pulau Makassar (merujuk pada kota yang dilihat dari selatan) tetapi pedagang-pedagang Portugis yang sudah memusat di Maluku menyebut pulau itu menjadi Celebes yang merujuk pada pulau Sula dan pulau Wesi atau Besi (Sulawesi atau Sulabesi).

Besar dugaan bahwa peta itu semasih Ptolomeus pulau yang dimaksud (pulau Borneo) tidak memiliki nama, hanya memiliki nama-nama geografi. Lantas siapa yang memberi nama peta sebagai pulau Taprobana. Nama pulau Taprobana sendiri adalah pulau Ceylon itu sendiri, suatu nama yang sudah sejak lama melekat pada pulau sebelum diganti menjadi pulau Ceylon. Nama Ceylon sendiri dalam hal ini bukanlah nama India tetapi diduga kuat nama Eropa, nama yang diberikan untuk menggantikan nama Taprobana.

Jika kita mengacu pada nama Taprobana sebagai kejadian Hindoe seperti disebut di atas, maka pulau Ceylon sendiri sudah memiliki nama sejak awal dengan nama Taprobana. Lalu dalam perkembangannya nama pulau Taprobana itu diidentifikasi dengan nama baru pulau Ceylon. Lantas siapa yang memberikan nama pulau Ceylon untuk pulau Taprobana?

Tampaknya ada kekeliruan dalam pemberian nama pulau yang tidak bernama (pulau Borneo) dengan nama baru pulau Taprobana. Untuk membedakan pulau Taprobana (pulau) Borneo) dengan pulau Taprobana yang asli lalu diberikan nama baru sebagai pulau Ceylon. Jika kita bisa berandai-anadai yang memberikan nama Taprobana kepada pulau yang tidak bernama (pulau Borneo) dan mengganti pulau Taprobana dengan nama baru pulau Ceylon diduga  kuat adalah oleh Ptolomeus sendiri. Dalam hal ini ada kebiungungan yang dialami Prolomeus tetapi tidak disadarinya. Pada generasi berikutnya, pada era Islam, pelaut-pelaut Arab dan Persia mengikuti nama pulau Taprobana yang telah diberikan oleh Ptolomeus.

Dalam catatan geografi Ptolomeus, selain nama pulau yang tidak bernama (pulau Borneo) telah diberikan nama Taprobana, Ptolomeus juga telah mencatat nama yang disebut Katigara. Ptolomeus juga telah menyebut nama Sumatra yang disebutnya pada bagian utara pulau dikenal sebagai penghasil produksi kamper. Kelak nama Katigara era Ptolomeus itu diketahui sebagai Kamboja. Dengan demikian sangat masuk akal bahwa tiga nama geografi yang disebut Ptolomeus berdekatan satu sama lain yakni Sumatra, Taprobana (pulau Borneo) dan Katigara (Kamboja atau Cochinchina).

Jadi dalam hal ini yang diduga membuat kekeliruan pertama adalah Ptolomeus sendiri. Ptolomeus salah persepsi tentang nama pulau Taprobana (dengan menyebut nama baru Ceylon) satu hal. Hal lainnya Ptolomeus yang mengira pulau tak bernama (pulau Borneo) mengira adalah pulau Taprobana. Oleh karena itu generasi sesudah Prolomeus (yakni Arab dan Persia) terus menggunakan peta-peta itu dengan nama Ceylon (Sri Lanka) dan Taprobana (Borneo).

Dalam catatan dinasti Ming, disebut bahwa pedagang-pedagang Arab sudah berada di Canton pada abad ke-7 melalui laut (nabi Muhammad masih hidup). Pada abad ke-9 orang-orang Arab sendiri sudah memiliki koloni yang kuat di Canton dengan nama Kanfuu (boleh jadi asal usul terminilogi kampung). Besar dugaan bahwa pulau Taprobana yang diwariskan oleh Ptolomeus tidak pernah dikunjungi oleh pedagang-pedagang Arab karena rute navigasi pelayaran perdagangan yang terpenting adalah Ceylon melalui selat Malaka, Katigari, Annam (Champa) terus ke Tiongkok (Canton). Hal itulah mengapa peta pulau Taprobana versi Ptolomeus tidak pernah disinggung (alias terlupakan).

Lantas bagaimana dengan nama pulau Taprobana versi Ptolomeus? Namanya disebut oleh penduduk asli sebagai pulau Kalimantan (diduga merujuk pada nama Kari Mata, Kari Matan dan Kali Matan) atau nama lain sebelum disebut Kalimantan. Harap diingat bahwa nama Bormeo seperti disebut  di atas baru muncul setelah kunjungan Portugis ke Boernai pada tahun 1521. Nama asli Kalimantan diganti dengan Borneo.

Ketika pelaut-pelaut Portugis mencapai Hindia Timur, sejatinya pelaut-pelaut Portugis mengira pulau Kalimantan belum memiliki nama. Hal itu karena pelaut-pelaut Portugis sudah yakin pulau Taprobana adalah pulau Ceylon (Kesalahan I: Ptolomeus). Oleh karena itu mereka anggap pulau ini tidak ditemukan dalam peta-peta lama. Dari sinilah pelaut-pelaut Portugis memberikan nama Borneo (meski sebenarnya sudah disebut Ptolomeus sebagai Taprobana). Oleh karena pelaut-pelaut Portugis hanya mengetahui pulau Taprobana adalah pulau Ceylon, maka pelaut-pelaut Portugis mengidentifikasi pulau Taprobana versi Ptolomeus atau pulau Kalimantan versi penduduk asli dengan nama baru pulau Borneo (Kesalahan II: Portugis). Dalam hal ini, tidak hanya Ptolomeus yang membuat generasi berikutnya bingung, pelaut-pelaut Portugis juga membuat lebih bingung lagi generasi berikutnya seperti kita ini.

Atas kekeliruan itu semua (yang bermula pada Prolomeus), generasi-generasi selanjutnya (era Portugis) hanya mengikuti Ptolomeus bahwa pulau Taprobana adalah pulau Ceylon dan pulau Kalimantan yang menurut  penduduk asli diidentifikasi Portugis sebagai pulau Borneo. Dalam hal ini pelaut-pelaut Portugis selain memiliki kontribusi yang membuat bingung dan tentu saja para ahli geografi Portugis juga membuat bingung karena menganggap pulau Ceylon adalah pulau Taprobana versi Ptolomeus dan pulau Kalimantan adalah pulau Borneo. Bentuk pulau Taprobana era Ptolomeus yang memang mirip secara fisik dengan pulau Ceylon pada era Portugis juga menjadi pangkal perkara yang menyebabkan pelaut-pelaut Portugis keliru dalam menyimpulkan. Hal lain juga yang menjadi penyebab terjadinya kekeliruan adalah pada era Portugis bentuk pulau Kalimantan (pulau Borneo) memang sangat berbeda dengan peta Taprobana Ptolomeus.

Dapat dipastikan ahli-ahli geografi Portugis juga pada awalnya bingung yang mungkin bisa jadi menyalahkan Ptolomeus salah mencatat nama-nama geografi di dalam pulau atau bisa juga ditafsirkan nama-nama tempat zaman kuno di pulau tersebut telah berganti (ketika pelaut-pelaut Portugis mencapai India dan pulau Ceylon 1498). Adanya kekeliruan yang dibuat para ahli geografi Portugis, boleh jadi disadari oleh ahli lain di negara lain. Hal itulah diduga yang menyebabkan muncul perbedaan penafsiran pulau Taprobana dari Jerman yang menolak pulau Ceylon tetapi menyimpulkan sebagai pulau Sumatra (versi Munster 1578). Namun para ahli geografi Portugis bersikuh itu adalah pulau Ceylon, maka pulau Taprobana versi Ptoloemeus adalah pulau Ceylon, karena sejauh itu hanya pelaut-pelaut Portugis yang sudah mencapai India dan Hindia Timur. Akibatnya nama peta Taprobana versi Jerman (1578) karena kalah secara politis menjadi terbenam hingga ditemukan kembali pada tahun 1913.

Sebenarnya dengan ditemukan kembali peta Taprobana versi Jerman 1578 pada tahun 1913 seakan memunculkan kembali perdebatan zaman kuno (era Ptolomesu dan era Portugis). Hal itulah sejak 1913 mulai muncul upaya baru untuk membuka kotak pandora (nama pulau Taprobanda). Dalam hal ini sejak 1913 paling tidak mulai bergema dua penafsiran yang berbeda (Ceylon vs Sumatra). Perdebatan baru ini (pengulangan) di satu sisi sebenarnya tidak menyelesaikan masalah yang ada, tetapi di sisi lain dengan dua penafsiran itu justru tetap membuka peluang untuk menemukan kebenaran. Namun lagi-lagi terjadi deadlock (karena secara inheren ada masalah yang tersembunyi di dalam masalah). Lalu bagaimana kelanjutnya? Perbedaan penafasiran tetang menjadi tantangan baru bagi generasi selanjutnya seperti kita pada dewasa ini. Dalam hal inilah mengapa Dhani Irwanto mencoba memberi kontribusi untuk menemukan kebenaran.

Kekeliruan dalam menafsirkan pulau Taprobana tidsak hanya soal membedakan pulau Ceylon dengan Sumatra di satu sisi. Juga di sisi lain dengan penamaan pulau  Borneo. Seperti penamaan pulau-pulau lainnya seperti pulau Sumatra dan pulau Jawa, pulau Taptobana sebagai pulau Ceylon juga adakalanya terdapat perbedaan dalam penafsiran dengan nama yang lain yakni pulau Sri Lanka. Penamaan nama pulau Sri Lanka muncul pada era Kerajaan Chola. Kemudian nama tersebut digantikan lagi dengan nama sebelumnya Ceylon. Pada masa kini nama Sri Lanka dikembalikan lagi. Oleh karena itu nama-nama pulau tersebut adakalanya tertukar. Hal ini juga sama dengan pulau Sumatra yang bahkan memiliki banyak nama: Sumatra, Andalas, Pertja, Swarnadwipa, Swarmabhumi, Yeh-tiao (Tiongkok). Namun dalam hal ini fokus kita hanya terbatas pada nama pulau Taprobana apakah pulau Ceylon, Sumatra atau Borneo. Adanya perbedaan penafsiran tentang (nama) pulau Taprobana adalah utang nenek moyang pada generasi masa kini. Utang harus dilunasi.

Dalam upaya mengeliminasi perbedaan penafsiran di masa lampau tentang (nama) pulau Taprobana, artikel ini telah ikut memberi kontribusi untuk menemukan kebenaran. Dalam artikel ini pulau Taprobana versi Ptolomeus sejak abad ke-2, yang selama ini menimbulkan perbedaan penafsiran, dismpulkan bahwa posisi GPS pulau Taprobana adalah pulau Kalimantan (di Indonesia).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pelajaran dari Kasus Peta Taprobana

Apa yang bisa kita pelajari dari kasus peta Taprobana dapat dibagi ke dalam dua hal. Pertama, kasus peta Ptolomeus sediri. Dalam hal ini, Eropa, khususnya para ahli geografi Portugis dan Spanyol diduga kuat dengan sadar dan sengaja telah ‘bermain’ dalam kasus peta Taprobana tersebut yang di satu sisi memojokkan Ptolomeus, dengan sadar atau tidak sadar telah menuduh Ptolomesu keliru dalam memetakan pulau Taprobana, tetapi dengan maksud untuk kepentingan Eropa, khususnya Portugis dan Spanyol. Kedua, Jika kasus peta Taprobana tersebut telah selesai perkaranya dengan kesimpulan bahwa pulau Taprobana adalah pulau Kalimantan, sesungguhnya banyak kasus serupa dalam dunia sejarah (zaman kuno), yang juga perlu dituntaskan. Tidak hanya bidang peta dan kartografi, juga dalam bidang-bidang lain seperti prasasti-prasasti, candi-candi dan benteng-bentang dan bahkan soal benda-benda kepurbakalan dan kerajaan-kerajaan.

Tidak hanya kasus zaman kuno, era sejarah modern dan bahkan era mutakhir juga terjadi soal data dan perdebatan yang tidak pernah tuntas. Pada era kolonial juga terjadi klaim mengklaim sejarah yang sudah tentu bermula dari data dan sumber yang digunakan. Pihak-pihak yang klaim mengklaim sejarah ini terutama the big five (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Prancis). Pada era mutakhir, sebagaimana Indonesia sudah masuk radar itu, apakah kasusnya terjadi pada era pendudukan Jepang, era perang kemerdekaan, era orde lama maupun era orde baru. Dalam sejarah Indonesia, hingga ini hari masih banyak yang bersifat debatable. Kasus yang terakhir kita dihebohkan oleh Kamus Sejarah Indonesia. Dalam artikel ini hanya membatasi pada pelajaran sejarah yang bersumber dari zaman kuno.

Dalam kasus peta Taprobana yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin Ptolomeus melakukan kekeliruan yang justru menjadi bidang keahliannya. Ptolomeus hidup pada zaman dimana sesuatu bernuansa politis. Para ilmuwan saat itu tengah berkembang, ingin membangun dan membuat pondasi peradaban yang kokoh. Dalam bahasa sekarang, para ilmuwan Eropa pada saat itu masih berpikir jernih dan berusaha menjaga jarak dengan pihak kerajaan dan gereja, Hal ini sangat berbeda pada era renaisans, ketika pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol mendahului yang lain.

Mengapa terkesan soal peta Taprobana seakan menjadi tanggungjawab Ptolomeus sendiri. Ptolomeus seakan dituduh keliru dan menjadi kebingungan publik selama berabad-abad. Jelas bahwa Ptolomeus di dalam petanya memeri judul pada petanya, bukan pulau Ceylon tetapi pulau Kalimantan. Kekeliruan Ptolomeus mungkin hanya sedikit, yakni memberikan judul Taprobana kepada pulau Kalimantan, sementara nama Taprobana adalah nama awal pulau Ceylon di India. Saya menduga kuat bahwa nama pulau Taprobana di India telah berubah (apakah nama Ceylon atau Sri Lanka), lalu pedagang-pedagang India memberikan nama itu kepada pulau Kalimanta. Jadi, dalam hal ini Ptolomeus hanyalah sekadar mencatat mengindentifikasi yang sudah ada (bukan mengarang). Sebagai ilmuwan, tentulah Ptolomeus mencatat apa yang pernah benar-benar ada. Sebagaimana dibuktikan di atas, peta pulau Taprobana yang berasal dari (era) Ptolomeus benar-benar sesuai dengan fakta pulau Kalimantan (bentuk, posisi, situasi geografis dan nama-namanya). Terlalu naif mengatakan bahwa Ptolomesu tidak mengetahui keberadaan pulau Kalimantan, padahal Ptolomeus sduah mencatat nama-nama Sumatra (khususnya bagian utara) dan Katgara. Terlalu kecil pulau Ceylon mendapat perhatian menjadi satu peta khusus dalam kumpulan catatan geografinya Ptolomeus, sementara pulau Kalimantan terbilang lebih besar. Sebagai pulau terjauh di timur Ptolomeus tentu menaruh perhatian besar (karena menjadi ujung bumi). Oleh karena itu tidak ada yang salah dengan peta Ptolomesu dengan pulau Taprobana, keciali bahwa nama Taprobana jauh sebelumnya pernah menjadi nama pulau Ceylon.

Sangat mungkin yang melakukan kekeliruan (sengaja atau tidak sengaja) tentang pulau Taprobana Ptolomeus adalah orang-orang Portugis (pelaut maupun para ahli geografi). Jika pelaut-pelaut Portugis menyadari pada kunjungan-kunjungan pertamanya ke India bahwa terjadi perbedaan isi peta dengan kenyataan, mengapa hal itu tetap dipertahankan. Ketika pelaut-pelaut Portugis mencapai Hindia Timur (termasuk pulau Kalimantan) mengapa pikiran dan pendapat tidak berubah dan tetap bersikukuh pulau Taprobana Ptolomeus adalah pulau Ceylon. Lalu mengapa pelaut-pelaut dan para ahli Portugis dengan buru-buru memberikan nama Borneo pada pulau Kalimantan (pulau yang sudah diberikan nama oleh Ptolomeus dengan nama Taprobana).

Dalam peta-peta Portugis, sesungguhnya bentuk kasar pulau Taprobana Ptolomeus lebih mirip pulau Kalimantan daripada pulau Ceylon. Bahkan nama-nama geografi yang terdapat pada peta Ptolomeus lebih banyak yang mirip dengan pulau Kalimantan daripada pulau Ceylon. Satu bukti yang paling kasat mata ada penarikan garis equator pada peta Ptolomeus. Dalam hal ini, tampaknya orang-orang Portugis, yang didukung pihak kerajaan (rajanya) ingin mengangkat citra Portugis di atas kerajaan-kerajaan lain di Eropa yakni pemberian nama baru pulau Kalimantan dengan pulau Borneo, bukan dengan mempertahankan nama Taprobana. Faktanya bahwa nama Taprobana tidak digunakan tetapi orang-orang Portugis lebih memilih nama Ceylon atau Srilanka. Nama Taprobana boleh jadi dianggap masa lalu yang dianggap mereka tidak terlalu penting, nama masa depan yang perlu ingin dibangun ke masa depan. Di Hindia Timur, hanya orang-orang Portugis yang lazim mengubah nama geografi, yang sangat jarang pada orang-orang Spanyol, Belanda dan Inggris.

Untuk soal navigasi pelayaran khususnya ke Hindia Timur, orang-orang Portugus tidak hanya mengorbankan para pendahulu (seperti Ptolomeus), juga orang-orang Portugis dengan sangaja ingin menutupi peran orang-orang Moor. Sebagaimana diketahui orang-orang Portugis (juga Spanyol) memiliki pengalaman yang buruk dengan orang-orang Moor, paling tidak hingga munculnya Perang Salib di Eropa. Ruling class di Eropa terutama di Spanyol dan Portugal adalah orang-orang Moor dengan kota-kotanya seperti Cordoba dan Andalusia. Dalam hal navigasi pelayaran, terutama ke Hindia Timur, orang-orang Moor adalah pendahulu (predecessor) pelaut-pelaut Portugis (dan Spanyol).

Orang Moor adalah eks penduduk Eropa Selatan (terutama di Spanyol dan Portugis) yang beragama Islam yang memerintah sejak berabad-abad dan menyebar ke berbagai wilayah di muka bumi pasca Perang Salib. Komunitas orang Moor terdakat berada di Afrika Utara seperti Maroko, Tunisia dan Mauritania. Otang-orang Moor telah memiliki peradaban yang tinggi dan ilmu pengetahuan yang mumpuni dalam bidan navigasi pelayaran dan perdagangan yang menjadi faktor penting mereka bisa mencapau Hindia Timur yang awalnya hanya terbatas di sekitar selat Malaka. Orang-orang Moor yang stateless inilah di seputar selat Malaka menguasai perdagangan yang meneruskan perdagangan domestik untuk diteruskan ke India, ke Arab dan bahkan Eropa selatan. Komunitas orang Moor yang begitu banyak di selat Malaka menjadi sebab Ibnu Batutah pada tahun 1345 berkunjung ke selat Malaka dan Tiongkok. Orang-orang Moor inilah yang sangat diandalkan pelaut-pelaut Portugis ketika dilakukan navigasi pelayaran pertama Portugis hingga mencapai India dan selat Malaka. Dalam hal ini dalam sejarah navigasi pelayaran pertama Eropa ke timur tidak pernah mencatat peran orang-orang Moor, seakan-akan Portugis yang memulainya dalam segala hal. Apakah hal itu yang juga menjadi sebab Portugis memaksakan nama Taprobana pada pulau Ceylon sebagai nama kuno dan memaksanakan nama baru untuk Kalimantan dengan nama Borneo? Tampaknya orang-orang Portugis telah memanipulasi sejarah. Seperti yang diuraikan di atas, generasi-generasi berikutnya dibuat bingung, yang dalam hal ini tentang pulau Taprobana. Jika membandingkan catatan-catatan kuno yang berasal dari Tiongkok pada abad teraakhir, banyak aspek sejarah dalam sejarah Portugis yang tampaknya perlu dikoreksi. Tapi siapa yang peduli.

Pelajaran kedua yang dapat diambil dari kasus peta Taprobana (Ptolomeus vs Portugis) adalah begitu banyaknya kekeliruan yang disengaja atau tidak disengaja tentang perihal lainnya pada sejarah zaman kuno. Kita dapat mendaftarnya disini yang penting adalah dua yang utama yakni prasasti-prasasti dan candi-candi di Hindia Timur yang dihubungkan dengan eksistensi kerajaan-kerajaan..

Tunggu deskripsi lengkapnya

Studi tenttang Peta-Peta

Kerap saya katakan dalam banyak artikel, peta adalah bagian dari sejarah, paling tidak sebagai sumber data. Saya sudah banyak gunakan peta-peta sebagai sumber data dalam analisis sejarah yang saya lakukan. Peta-peta begitu penting sebagai sumber sejarah seperti halnya teks (koran, majalah, buku dan sebagainya). Bagi peminat sejarah, jutaan peta-peta yang dibuat pada masa lalu pada masa kini ribuan peta yang bisa kita akses di internet, termasuk peta Taprobana dan puluhan peta Borneo atau peta Kalimantan.

Peta tidak hanya sebagai sumber data yang hanya melengkapi sumber-sumber data lainnya, tetapi peta-peta yang begitu sangat banyak dari waktu ke waktu (bersifat time-series) dapat dijadikan sebagai topik sendiri dalam analisis sejarah. Dalam blog ini sudah banyak artikel yang mengandalkan peta-peta untuk mengkostruksi sejarah di suatu kota  atau wilayah tertentu. Dalam hal ini sumber data teks justru hanya sebagai pelengkap. Kebutuhan sumber data peta dalam analisis sejarah dapat diperkuat dengan peta-peta satelit seperti googlemap dan googleearth serta video drone yang bisa diakses di Youtube.

Sejarah peta itu terbagi paling tidak pada tiga era berbeda. Era pertama ketika era Ptolomeus pada abad ke-2 dengan muncul bidang kartografi yang menjadi bidang perhatian para ahli mulai melakukan rekonstruksi secara komprehensif peta-peta yang tersebar di berbagai tempat dari era yang berbeda-bedan ke dalam satu koleksi peta dunia. Salah satu hasil pengumpulan data, penggambungan berbagai peta dari banyak sumber adalah peta dunia yang dipublikasikan oleh Ptolomeus yang di dalamnya termasuk peta (pulau) Taprobana. Era lain yang terpenting adalah era Portugis (yang dimulai pada akhir abad ke-15) ketika pelaut-pelaut Eropa mulai tertantang untuk menembus batas-batas navigasi pelayaran tradisional. Pelaut yang terkenal saat ini adalah seorang pelaut yang ambisius asal Genoa, Kristoforus Kolumbus. Sejak inilah para ahli geografi dan ahli kartografi meningkatkan intensitas kajiannya. Peta buatan Ptolomeus dijadikan sebagai pijakan awal.

Keutamaan pelaut-pelaut Portugis bagi kita pada masa ini adalah karena secara historis memiliki keterkaitan langsung dengan Indonesia (baca: Hindia Timur) pada awal navigasi pelayaran Eropa (mencapai Malaka pada tahun 1509). Tentu saja pelaut-pelaut Portugis sendiri, beberapa tahun kemudian langkah pelaut-pelaut Portugis ini diikuti pelaut-pelaut Spanyol yang menemukan jalan ke Hindia Timur melalui arah barat melalui (lautan) Pasifik hingga ke Zebu (Filipina) pada tahun 1524. Peta-peta navigasi pelayaran Portugislah yang banyak kita gunakan pada masa kini yang terkait dfengan Hindia Timur (baca: Indonesia).

Sejak kehadiran Portugis dan Spanyol di Hiindia Timur, upaya pengumpulan peta-peta sudah lama ditinggalkan, yang terjadi adalah pembentukan peta-peta baru dari hasil-hasol ekspedisi pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol. Demikianlah kumulatif data baru terus memperkaya dan mengupdate peta-peta yang sudah ada. Perubahan-perubahan yang terdapat pada peta-peta itu dapat diamati pada peta-peta yang diterbitkan dari berbagai dekade dan berbagai abad. Bentuk peta-peta dan akurasinya dari waktu ke waktu semakin mencapai bentuk aslinya permukaan bumi (darat dan laut). Sementara para ahli kartografi terus bekerja dengan di studi masing-masing, baru pada pertengahan abad ke-19 peta-peta lama sejak era Portugis, yang terpencar-pencar dan tidak terdokumentasi mulai ada perhatian para ahli sejarah karena penyusunan sejarah ternyata mulai merasakan arti peta dalam penyusunan sejarah.

Ketika pedagang-pedagang Belanda (VOC) dan Inggris ssudah memenuhi pelosok wilayah Hindia Timur, persaingan perdagangan yang terjadi antara Portugis dan Spanyol di satu pihak dan pedagang-pedagang Belanda dian Inggris di pihak lainnya. Keempat negara pelaut ini saling berebut dengan berbagai cara yang peperangan diantara mereka tidak terhindarkan. Politik di Eropa juga mempengaruhi politik navigasi pelayaran dan perdagangan di Hindia Timur juga terpengaruh. Mereka ini saling sibuk merebut penduduk asli melalui para pemimpinnya (raja-raja). Apa yang terjadi di Hindia Timur juga sebagai interaksi diantara mereka di berbagai wilayah di muka bumi seperti di Asia, Afrika dan Amerika. Oleh karena itu yang terjadi di Eropa dan Hindia Timur hanya soal perdaganga, pengembangan teknologi dan memperkuat kekuasan. Hindia Timur hanya sebagai subjek perdagangan dan persaingan diantara mereka. Pengaruh-pengaruh itulah yang menyebabkan Inggrsi yang awalnya di India melakukan invasi ke wilaya-wilayah yurisdiksi Belanda di Hindia Timur pada tahun 1779, aneksasi Prancis (Napoleon) di Jawa 1795 dan yang terakhir pendudukan Jawa oleh Inggrsi pada tahun 1811, Situasi politik yang cepat berubah di Eropa, menyebabkan wilayah Hindia Timur dirundingkan yang  berakhir dengan pengembalian wilayah ke pihak masing-masing yang berhak, salah satunya Inggris harus mengembalikan Hindia Timur (baca: Indonesiu) kepada Belanda dan bagian dari penutup sejarah kelam itu adalah periundingan antara Belanda dan Inggrsi (Traktaat London 1824).

Para ahli sejarah, termasuk dalam hal ini pegiat museum di Belanda mulai muncul kesadaran untuk mengumpulkan peta-peta zaman kuno yang selama ini kurang mendapat perhatian. Para pegiat museum berlomba memperbanyak koleksi, semakin tua peta semakin berharga. Demikian juga para ahli sejarah yang memerlukan peta juga mengumpulkan berbagai peta-peta lama baik yang berada di berbagai perpustakan di Belanda tau di negara lain maupun membuat copy terhadap peta-peta yang terdapat di dalam berbagai buku-buku. Peta-peta yang mulai dikumpulkan apakah peta kuno atau peta baru pada pertengahan abad ke-19 inilah yang menjadi koleksi peta-peta dunia dari berbagai masa yang sedikit banyak dapat kita akses melalui internet pada ini hari.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Peta Kalimantan dariu Waktu ke Waktu

Setelah kita menyimpulkan bahwa peta Taprobana adalah Kalimantan dan juga dapat dipastikan pulau Borneo adalah nama lain dari pulau Kalimantan, maka kemudian kita dapat memperbandingkan bentuk pulau Kalimantan yang sekarang dengan bentuk yang sebelumnya. Dengan menyimpulkan peta Taprobana adalah pulau Kalimantan juga maka bentuk pulau Kalimantan yang sekarang dapat diperbandingkan hingga jauh di zaman kuno derngan peta Taprobana yang dibuat oleh Ptolomeus pada abad ke-2.

Kita tidak mengetahui nama apa sebelum nama Taprobana diberikan pada pulau Kalimantan. Boleh jadi mungkin belum memiliki nama. Jika peta-peta lain tentang pulau Taprobanda atau pulau Kalimantan sebelum era Ptolomeus ditemukan, perbandingan yang dapat dilakukan lebih jauh lagi ke masa lampau (zaman purba atau zaman megalitikum). Namun dengan hanya membandingkan dengan origin pulau pada peta Ptolomeus kita sudah dapat melihat perbedaan bentuk pulau secara signifikan dari waktu ke waktu.

Namun dalam memperbandingkan bentuk pulau Kalimantan dariu waktu ke waktu jelas tidak komprehensif karena ketersediaan data (peta) karena perbedaan interval waktu antara satu peta pada periode tertentu ke periode tertentu lainnya. Secara metodologis, kita hanya memadai membandingkan bentuk pulau Kalimantan pada titik waktu yakni bentuk yang sekarang, bentuk pada era Portugis dan bentuk pada era Ptolomeus. Perbedaan interval waktu antara sekarang dengan era Portugis selama 500 tahun, sedangkan antara era Portugis dengan era Ptolomeus selama 1000 tahun lebih.

Pada periode waktu sekarang dengan periode waktu era Portugis banyak titik waktu peta dapat diperbandingan dengan interval waktu satu abad atau bahkan setengah abad). Namun menjadi kontras dengan interval waktu pada era Portigis dengan era sebelumnya hanya satu-satunya peta Ptolomeus yang ada. Andaikan kita menemukan satu bentuk peta Kalimantan antara periode Ptolomeus dengan era Portugis pada titik waktu sekitar tahun 1000, analisis perbandingan tersebut menjadi lebih valid.

Namun perbedaan interval waktu antara era Pto;omeus dengan era Portugis yang bejarak lebih dari 1000 tahun sementara antara era Portugis dengan jaman yang sekarang yang hanya 500 tahun sebenarnya masih layak kita perbandingkan karena perubahan bentuk pulau Kalimantan yang signifikan (berubah dengan cepat dari waktu ke waktu) hanya terjadi sejak era Portugis hingga sekarang. Perubahan yang terjadi antara era Ptolomeus dengan era Portugis diduga kuat sangat lambat karena aktivitas penduduk (diasumsikan tidak ada aktivitas vulkanik) di pulau masih sangat minim (relatif jika dibandingkan di pulau Sumnatra dan pulau Jawa).

Sebenarnya masih dipertanyakan apakah peta yang disebut peta Taprobana yang berasal dari era Ptolomeus (abad ke-2) benar-benar mencerminkan peta yang dibuat Ptolomeus yang diterbitkan tahun 150 atau sudah mengalami periubahan atau modifikasi yang dibuat oleh penyalin peta sesudahnya. Sebagaimana diketahui antara peta Taprobana yang terbit tahun 150 dan kemudian dipublikasikan lagi pada era Portugis (yang juga disebut era Columbus) selama ini hanya diasumsikan sama. Namun tidak ada keterangan yang menjelaskan apakah peta yang disalin itu asli yang berasal dari era Ptolomeus (tidak ada yang berpendapat bahwa itu telah mengalami periubahan atau modifikasi).

Dengan membandingkan bentuk pulau Kalimantan pada tiga titik waktu tersebut kita dapat melihat perubahan yang signifikan dari era zaman kuno (peta Ptolomeus) dengan era zaman Now (peta satelit Googlemap). Meski misalnya hanya membandingkan tiga titik waktu saja (Ptolomeus, Portugis dan sekarang) kita dapat melihat perubahan secara baik arah dan bentuk perubahan yang terjadi. Arah perubahan yang signifikan terjadi ke arah selatan dan barat berdasarkan origin peta Ptolomesus (dari arah utara dan timur). Arah perubahan ke selatan dan barat terjadi pembengkakan bentuk pulau. Dengan kata lain pulau Kalimantan tidak memanjang dari bentuk aslinya di utara-timur tetapi yang terjadi adalah semakin meluas ke arah selatan dan ke arah barat sehingga mencapai bentuknya yang sekarang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar