Laman

Senin, 23 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (608): Pahlawan Indonesia - Mengapa Melayu Harus Islam? Di Angkola Mandailing Tidak Harus Islam

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Belum lama ini diadakan seminar Forum Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI). Dalam seminar perwakilan dari Malaysia, Indonesia, Singapoera, Thailand (Patani), Kamboja dan lainnya. Presentasi seminar ini dapat diperhatikan dalam channel Yiutube dengan nama Forum Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) bersempena dengan Simposium Pengantarabangsaan Bahasa Melayu. Dalam berbagai isu yang disampaikan panelis, terkesan hanya fokus pada sejarah dan perkembangan bahasa Melayu itu sendiri di masing-masing negara. Relasi tema antara Melayu dan Islam tidak secara eksplisit terungkap.

Sudah banyak membuat kajian yang merelasikan Melayu (bahasa dan budaya) dan Islam (agama). Dari yang banyak itu, salah satu diantaranya adalah Junaidi Junaidi dalam artikelnya berjudul Islam dalam Jagad Pikir Melayu yang dimuat dalam Buletin Al-Turas, Vol 20, No 2 (2014). Abtrak dari kajian itu sebagai berikut: Agama dan kebudayaan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Adakalanya agama dipengaruhi kebudayaan atau sebaliknya kebudayaan yang dipengaruhi agama. Masuknya Islam ke tanah Melayu memberikan pengaruh terhadap corak kebudayaan dan pemikiran Melayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai-nilai Islam yang terdapat dalam teks Tunjuk Ajar Melayu dengan menggunakan pendekatan strukturalis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Tunjuk Ajar Melayu terdapat nasihat, pesan, pikiran dan gagasan untuk memegang teguh Islam dalam kehidupan orang Melayu. Dalam Tunjuk Ajar Melayu diungkapkan  posisi adat dan syarak, Islam sebagai identitas orang Melayu, anjuran bertakwa kepada Allah, Islam untuk pembentukkan karakter anak dan persiapan menuju akhirat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Islam sangat berpengaruh dalam pembentukan pemikiran Melayu sehingga Islam dianggap sebagai identitas utama orang Melayu.  

Lantas bagaimana sejarah mengapa Melayu harus Islam? Seperti disebut di atas, isu Melayu dan (relasi dengan) Islam sudah sejak lama mengemuka, bahkan hingga ini hari. Namun yang menarik adalah bagaimana sejarah relasi antara Melayu dan Islam. Apakah masih relevan pada masa ini? Lalu bagaimana sejarah mengapa Melayu harus Islam? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia dan Mengapa Melayu Harus Islam? Orang Angkola Mandailing Tidak Harus Islam

Islam tidak hanya Melayu, tetapi Melayu harus Islam. Adagium ini sudah lama ada. Namun tidak diketahui sejak kapan muncul. Yang jelas adagium ini masih dilestarikan, tidak hanya di Indonesia juga di Malaysia. Jika tidak (beragama) Islam maka tidak Melayu, dikeluarkan dari Melayu dan tidak boleh menggunakan nama Melayu dalam hal apa pun. Hal yang kurang lebih sama dengan adagium Melayu ini adalah Minangkabau.

Orang-orang Batak, khususnya Angkola-Mandailing meski mayoritas bergama Islam tidak mengusung adagium tersebut. Hal ini juga dengan orang Lampung, orang Sunda, orang Jawa dan sebagainya. Orang Angkola Mandailing ada juga yang beragama non Islam seperti Kristen. Tetapi tidak menjadi persoalan. Lantas apakah ada orang Melayu yang beragama Kristen? Ada, demikian juga orang Minangkabau ada juga yang Kristen. Seperti disebut di atas, adagium Melayu harus Islam, maka orang Melayu yang beragama non Islam dianggap tidak Melayu lagi. Mungkin sedikit beruntung di Indonesia, sesorang yang dianggap tidak Melayu (lagi) masih bisa menagatakan sebagai orang Indonesia. Lalu bagiama di Malaysia?

Lantas sejak kapan adagium Melayu harus Islam? Seperti disebut di atas sulit diketahui secara pasti, akan tetapi dalam hal (kasus) apa adagium ini muncul? Yang jelas pada era Hindia Belanda adagium ini sudah kerap didengar.

Pada tahun 1898 muncul wacana bahasa orang Kristen (pribumi berama Kristen) disetarakan denagn orang Eropa/Belanda. Seorang mantan guru di Padang, (Haji) Dja Endar Moeda pemimpin surat kabar Pertja Barat menentangnya. Wacana ini tidak muncul dari orang Kristen pribumi, tetapi dari sejumlah orang Eropa/Belanda termasuk para misionaris. Dja Endar Moeda, keberatan, bukan karena soal apakah orang pribumi Kristen nyama atau tidak nyaman, tetapi menurut Dja Endar Moeda bagaiman orang pribumi Kristen disetarakan dengan orang Eropa/Belanda, sementara hidupnya tidak berbeda dengan orang pribumi Islam (bahkan banyak yang melarat). Dja Endar Moeda memberi wawasan lagi yang menayatakan bagaimana kami di kampung ada kerabat yang beragama Kristen, sama-sama makan nasi, sama-sama susah dan sama sedarah (seketurunan) dan bertetangga dibedakan statusnya hanya karena perbedaan agama. Akhir dari wacana itu, yang muncul kemudian adalah wacana naturalisasi yang diwujudkan (naturalisasi sendiri sudah sejak lama diberlakukan, tetapi itu baru tercatat sejumlah pribumi yang kebetulan beragama Kristen). Lalu bagaimana dengan munculnya adagium Melayu harus Islam.

Adanya adagium Melayu harus Islam memiliki dampak bagi orang Batak yang beraganma Islam. Sejak 1870an sudah banyak orang Batak yang berasal dari Afdeeling Angkol Mandailing yang merantau ke pantai timur Sumatra. Lalu kemudian arus migrasi itu semakin memusat di Deli seiring dengan pertumbuhan dan perkembunan yang diusahakan investor Eropa/Belanda. Para perantau yang umumnya telah banyak yang berpendidikan mengisi semua pos jabatan untuk krani (juru tulis). Karena orang Batak Angkola Mandailing yang umumnya beragama Islman di pantai timur (wilayah Melayu) terpaksa harus mengaku sebagao ‘orang Melayu’ sebagaimana seorang jurnalis menulis di surat kabar yang terbit di Batavia, Bataviaasch nieuwsblad, 05-08-1893.

Mengapa harus menyebut diri sebagai orang Melayu. Lalu apakah sikap dan tingkah laku dan kebiasaan mereka berubah? Jurnalis mengatakan orang Angkola Mandailing masih dengan kebiasaan lama (di kampung) dimana jurnlis yang melihat mereka di Medan tetap dengan gaya pakain atasan (kemeja) dengan pakai sarung, tetapi sarung diikat dipinggang hingga menarik ujung sarung melewati lutut yang berbeda dengan kebiasaan orang Melayu. Jurnalis dengan mudah mengenali orang yang mengaku Melayu tetapi berasal dari Tapanoeli. Jurnalis semakin penasaran dan bertanya: mengapa menyebut sebagai orang Melayu? Jawaban yang diperolehnya simpel: orang Melayu beragama Islam. Tampaknya para perantau Angkola Mandailing di Deli sedikit pragmatis. Sebab menurut jurnalis, orang Melayu menganggap orang Batak adalah kafir (bukan beragama Islam). Sebagaimana diketahui, sejak 1862 Nommensen tiba di Sipirok (Angkola) mengembangkan agama Kristen di Silindoeng dan semakin meluas hingga ke Toba. Orang Batak yang beragama Kristen maupun yang masih pagan (belum merantau ke Deli), menganggap orang Batak secara keseluruhan adalah kafir. Sementara orang-orang Karo di wilayah rendah (terutama Deli) yang sudah lama terjadi relasi perkawinan dan telah beragama Islam sudah mengidentifikasi diri sebagai Melayu. Dalam hal ini ketika orang Angkola Mandailing (di rantau Deli) menyebut Melayu bagi orang asing, seakan menjelaskan bahwa adagium Melayu haru Islam sudah lama adanya. Untuk membedakan orang Angkola Mandailing yang beragama Islam yang berasal dari Tanah Batak di Tanah Deli (Tanah Deli) harus menyebut sebagai orang Melayu (meski jelas bisa dibedakan dengan orang Melayu diantara pribumi), Tentu saja orang Melayu sendiri mengenal orang Angkola Mandailing bukan orang Melayu. Ini mengindikasikan Melayu adalah identitas Islam bagi orang Batak di Tanah Melayu.   

Bagaimana orang Angkola Mandailing yang merantau ke Padang? Tidak ada informasi yang menyatakan sebagai orang Melayu maupun orang Minangkabau. Orang Melayu wilayah pesisir (termasuk di Padang) dan orang Minangkabau di pedalaman kenal betul bahwa orang Angkola Mandailing adalah orang Batak yang beragama Islam. Orang Angkola Mandailing tidak pernah menyebut dirinya orang Melayu (seperti di Deli) dan juga tidak pernah menyebut dirinya orang Minangkau, tetapi dengan sebuyan Orang Angkola Mandailing (atau cukup disebut orang Mandailing saja, karena lebih berdekatan dengan orang Minangkabu di perbatasan).

Tidak terlalu bermasalah bagi orang Angkola Mandailing menyebut diri sebagai orang Melayu di Deli (karena toh juga bisa dibedakan antara orang Angkola Mandailing dengan orang Melayu). Di Padang tampanya lebih cair. Namun yang menjadi masalah bagi orang Batak (dalam hal ini orang Angkola Mandailing), seperti disebut di atas adanya wacana orang Kristen disetarakan dengan orang Eropa/Belanda. Bolejh jadi orang Melayu dan orang Minangkabau di Padang tidak memedulikannya. Akan tetapi. Haji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda yang berasal dari Angkola Mandailing menjadi penting karena risih. Hal itulah pada era itu hanya Dja Endar Moeda orang beragama Islam yang secara eksplisit menentang wacana orang Kristen disetarakan dengan orang Eropa/Belanda.

Tampaknya adigium Melayu adalah Islam berada di wilayah Melayu, wilayah yang sudah lama dipengaruhi oleh Islam. Sebaliknya wilayah Melayu ini menjadi tujuan migrasi dari berbagai tempat, termasuk dari wolayah Angkola Mandailing di Tapanuli. Oleh karena ada anggapan di Deli dari orang Melayu, bahwa Batak populasinya banyak yang belum beragama dan belum lama kegiatan misionaris Kristen masuk, menjadi masalah bagi orang Angkola Mandailing yang juga orang Batak tetapi sudah lama menjadi Islam. Satu cara yang dilakukan dan lebih adaptif adalah mengaku orang Melayu sebagai identitas sebagai penganut agama Islam (mesti dalam perilaku adalah Batak).

Hal serupa yang ditemukan di Deli juga ditemukan di wilayah Melayu lainnya seperti di wilayah Minangkabau dan di wilayah Semenanjung Malaya. Di Deli, berawal dari pengakuan, lambat laun populasi Melayu (Islam) semakin banyak karena kehadiran pendatang darimanapun asalkan beragama Islam. Di satu sisi ini semacam pembersihan bahwa Melayu itu adalah Islam, tetapi di sisi lain asal usul mereka pendatang jelas bukan Melayu. Oleh karena itu Melayu (Islam) adalah kumpulan populasi yang terus meningkat tidak hanya karena bersifat genealogis (kelahiran) tetapi juga karena bersifat teritorial (migrasi). Di wilayah Malaysia (Semenanjung Malaya) arus migrasi ini juga terbilang kentara, populasi Melayu (Islam) sangat intens yang migran berasal dari Sumatra (Angkola Mandialing dan Minangkabau), Jawa (Madura, Bawean dan pantai utara Jawa) dan Sulawesi (Bugis dan Makassar) serta Kalimantan (Banjar). Namun migran Minangkabau di Semenanjung mungkin tidak terlalu mengalami hambatan, karena orang yang berasal dari Minangkabau (juga saat itu) mengaku sebagai Melayu (Sumatra). Lalu bagaimana di wilayah Minangkabau sendiri? Kurang lebih sama dengan yang terjadi di Deli. Akan tetapi dimana adagium ini bermula tidak diketahui apakah di wilayah Minangkabau atau di wilayah Deli.

Khusus bagi warga migran Batak yang beragama Islam di wilayah Melayu (Deli, Semenanjung Malaya plus wilayah Minangkabau) menjadi sangat khas. Apakah kasus serupa ini yang menyebabkan munculnya penolakan penyebutan Batak kepada orang Mandailing (tetapi bagi orang Angkola tidak masalah). Persoalan ini pernah muncul pada petisi yang diajukan orang Mandailing pada tahun 1922. Namun petisi ini tidak terlalu ditanggapi oleh pemerintah saat itu. Sebagaimana diketahui wilayah geografis Angkola berada di antara wilayah geografis Mandailing di selatan dan wilayah geografis orang Silindung dan Toba di utara (yang mana kegiatan misionaris Nommensen sangat intens). Sebaliknya wilayah geografis orang Mandailing di selatan berbatasan dengan wilayah geografis Minangkabau (yang telah mengusung adagium Minangkabau adalah Islam). Dalam perkembangan kelak, orang Karo apakah yang beragama Islam maupun yang beraga Kristen juga menolak bukan Batak (tidak atas nama dalil agama tetapi dalil entinitas).

Di wilayah Minangkabau sendiri yang sudah sejak lama mengidentifikasi sebagai Melayu, tetapi dalam perkembangannya mulai menyadari dan mengklarifikasi bahwa Minangkabau bukan Melayu. Dalilnya dalam hal ini bukan agama (Islam) tetapi dalil etnisitas. Identifikasi Minangkabau ini mulai muncul sejak tahun 1890 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-03-1890). Persoalan identitas atas dasar dalil etnisitas ini juga terjadi di Jawa dimana orang Sunda mengidentifikasi diri bukan orang Jawa (sekitar tahun 1913).

Dalam perkembangannya identitas Melayu adalah Islam di Semenanjung Malaya terus menguat bahkan hingga ini hari. Hal serupa, meski tidak sekuat di Semenanjung, identitas Minangkabau adalah Islam juga masih eksis. Dalam hal ini di wilauah Minangkabau ada pergeseran dari Melayu menjadi Minangkabau dalam bingkai Islam. Sementara itu di Jawa identitas Sunda sebagai penolakan sebagai orang Jawa lambat laun menghilang dan kedua belah pihak saling mengakui. Akan tetapi tidak dengan orang Mandailing (dan kini orang Karo) yang terus dipermasalahkan oleh dua belah pihak (Batak versus Mandailing/Karo).

Meski identitas Melayu adalah Islam di Semenanjung Malaya terus dipertahankan, tetapi itu berbeda dengan di wilayah lain Malaysia di Sawawak dan Sabah yang tidak terlalu kentara Melayu adalah Islam, karena fakta bahwa banyak orang Dayak di Sawawak dan Sabah yang tidak beragama Islam (kasusnya mirip dengan di Sumaytra Utara). Belakang ini di Malaysia mulai terbukas orang Melayu (Islam) Malaysia mengidentifikasi asal usul (Jawa, Bugis, Angkola Mandailing dan Minangkabau). Sary yang khas oran yang berasal dari Angkola Mandailing di Malaysia mulai marak yang menggnakan nama marga kembali. Seperti halnya orang Minangkabau di masa lampau mengidentifikasi Minangkabau (bukan Melayu), maka gejala yang terjadi di Malaysia (dan juga di Deli) pada akhir-akhir ini adalah wujud dari upaya memperkenalkan kembali mereka yang Melayu Islam pada dasarnya bukan orang Melayu. Jadi dalam hal ini adagium Melayu adalah Islam adalah upaya untuk memperbanyak populasu Melayu dan membedakan dengan agama lain (non Islam), tetapi kemudian berbalik bahwa identifikasi yang muncul kembali ke identitas berdasarkan dalil etnisitas (tidak lagi berdasarkan agama/Islam)..

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mengapa Melayu Harus Islam? Sejak Era Hindia Belanda hingg Era Masa Kini

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar