Laman

Minggu, 18 Juli 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (87): Gunung di Jawa dari Barat ke Timur di Pantai Selatan; Dataran Rendah dan Datar di Pantai Utara

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Seperti halnnya sebaran gunung di Sumatra berada di pantai barat, sebaran gunung di pulau Jawa berada di pantai selatan. Ini mengindikasikan rantai gunung cincin api berada di wilayah selatan pulau. Sebaliknya mengapa jarang teridentifikasi gunung tinggi di pantai utara Jawa. Pertanyaan ini akan mengarahkan kita populasi penduduk Jawa awalnya dimana dan mengapa daratan di pantai utara lebih rendah dan datar.

Jumlah gunung di pulau Jawa sangat banyak. Mulai dari bagian barat pulau hingga bagian timur. Banyak yang masih aktif dan yang teraktif adalah gunung Merapi di Jogjakarta. Gunung tertinggi di Jawa adalah gunung Semeru di Jawa Timur dengan tinggi 3.676 meter. Sesuai namanya gunung terbesar di Jawa adalah gunung Gede di Jawa Barat dengan tinggi 2.958 meter, lebih rendah sedikit dengan gunung tetangganya gunung Pangrango (3.019 meter). Di perairan Jawa juga terdapat gunung Krakatau di sebelah barat pulau Jawa. Tidak tinggi tetapi sangat aktif dan pernah meletus sangat hebat pada tahun 1883. Di pulau Madura juga terdapat beberapa gunung. Gunung yang terpisah di daratan di dekat pantai utara adalah gunung Muria di Jepara dan gunung Lasem di Rembang. Di wilayah Tuban juga ada pegunungan rendah yang terpisah dari rantai pegunungan dengan puncak tertinggi sekitar 500 meter.

Lantas apa yang menarik tentang peta gunung di Jawa dalam perspektif sejarah? Seperti disebut di atas, gunung-gunung di Jawa cenderung berada di selatan dan sangat jarang di pantai utara. Lalu apakah dalam sejarahnya ada yang berubah dalam topografi pulau Jawa sehingga ada yang berbeda dengan apa yang dilihat sekarang jika dibandingkan pada zaman kuno? Okelah kalau begitu. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Rantai Pegunungan di Jawa: Barat ke Timur

Gunung tidak hanya soal geografis, gunung juga dapat diperhatikan sebagai penanda navigasi dalam penyelidikan sejarah zaman kuno. Sebagai contoh permulaan dapat diperhatikan pada penemuan manusia Jawa yang ditemukan di pedalaman (Trinil) dan juga situs situs megalitikum Gunung Padang di Cianjur. Semua berada di pedalaman di tanah-tanah yang lebih tinggi. Lalu pada pertanyaan pada zaman kuno, apakah situs candi Batujaya dan ibu kota Kerajaan Majapahit benar-benar di pedalaman seperti yang dipahami sekarang. Yang terakhir apakah kota Jakarta sekarang pada zaman kuno adalah perairan (laut)?

Para peneliti telah menyimpulkan bahwa peradaban baru penduduk di Hindia Timur dimulai dari masuknya peradaban yang berasal dari India di sebelah barat. Ini berari pada zaman kuno dalam navigasi pelayaran para pedagang-pedagang India diduga kuat bermula di bagian barat pulau Jawa (lalu bergeser ke arah timur). Namun tidak begitu jelas apakah dimulai di pantai utara atau pantai selatan. Yang jelas peradaban di candi Batujaya (Karawang) lebih muda dari peradaban di situs megalitik gunung Padang. Para peneliti yakin bahwa peradaban di situs candi Batujaya terjadu pada era Hindoe Boedha. Dua situs di bagian barat Jawa ini cukup dekat secara geografis.

Pada dasarnya ada hubungan yang erat antara gunung dan sungai. Namun dalam hal ini bahwa gunung relatif tidak berubah sepanjang waktu jika dibandingkan sungai. Sungai dapat bertambah dangkal atau dapat bertambah penjang. Jika diperhatikan rantai pegunungan dari arah barat ke tiimur pada sisi selatan pulau terdapat beberapa posisi gunung terpisah dari rantai. Salah satu contoh adalah gunung Muria di Jepara-Kudus yang tidak hanya terpisah dari rantai pegunungan Jawa juga posisi GPS gunung Muria ini berada lebih dekat ke pantai utara. Gunung Murria ini diduga kuat adalah suatu pulau yang terpisah dari (pulau) Jawa pada zaman kuno

Gunung Muria menjadi perbatasan tiga kabupaten (Jepara, Kudus dan Pati). Gunung Muria tingginya 1.602 M. Jika memperhatikan ketinggian ibu kota masing-masing kabapaten yang berdekatan terkesan bahwa gunung Muria di zaman kuno terpisah dari daratan pulau Jawa (Grobogan). Tinggi kota Kudus yang memisahkan wilayah Grobogan dengan wilayah Jepara hanya sekitar 15 M. Bandingkan ketinggian minimal ibu kota Grobogan (50 M) dengan titik terendah di di ibu kota Jepara, Pati dan Demak. Dalam hal ini, oleh karena gunung Muria bukan bagian rantai gunung Jawa dan berrdasarkan titik terendag terdapat pada jalur Demak, Kudus dan Pati maka dapat disimpulkamnm bahwa gunung Muria pada zaman kuno adalah pulau yang teropisah dari pulau Jawa.

Dalam hal ini ada selat yang memisahkan pulau Muria dan pulau Jawa. Lalu apa yang menyebabkan terjadinya penyatuan pulau Muria dan pulau Jawa di selat diduga kuat karena proses sedimentasi jangka panjang akibat penumpukan  massa padat dari pedalaman (pegunungan) melalui sungai Tuntang yang berhulu di danau Rawa Pening. Sebagaimana diketahui kawasan danau ini merupakan lembah diantara tiga gunung (gunung Merbabu, gunung Telomoyo, dan gunung Ungaran).

Konsekuensi dari proses sedimentasi di selat dan menyebkan terjadi rawa dan kemudian daratan menyebabkan arah sungai Tuntang pada titik belok di Demak arus air sungai berbelok ke arah barat untuk menemukan jalan ke laut. Dalam hal ini boleh jadi bahwa pada zaman kuno atau pada saat permulaan Kerajaan Demak, posisi kota  masih di pantai dekat muara sungai Tuntang sebagai pelabuhan besar, Sebagaimana diketahui di masa lampau Kerajaan Demak adalah salah satu kerajaan maritim yang tidak hanya mampu bersaing dengan Kerajaan Majapahit tetapi juga mampu berhadapan dengan pelaut-pelaut Portugis.

Kasus pulau Gunung Muria ini mungkin tidak satu-satunya di Jawa. Hal yang sama dengan ini di dekatnya adalah gunung Lasem di sebelah timur gunung Muria yang juga begitu dekat dengan pantai utara (masuk kabupaten Rembang). Boleh jadi kota Lasem yang sudah dikenal sejak zaman kuno  berada di pantai atau bahkan di suatu pulau (pulau Lasem).

Gunung Lasem sendiri tingginya 806 M. Puncak gunung ini (Argopuro) berada di perbatasan kecamatan Sluke (utara), Lasem (barat), Kragan (timur) dan Pancur (selatan, termasuk Sedan). Puncak Lasem ini merupakan ujung dari pegunungan Kapur Utara di bagian selatan hingga ke pesisir pantai utara. Jika memperhatikan ketinggian wilayah Lasem dan wilayah Kragan yang lebih rendah dari puncak gunung di sebelah utaranya maka diduga antara dua wilayah ini berdekatan secara geografis di selatan puncak gunung yang menyebabkan terbentuknya jalur darat dari Lasem ke Kragan via Pancur dan Sedan. Dalam hal ini jika gunung Lasem bukan terpisah dari pulau Jawa, paling tidak kawasan puncak Lasem terhubung dengan daratan sempit yang membentuk kawasan gunug Lasem sebagai ujung tanjung.

Sungai sendiri juga dapat dilihat sebagai penanda navigasi dalam melihat sejarah zaman kuno. Dalam hal ini sungai dapat memanjang memasuki perairan (laut) yang menyerbabkan garis pantai dan muara sungai semakin menjauhi pegunungan (daratan). Hal in karena terjadi proses sedimentasi jangka panjang pada kawasan muara sungai, yang awalnya terbentuk rawa kemudian terjadi proses daratan yang mana arus sungai menemukan jalannya sendiri ke pantai. Wujud sungai yang berbelok-belok di sekitar muara (jalan air yang melambat) dapat dijadikan indikasi telah terjadi pemanjangan sungai. Sebagai contoh kasus dapat diperharikan di puntai utara Jawa yang mana suatu kawasan seakan membentuk tanjung tetapi memiliki mulut (muara) sungai (Kali Comal).

Antara kota Pekalongan dan kota Pemalang terdapat sungai besar yakni Kali Comal. Sungai Kali Comal ini berhulu di gunung Slamet (di pedalaman). Gunung Slamet adalah gunung tertinggi kedua di Jawa. Muara sungai Kali Comal ini diduga kuat telah memanjang ke arah perairan (laut) sehingga muara sungai Kali Comal sekarang seakan kota Pekalongan dan kota Pemalang berada di garis belakang. Besar dugaan bahwa pada zaman kuno kota Pekalongan dan kota Pemalang adalah dua kota pelabuhan tepat berada di garis pantai di suatu teluk. Sungai Kali Comal yang berhulu di gunung Slamet bermuara ke teluk di antara dua kota ini. Massa padar yang terbawa sungai dari pedalaman (bisa juga karena aktivitas erupsi) membuat teluk makin dangkal dan terjadi proses sedimentasi yang membentuk daratan. Akibatnya arus sungai terus menemukan jalan ke laut sehingga muara sungai terus bergerak, tidak hanya menjauhi gunung juga meninggalkan garis pantai kota Pekalongan dan kota Pemalang. Boleh jadi Kerajaan Kalingga di zaman kuno bermula di teluk ini yang mana pelabuhan (pasar) di Pekalongan

Kasus Kali Comal di Pekalongan dan Pemalang tidak hanya tunggal tetapi diduga banyak terjadi di pantai utara Jawa seperti di Tangerang (teluk Naga, muara sungai Cisadane yang bergulu di gunung Pangrango) dan Bekasi (teluk Cabangbungin). Kasus yang mirip dengan pembentukan tanjung (sungai) yang menutupi perairan teluk tetapi wujud dari teluk masih terlihat adalah di kota Jakarta (sungai Ciliwung di teluk Jakarta, sungai yang berhulub di gunung Pangrango) dan kota Semarang (sungai Semarang di teluk Semarang). Satu contoh kasus khusus yang mirip dengan kasus muara Kali Comal adalah kota Surabaya (sungai Surabaya)

Pada kasus  teluk Cabangbungin (di Karawang) di daerah aliran sungai Citarum mirip kasus gunung Muria di satu sisi dan kasus Kali Comal di sisi lain. Pada teluk ini bermuara sungai Tjitaroem yang berhulu di gunung Wayang (Bandoeng). Seperti halnya Kali Comal, sungai Citarum juga memanjang dan muaranya terus bergesar perairan (laut). Di teluk ini sudah terdapat pulau. Pada sisi selatan pulau inilah yang menghadap ke muara sungai diduga pada zaman kuno didirikan suatu candi. Seperti pulau Gunung Muria, pulau di teluk Cabangbungin ini menyatu dengan daratan. Aliran sungai dihilir mengikuti lekuk pulau menuju laut dengan muara sungai di sebelah barat daya (Muara Gembong). Candi ini diduga situs candi Batujaya yang sekarang, suatu situs yang terkesan di daratan (agak di belakang pantai), padahal di zaman kuno diduga kuat berada di suatu pulau. Situs candi Batujaya ini diduga yang menjadi (awal) pusat Kerajaan Taruma (di bagian barrat Jawa).

Kasus khusus lainnya dapat diperhatikan di sebelah timur Kali Comal yakni di wilayah Kendal. Sepintas mirip tanjung Kali Comal dengan tanjung sungai di Kendal. Namun yang menjadi menarik perhatian di wilayah Kendal belum lama ini ditemukan situs candi kuno, suatu candi yang diduga dibangun setelah candi Batujaya (setelah abad ke-5). Situs candi Kednal ini yang diperkirakan berasal dari abad ke-7 pada masa ini berada di kecamatan Rowosari, kecamatan yang berada di sisi timur sungai Kuto yang menjadi batas antara wilayah kabupaten Kendal dan kabupaten Batang.

Seperti halnya teluk Kali Coma;, situs sungau Kuto Kendal ini diduga kuat ada kaitannya dengan Kerajaan Kalingga zaman kuno. Disebutkan Kerajaan Kalingga sudah eksis sejak abad ke-6 (era yang sama dengan Tarumanagara). Kerajaan Kalingga ini diduga kerajaan tertua di Jawa bagian tengah. Lantas pakah situs Kendal ini merupakan ibu kota Kerajaan Kalingga. Tidak jauh dari situs Kendal, ditemukan prasasti di desa Sojomerto, kecamatan Reban, kabupaten Batang. Prasasti ini beraksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta (Melayu Kuno) yang berasal dari abad ke-7. Kerajaan Kalingga disebutkan pernah ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya pada tahun 752,

Sungai besar lainnya berada di sebelah timur adalah sungai Bodri yang melewati kecamatan Patebon (dekat Kota Kendal). Secara geografis diantara dua sungai inilah situs Kendal berada. Jarak situs ke pantai sekitar 6 Km. Situs Kendal ini diduga pada zaman kuno tepat berada di muara sungai Kuto. Dengan kata lain situs ini berada di pantai (sebagai sebuah kota pantai) seperti halnya situs (candi) Batujaya. Sungai Bodri yang muaranya terus bergeser ke arah peraian (laut) berhulu di pegunungan Serayu Utara tepatnya di Gunung Sindoro (dari kawasan pengunungan ini mengalir sungai besar ke pantai selatan, sungai Serayu).

Sebelum bergeser ke wilayh timur Jawa ada baiknya diperrhatikan tentang wilayah pantai selatan. Sejak era Hindoe Boedha tidak ada aktivitas yang berarti di pantai selatan. Jika diperhatikan ke belakang dengan ditemukan situs Gunung Padang hanya itu saja yang mengindikasikan tanda-tanda sejarah zaman kuno. Pantai selatan seakan masa lalu dan hanya dipandang sebagai pintu belakang pada era Hindoe Boedha. Boleh jadi hal ini karena arus perdagangan internasional hanya ke arah barat (India, Arab dan Eropa) dan ke arah utara di Tiongkok. Memang secara ekonomi wilayah perdagangan ditentukan pengarug asing. Hal itulah mengapa aktivitas di pantai selatan tidak banyak diketahui. Pantai selatan hanya bersifat domestik dinatara penduduk Jawa yang berada di wilayah pantai selatan, Cuaca yang tidak bersahabat dan gelombang laut yang kerap mengancam navigasi pelayaran menjadi faktor hambatan dalam perkembangan di wilayah selatan, lebih-lebih pantainya banyak yang curam dan berbahaya serta populasi penduduk yang jarrang. Meski demikian ada beberapa titik penting di wilayah selatan, selain muara sungai Tjimandiri (Pelabuhan Ratu) yang menjadi akses ke situs Gunung Padang adalah perairan di Pangandaran yang sekarang (wilayah Kerajaan Galuh) dan Tjilatjap (dimana sungai Serayu bermuara). Selebihnya tidak begitu penting dalam navigasi pelayaran zaman kuno. Kita mengabaikan pantai selatan wilayah Jogjakarta dimana sungai Opak bermuara baru diangap penting jauh setelah era Kerajaan Mataram Kuno.

Di pantai utara di timur pulau Jawa yang ada indikasi akivitas sejarah zaman kuno setelah era Taruma, Kalingga dan Mataram Kuno. Kawasan pantai utara di Tuban muncul belakangan dalam sejarah navigasi pelayaran kuno. Aktivitas yang mendahuluinya adalah perkembangan lebih lanjut Kerajaan Mataram Kuno ke arah pantai timur dimansa sungai-ssungai yang berasal dari pegunungan tinggi bermuara seperti sungai Bengawan Solo dan sungai Brantas (Kediri dan Madiun). Di Kawasan inilah silih berganti kekuatan Kerajaan Kediri, Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Majapahit yang dapat dihubungkan dengan perubahan rupa bumi (terutama di pantai timur dan pantai utara). Dalam hal ini pulau Madura adalah pulau yang selalu terpisah dan tetap terpisah sejak zaman kuno.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mengapa Pantai Utara Cenderung Rendah dan Datar?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar