Laman

Sabtu, 26 Februari 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (441): Pahlawan Indonesia - Kapten Karim Lubis; Pengawal Pribadi Soeltan Hamengkoeboewono IX

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Siapa Karim Lubis? Pangkatnya hanya kapten infantri pada awal Republik Indonesia. Oleh karena itu namanya tenggelam diantara para perwira tinggi kolonel dan jenderal. Meski baru sebagai perwira menengah tetapi namanya begitu penting di lingkaran kraton, dimana saat itu Jogjakarta adalah ibu kota Republik Indonesia (setelah dipindahkan dari Djakarta. Kapten Karim Lubis pernah menjadi pengawal pribadi Soeltan Hamengkoeboewono. Apa tidak ada yang lain? Yang jelas Karim Lubis tidak ada kaitan tugas dengan Kolonel Zulkifli Lubis, kepala intelijen RI di Jogjakarta. Sudah barang tentu kapten M Karim Lubis dipilih sultan sendiri..

Pada tanggal 1 Agustus 1942, Jepang mengeluarkan petunjuk yang salah satunya adalah pembubaran balatentara Kesultanan Yogyakarta. Mulai saat itu, Keraton Yogyakarta benar-benar tidak lagi mempunyai prajurit. Ada yang menyatakan pendapat bahwa pembubaran ini sebenarnya taktik dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan tidak mau Prajurit Keraton dipergunakan Jepang untuk kepentingannya. Hal ini sejalan dengan strategi Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang membangun selokan Mataram agar penduduk Yogyakarta tidak dikerahkan Jepang untuk melakukan romusha, kerja paksa untuk membangun proyek-proyek militer Jepang. Prajurit Keraton dihidupkan kembali pada tahun 1970. Kemunculannya didorong oleh penyelenggaraan karnaval budaya waktu itu. Dhaeng adalah kesatuan pertama yang dihidupkan kembali. Kesatuan Dhaeng dinilai paling menarik karena instrumennya yang ramai sehingga mampu menarik perhatian masyarakat. Kelengkapan instrumen Prajurit Dhaeng terdiri dari tambur, seruling, ketipung, dhodhog, bendhe besar, bendhe kecil, kecer, dan pui-pui. Mulai saat itu, satu persatu kesatuan-kesatuan prajurit yang disebut sebagai bregada mulai dihidupkan kembali guna melengkapi acara-acara kebudayaan Keberadaan prajurit ini tidak lagi memiliki fungsi pertahanan. Semata hanya untuk kegiatan budaya. Dari masa ke masa, keberadaan Prajurit Keraton mengikuti dinamika zaman. Prajurit yang awalnya berfungsi sebagai penjaga kedaulatan berangsur-angsur telah berganti fungsi menjadi pengawal kebudayaan (https://www.kratonjogja.id).

Lantas bagaimana sejarah M Karim Lubis? Seperti disebut di atas, Karim Lubis pernah menjadi pengawal pribadi Soeltan Hamengkoeboewono IX. Unik memang, seperti halnya Dr Willer Hoetagaloeng menjadi dokter pribadi Jenderal Soedirman. Tentu saja itu terjadi pada era perang kemerdekaan. Lalu bagaimana sejarah Karim Lubis? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia dan Kapten Infanteri Karim Lubis; Pengawal Pribadi Soeltan Hamengkoeboewono IX

Beberapa tahun sebelum sejarah Usman dan Harun di Singapoera, ada satu sejarah yang berlangsung di Singapura dimana dua warga negara Republik Indonesia hari Senin telah ditangkap dijatuhi hukuman penjara di Singapura. Soewadi dihukum enam belas bulan karena mencuri dokumen dan Abdul Salim Harahap juga dihukum enam belas bulan karena mengajak pencurian dokumen itu. Orang Indonesia ketiga, Karim Loebis, juga dijatuhi hukuman 18 bulan penjara karena mengarahkan pencurian. Demikian Reuter melaporkan dari Singapura yang dikutip surat kabar di Djakarta Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 08-07-1947.

Kabinet Amir Sjarifuddin Harahap diresmikan pada tanggal 3 Juli 1947 (setelah kabinet Soetan Sjahrir berakhir). Sejak awal dibentuk kabinet RI pada tanggal 2 September 1945 hingga Kabinet Amir, yang menjadi Menteri Pertahanan/KR adalah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Pada kabinet sebelumnya Mr Amir Sjarifoeddin Harahap adalah menteri dengan nomenklatur Menteri Keamanan Rakyat yang pada Kabinet Amir ini diubah namanya menjadi Menteri Pertahanan. Pada Kabinet Amir ini, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap selain Perdana Menteri, tetap sebagai Menteri Keamanan Rakyar/Menteri Pertahanan. Kepala intelijen negara Republik Indonesia yang beribukota di Jogjakarta masih tetap Kolonel Zulkifli Lubis. Beberapa waktu sebelum telah berlangsung perundingan antara pihak Republik Indonesia dan pihak Belanda (NICA). Perundingan diadakan di Linggarjati, yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia dimana hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Batavia/Djakarta pada tanggal 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947. Hasil perundingan tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi: (1) Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera,dan Madura; (2) Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949; (3) Pihak Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS); (4) Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni. Mengenai RIS sendiri, Soekarno menerima kompromi tersebut untuk menghindari perlawanan terhadap Belanda yang sulit dan pemahamannya mengenai sistem republik, maka ia dapat memimpin RIS yang mayoritasnya penduduk Indonesia. Sementara Komisi Jenderal juga menerima kompromi tersebut karena kemungkinan perang dapat dihindari dan hubungan Belanda dengan Indonesia dapat berlanjut (Wikipedia). Dalam konteks itulah tiga warga negara RI ditangkap dan dihukum di Singapoera dimana militer Inggris di Asia Tenggara berkedudukan.

Tiga warga negara RI Soewadi, Abdul Salim Harahap dan Karim Loebis di Singapoera terlibat dalam pencurian dokumen rahasia diduga kuat sebagai bagian terdepan aksi intelijen RI dalam hubungan yang terjadi antara perselisihan Belanda (NICA) dan Republik Indonesia di wilayah Indonesia. Seperti disebut di atas, Karim Loebis dijatuhi hukum lebih berat karena dianggap yang bertanggungjawab penuh di belakang dalam aksi pencurian dokumen tersebut. Soewadi dan Abdul Salim Harahap melakukan aksi di lapangan yang kemudian dikenakan hukuman yang sama (16 bulan penjara).

Sebagaimana diketahui kelak pada tanggal 8 Maret 1965, Usman dan Harun ditugaskan untuk melakukan sabotase di Singapura dengan dilengkapi dengan perahu karet dan 12,5 kilogram (28 pon) bahan peledak, mereka diberitahu untuk membom sebuah rumah tenaga listrik, tetapi sebaliknya, pada tanggal 10 Maret 1965, mereka menargetkan bangunan sipil, bangunan Hong Kong and Shanghai Bank, yang sekarang dikenal sebagai MacDonald House, menewaskan 3 orang dan melukai sedikitnya 33 lainnya, yang semuanya warga sipil (Wikipedia). Keduanya duhukum berat. Setelah sempat pihak RI meminta pengurangan hukuman kepada keduanya, namun diabaikan, dua Indonesia tersebut dihukum gantung di Penjara Changi, Singapura, pada 17 Oktober 1968. Jenazah Usman dan Harun kemudian dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Djakarta.

Dokumen yang dicuri oleh tiga agen intelijen Indonesia di Singapura tersebut di dalam berita disebut dokumen berbahasa Inggris. Gugatan kepada tiga Indonesia tersebut dilakukan setelah serangkaian penggeledahan yang dilakukan oleh polisi Singapura di kantor dan rumah Indonesia dan Malaysia pada hari Sabtu. Kasus ini sebelumnya pertama kali diberitakan kantor berita Republik Indonesia, Antara yang menyebutkan digeledah namun belakangan dibantah. Dokumen-dokumen yang bersangkutan, yang telah diserahkan kepada Soewadi oleh seorang pegawai Melayu, ternyata adalah surat-surat dari Lord Killearn yang dikirim olehnya ke Batavia pada bulan November 1946 dan Januari 1947, dan sebuah surat dari Lord Killearn kepada Kantor Luar Negeri Inggris bertanggal pada bulan November 1946 dan Januari 1947. dikirim pada bulan April '47. Ketiga terdakwa dalam kasus tersebut mengakui bersalah.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kapten  Karim Lubis: Karir Selanjutnya

Seperti yang diberitakan Karim Loebis ditangkap pada bulan Juli 1947 dan dikenakan penjara 18 bulan (1,5 tahun), maka dengan mengitung maju, Karim Loebis sudah dibebaskan pada bulan Januari tahun 1949. Oleh karena Karim Loebis diduga kuat adalah agen intelijen RI utama di Singapura, maka sudah barang tentu akan kembali ke Jogja (ibu kota RI), Sebab Batavia/Djakarta adalah ibu kota Belanda/NICA sebagai pusat dari federasi dari negara-negara federal yang telah dibentuk Belanda seperti Negara Jawa Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Selatan dan Negara Sumatra Timur. Sebagai bagian dari intelijen RI dalam hal ini sudah diduga pasti Karim Loebis akan menuju Jogjakarta untuk melapor kepada atasannya Kolonel Zulkifli Lubis (Kepala Intelijen RI).

Keberadaan Kolonel Zulkifli Lubis sudah berada di Jogjakarta pada awal tahun 1946. Sebagaimana diketahui ibu kota RI dipindahkan dari Djakarta ke Jogjakarta pada bulan Januari 1946 dimana rombongan Presiden dan Wakil Presiden berangkat ke Jogjakarta dengan kereta api dari Stasion Manggarai. Rombongan terakhir para pejabat dan pegawai pemerintah dari Djakarta ke Jogjakarta berangkat pada bulan April 1946 yang dipimpin oleh Overste (Letnan Kolonel) Mr Arifin Harahap (adik dari Mr Amir Sjarifoeddin Harahap). Setelah elemen pemerintah RI dievakuasi dari Djakarta baru beberapa bulan kemudian diadakan perwakilan RI di Djakarta (semacam pos atase militer atau kedubes) di wilayah pendudukan Belanda/NICA. Yang menjadi atase militer/dubes adalah Overste Mr Arifin Harahap (kelak diangkat menjadi menteri perdagangan).

Karim Lubis tampaknya setelah di Jogjakarta telah mendapat kenaikan pangkat dari Letnan menjadi Kapten. Namun harus diingat ibu kota Jogjakarta saat itu sudah sejak 18 Desember 1948 telah diduduki Belanda (sejak awal agresi militer Belanda II) dimana para pemimpin Indonesia telah ditangkap dan sebagian diasingkan seperti Ir Soekarno ke Parapat dan Drs Mohamad Hatta ke Bangka. Satu-satu perwakilan Republik di Jogjakarta adalah Soeltan Hamengkoeboewona (sebagai kepala daerah), yang dalam hal ini Hamengkoeboewono sebagai Sultan di Jogjakarta terus diawasi oleh militer Belanda.

Sementara para TNI sebagian besar telah mengungsi ke luar kota untuk bergerilya seperti Jenderal Soedirman ke selatan Jogjakarta dan Kediri, Major Jenderal Abdoel Haris Nasoetion ke Jawa Barat di wilayah selatan Tjiandjoer dan Soekaboemi serta Kolonel TB Simatoepang di selatan Semarang di wilayah Banaran.

Sementara TNI terus bergerilya di wilayah gerilya (wilayah Republik), hubungan antara YNI dan Soeltan Hamengkoeboewono terus terjalin, tentu saja secara rahasia. Dalam hal inilah peran Kapten Karim Lubis menjadi penting di dalam kraton dengan berbagai kualifikasi, baik sebagai militer, sebagai agen intelijen dan dalam hal ini menjadi pengawal pribadi Soeltan sendiri. Dalam konteks inilah Kapten Karim Lubis bertindak sebagai ajudan Soeltan Hamengkoeboewono sebagai satu-satunya tokoh Republik terpenting yang masih tersisa di Jogjakarta.

Pada bulan April 1949 diadakan perundingan antara perwakilan RI dan perwakilan Belanda/NICA (perundingan Roem-Royen). Hasil perundingan ini antara lain disepakati gencatan senjata dan dilakukan persiapan untuk perundingan lebih lanjut, Konfernsi Medja Boendar (KMB) di Den Haag. Pada bulan Juni evakuasi pasukan Belanda dari Jogjakarta dilakukan (untuk pemulihan pemerintahan RI di Jogjakarta). Untuk mengantisipasi situasi vakum aparatur keamanan pasca evakuasi militer, Soeltan Jogja agak kebingungan karena petinggi TNI tidak diketahui dimana bergerilya. Untuk itu dikirim berbagai utusan ke berbagai wilayah gerilya. Akhirnya yang ditemukan lebih dulu adalah arena dimana berada Kolonel TB Simatoepan di utara wilayah Magelang (pegunungan Banaran). Kolonel TB Simatoepang tepat waktu tiba di Jogjakarta sebelum pasukan Belanda terakhir dievakuasi. Soeltan Joga menjadi tenang. Kolonel TB Simatoepang dengan Soeltan Jogja yang melakukan serah terima dalam peralihan dari Belanda/NIC ke RI di Jogjakarta. Dua minggu kemudian setelah situasi kondusif (aman dan fasilitas pemerintah dirapihkan) baru tiba rombongan pemimpin RI dari Bangka (Mohamad Hatta). Lalu kemudian menyusul rombongan Ir Soekarno. Rombongan yang terakhir tiba di Jogjakarta adalah Jenderal Soedirman yang disambut Kolonel TB Simatoepang di batas kota. Jenderal Soedirman tidak bersedia bertemu Ir Sokarno dan Drs Mohamad Hatta. Mengapa? Sementara itu Major Jenderal Abdoel Haris Nasoetion tidak kembali ke Jogjakarta, tetap tetap stay di wilayah Soekaboemi. Lantas dimana Kolonel Zulkifli Loebis? Tidak terinformasikan. Boleh jadi karena komandan intelijen RI lebih banyak kerja diam di belakang panggung.

Setelah pemulihan pemerintahan di ibu kota RI di Jogjakarta, Perdana Menteri RI Mohamad Hatta memimpin delegasi RI ke Den Haag. Delegasi ini di Den Haag melakukan berbagai tahapan perundingan termasuk yang hadir mewakili TNI di Den Haag adalah Kolonel TB Simatoepang. Sementara yang tetap berada di Jogjakarta masih ada Presiden Soekarno dan sejumlah menteri serta Soeltan Jogja (yang juga telah diangkat menjadi Menteri Pertahanan). Kapten Karim Loebis tetap menjadi pengawal pribadi/ajudan dari Soeltan Hamengkoeboewono IX (sebagai Menteri Pertahanan). Pada saat tengah sibuk perundingan di Den Haag, Soeltan Hamengkoeboewono IX mengirim dokumen penting yang diperlukan Mohamad Hatta. Untuk membawa dokomen itu dipercayakan kepada Kapten Karim Loebis yang menjadi pengawal pribadi Soeltan sendiri (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-10-1949).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar