Laman

Sabtu, 17 Juli 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (86): Gunung dan Danau di Bukit Barisan Sumatra Zaman Kuno; Toba, Ophir, Kerinci, Dempo, Leuser

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Gunung dan danau di Indonesia sedikit banyak ada kaitannya. Gunung terbentuk di zaman purba tetapi danau bisa terbentuk atau menghilang akibat aktivitas vulkanik. Letusan gunung menyisakan kawah yang dapat terbentuk danau dan gempa vulkanik dapat membuat tanggul danau terbongkar lalu danau menyusut (menghilang) seperti danau Siabu (di Angkola Mandailing) dan danau Tangse (di Aceh). Pada zaman kuno, danau dan gunung secara bersama-sama terhubung dengan aktivitas manusia. Gunung dan danau diduga kuat menjadi dasar pemilihan dan penetapan tempat tinggal karena terkait dengan sumber dan spirit kehidupan dalam hal kaitannya dengan lahan produktif (lahan subur dan sumber tambang), religi dan sebagainya. Status gunung (aktif maupun tidur) selalu menjadi perhatian.

Para ahli menyebut danau Toba terbentuk dari aktivitas gunung api di zaman purba. Letusan yang hebat dan mungkin terjadi beberapa kali membentuk kawah yang luas dan tergenang air yang menyebabkan terbentuk danau. Bagaimna gunung api meletus dengan dhasyat dan terbentuk danau besar masih terus menjadi perhatian para peneliti. Gunung (Toba) diperkirakan meletus terakhir sekitar 74.000 tahun lalu. Seorang geolog Belanda van Bemmelen (1939) menyimpulkan bahwa danau Toba, (panjang 100 Km; lebar 30 Km) terbentuk dari aktivitas gunung api karena dikelilingi oleh batu apung sisa letusan. Peneliti berikutnya menemukan debu riolit (rhyolite) seusia batuan Toba di Malaysia dan bahkan debu itu telah mencapai 3.000 Km ke utara di India Tengah dan para ahli kelautan juga menemukan jejak-jejak batuan Toba di samudra Hindia dan bahkan hingga teluk Benggala. Hingga sejauh ini penelitian seputar Toba masih terus berlanjut. Sebab masih banyak misteri di balik (gunung atau danau) raksasa yang sedang tidur itu. Seorang peneliti Indonesia Fauzi (seismolog pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sarjana fisika dari Universitas Indonesia lulusan 1985 pernah melakukan studi (letusan) danau Toba dan berhasil meraih gelar doktor dari Renssealer Polytechnic Institute, New York, 1998 (Wikipedia).

Okelah kalau begitu. Lantas bagaimana terbentuknya sejarah gunung dan danau di Sumatra? Jelas bahwa gunung dan danau umumnya sudah terbentuk pada zaman purba. Itu satu hal. Hal lainnya yang juga penting adalah danau dan gunung menjadi penting bagi manusia. Sebab kehadiran penduduk di Sumatra untuk menjadikan kawasan gunung dan danau sebagai hunian (migrasi) dan kedatangan orang asing (perdagangan dan koloni) menjadi penting dalam sejarah Indonesia. Bagaimana semua itu berlangsung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Gunung dan Danau di Sumatra Zaman Kuno: Danau Toba dan Gunung Ophir

Sebelum pulau Kalimantan dikenal kembali, pulau tersebut disebut sebagai pulau Taprobana yang sudah diperbinjangkan di Eropa dan telah dipetakan oleh Ptolomeus pada abad ke-2. Dimana letak pulau Taprobana, yang terdapat pada peta Ptolomeus yang dipublikasikan pada tahun 150 M menjadi kontroversi lebih dari 1.000 tahun, pada artikel sebelum ini di dalam blog ini telah dibuktikan bahwa pulau Taprobana secara tetap adalah pulau Kalimantan. Satu lagi yang pernah diperdebatkan lebih dari 1.000 tahun adalah posisi GPS dimana gunung Ophir berada. Dalam origin sejarah inilah artikel ini membicarakan gunung-gunung yang terdapat di (pulau) Sumatra.

Nama Ophir sudah disebut dalam kitab suci seperti Injil. Itu berarti gunung Ophir sudah dikenal jauh sebelum kita suci ada. Ophir disebut sebagai gunung yang kaya dengan emas. Raja Solomon (Nabi Sulaiman) telah menerima menerima upeti berupa emas dari Raja Tirus (Hiram) yang berasal dari Ophir. Secara khusus dalam Injil disebutkan bahwa Raja Solomon menerima emas, perak, kayu cendana, mutiara dan gading dari suatu kota pelabuhan (negeri) bernama Ophir setiap tiga tahun. Sementara itu dalam kita suci Al-Quran (Al-Anbiya 81) hanya disebut kapal Nabi Sulaiman yang berlabuh di negeri yang diberkahi (Dan (Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami beri berkah padanya. Dan Kami Maha Mengetahui segala sesuatu).

Dimana pulau Taprobana, nama Ophir kembali menjadi pembicaraan pada awal era navigasi pelayaran Portugis (di Eropa) ke Hindia Timur. Seperti gunung Ophir, pulau Taprobana juga disebut sebagai penghasil emas. Dalam hal inilah emas menjadi ekspektasi dari navigasi pelayaran (pencarian) yang membutuhkan daya dan dana yang besar. Dan, pada akhirnya pelaut-pelaut Portugis berhasil mencapai pulau Ceylon yang mereka anggap sesuai nama pulau pada peta Taprobana. Pelaut-pelaut Portugis kemudian mencapai Malaka pada tahun 1511. Dalam hal inilah pelaut-pelaut Portugis menyebut nama salah satu gunung di pantai barat Semenanjung Malaka sebagai gunung Ophir.

Posisi GPS gunung Ophir yang disangka pelaut-pelaut Portugis berada di perbatasan Malaka dan Muar. Sebelum muncul nama gunung Ophir pada peta-peta Portugis, di wilayah Semenanjung sudah dikenal dua nama gunung yakni gunung Malaya dan gunung Raja. Pada era Hindoe Bodha juga telah disebut dua nama gunung di wilayah Angkola Mandailing yakni gunung Malea di Mandailing dan gunung Lubu Raja di Angkola. Malea atau Malaya merujuk pada nama gunung Himalaya (di India) sedangkan Raja merujuk pada raja atau kaisar. Nama Malaya juga menjadi nama kota yang disebut pedagang-pedagang Moor sebagai Malaka dan pelaut-pelaut Portugis mengeja dan mengidentifikasi dalam peta sebagai Malacca. Jika nama Taprobana menyangka pulau Ceylon, pelaut-pelaut Portugis menyangka gunung Muar adalah gunung Ophir. Nama gunung Muar (juga nama kota dan nama sungai) diduga kuat merujuk pada nama Moor (Moar atau Muar) karena kota Muar di sungai Muar adalah tempat komunitas orang-orang Moor.

Sejak kehadiran pelaut-pelaut Portugis di Malaka, para pedagang-pedagang Portugis mulai bermunculan dan telah mengeksplorasi semua pelabuhan di seluruh Hindia Timur seperti bagian timur Sumatra, pantai utara Jawa dan Nusa Tenggara hingga Maluku. Pada awal-awal navigasi pelayaran Portugis ini bahkan sudah mencapai Tiongkok (pulau Tunmen) pada tahun 1514. Tidak begitu jelas kapan pelaut-pelaut Portugis mengeksplorasi kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatra. Namun yang jelas pelaut-pelaut Portugis baru mencapai Brunai (di pulau Kalimantan) pada tahun 1521 setelah terusir dari wilayah Canton di pulau Tunmen.

Besar dugaan pelaut-pelaut Portugis sudah ke wilayah pantai barat Sumatra sebelum dari Malaka, seorang utusan Portugis Mendes Pinto mengunjungi Kerajaan Aru di ibu kotanya di Panaju pada tahun 1537. Kerajaan Aru ini adalah kerajaan Batak di pantai timur Sumatra yang beribukota Panaju yang terletak diantara dua pertemuan sungai Batang Pane dan sungai Barumun. Dalam laporan Mendes Pinto ke Kaptein Portugis di Malaka ini terindikasi bahwa pelaut-pelaut Portugis sudah mengenal pantai barat Sumatra yang mana Mendes Pinto menyebut nama (pelabuhan) Barus sebagai wilayah yurisdiksi Kerajaan Aru. Jika mengacu pada keterangan kitab suci bahwa Ophir menghasil produk dari emas, kayu cendana dan gading. Kerajaan Aru tidak hanya menghasilkan emas, kayu cendana dan gading, juga menghasilkan kamper dan kemenyan. Barus diduga pada zaman kuno adalah pelabuh ekspor yang sangat besar. Hal ini mengacu pada catatan geografis Ptolomeus pada abad ke-2 yang menyatakan bahwa Sumatra bagian utara adalah sentra produksi kemper. Dalam literatur Eropa pada abad ke-5 disebut bahwa kamper diekspor dari suatu pelabuhan yang disebut Barus. Besar dugaan bahwa kunjungan Mendes Pinto ke Kerajaan Aru dalam rangka kerjasama ekonomi perdagangan, yang boleh jadi menyimpulkan bahwa Semenanjung Malaka dimana gunung Ophir mereka identifikasi tidak menghasilkan apa-apa seperti yang disebut dalam kitab sudi maupun literatur Eropa. Dengan mengidentifikasi Barus sebagai pelabuhan ekpor kamper di zaman kuno, pedagang-pedagang Portugis mulai yakin bahwa wilayah Kerajaan Aru menyimpan produk kekayaan yang melimpah seperti emas, gading, kamper dan kemenyan.  

Di Semenanjung Malaka, diantara semua nama geografis yang penting (kota, gunung dan sungai) hanya mengubah nama satu gunung yakni gunung Malaya dengan nama Ophir karena Malaya sendiri sudah diidentifikasi sebagai nama sungai dan nama kota. Pada zaman kuno bahkan hingga era Portugis, nama tempat, sungai dan gunung yang berkaitan saling tertukar seperti Malaya (yang di zaman kuno merujuk pada nama Himalaya). Hal serupa itu juga terjadi di pantai barat Sumatra, semua nama geografis yang penting tetap dipertahankan kecuali nama gunung Pasaman diubah dan diidentifikasi pada peta Portugis selanjutnya sebagai gunung Ophir.

Penamaan gunung Pasaman menjadi gunung Ophir diduga sekitar tahun 1537 saat Mendes Pinto berkunjung ke Kerajaan Aru. Sebab wilayah Pasaman (yang sekarang) juga termasuk wilayah yurisdiksi Kerajaan Aru dimana pelabuhannya berada di Oedjoeng Gading (dekat Air Bangis yang sekarang). Nama Oedjoeng Gading dalam hal ini besar dugaan merujuk pada produk gading yang dihasikan diekspor melalui pelabuhan Oedjoeng Gading. Nama Pasaman pada peta-peta Portugis juga masih ada yang menyebut nama Pasaman sebagai nama tempat di muara sungai, juga nama sungai. Sungai Pasaman ini berhulu di wilayah Mandailing di seputar gunung Kulabu. Sedangkan gunung Malintang di Mandailing (sambungan gunung Kulabu) yang sungainya bernama Batang Sikarbo bermuara di kota pelabuhan Oedjoeng Gading.

Seberapa tepat pelaut-pelaut Portugis menamai gunung Pasaman di pantai barat Sumatra dengan nama gunung Ophir, tentu saja setelah penamaan yang kurang tepat pada gunung Malaya di Semenanjung sebagai gunung Ophir. Boleh jadi Mendes Pinto telah mendapat keterangan yang banyak di Kerajaan Aru bahwa gunung yang banyak menghasilkan emas adalah gunung Pasaman. Sejak inilah diduga nama gunung Ophir ditabalkan pelaut-pelaut Portugis pada gunung Pasaman. Pelaut-pelaut Portugis tampaknya merasa telah menemukan nama tempat yang disebut Ophir pada kitab suci Taurat dan Injil.

Nama Pasaman diduga kuat merujuk pada nama Batak (Angkola Mandailing) yang biasa mengidentifikasi nama tempat dengan awalan pa atau par seperti Pakantan (di lereng gunung Kulabu), Panobasan (lereng gunung Lubuk Raya), Pargarutan, Parlampungan, Paroman, Pardomuan, Panindoan, Panyabungan (ibu kota kabupaten Mandailing Natal) dan Panti (kecamatan di kabupaten Pasaman Barat). Pada era Hindia Belanda wilayah Pasaman ini dipisahkan karena barier gunung dan dimasukkan ke dalam wilayah administrasi pembangunan Residentie Padangsch Benelanden. Peneliti Belanda menemukan suatu prasasti di Panti yang berasal dari zaman kuno (era Kerajaan Aru) yang beraksara Batak. Pada peta Portugis di atas (peta Sumatra yang disebut nama lama sebagai Taprobane) kawasan ini ditandai sebagai Tanjung Batah atau Cabo Batah (kini kecamatan Batahan, kabupaten Mandailing Natal), suatu tanjung yang menjulur ke laut dari rantai gunung Kulabu dan gunung Malintang. Pada masa ini di wilayah Kabupaten Pasaman Barat (dimana gunung Ophir berada) berdasarkan Sensus Penduduk 2010 terdapat lebih dari 100.000 jiwa subetnik Mandailing (belum termasuk subetnik Angkola).

Pelaut-pelaut Portugis semakin yakin Ophir itu berada di pantai barat Sumatra, Hal itu dapat dikaitkan dengan litertur Eropa abad ke-5 yang menyatakan bahwa kamper diekspor dari pelabuhan yang disebut Baroes. Nama Baroes juga masih diidentifikasi pelaut-pelaut Portugis seperti pada peta di atas. Gunung Ophir ini dapat dilihat dari laut sebagai gunung tertinggi di kawasan.

Wilayah antara Barus dan Pasaman diduga kuat sudah sejak zaman kuno menjadi tujuan navigasi pelayaran pedagangan orang-orang India. Koloni India diduga terdapat di muara sungai Batang Natal di Linggabayu (nama India) menuju hilir sungai Batang Gadis di pedalaman, sedangkan Batahan di muara sungai Batahan rute menuju hulu sungai Batang Gadis di Pakantan. Pada pertemuan sungai Batang Gadis (Mandailing) dan sungai Batang Angkola (Angkola) di pedalaman di danau Siais terdapat pusat peradaban zaman kuno yang kini salah satu situsnya adalah candi Simangambat (yang dibangun pada abad ke-8). Pusat candi Simangambat yang berada di sisi barat gunung Malea inilah yang diduga ibu kota awal Kerajaan Aru sebelum relokasi ke sisi timur gunung Malea di Binanga. Nama Binanga sendiri sudah disebut pada prasasti Kedukan Bukit 682 M. Catatan: Linggabayu, Batahan dan Odjoeng Gading serta Sangkunur di Angkola (dekat danau Siasis) pada zaman kuno masih berada di pantai (namun kini berada di pedalaman karena terjadinya pembentukan daratan dari proses sedimentasi di daerah muara sungai).

Sejak kapan pedagang-pedagang India mencapai pantai barat Sumatra seperti di Baroes dan Linggabayu tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan jauh sebelum terbentuknya peradaban Hindoe Boedha di pedalaman (Kerajaan Aru yang berpusat di candi Simangambat). Jika mengacu pada catatan geografi Ptolomeus abad ke-2 yang menyebuat bagian utara Sumatra adalah sentra produksi kamper boleh jadi produk emas bersamaan dengan eksploitasi emas. Sebagaimana diketahui di sekitar muara sungai Batangtoru (Sangkunur, Angkola) serta daerah aliran sungai Batang Gadis dan daerah aliran sungai Pasaman (Mandailing) adalah sentra pertambangan emas (bahkan hingga ini hari).

Bagaimana kamper diproduksi dan emas ditambang sebelum pedagang-pedagang India meneruskannya ke perdagangan Eropa pada zaman Ptolomeus sudah barang tentu sudah sejak lama diusahakan penduduk Angkola Mandailing. Sebab produksi dan konsumsi lebih dahulu baru terbentuk perdagangan (exchange). Kebetulan kamper dan kemenyan di zaman kuno hanya ditemukan di Tanah Batak. Dalam hal ini dapat dikatakan penduduk Angkola Mandailing di Tanah Batak termasuk penduduk tua di Indonesia.

Pusat peradaban baru di pantai barat Sumatra pada era Hindoe Baoedha diduga bermula di seputar kawasan sentra produksi kamper dan sentra tambang emas di dekat danau Siabu dan gunung Malea. Ke dalam danau inilah sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis bermuara. Juga sungai Muara Sada bermuara ke danau Siais ini, dimana pada zaman kuno di muara sungai Muara Sada ini kini terdapat situs candi Simangambat.

Pada zaman kuno, seperti halnya pulau Jawa, pulau Sumatra tidak selebar sekarang. Pulau Sumatra pada zaman kuno masih ramping. Garis pantai di pantai barat Sumatra sudah lebih ke laut sekarang. Hal itulah mengapa Sangkunurm, Linggabatu dan Oedjoeng Gading pada zaman kuno berada di pantai. Demikian juga halnya garis pantai di pantai timur Sumatra pada zaman kuno lebih ke dalam jika dibandingkan sekarang. Pada zaman kuno seperti kota Pekanbaru, kota Jambi dan kota Palembang berada di pantai. Oleh karena itu pulau Sumatra pada zaman kuno hanya berada di sepanjang pegunungan Bukit Barisan dimana terdapat gunung-gunung tinggi dan danau pedalaman mulai dari danau Tangse dan danau Takengon dan gunung Leuser (di Aceh) hingga danau Ranau dan gunung Dempo di Bengkulu. Diantaranya terdapat danau Toba, danau Siais, danau Siabu, danau Maninjau, danau Singkarak dan danau Kerinci. Danau Tangse dan danau Siabu diduga kuat telah menyusut karena tergerus akibat tanggul danau terbongkar oleh gempa bumi.  

Pusat peradaban baru yang sudah ada sejak zaman kuno, kemudian meluas ke wilayah-wilayah yang padat penduduk di pedalaman. Kawasan penduduk padat ini di pedalaman diduga kuat berada di sekitar danau seperti danau Tangse dan danau Takengon di Aceh, danau Toba, danau Siais dan danau Siabu serta danau Laut (di Sumatra Utara), danau Maninjau, danau Singkarak dan danau Diatas (Sumatera Barat), danau Kerinci (Jambi) dan danau Ranau (Bengkulu). Diantara semua danau pedalaman Sumatra ini yang terluas adalah danau Toba.

Danau Toba yang pada masa ini di tengah danau terdapat pulau (Samosir) dapat dikatakan wilayah danau zaman kuno yang padat penduduknya. Namun wilayah danau Toba ini sangat jarang sumber daya alam seperti tambang emas, hutan penghasil kamper dan kemenyan serta hewan besar seperti gajah (gading). Sebaliknya sumber primer yang tinggi nilainya itu di zaman kuno justru terdapat di wilayah danau Siais dan danau Siabu (Angkola Mandailing). Hal itulah mengapa kerajaan kuno pertama di Sumatra ditemukan di dekat danau Siabu di pertemuan sungai Batang Gadis dan sungai Batang Angkola. Du dua aliran sungai terdapat emas. Hutan-huta primer sekitar dua sungai ini pada zaman kuno sangat melimpah pohon kamper dan pohon kemenyan. Di wilayah ini juga sangat beragam fauna seperti hewan besar berupa banteng, badak, gajah, harimau dan orang utan.

Salah satu elemen peradaban baru itu si zaman kuno adalah penggunaan aksara Batak. Penyebaran aksara ini menyebar dari tengah (Kerajaan Aru) ke utara hingga Aceh dan menyebar ke selatan hingga Lampung. Hal itulah mengapa aksara Sumatra (aksara Batak) berbeda dengan aksara Jawa. Adanya pembagian wilayah adat (tanah ulayat) di Sumatra bagian selatan hingga Lampung) yang disebut marga diduga kuat merupakan prinsip yang sama dengan marga di Tanah Batak (berdasarkan genealogis).

Pada masa kini, di wilayah Minangkabau tidak ditemukan lagi penggunaan aksara, sementara di wilayah Kerinci dan Lampung masih eksis, suatu aksara yang mirip satu sama lain dengan di Tanah Batak dan wilayah Gajo (Aceh). Sebab menghilangnya aksaran di wilayah Minangkabau diduga karena terjadinya (proses) Melayunisasi pada zaman lampau. Proses Melayunisasi ini diduga bermula ketika Kerajaan Malayu di hulu sungai Batanghari (Kerajaan Mauli) pada era Radja Adityawarman merelokasi ibu kota tahun 1347 ke hulu sungai Indragiri di Pagaroejoeng (ke wilayah pewdalaman di Minangkabau). Hal itulah mengapa terjadi proses bahasa asli di wilayah Minangkabau bergeser menjadi bahasa Melayu. Di wilayah Minangkabau tidak hanya aksara yang menghilang tetapi juga bahasa asli juga telah menghilang (menjadi bahasa Melayu dialek Minangkabau). Peta Portugis

Pada era VOC (Belanda) Kerajaan Aru telah memudar (menghilang) setelah lebih dari 1.000 tahun. Kerajaan-kerajaan yang eksis adalah Kerajaan Pagaroejoeng (yang terbentuk pada era Hindoe Boedha saat Radjanya adalah Adityawarman) dan Kerajaan Atjeh yang terbentuk pada saat kehadiran Eropa (Portugis) dan Kerajaan Palembang (suksesi Kerajaan Sriwijaya yang telah memudar dan menghilang). Kerajaan Aru adalah kerajaan masa lalu, sedangkan tiga kerajaan suksesinya (Kerajaan Pagaroejoeng, Kerajaan Sriwijaya-Palembang dan Kerajaan Aceh) hanya Kerajaan Aceh yang masih bisa bertahan hingga tahun 1905. Sejak itu habis sudah semua kerajaan di Sumatra yang bermula dari Kerajaan Aru di danau Siabu di lereng gunung Malea.

Di pantai barat Sumatra, pada peta-peta VOC masih diidentifikasi nama-nama kuno seperti Batang atau Batahan dan Tiku. Pada Peta 1750 sungai Pasaman masih diidentifikasi di dekat Batahan. Penyebutan Batang dan Batahan saling dipertukarkan pada zaman kuno. Orang-orang India menyebut Bata sebagai Batah, sedangkan orang Arab menyebut Batah dengan Batang.

Sehubungan dengan nama Kerajaan Aru, boleh jadi tidak disadari adalah Kerajaan Batak pada zaman kuno. Dalam hal ini nama Bata merujuk pada nama India dan dalam literatur kuno Arab Bata disebut Batang. Orang-orang Eropa yang datang kemudian mengeja Bata sebagai Batech, Battah atau Batac (yang pada masa ini lebih dikenal debagai Batak). Namun dalam perkembangannya terminologi Batang (yang merujuk pada Arab) di Tanah Batak diartikan sebagai sungai. Terminologi batang ini juga digunakan di Sumatra Barat (seperti Batang Arau) dan Jambi (seperti Batang Hari). Tentu saja Batang (Arab) dalam hal ini adalah sungai yang dalam bahasa India selatan sungai disebut aru. Hal itulah mengapa Kerajaan Aru juga disebut Kerajaan Sungai atau Kerajaan Batang atau Kerajaan Batak.

Dalam sejarah Tiongkok, juga mengenal Kerajaan Batak, terutama pada era Cheng Ho. Dalam laporan Ma Huan (penulis Cheng Ho) mengidentifikasi Bata dengan Mada. Dalam bahasa Mandarin (kuno) Ma diartikan Ba dan Da diartikan sebagai Ta. Jadi Mada sama dengan Bata. Dalam hal ini kita teringat dengan patih terkenal di Kerajaan Majapahit yakni Gajah Mada. Yang jelas di wilayah Jawa tidak ditemukan gajah. Gajah hanya ditemukan di Sumatra dengan pelabuhannya yang terkenal Oedjoeng Gading. Dalam sejarah Batak patih Kerajaan Majapahit yang disebut Gajah Mada, bukankah itu Gajah Bata (dalam bahasa Mandarin)? Dalam hal ini boleh jadi Gajah Mada memang benar-benar berasal dari Tanah Batak. Bagaimana hubungan politik pada zaman kuno antara Kerajaan Aru dengan Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Majapahit sudah dijelaskan pada artikel-artikel sebelumnya.

Jadi pada dasarnya Kerajaan Aru adalah Kerajaan Batak. Ini kira-kira mirip dengan Orang Minangkabau yang juga disebut Orang Padang, suatu nama tempat di masa lampau yang mana nama kota Padang berada di muara sungai Batang Arau. Hal itu juga dengan nama Kerajaan Aru yang juga disebut Kerajaan Batang atau Kerajaan Bata. Nama Bata atau Batahan atau Batang adalah nama tempat di zaman kuno di muara sungai Batahan (yang berhulu di gunung Malintang).

Idem dito dengan ini adalah penyebutan nama Orang Sunda yang merujuk pada nama tempat di muara sungai Tjiliwong (pelabuhan Zunda). Pada muara ini pada era VOC membangun benteng yang disebut Batavia, nama yang menjadi nama kota (Batavia) yang darimana nama Orang Betawi (Orang Batavia). Tentu saja orang Palembang merujuk pada nama kota Palembang dan juga nama Orang Lampung yang merujuk pada nama tempat zaman lampau Lampung atau Lampin. Daftar ini dapat diperpanjang lagi dengan nama-nama Orang Aceh (dari nama kota Aceh), Orang Deli (dari nama sungai Deli), Orang Riau dari nama kota Riau (di pulau Bintan), Orang Jambi dari nama pelabuhan Jambi serta Orang Banten (nama tempat di muara sungai Cibanten). Juga nama Orang Makassar dan nama tempat pelabuhan Makassar, Orang Lombok, Orang Bima, Orang Kupang, Orang Ambon, Orang Ternate, Orang Manado dan Orang Banjar yang semuanya bermula dari nama tempat di muara sungai. Yang masih sulit ditemukan adalah nama Orang Jawa, Orang Bali dan Orang Bugis apakah mengacu pada nama suatu tempat atau nama suatu pulau (Jawa dan Bali). Untuk nama Orang Madura diduga kuat merujuk pada nama pulau, tetapi adakalanya nama pulau juga merujuk pada nama tempat.

Namun pada masa kini, hanya Orang Toba yang mengidentifikasi diri secara fanatik sebagai Orang Batak. Padahal sejatinya nama Batak semula merujuk dari wilayah selatan di Batahan atau Batang. Di wilayah (danau) Toba sendiri, sesungguhnya tidak pernah ditemukan nama Kerajaan Toba, tetapi di wilayah danau Toba pada era VOC hanya diidentfikasi tiga kerajaan yakni Kerrajaan Silindoeng. Kerajaan Boetar dan Kerajaan Simamora. Sedangkan di wilayah Simalungin diidentifikasi Kerajaan Raya dan di wilayah Karo diidentifikasi Kerajaan Lingga. Semua kerajaan-kerajaan tersebut hingga ke Aceh adalah anggota federasi Kerajaan Aru atau Kerajaan Batak yang menurut Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aru dengan ibukota di Panaju (Panai) pada tahun 1537 juga menyebuat Kerajaan Aru sebagai Batak Kingdom. Tentu tidak salah, karena Kerajaan Aru adalah Kerajaan Bata[k].

Tunggu deskripsi lengkapnya

Rantai Bukit Barisan Sumatra: Puncak Tertinggi Gunung Kerinci

Nama gunung Ophir adalah nama gunung yang diingat sepanjang masa di Eropa (boleh jadi karena disebut di kitab suci Injil). Pada permulaan era Hindia Belanda, seorang penulis yang dimuat pada Letterkundig magazijn van wetenschap, kunst en smaak, 1818 No 14 menulis sebagai berikut: ‘Di Sumatra, tepat di bawah garis khatulistiwa, gunung Ophir terkenal yang tinggi sekitar 12,000 kaki, tingginya hampir setinggi gunung-gunung Eropa yang tinggi’. Penggambaran ini seakan begitu dekat di hati orang Eropa nama gunung Ophir di Sumatra yang disandingkan dengan gunung-gunung tertinggi di Eropa. Nama gunung Ophir kadung sudah terkenal di Eropa dan bahkan ada anggapan bahwa gunung Ophir adalah tertinggi di Hindia. Informasi ini tampaknya memancing minat dua orang Jerman untuk mengukur ketinggiannya (lihat Leydse courant, 19-11-1838). Disebutkan Mr. Horner dan Krusenstern mengukur ketinggian gunung Pasaman (Ophir) dan puncak tertinggi 2.927 M yang disebut Talamau. Kisah Horner ini juga dapat dibaca pada Tijdschrift voor Neerland's Indie jrg 2, 1839:

De beklimming van den berg Ophir, door L. Horner, medegedeeld uit eetien brief aan H. L. Ostiioff. Setelah tinggal di Parit Batoe pada tanggal 9 Mei, saya yakin bahwa saya dapat mendaki Ophir yaitu, atau puncaksebelah timur, yang disebut Gooenoeng Telamau disini. Puncak sebelah barat, setidaknya setengah lebih rendah, disebut Goenoeng Passaman. Tidak ada seorang pun, baik Melayu atau Eropa, yang memanjatnya. Dikatakan seorang Malim (guru agama) yang mencoba mengirim doanya kepada Tuhan disana, tetapi harus menahan diri darinya. bahwa ada di atas danau kecil {Telaga}, penuh ikan, bahwa ikan ini sangat mudah ditangkap dan bahkan dapat direbus dan dimakan, tetapi begitu seseorang ingin memakannya, mereka meloncat kembali ke danau. Kepala daerah yang paling setuju bahwa gunung di sisi utara harus didaki, kebetulan di Parit Batoe seorang pria yang memiliki ladang (sawah kering) di kaki gunung, dekat kampung Sawa lima jam di timur laut, dari Parit Batoe. Jalur ini dulunya untuk menjerat kambing liar (antelope suraatrensis) yang memanjat gunung dengan baik, dan berpikir lebih baik naik lebih tinggi lagi. Letnan Donleben, komandan distrik Ophir, yang ingin sekali mendaki gunung yang terkenal ini, segera memerintahkan para kepala kampung di pagi hari di kampung Sawa berkumpul....dst.

Pada intintinya Horner ditemani oleh dua orang Eropa dan enam laki-laki. Lalu bermalam di suatu rumah penduduk. Esoknya pukul setengah delapan (tanggal 31 Mei) berangkat lagi yang diikuti oleh hampir 100 pria yang ikut serta. Lalu bermalam di hutan. Pada pagi hari mulai melakukan perjalan pada tanggal 32 Mei. Bermalam lagi di ketinggian yang berlumut dan dingin. Hari berikutnya tanggal 33 Mei, Bermalam lagi. Kemudian dilanjutkan pada pagi tanggal 34 Mei. Kami bisa melihat lembah Bondjol dan Rao. Pukul 4 sore kami telah mencapai puncak tertinggi, Termometer menunjukkan 708 R. Ketinggi 2.927 meter. Sejauh ini Ophir telah dianggap jauh lebih tinggi dari yang sebenarnya. Esoknya kami tetap di atas sampai tengah hari, berharap sinar matahari akan mengusir awan. Ada beberap kawaha yang yang sudah berisi air. Bekas aliran lava dimana-mana, tidak ditemukan baru apung. Saya menemukan kerangka Siamang, Tampaknya dia mendahului saya, tetapi tidak jelas apa yang menjadi tujuannya naik hingga ke puncak gunung ini. Melihat kerangkanya yang tidak rusak, kecil kemungkinan dibawah burung pemangsa. Kemungkinan dia melakukan pengasingan kesini, karena Siamang hanya kami dengar suaranya pada ketinggian 5000 kaki di bawah sana.

Setelah saya meninggalkan botol kosong dengan kertas di dalamnya dengan tanggal dan semua nama pendaki Ophirs yang sampai di puncak tertinggi, saya memerintahkan semua untuk turun kembali. Kami bermalam. Keesekan harinya tanggal 35 Mei kami melajutkan penurunan dan pukul tiga sore kami tiba di kampong Sawa lagi. Pada pagi hari tanggal 36 Mei pukul delapan saya sudah menuju Parit Batoe dan tiba bukul 11 di Parit Batoe.

Dalam hal ini pengukuran ketinggian di Indonesia (baca: Hindia Belanda) dimulai pada gunung Ophir. Inilah arti penting secara psikologis maupun secara sosiologis bagi orang Eropa tentang gunung Ophir. Gunung Ophir tidak hanya digambarkan dengan sepenuh hati di Eropa, gunung Ophir juga menjadi tantamgan sendiri bagi pendaki-pendaki Eropa. Hal itulah ketika tidak atau belum terpikirkan untuk mendaki suatu gunung di Hindia Belanda, pendaki profesional Jerman mencoba menaklukkannya dan berhasil pada tahun 1838.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar