Laman

Senin, 27 Desember 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (319): Pahlawan Indonesia HB Jasin, Kritikus; Ida Nasoetion, Ketua Perhimpunan Mahasiswa UI - 1947)

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

HB Jasin lebih dikenal sebagai kritikus sastra. Sebelum HB Jasin intens dalam genre essais (kritik), sudah ada seorang wanita muda yang sangat aktif dalam urusan kritik (essai) yakni Ida Nasution, namun umurnya tidak panjang. Sebagai Ketua Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia 1947, dia menghilang selamanya (diduga diculik intel Belanda.NICA). Sejak itu muncul nama HB Jasin yang intens di bidang essai. Sejak inilah julukan itu melekat pada HB Jasin.

Hans Bague Jassin atau HB Jassin (31 Juli 1917 – 11 Maret 2000) adalah seorang pengarang, penyunting, cendekiawan muslim dan kritikus sastra berdarah Gorontalo. Tulisan-tulisannya digunakan sebagai sumber referensi bagi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kalangan sekolah dan perguruan tinggi dengan menggolongkan angkatan sastra. Dia mendirikan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang kemudian mendapat bantuan gedung dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Karena kiprahnya di bidang kritik dan dokumentasi sastra, dia dijuluki ‘Paus Sastra Indonesia’. Atas perjuangan dan bakti luhurnya pada bangsa dan juga tanah leluhurnya, HB Jassin pun akhirnya dianugerahi gelar adat Pulanga, ‘Ti Molotinepa Wulito’ (Sang Putra Terbaik Bangsa yang Menguasai Bahasa). HB Jassin lahir di Gorontalo. Ayahnya Bague Mantu Jassin, kerani di Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), dan ibu Habiba Jau. Setelah menamatkan Gouverments HIS Gorontalo pada tahun 1932, Jassin melanjutkan ke HBS-B 5 tahun di Medan dan tamat akhir 1938. Setelah sempat bekerja sukarela di kantor Asisten Residen Gorontalo selama beberapa waktu, ia menerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana untuk bekerja di badan penerbitan Balai Pustaka tahun 1940. Setelah periode awal tersebut, HB Jassin menjadi redaktur dan kritikus sastra pada berbagai majalah budaya dan sastra di Indonesia; antara lain Pandji Poestaka, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Bahasa dan Budaya, Horison, dan lain-lain. Tanggal 15 Agustus 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya di Fakultas Sastra UI, dan kemudian memperdalam pengetahuan mengenai ilmu perbandingan sastra di Universitas Yale, Amerika Serikat 1958-59  (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah HB Jasin? Seperti disebut di atas, HB Jasin adalah seorang kritikus terkemuka di Indonesia pada jamannya. Tentu saja sejarahnya sudah banyak ditulis. Data sejarahnya cukup banyak kare HB Jasin berumur panjang (wafat 2000). Namun tentu saja masih narasi sejarahnya masih perlu dilengkapi sejauh data baru ditemukan. Lalu bagaimana sejarah HB Jasin? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia HB Jasin: Ida Nasution di Batavia hingga Perang Kemerdakaan

Nama HB Jasin kali pertama diberitakan di Medan tahun 1933. HB Jasin lulus ujian masuk di HBS Medan (lihat Deli courant, 08-05-1933). Pada tahun 1934 HB Jasin naik ke kelas dua (lihat Deli courant, 26-05-1934). Pada tahun 1945 HB Jassin naik ke kelas tiga (lihat Deli courant, 29-05-1935). Satu kelas dengan HB Jassin antara lain W Loemban Tobing, Achmad Ramli Nasution dan Bachroem Rangkoeti. Di atas mereka satu tahun (naik ke kelas empat) antara lain Dinar Sihite dan AF Siregar.

Hoogere Burgerschool (HBS) Medan terdiri dari tiga afdeeling (A=Literatur dan Ekonomi; B=IPA dan C= hukum klasik). HBS Medan dibuka tahun 1928. Siswa yang diterima adalah lulusan ELS. Lama studi lima tahun. Siswa yang lulus dapat melajutkan studi ke Eropa/Belanda. Di Medan juga ada AMS (Algemeene Middelbareschool) yang lama studi enam tahun. Siswa yang diterima lulusan HIS. AMS terbagi dua bagian, yang mana bagian pertama tiga tahun setingkat (MULO). Lulusan AMS dapat menerima lulusan MULO dari tempat lain yang ditempatkan di kelas empat. Lulusan AMS juga dapat melanjutkan studi ke  Eropa/Belanda dengan ujian trasisi masuk universitas negeri di Belanda. 

Pada tahun 1936HB Jasin naik kelas dari kelas tiga ke kelas empat (lihat De Sumatra post, 30-05-1936). Teman-temanya seperti Bachroem Rangkoeti juga naik kelas. Di atas mereka yang naik ke kelas lima hanya dibagi ke dalam dua afdeeling. Pada afdeeling B (wis. En nat. afd) antara lain terdapat nama AFP Siregar dan A Dinar Sihite. Pada tahun 1937 HB Jassin dan teman-temannya yang disebut di atas naik ke kelas lima (lihat Deli courant, 29-05-1937). Bachroem Rangkoeti di afdeeling A (lit. en ec.. afd); W Loemban Tobing, Achmad Ramli Nasution dan HB Jassin di afdeeling B (wis. en nat. afd).

AFP Siregar lulus ujian akhir pada afd. B HBS lima tahun di HBS Medan. AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindungan melanjutkan studi ke Belanda. Setelah lulus sekolah HBS, A.F.P. Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan. Dengan kapal Indrapoera yang berangkat dari Batavia tanggal 28 Juli 1937, MO Parlindungan naik di Medan dengan tujuan akhir Amsterdam. MO Parlindungan turun di Marseile (Prancis). MO Parlindungan studi di Universiteit te Delft (teknik kimia) dan kemudian karena pendudukan Jerman, transfer ke Zurich (Swiss), MO Parlindungan lulus tahun 1941 dengan gelar insinyur teknik kimia. Sarjana teknik kimia pertama adalah Ir Soerachman (kelak menjadi menteri pada kbinet pertama). Pada pertengahan 1941 Ir MO Parlindungan sudah berad di Bandoeng. Kelak pada tahun 1950 Ir MO Parlindungan menjabat Direktur Perusahaan Sendjata dan Mesioe di Banodeng (kini PINDAD).

Hasil ujian akhir di HBS Medan tidak terinformasikan, Besar dugaan HB Jassin menunda atau tinggal kelas,,HB Jassin baru lulus ujian akhir di HBS Medan pada (pertengahan) tahun 1938 (lihat De Sumatra post, 05-06-1939). Data ini berbeda dengan yang dicatat pada (kutipan di atas) di Wikipedia). Lantas apakah HB Jassin lupa mengingat kapan lulus di HBS Medan? Kemana HB Jassin setelah lulus HBS di Medan tahun 1939?

Pada tahun 1934 Ida Nasoetion mendaftar di Koningin Wilhelmina School di Batavia. Bataviaasch nieuwsblad, 05-06-1935 melaporkan ujian transisi di KW III School yang mana diantaranya Ida Nasoetion naik kelas dari kelas pertama ke kelas dua. Bataviaasch nieuwsblad, 29-05-1937 melaporkan siswa-siswa K.W. III School yang naik ke kelas empat yang mana terdapat nama I. Nasoetion (m), Pada pertengahan tahun 1940 Ida Nasoetion lulus ujian akhir di K. W. III School dan direkomendasikan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Negeri Belanda.

HB Jassin kira-kira seumuran dengan Ida Nasoetion. HB Jassin setelah lulus ELS diterima di HBS Medan tahun 1933, sedangkan Ida Nasution diterima di KW III Batavia tahun 1934. Mereka sama-sama mengikuti HBS 5 tahun. HB Jasssin lulus HBS Medan tahun 1939 dan Ida Nasution lulus HBS di KW III Batavia tahun 1940. Meski Ida Nasoetion direkomendasikan sekolahnya untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Negeri Belanda, tetapi tidak direalisasikan yang boleh jadi karena pertimbangan tertentu, besar dugaan karena sudah mulai adanya perang, Ida Nasoetion yang sudah menulis sejak di KW III lalu mendaftar dan diterima di Jurusan Sastra Bahasa (letteren faculty) Universiteit van Indonesie. 

Fakultas Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) di Universitas Indonesia (Universiteit van Indonesie) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940.dan memulai perkuliahan awal pada tanggal 4 Desember 1940. Ida Nasoetion termasuk mahasiswa angkatan pertama di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (awal pendiriannya bernama Fakultas Sastra dan Filsafat, kini bernama Fakultas Ilmu Budaya). Ida Nasoetion sangat menikmati sekolah tinggi ini karena bakatnya di bidang sastra sejak masuk di KW School. Soerabaijasch handelsblad 28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian preliminary (kelas satu) di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte.

Sementara nona Ida Nasoetion sudah kuliah di fakultas sastra Universiteit Indonesie (naik ke kelas dua) tahun 1941, HB Jassin tidak terinformasikan. Ida Nasoetion masuk fakultas sastra karena sesuai dengan jurusannya di KW III yakni afeeling C. Ida Nasution juga sudah sejak masa pendidikan di KW III sudah aktif menulis. HB Jassin di HBS Medan adalah jurusan IPA (afdeeling-B). Apakah HB Jassin masuk di salah satu fakultas-fakulta IPA?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Ida Nasution, Ketua Perhimpunan Mahasiswa UI 1947: Kritikus Pertama Indonesia

Ida Nasoetion yang baru kuliah satu tahun, tiba-tiba situasi dan kondisi di Indonesia berubah. Pada akhir Desember 1941 pasukan Jepang telah melakukan pemboman di Tarempa, Kepulauan Natuna, Raouw yang membuat orang-orang Belanda di Indonesia mengalami sok.

Satu per satu kilang minyak di Kalimantan dan Sumatra diduduki tentara Jepang. Di Batavia semuanya menjadi berhenti termasuk kampus Ida Nasoetion. Pada tanggal 1 Maret 1942 kapal-kapal perang Jepang telah merapat di luar Batavia di teluk Banten dan Cirebon. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura setelah diadakan perundingan di Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Setelah tanggal tersebut maka berakhir sudah pemerintahan  Hindia Belanda di Indonesia dan Universiteit van Indonesie ditutup. Ida Nasoetion berhenti pula kuliah.

Setelah suasana menjadi tenang, pemerintahan militer Jepang memberikan izin untuk pendidikan tinggi dibuka kembali. Pada tanggal 29 April 1943 Fakultas Sastra dan Filsafat melakukan aktivitas kembali. Namun karena dosen-dosen sebelumnya adalah orang Belanda, kini mereka pulang ke Negeri Belanda dan juga ada yang diinternir dan berada di kamp penampungan, maka aktivitas perkuliahan tidak berjalan semestinya. Lagi pula jumlah mahasiswa yang ada hanya dapat dihitung dengan jari. Mahasiswa yang beberapa orang ini, salah satunya Ida Nasoetion lebih banyak belajar mandiri dan melakukan aktivitas sastra di luar kampus.

Ida Nasoetion, meski kuliah terkesan vakum, tetapi masih banyak berinteraksi dengan sastrawan-sastrawan angkatan Poejangga Baroe (nama majalah menggantikan Balai Poestaka), seperti Soetan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Sedangkan angkatan Balai Poestaka antara lain Merari Siregar dan Sanusi Pane plus Muhammad Kasim dan Soeman Hs. Semua nama-nama yang disebut tersebut adalah seniornya berasal dari kampungyang di Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli. Dengan demikian, Ida Nasoetion tidak kekurangan mentor. Selama pendudukan militer Jepang, Armijn Pane (adik Sanoesi Pane) diangkat sebagai Kepala Bidang Budaya (termasuk seni dan kesusastraan). Untuk kepala bidang informasi diangkat Parada Harahap (yang melipiti pers cetak, kantor berita dan radio). Untuk presidium yang disebut PUTERA diketuai oleh Ir Soekarno dan wakilnya Drs Mohamad Hatta. Foto: Ida Nasoetion

Sejak perang (1942) banyak sastrawan-sastrawan muda bermunculan bagaikan jamur di musim hujan. Ini berbeda dengan era Hindia Belanda. Pada era pemerintah pendudukan militer Jepang, para pemuda lebih menggebu untuk meraih kemerdekaan. Semangat ini terasa di dalam jiwa raga para sastrawan muda. Sementara itu, karena Jepang memberikan kebebasan penggunaan bahasa lokal (Bahasa Indonesia), yang di satu sisi para pemuda yang berminat sastra tidak perlu membuang waktu untuk belajar bahasa asing untuk menjadi penyair, penulis prosa dan penulis esai dan sebagainya. Di sisi lain dirasakan adanya rasa bebas dan sedikit chauvinism. Empat diantara para pemuda yang menonjol mewakili entitas sastrawan muda Indonesia adalah Chairil Anwar (penyair), Idroes (prosa), Ida Nasoetion (esai) dan Oesmar Ismail (drama).

Seperti dikutip di atas (Wikipedia), HB Jassin pernah bekerja sukarela di kantor Asisten Residen di Gorontalo selama beberapa waktu, hingga kemudian HB Jassin menerima tawaran Soetan Takdir Alisjahbana untuk bekerja di badan penerbitan Balai Pustaka tahun 1940.

Keutamaan Ida Nasoetion dalam masa ini karena Ida Nasoetion merupakan satu-satunya sastrawan (muda) yang berlabel mahasiswa. Meski kuliah sastra tidak menentu, bukan hanya senin-kemis tapi cukup lama, Ida Nasoetion tetaplah terdaftar sebagai mahasiswa yang ingin menjadi sarjana sastra.

Dengan didukung tingkat inteligensia yang memadai dan berasal dari sekolah elit berbahasa Belanda di Batavia (KW III) kurikulum yang dibuatnya sendiri tidak terlalu sulit untuk dilaksanakannya. Ida Nasoetion dalam keterbatasan system perkuliahan itu dilihatnya sebagai suatu tantangan. Selain tetap belajar sendiri, Ida Nasoetion juga bekerja keras menulis dan mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media khususnya majalah-majalah sastra. Namanya semakin menggema di kalangan pegiat sastra, apalagi kemampuannya untuk melakukan kritik sastra dan menyajikan esai yang sudah sempurna (mungkin berkat didikan di KWS). Tidak butuh waktu lama, Ida Nasoetion sudah diakui sebagai kritikus sastra dan penulis esai yang berbakat. Adakalanya Ida Nasoetion menulis namanya sebagai samaran dengan nama Ida Anwar (nama ayahnya Anwar Nasoetion). Namun nama samaran ini juga mengindikasikan satu pemikiran tetapi dilakukan dua orang: Ida Nasoetion dan Chairil Anwar.

Para sastrawan muda ini lebih taktis dibanding senior mereka dari angkatan Poejangga Baroe. Jika angkatan sebelumnya menulis lebih menggunakan gaya retorika keindahan, tidak demikian dengan sastrawan muda yang hidup di awal era revolusi—lebih nyata dan lebih bergelora (sastra revolusi). Diantara empat tokoh muda yang meonjol saat itu, Ida Nasoetion dan Chairil Anwar kerap bekerjasama.

Chairil Anwar (lahir di Medan, 1922) dan Ida Nasoetion yang sama-sama seusia lebih tajam dan mengena. Chairil Anwar sangat piawai dalam puisi-puisinya yang hampir seluruhnya dalam bahasa Indonesia dan hampir semua majalah Indonesia ada karyanya. Semua puisinya itu kemudian dikumpulkan menjadi satu buku yang berjudul ‘Deroe Tjampoer Deboe’. Ida Nasoetion lebih fokus pada pengembangan kritik dan esai dan artikel-artikelnya dikirimkan ke koran dan terutama majalah baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Belanda, seperti Het Inzicht, Siasat, Sadar, Pembaroean dan Opbouw. Ida Nasoetion juga menerjemahkan beberapa buku bahasa Perancis (Malraux). Di dalam tulisan-tulisan Ida Nasoetion seperti pada ‘Indonesie Culturaal’ kata-kata ‘merdeka’ kerap ditemukan.

Dua sastrawan muda ini kerap berinteraksi dan sama-sama memiliki visi dan misi yang sama: bangkit! Keduanya pernah sama-sama mengasuh rubrik ‘Gelanggang’ dalam majalah Siasat. Kedua sastrawan muda yang masih belia (berusia 20 tahunan) tumbuh dan berkembang baik pada era Jepang maupun setelah Indonesia merdeka. Ketika, Kerajaan Jepang menyerah kepada Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat, maka situasi dan kondisi berubah, euforia kemerdekaaan hanya sekejap lalu kembali muncul orang-orang Belanda atas naama NICA. Chairil Anwar dan Ida Nasoetion tetap konsisten dengan penanya: cerdas dan tajam. Perkuliahan Ida Nasoetion yang selama ini tidak berjalan lancar justru menjadi lebih kacau balau lagi. Namun demikian tingkat kematangan Ida Nasoetion semakin sempurna—Ida Nasoetion tumbuh dan berkembang justru di luar ruangan kuliah. Sejak kedatangan kembali Belanda/NICA, perang terus terjadi antara tentara Belanda dan pasukan gerilyawan republik, para sastrawan muda tetap terus berpikir dan bekerja serta menghasilkan karya-karya.  Pada tanggal 21 Januari 1946 kampus Universiteit Indonesie dibuka kembali dengan status Nood Universiteit (Universitas Darurat).

Ida Nasoetion berada dalam situasi dilemma: di satu pihak jiwa revolusioner sudah memuncak (sisi republik), di pihak lain suksesi militer/Jepang dengan Belanda/NICA akan membuat perkuliahan di Universiteit van Indonesie akan memungkinkan berjalan normal seperti sediakala (awal pendiriannya tahun 1941).

Ketika situasi perkuliahan di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit van Indonesie sudah mulai kondusif, Ida Nasoetion langsung sumringah, sebab ada kebijakan baru setelah perang karena sulitnya ekonomi dan pembiayaan bagi angkatan 1940 dan 1941 uang kuliah akan digratiskan (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 12-11-1946).

Meski ini dari sudut orang-orang Belanda semacam politik membujuk, namun demikian, sekali lagi: jiwa merdeka Ida Nasoetion tetap bergelora. Sebagaimana diketahui pada saat ini bangsa Indonesia terbelah, sebagian tetap reoubliken dan sebagian yang lain sudah sepenuhnya pro-Belanda (cooperatibe). Ibu kota RI sejak Januari 1946 sudah dipiudahkan dari Djakarta ke Djogjakarta. Oleh karena di wilayah Batavia masih masi banyak warga yang republiken maka pemerintah RI tetap menempatkan seorang wakil pemerintah RI (semacam dubes di Batavia yakni Letnan Kolonel Mr Arifin Harahap (yang mana saat itu Menteri Penerangan yang merangkap Menteri Pertahanan/BKR adalah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap). Sementara itu, pada saat dibukanya kembali 'Universitas Darurat' Universitas Indonesia terdiri dari delapan fakultas (faculteit)dan selusin lembaga (institute) yang semua di bawah naungan Universitas Indonesia. Fakultas yang ada terdiri dari Fakultas Kedokteran (faculteiten der geneeskunde di Batavia, Fakultas Kedokteran Hewan (faculteiten der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian (faculteit van landbouw wetenschap) di Bogor. Selain itu terdapat Fakultas Hukum (faculteiten der rechts), Fakultas Ilmu Sosial (faculteiten der sociale weten), Fakultas Sastra dan Filsafat (faculteit der letteren en wijsbegeerte). Fakultas lainnya adalah Fakultas Sains dan (faculteit der exacte wetenschap) dan Fakultas Teknik (faculteit van technische wetenschap) di Bandoeng. Lembaga/institut yang ada dan yang akan diadakan antara lain: pendidikan jasmani (instituut voor lichamelijke) di Bandung, dental institute (tandheelkundig instituut) di Surabaija dan pelatihan meteorologi di Bandoeng dan pelatihan guru yang akan diadakan.

Saat mana orang-orang Belanda/NICA sudah mulai aktif menata kembali kondisi ke situasi sebelum perang (sebelum pendudukan militer Jepang), orang-orang Belanda melihat potensi sejumlah individu orang Indonesia diantaranya Ida Nasoetion. Oleh karena Ida Nasoetion piawai bahasa Belanda dipromosikan oleh penerbit majalah opbouw (pembangunan) dan cultuural (kebudayaan). Ida Nasoetion direkrut menjadi anggota dewan redaksi Het Inzicht dan Ida Nasoetion juga menjadi anggota staf redaksi majalah Opbouw yang ketuanya seorang guru besar Belanda, Prof Dr RF Beerling (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia 09-05-1947).

Beerling adalah associate professor di Fakultas Ekonomi Universiteit van Indonesia (faculteit der economische). Meski Ida Nasoetion berada di lingkungan akademisi sastra dan pembangunan yang diinisiasi orang-orang Belanda, tetapi rasa gerahnya terhadap kolonialisme tidak berkurang. Untung para pegiat penerbitan Belanda tetap respek atas karakter independent dari Ida Nasoetion.

Dengan dimulainya otonomi kampus, Ida Nasoetion (jurusan sastra) bersama G. Harahap dari jurusan jurnalistik melihat celah perjuangan di dari dalam kampus dengan menggagas dan mendirikan perhimpunan mahasiswa. Dengan kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan organisasi mereka dengan nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat PMUI pada tanggal 20 November 1947. Dalam hubungan ini, mahasiswa-mahasiswa yang ada di Indonesia hanya yang berada di fakultas dan institut yang berada di bawah naungan Universiteit Indonesie sehingga organisasi yang diprakarsai Ida Nasoetion dan G. Harahap sesungguhnya merujuk pada mahasiswa seluruh Indonesia. Jadi, PMUI dalam interpretasi sekarang adalah perhimpunan mahasiswa seluruh Indonesia.

Pada awal organisasi mahasiswa ini didirikan anggotanya baru sebanyak 30 mahasiswa dan lambat laun sebelum ulang tahun yang pertama anggotanya sudah menjadi 100 mahasiswa (hanya memperhitungkan yang di Batavia saja). Ida Nasoetion adalah presiden pertama perhimpunan mahasiswa Indonesia. Gelagat Ida Nasoetion dibalik memersatukan mahasiswa ini tercium juga oleh intelijen Belanda. Foto Danau Tjigombong, 1941

Belum genap satu semester Ida Nasoetion menjabat persiden PMUI, kabar buruk telah datang menimpanya. Koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-04-1948 melaporkan Ida Nasoetion hilang. Dalam berita itu dinyatakan sebagai berikut: ‘seorang esais Indonesia berumur 26 tahun, Ida Nasution hilang. Selama delapan hari penyelidikan tetap sejauh ini tanpa hasil. Mereka (Ida dan kawan-kawannya) berangkat pada tanggal 23 Maret di pagi hari dengan kereta api ke Buitenzorg, di mana mereka menghabiskan hari di sekitar Masing, Tjiawi’.

Sementara itu, koran Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948 memberitakan sebagai berikut: ‘Sejak 23 Maret, seorang mahasiswa Indonesia Ida Nasution menghilang. Pada tanggal itu mereka ke Tjigombong untuk menghabiskan beberapa waktu di danau Tjigombong (kini, danau Lido). Namun, Ida Nasoetion yang akan kembali pada hari yang sama, tetapi hilang entah dimana. Apakah diculik?’

HB Jasin: Menjadi Kritikus Sastra Indonesia Terkenal

Nama HB Jassin cukup lama tidak terinformasikan (sejak 1939). Sejak Ida Nasoetion, yang terpilih sebagai ketua Perhimpoenan Mahasiswa Universitas Indonesia, menghilang (diculik intelijen Belanda?), nama HB Jassin mulai intens terinformasikan. Ini bermula dari iklan majalah Mimbar Indonesia yang dimuat pada surat kabar Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 15-11-1947. Disebutkan dalam edisi perdana majalah terdapat salah satu artikel yang ditulis oleh HB Jassin dengan judul ‘Walujati’. Oleh karena judulnya singkat dan hanya satu kata, apa yang menjadi isinya sulit diinterpretasi. Artikel lainnya ditulis antara lain Dr DS Nauli dan Prof. Soepomo,

Mimbar Indonesia adalah majalah orang-orang Republiken. Pada daftar redaksi terdapat nama-nama Soekardho Wirjopranoto, Prof Mr Dr Soepomo dan Andjar Asmara. Majalah diterbitkan oleh Jajasan Dharma (Penerangan Indonesia( yang diketuai oleh Ir Pangeran Moh. Noor Disebutkan majalah ini terbit dua minggu sekali yang menyajikan bidang pembangunan politik, ekonomi, sosial dan budaya Indonesia. Alamat administrasi di jalam Tjikini 31.

Nama HB Jassin muncul kembali pada majalah Orientale, cultureel maandblad, No 10, Agustus 1948 yang memberi kata pengantar pada beberapa cerpen karya sastrawan generasi muda Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa HB Jasin sudah mendapat tempat diantara orang-orang Belanda peminat sastra. Tentulah HB Jassin diberi tempat untuk mengantarkan cerpen-cepen Indonesia yang dimuat pada Orientale memiliki kapabilitas untuk itu. Hal serupa ini pada tahun sebelumnya Ida Nasoetion direkruet sebagai anggota redaksi majalah Opbouw.

Majalah Orientale semacam majalah khusus untuk kebudayaan, majalah yang berbeda dengan sebelumnya Opbouw yang bersifat umum meliputi semua bidang peminatan termasuk seni dan sastra. Majalah Oritenale diterbitkan pertama akhir tahun 1947 (lihat Nieuwe courant, 12-10-1948).  Disebutkan majalah ini berusaha semaksimal mungkin berorientasi pada Indonesia yaitu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para penulis, pujangga, pelukis dan ‘pengembara’ lainnya di bidang budaya untuk mengekspresikan diri. Kami sengaja berbicara tentang Orientale karena kata ini lebih cocok dengan nama majalah, di Eropa dan Belanda arah yang berbeda cukup jelas dibedakan. Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa puisi, novel, dan kritik telah diterbitkan di Orientatie, yang juga menarik perhatian di Belanda dan juga terjemahan reguler puisi dan novel muda Indonesia. Di edisi sebelumnya kami menemukan sejumlah puisi, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam terjemahan bahasa Belanda yang baik, oleh salah satu penyair Indonesia terkemuka Chairil Anwar. Dan kemudian novel yang diterjemahkan oleh Idroes. Dalam nomor Agustus pada majalah Orientale, tempat penting diberikan kepada karya beberapa novelis muda. Dalam edisi ini HB Jassin menulis esai singkat dan padat dengan judul ‘Enam tahun Sastra Indonesia’. Kemudian ada dua novel terjemahan, masing-masing karya Oesmar Isma'il dan M. Balfas.

Tampaknya HB Jasin sudah menempati posisi yang sebelumnya dimiliki oleh esais Indonesia terkemuka Ida Nasoetion. Namun sayang satu dari sastrawan muda Indonesia yang sangat potensial telah tiada: Ida Nasoetion (hilang pada Maret 1948 diduga kuat diculik dan dibunuh intel Belanda/NICA). Kehadiran HB Jassin menjadi penerus eksistensi kritik dalam dunia sastra Indonesia (hingga dewasa ini). Sastrawan muda Indonesia yang telah tiada berikutnya adalah Chairil Anwar yang pernah menjadi rekan Ida Nasution dalam mengasuh rubrik sastra Gelanggang pada majalah Siasat.

De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 28-10-1949: Pusat Pemuda Batavia. Pusat kegiatan ini di Batavia, dimana ‘Angkatan 1945’ (generasi 1945), sebuah gerakan anak muda yang aktif dalam sastra serta teater dan film, memiliki pengaruh terbesar. pujangga muda Chairll Anwar yang meninggal 28 April 1949 dalam usia 27 tahun karena penyakit kronis. Ia bisa dikatakan sebagai inovator dan penggagas puisi Indonesia. Ia berkarya sejak 1942 dan menulis banyak puisi perlawanan yang membawanya ke beberapa kali di tahanan Jepang. Kolaborator terdekatnya, penulis esai muda Ida Nasoetion, yang menerjemahkan ‘Les Conquerants’ ke dalam bahasa Indonesa, dibunuh pada tahun 1948 oleh pembunuhan. Sekarang penyair muda menempatkan Rival Apin. Asrul Sani dan Rosihan Anwar, yang terakhir sebagai jurnalis RTC terus menghadiri pekerjaan para pendiri. Penyair dan penulis cerita pendek berusia dua puluh sembilan tahun Rosihan Anwar, yang telah menetap sementara di Amsterdam, memberi tahu saya sesuatu tentang karakter dan tujuan ‘Anpkatan 1945’ yang dalam arti sebenarnya gerakan ‘avant garde’. Cerita pendek, misalnya adalah genre yang baru kita kenal selama enam tahun. Tapi dalam enam tahun itu benar-benar lepas landas. Amerika adalah contoh kita seperti penulis Hemingway, O'Henry, Dorothy Parker dan lain-lain. Tokoh-tokoh penting dalam sastra Indonesia terkini, selain yang disebutkan di atas adalah HB Jassin, penulis esai dan antologi ‘Gema Tanah Air’ yang menyusun prosa dan puisi dari tahun 1942-1948. Oesmar Ismail, penulis naskah terkenal yang juga bekerja sebagai sutradara film. Mereka adalah ‘Angkatan 1945. Majalah mingguan utama, Siasat, yang diterbitkan di Batavia, memiliki tambahan rubrik budaya tersendiri yang disebut 'Gelansgang' (Arena). Majalah Siasat dengan editor Rosihan Anwar yang memberi generasi 1945 banyak kesempatan untuk bersuara’.

Ida Nasoetion dapat dikatakan sebagai yang pertama dalam urutan esais Indonesia (kritik) dan Chariril Anwar untuk bidang puisi modern. Dua yang pertama telah tiada.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar