Laman

Selasa, 20 Juli 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (89): Gunung di Papua (Bersalju); Sungai Mengalir Sampai Jauh ke Pantai Utara dan Pantai Selatan-Aru

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini

Artikel ini tidak berbicara soal paparan Sahul, akan tetapi bagaimana bentuk (pulau) Papua pada zaman kuno. Pada artikel sebelum ini, pulau-pulau besar di Indonesia, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi berbeda bentuknya sekarang dibandingkan zaman kuno. Lalu apakah pulau Papua juga berbeda bentuk yang sekarang dengan bentuk zaman kuno? Nah itu yang terpenting untuk diselidiki daripada hanya sekadar penyelidikan benar tidaknya paparan Sahul. Dalam hal ini apakah gunung dan sungai memberi kontribusi dalam perubahan bentuk pulau Papua?

Di pantai utara pulau Papua khususnya di teluk Wondana dimungkinkan terjadi perubahan bentuk pulau. Namun itu tidak terjadi. Mengapa? Hal itu karena tidak ada sungai besar yang bermuara ke teluk Wondana. Sungai besar menjadi salah satu faktor penting menyebabkan garis pantai berubah. Muara-muara sungai besar di pantai utara Papua terdapat di timur teluk yakni sungai Membramo dan sungai Tami (dekat perbatasan Papua Nugini). Sungai-sungai besar lainnya terdapat di arah  timur di wilayah Papua Nugini. Di pantai selatan Papua juga terdapat sungai besar antara lain sungai Digul di bagian barat daya (bermuara ke laut Arifuru) dan sungai Moreshead yang bermuara ke selat Torres, selat yang memisahkan pulau Papua dengan Australia. Lalu apakah sungai-sungai besar tersebut telah mengubah bentuk pulau Papua? Kita mulai dengan milihat bentuk pulau Papua sendiri bagaikan seekor burung yang memiliki tulang belakang yang terbagi menjadi bagian kepala, leher, badan dan ekor. Pada tulung-tulung ini sejak zaman kuno tidak berubah hingga sekarang, tetapi otot atau dagingnya yang melar bahkan pada bagian badan sebelah bawah sangat melar seakan burung itu sedang bunting. Dari penglihatan sepintas ini kita sebenarnya sudah mendapatkan gambaran awal bentuk pulau papua pada zaman kuno

Lantas bagaimana sejarah gunung dan sungai di (pulau) Papua? Seperti disebut di atas, pulau Papua juga diduga telah berubah bentuk jika dibandingkan sekarang dengan zaman kuno. Lalu sejak kapan perubahan bentuk itu terjadi? Satu hal yang masih tersisa dari warisan zaman kuno di pulau Papua adalah gunung yang bersalju (namun mulai menipis). Dari kawasab inilah beberaoa sungai besar bermuara ke pantai utara dam pantai barat daya Papua. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Teluk Wondana dan Selat Torres: Gunung Salju vs Gunung Api

Mungkin banyak yang menganggap penting hubungan antara gunung dengan sungai, atau sebaliknya. Faktanya sungai adalah jembatan antara pegunungan dan lautan. Di gunung-gunung tinggi sungai berhulu dan mengalirkan air hingga jauh ke muara di pantai. Seperti pada artikel-artikel sebelum ini tentang di Sumatra dan Jawa, diduga kuat muara sungai Membramo di pantai utaa Papua telah bergeser ke arah laut dan semakin menjauhi gunung-gunung tinggi dan sungai (Memberamo) menjadi lebih panjang sekarang dibanding pada zaman kuno. Dalam hal ini, penting memperhatikan muara sungai Membramo di pantai utara pulau Papua adalah pangkal jalur navigasi pelayaran dari lautan (pantai) ke pedalaman (pegunungan). Sungai Mamberamo berhulu di pegunungan Jayawijaya, pegunungan yang puncaknya bersalju.

Sungai Mamberamo adalah suatu sungai yang keberadaannya belum lama dicatat dalam sejarah navigasi pelayaran dan sejarah geografi. Panjang sungai Mamberamo 670 Km. Sungai Mamberamo jelas sungai yang panjang, yang itu berarti air mengalir dari pegunungan di pedalaman (kabupaten Sarmi) melalui berbagai wilayah geografi sebelum menemukan jalan ke muara di pantai (laut). Sungai Membramo pada masa ini melewati sembilan kabupaten dan bermuara di pantai utara pulau Papua di kabupaten Membramo Raya.

Puncak gunung yang bersalju ini kini lebih dikenal sebagai puncak Jaya. Kawasan pantai barat Papua ini kali pertama dikunjungi oleh pedagang-pedagang VOC pada tahun 1623 yang dipimpin oleh Kaptein Jan Carstenz. Dalam ekspedisi ini peta dibuat yang dilakukan oleh Arent Martensz de Leeuw, Dalam Peta 1623 diidentifikasi Amboina, Banda, Pulau Kei dan Pulau Aru asal rute, yang melakukan ekspedisi pertama ke pantai barat Papua menuju tempat yang diduga kuat kampong Mimika. Di selatan kampong ini ditandai (muara) sungai (Muara sungai besar yang diidentifikasi pada Peta 1623 diduga kuat adalah sungai di Timika atau kini sungai Ajkwa). Ekspedisi ini melakukan navigasi ke arah selatan melewati pulau Frederik Hendrik dan Merauke hingga Pulau Daru. Satu yang penting dalam peta ini pegunungan (puncak) tinggi di pedalaman sudah diidentifikasi (kini puncak Carstenz, sesuai nama komandan ekspedisi). Karena puncak Carstenz inilah yang dapat dilihat dengan jelas dari pantai barat Papua, Catatan: Peta kuno ini sempat hilang dan baru ditemukan pada tahun 1866 (lihat Nederlandsche staatscourant, 18-02-1866).

Muara sungai besar yang diidentifikasi pada Peta 1623, berdasarkan Peta 1695 di sekitar muara sungai terdapat gosong yang sangat luas dan hanya ada satu pulau yang didientifikasi. Pulau ini diduga adalah pulau Mimika (yang menjadi pusat perdagangan di sekitar muara). Apa yang menjadi penyebab terjadinya gosong yang luas ini diduga terdapat pertambangan sejak zaman kuno,  Kemungkinan terjadinya pengaruh vulkanik karena pegunungan di hulu meletus kecil sekali karena hanya pegunungan Arfak yang bersifat aktif. Pertambangan ini diduga menjadi faktor penting mengapa pedagang-pedagang Moor memiliki pemukiman di pantai selatan Papua ini seperti di teluk Triton (sekitar Kaimana yang sekarang) di Pulau Aru dan di pulau Daru. Seperti di tempat lain, aktivitas penduduk yang intens di pedalaman menjadi satu faktor penting mengapa teluk yang luas menjadi kawasan daratan seperti Batavia, Semarag dan Soerabaja. Di wilayah Maluku seperti di Amboina dan Ternate kasus gosong ini tidak ada, karena sungai besar tidak ditemukan. Selain muara sungai Mimika yang mengalami proses sedimentasi jangka panjang juga ditemukan di muara sungai Digul dan di muara sungai Membramo.

Sungai Membramo kali pertama dikunjungi oleh orang Eropa pada era Hindia Belanda. Tidak disebutkan dimana muara sungai sebagai pintu masuk. Ekspedisi tersebut menyusuri sungai hingga jauh ke pedalaman yang disebut ekspedisi Wilheliina Top atau Carstenz Top (lihat De Preanger-bode, 15-03-1922).

Muara sungai Membramo kini masuk wilayah kabupaten Membramo Raya dengan ibu kota di Burmeso. Antara ibu kota ini dengan myara sungai terdapat danau yang disebut danau Rombebai. Mengapa namanya disebut Rombebai diduga merujuk pada nama Belanda Rombe Baai (bai=teluk. Jadi danau di teluk Rombe. Lalu apakah danau ini tempoe doeloe adalah suatu teluk dimana sungai Membramo bermuara? Sangat mungkin karena ketinggi wilayah sekitar danau hanya 20 meter dpl. Danau ini tepat berada di sisi timur sungai Membramo. Besar dugaan danau ini adalah perairan yang terjebak di sekitar muara sungai Membramo (sebelum muara yang sekarang). Sementara di sisi sebelah barat sungai dekat danau terdapat rawa yang terhubung ke pantai barat yang memperkuat dugaan ini. Muara sungai Membramo ini di masa lampau mungkin lebih jauh ke pedalaman hingga kota Burmeso yang sekarang. Hal ini dapat diperhatikan karena ada sungai dari Burmeso yang terhubung ke pantai barat (sungai Ruawai).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Paparan Sahul vs Selat Torres

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar