Laman

Selasa, 29 Maret 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (500): Pahlawan Indonesia-Pribumi Studi di Belanda; Willem Iskander, 1857 hingga Raden Kartono 1896

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sebelum ada sekolah guru (hoogerekweekschool) dan fakultas (hoogeschool) di Indonesia (baca: Hindia Belanda; siswa-siswa pribumi asal Hindia harus melanjutkan studi ke Belanda. Studi ke Belanda adalah awal revolusi pendidikan bagi golongan pribumi di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Pribumi pertama studi ke Belanda adalah Sati Nasoetion tahun 1857 untuk mendapatkan akta guru. Baru tahun 1896 pribumi memulai studi ke perguruan tinggi di Belanda yakni Raden Sosro Kartono untuk mendapatkan gelar sarjana.

Willem Iskander (lahir dengan nama Sati Nasution lalu bergelar Sutan Iskandar di Pidoli Lombang, Sumatra Utara, Maret 1840). Ia mengawali pendidikannya di Sekolah Rendah (Inlandsche Schoolan) di Panyabungan (1853-1855). Februari 1857 ia berangkat ke Belanda bersama Alexander Philippus Godon, Asisten Resident Mandailing-Angkola untuk melanjutkan Sekolahnya. Ia lulus dan mendapat ijazah Guru bantu (Hulponderwijzer) 5 Januari 1859. Willem mendirikan sekolah guru (kweekschool) sepulang dari pendidikan di Belanda. Tahun 1874 ia pergi melanjutkan pendidikannya ke Belanda kedua kali untuk mendapatkan Ijasah Guru Kepala Sekolah (Hoofdonderwijzer). Ia berangkat dengan membawa tiga guru mudas Barnas Lubis (Muridnya), Raden Mas Soerono dari Kwekschool Surakarta dan Raden Adi Sasmita dari Majalengka. Raden Mas Panji Sosrokartono (10 April 1877 – 8 Februari 1952) adalah wartawan perang, penerjemah dan guru. R.M.P. Sosrokartono adalah kakak kandung RA Kartini, Setelah tamat dari Europeesche Lagere School di Jepara, Sosrokartono meneruskan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Selanjutnya pada tahun 1898, Sosrokartono meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda dengan masuk di Sekolah Teknik Tinggi Leiden. Namun demikian, karena merasa tidak cocok, ia pun pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur sehingga lulus dengan menggenggam gelar Doctorandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden. Beliau merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang pada urutannya disusul oleh putra-putra Indonesia lainnya. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah pribumi generasi pertama studi ke Belanda? Seperti disebut di atas, pribumi pertama melanjutkan studi ke Belanda adalah Sati Nasoetion alias Willem Iskander. Lalu kemudian pada tahap berikutnya pribumi yang melanjutkan pendidikan tinggi di Belanda yang dimulai oleh Raden Kartono. Lalu bagaimana sejarah pribumi generasi pertama studi ke Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia – Pribumi Generasi Pertama Studi di Belanda: Willem Iskander (1857)

Pengetahuan adalah persyaratan elementer perjuangan bangsa (kesejahteraan). Pengetahun yang dimaksud adalah tambahan pengetahuan melalui proses pendidikan moder, Yang dimaksud pendidikan modern adalah proses pembelajaran dengan menggunakan aksara Latin. Dengan demikian dimungkinkan terbentuk relasi pendidikan di Eropa di Hindia (baca: Indonesia). Oleh karenanya pendidikan penduduk pribumi (bangsa Indoensia) dengan pendidikan di Eropa terkoneksi melalui proses penddidikan yang menggunakan aksara Latin.

Sejak kehadiran bangsa Eropa di Nusantara, kkhususnya orang-orang Belandsa (era VOC dan Pemerintah Hindia Belanda), introduksi aksara Latin secara perlahan diperluas diantara penduduk dan dintensifkan dari waktu ke waktu. Ini diawali program pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah (dasar) di berbagai tempat utama dengan introduksi aksara Latin. Guru-guru asal Belanda didatangkan dan menjadi guru di sekolah-sekolah yang didirikan. Dalam konteks inilah pengetahuan (baru) dari Eropa diperkenalkan kepada para siswa melalui buku dan memungkinkan untuk mampu membaca berita surat kabar atau mejalah. Lalu untuk menggantikan posisi guru yang didatangkan, dimulai mendirikan sekolah guru (kweekschool) pribumi di Soerakarta tahun 1851.  Namun jumlah guru baru lulusan sekolah guru tersebut hanya setitik dari yang dibutuhkan sangat banyak, belum lagi soal kualitasnya.

Pada tahun 1857 seorang lulusan sekolah rakyat di afdeeling Angkola Mandailing (Res. Tapanoeli) menyadari arti pendidikan dan kualitas pendidikan bagi pribumi terutama ke masa depan dan kemudian melanjutkan studi keguruan di Belanda. Lulusan sekolah rakyat itu adalah Sati Nasoetion, pribumi pertama yang melanjutkan studi ke Belanda. Sati Nasoetion berhasil dalam studi dan lulus tahun 1860 mendapat akta guru di Haarlem, Belanda.

Sebelum Sati Nasoetion berada di Belanda, tidak diketahui seberapa banyak orang pribumi. Apakah ada yang bekerja di pelabuhan atau kapal-kapal di Belanda atau apakah ada yang menjadi anak asuk atau pembantu rumah tangga di Belanda tidak diketahui secara jelas. Yang pasti adalah sebelumnya diketahui sudah ada pribumi yang berada di Belanda, paling tidak satu orang yakni Raden Saleh, dibawa ke Belanda karena talentanya dalam hal melukis pada tahun 1829. Setelah dua dasar warsa, dengan kemampuan melukis Raden Saleh yang hebat kembali ke tanah air pada tahun 1852. Tentu saja Raden Saleh tidak pernah bertemu dengan Sati Nasoetion karena beda periode waktu..  

Dengan izajah akta guru di Belanda, Sati Nasoetion alias Willem Iskander pulang ke tanah air pada tahun 1861 dan kemudian pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru di kampong halamannya di Tanobato, onderafdeeling Mandailing.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pribumi Generasi Pertama Kuliah (Perguruan Tinggi) di Belanda: Raden Sosro Kartono (1896)

Seperti halnya Sati Nasoetion alias Willem Iskander, pada tahun 1896, Raden Sosro Kartono (abang RA Kartini) menyadari arti penting melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi (fakultas/universitas). Tidak lama setelah lulus sekolah menengah (HBS) di Semarang, Raden Kartono berangkat studi ke Belanda.

Pada masa lampau, tidak lama setelah Willem Iskander kembali ke tanah air pada tahun 1861, beberapa tahun kemudian sesorang siswa asal Djogjakarta berangkat ke Belanda. Putra Jogjakarta tersebut bernama Ismangoen Danoe Winoto. Ismangoen berangkat tanggal 24 Juni 1864 bersama FN Nieuwenhuijzen dan keluarga dari Batavia dengan kapal uap Java menuju Belanda via Singapoera (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-06-1864). Setelah sekian lama, nama Ismangoen Danoe Winoto kembali terdeteksi di Delft (lihat Delftsche courant, 12-07-1871). Disebutkan dalam ujian  ambtenaren Oost Indie (pegawai pemerintah Hindia Belanda) untuk bagian A dari 54 orang yang mendaftar dan hanya 48 yang mengikuti ujian dimana 29 diantaranya dinyatakan lulus termasuk Ismangoen Danoe Winoto yang dicatat sebagai Raden Mas Ismangoen. Berita ini juga dilansir surat kabar lain di Hindia yang mana disebutkan Radhen Maas Ismangoen adalah cucu kaisar (Soeltan) Djokdjokarta (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-08-1871). Salah satu penguji dalam ujian ambtenaar tersebut adalah Nieuwenhuijzen (Nederlandsche staatscourant, 12-01-1872). FN Nieuwenhuijzen adalah mantan Resident Soeracarta. Akhirnya tahun 1875 Ismangoen Danoe Winoto lulus studi (lihat De standaard, 15-07-1875). Lulusan akademi ini berhak diangkat sebagai pejabat pemerintah (Ambtenar) di Hindia Belanda. Ismangoen Danoe Winoto dan kawan-kawan diangkat Menteri Koloni sebagai pegawai pemerintah di Hindia Belanda berdasarkan tanggal 28 Agustus (lihat Algemeen Handelsblad, 02-09-1875). Ismangoen Danoe Winoto setelah 10 tahun meninggalkan kampung halaman kembali ke kampung halaman di Hindia Belanda. Ismangoen Danoe Winoto berlayar dengan kapal Amalia (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 20-03-1876). Dua tahun sebelum, Ismangoen kembali ke tanah air, pada bulan Mei 1874 tiba (kembali) di Belanda dengan membawa tiga guru muda yakni Barnas Lubis, salah satu siswanya, Raden Soerono dari Soerakarta dan Raden Adi Sasmuta dari Bandoeng. Willem Iskander akan melanjutkan studinua di bidang keguruan sedangkan tiga guru muda untuk mendapatkan akta guru seperti yang diraihnya pada tahun 1860. Lantas apakah Ismangoen pernah bertemu dengan Willem Iskander, paling tidak dengan guru muda dari Soerakarta, tidak terinformasikan. Dengan berbekal akta/diploma pemerintah menempatkan dimana. Ismangoen Danoe Winoto ditempatkan sebagai pejabat di Sekretaris Jenderal (Algemenen Secretarie) (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 30-06-1876). Ismangoen Danoe Winoto ditempatkan bersamaan dengan van Boetzelaar (teman yang sama-sama lulus di Belanda). Ada sejumlah pribumi generasi pertama yang studi setelah yang pertama Willem Iskander. Seperti disebut di atas selain Willem Iskander, Ismangoen, Barnas Lubis, Raden Soerono dan Raden Sasmita, juga terdapat guru-guru muda berikut. Salah satu diantara guru muda yang sukses seperti Willem Iskander adalah JH Wattimena dari Ambon (1884).

Raden Kartono studi di Polytechnische di Delft. Ini mengindikasikan bahwa Raden Kartono adalah generasi kedua pribumi studi di Belanda. Posisi Raden Kartono ini menjadi sangat penting, sebab hanya Raden Kartono satu-satunya pribumi yang tengah studi di Belanda. Dalam hal ini Raden Kartono adalah pembuka pintu pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi).

Pada tahun 1899 seorang lulusan Docter Djawa School, Abdoel Rivai berangkat ke Belanda. Tujuan utamanya adalah studi kedokteran. Tampaknya ada halangan yang menyebabkan Abdoel Rivai bekerja di Belanda dengan menerbitkan majalah berbahasa Melayu Bandera Wolanda. Namun tidak lama kemudian Abdoel Rivai kembali ke tanah air pada tahun 1901. Pada tahun 1903 Dr AA Fokker datang ke Hindia lalu berpartner dengan Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda pemimpin surat kabar Pertja Barat du Padang. AA Fokker akan menerbitkan majalah berbahasa Melayu di Belanda yang diberi nama Bintang Hindia. Untuk membantu AA Fokker, Dja Endar Moeda pada tahun 1903 membawa dua guru ke Belanda untuk menjadi anggota redakasi Bintang Hindia. Dua guru tersebut adalah guru senior Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan dan guru junior Djamaloedin. Sedangkan satu lagu yang ikut bergabung dengan Bintang Hindia di Belanda adalag Abdoel Rivai yang berangkat sendiri dari Batavia. Dalam perkembangannya, pada tahun 1905 Soetan Casajangan kembali ke kampong halaman untuk mempersipkan rencana untuk studi di Belanda dan kembali pada bulan Juli 1905 di Belanda. Selanjutnya Abdoel Rivai dan Djamaloedin juga melanjutkan studi di Belanda.  

Setelah ada beberapa pribumi studi di Belanda (R Kartono, Soetan Casajangan, Abdoel Rivai dan Djamaloedin), lalu kemudian pada tahun 1906 Hoesein Djajadiningrat, yang baru lulus HBS di Batavia tiba di Belanda. Pada tahun ini juga Raden Soemitro lulusan sekolah HBS di Batavia meneruskan sekolah HBS di Belanda. Pada tahun 1907 salah satu pribumi yang tiba di Belanda adalah lulusan sekolah HBS Semarang Raden Mas Notosoeroto). Pada tahun 1908 jumlah pribumi yang tengah mempersiapkan diri maupun yang tengah studi sudah mulai banyak. Berapa banyaknya? Masih sedang di listing sevara lengkap.

Pada tahun 1908, saat mana jumlah pribumi sudah cukup banyak, Soetan Casajangan menginisiasi pembentukan organisasi pribumi yang studi di Belanda. Setelah mengirim undangan ke semua yang ada, pada tanggal 25 diadakan pertemuan di kediaman Soetan Casajangan di Leiden yang dihadiri oleh 15 orang. Di sepakati dibentuk organisasi pribumi yang studi di Belanda dengan nama Indische Vereeniging. Untuk penguruan dipilih secara aklamasi Soetan Casajangan sebagai ketua dan Raden Soemitro sebagai sekretaris.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar