Laman

Selasa, 24 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (610): Membaca Ulang Prasasti Tanjore 1030 M; Dimana Itu Nama Disebut Tepatnya Berada di Sumatra?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pada artikel sebelumnya telah dibaca ulang praasati-prasasti di (pantai timur) Sumatra yang beratarih abad ke-7 (Kedoekan Boekit, Karang Brahi, Talang Tuwo dan Kota Kapoer), pada artikel ini akan dibaca ulang prasasti Tanjore yang terdapat di India yang berasal dari tahun 1030 M. Sejumlah peneliti sejak era Hindia Belanda telah mendiskusikan nama-nama tempat yang diduga di Nusantara yang terdapat dalam prasasti. Dimana nama-nama tempat itu berada di Nusantara (Sumatra/selat Malaka) masih terus menjadi perdebatan, bahkan hingga ini hari..

Prasasti Tanjore merupakan sekumpulan dari 5 buah keping tembaga yang terdapat pada kuil Parijatavanesvara di Tirukkalar, berada pada distrik Tanjore (Thanjavur), India. Prasasti ini merupakan peninggalan dari raja-raja yang berbeda dari dinasti Chola, di Koromandel, selatan India. Isi dari teks prasasti dengan penanggalan paling awal dimulai tentang sejarah raja, peristiwa Rajendra Chola I naik tahta pada tahun 1012, kemudian menceritakan tentang penaklukan yang dilakukannya atas beberapa kawasan termasuk beberapa kawasan di nusantara serta penawanan raja Kadaram yang bernama Sangrama-Vijayottunggawarman, beserta kawasan Sriwijaya lainnya. Transliterasi: ‘Salam sejahtera! pada tahun ke 18 raja Parakesarivarman alias Udaya Sri Rajendra Choladeva, hidup dalam kemakmuran, ketika Tiru telah menetap, berkembang menjadi Mahadewi bumi, dewi keberuntungan dalam peperangan, yang ketenarannya tiada tandingan, menjadi Maharatu dengan sukacita, bersama tentara yang hebat menaklukan musuh pada negeri  (hanya dikutip terkait tempat di nusantara): Setelah banyak kapal dikirim berputar di tengah laut dan tertangkap Sangrama-Vijayaottungavarman, raja Kadaram, bersama dengan gajahnya, yang disiapkan melawan dan kemenangan besar,... tumpukan harta yang banyak, Vidyadhara-torana membuka gerbang kota pedalaman yang luas yang dilengkapi perlengkapan perang, berhiaskan permata dengan kemuliaan besar, gerbang kemakmuran Sriwijaya; Pannai dengan kolam air, Malaiyur dengan benteng terletak di atas bukit; Mayirudingam dikelilingi oleh parit; Ilangasogam yang tak gentar dalam pertempuran sengit...; Mappappalam dengan air sebagai pertahanan; Mevilimbangam, dengan dinding tipis sebagai pertahanan; Valaippanduru, memiliki lahan budidaya dan hutan; Takkolam yang memiliki ilmuwan; pulau Madamalingam berbenteng kuat; Ilamuri-Desam, yang dilengkapi dengan teknologi hebat; Nakkavaram yang memiliki kebun madu berlimpah; dan Kadaram berkekuatan seimbang, dengan tentara memakai kalal. (Wikipedia)  

Lantas bagaimana sejarah prasasti Tanjore dan dimana tepatnya nama-nama tempat yang disebutkan berada di Nusantara? Seperti disebut di atas, dimana namanama tempat itu masih menjadi perdebatan. Ada yang menyebut di Malaka, Djambi dan Palembang. Lalu bagaimana sejarah prasasti Tanjore dan dimana tepatnya nama-nama tempat yang disebutkan berada di Sumatra?? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Membaca Ulang Teks Prasasti Tanjore 1030 M: Dimana Nama Disebut Tepatnya Berada di Sumatra?

Di Sumatra, prasasti kuno, yang berasal dari abad ke-7, semuanya ditemukan di Sumatra (bagian) selatan, Prasasti-prasasti bertarih itu ditemukan di Kedoekan Boekit (682 M). Talang Tuwo (684 M), Kota Kapur (686 M), Karang Brahi (68? M). Pasemah dan Telaga Batoe. Enam prasasti tersebut tampaknya berkaitan satu sama lain.

Dalam prasasti pertama, Kedoekan Boekit disebutkan satu ekspedisi yang dipimpin Dapunta Hyang dengan bala tentara berangkat dari Minana. Dapunta Hyang mendirikan banua (negara). Prasasti Talang Tuwo membicarakan masalah pengembangan pertanian. Tiga parasasti yang lain berbicara tentang masalah hukum dan kesetiaan kepada raja. Empat prasasti ini ditemukan di Palembang (Telaga Batoe), Djambi (Karang Brahi), Bangka (Kota Kapoer) dan Lampung (Pasemah). Dalam prasasti Kota Kapoer/Bangka ada indikasi pasukan melancarkan serangan ke Jawa.  

Sriwijaya adalah suatu kerajaan, bukan suatu nama tempat. Dari enam prasasti, tidak ada nama yang mengiudikasikan tempat ditemukan prasasti. Hanya dua prasasti yang mengindikasikan nama tempat yakni prasasti Kedoekan Boekit menyebut nama Minana dan prasasti Kota Kapoer menyebut nama Jawa. Lantas pertanyaanya? Dimana pusat (kerajaan) Sriwijaya? Apakah di tempat ditemukan enam prasasti tersebut? Sejumlah peneliti pada era Hindia Belanda terlah berdebat. Para peneliti ini terutama peneliti-peneliti Belanda, Inggris dan Prancis. Bahkan hingga ini hari, pertanyaan itu masih terbuka.

Dari banyak peneliti pada era Hindia Belanda sejumlah peneliti yang yang sangat intens membahas dimana pusat kerajaan Sriwijaya. Mereka itu antara lain Coedes, Groeneveldt, Rouffer dan Obdeijn. Dalam artikel ini saya akan fokuskan pada tiga peneliti saja yakni Groeneveldt, Rouffer dan Obdeijn karena ketiganya memiliki pedekatan yang berbeda. Ketiganya membahas dimana posisi pusat kerajaan Sriwijaya pada masa yang berbeda: Groneveldt sebelum tahun 1900, Roufter pada tahun 1920an dan Obdeij pada tahun 1940an, Meski masa yang berbeda jumlah penemuan (prasasti, teks yang berasal dari Eropa dan Tiongkok plus Timur Tengah, termasuk dari Indonesia seperti teks Negarakertagama) semakin meningkat yang terkait data sejara sejaman, ketiganya sulitt mendapat kesamaan kesimpulan, tetapi atas perbedaan ketiganya, saya akan gabungkan (untuk mendapatkan arsirannya).  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Vidyadhara-Torana, Pannai, Malaiyur, Mayirudingam, Ilangasogam, Mappappalam, Mevilimbangam, Valaippandura, Takkolam, Madamalingam: Nama-Nama Tempat di Tapanulis Selatan”

Ada sejumlah tempat di Sumatra yang telah dikenal di Eropa. Dalam catatan geografi Ptolomeus (abad ke-2) wilayah Sumatra bagian utara sudah dikenal. Nama wilayah yang sudah dikenal dalam catatan Ptolomeus ini juga terdapat nama Kotta di pantai tenggara darat Aisa (kini Kamboja) dan pulau Kalimantan dengan nama pulau Taprobana. Dalam catatan Ptolomeus ini juga disebut nama tempat Takola (nama yang belum diketahui dimana).

Dalam catatan Ptolomeus tentang Sumatra bagian utara itu disebut sebagai sentra penghasil komoditi kamper (komoditi yang sudah dikenal luas sejak zaman kuno di Mesir, Persdia dan Eropa yang disebut kafura dalam bahasa Persia dan campher dalam bahasa Latin (Eropa). Sebagaimana diketahui dalam ayat suci Al Quran sudah disebut nama kafura (kapur Barus). Pada abad ke-5 ditemukan dalam catatan Eropa bahwa komoditi kamper diekspor dari pelabuhan yang disebut Baroesa yang diduga kuat adalah Baroes. Catatan tentang kamper ini bersesuaian dengan keberadaan komoidi kamper dari catatan Ptolomeus abad ke-2 di Sumatra bagian utara. Saat ini Baroes berada di pantai barat Sumatra di Tapanoeli.

Nama Takola yang disebut pada abad ke-2, kembali disebut dalam catatan tertua yang ditemukan pada teks prasasti Tanjore (1030 M). Nama Takola dalam teks prasasti Tanjore dicatat Takkolam.

Seperti telah dikutip di atas, nama-nama tempat ng dsebut dalam tk prasasti terdapat dalam paragraf berikut: ‘Salam sejahtera! pada tahun ke 18 raja Parakesarivarman alias Udaya Sri Rajendra Choladeva, hidup dalam kemakmuran, ketika Tiru telah menetap, berkembang menjadi Mahadewi bumi, dewi keberuntungan dalam peperangan, yang ketenarannya tiada tandingan, menjadi Maharatu dengan sukacita, bersama tentara yang hebat menaklukan musuh pada negeri  (hanya dikutip terkait tempat di nusantara): Setelah banyak kapal dikirim berputar di tengah laut dan tertangkap Sangrama-Vijayaottungavarman, raja Kadaram, bersama dengan gajahnya, yang disiapkan melawan dan kemenangan besar,... tumpukan harta yang banyak, Vidyadhara-torana membuka gerbang kota pedalaman yang luas yang dilengkapi perlengkapan perang, berhiaskan permata dengan kemuliaan besar, gerbang kemakmuran Sriwijaya; Pannai dengan kolam air, Malaiyur dengan benteng terletak di atas bukit; Mayirudingam dikelilingi oleh parit; Ilangasogam yang tak gentar dalam pertempuran sengit...; Mappappalam dengan air sebagai pertahanan; Mevilimbangam, dengan dinding tipis sebagai pertahanan; Valaippanduru, memiliki lahan budidaya dan hutan; Takkolam yang memiliki ilmuwan; pulau Madamalingam berbenteng kuat; Ilamuri-Desam, yang dilengkapi dengan teknologi hebat; Nakkavaram yang memiliki kebun madu berlimpah; dan Kadaram berkekuatan seimbang, dengan tentara memakai kalal.

Nama Takola (abad ke-2) dengan nama yang disebut 1030 M sebagai Takkolam diduga kuat adalah nama tempat yang sama dengan sebutan yang mirip. Ada peneliti Belanda, yang mengasosiasikan nama Takola atau Takkolam adalah nama tempat Akkola di Tapanoeli (hulu sungai Baroemoen yang bermuara ke pantai timur Sumatra). Bukankah nama Akkola (diucapkan dengan Angkola) merupakan reduksi dari T-akola atau T-akkola-m? Sebagaimana akhir ‘ur’, akhiran ‘am’ dalam bahasa Tamil diartikan sebagai ‘kota’. Dalam teks prasasti Tanjore (1030 M) kota Takkolam memiliki (para) ilmuwan.

Jika diperhatikan nama-nama yang disebut di wilayah pantai timur Sumatra pada teks prasasti Tanjore 1030 M memiliki nama yang mirip dengan nama masa kini: Vidyadhara-torana (Torgamba); Pannai (Pane); Malaiyur (Malea); Mappappalam (Sipalpal); Mevilimbangam (Limbong); Ilangasogam (Binanga/Langga[Payung]Sunggam); Valaippanduru (Mandurana); Takkolam (Akkola); Madamalingam (Mandailing). Semua nama-nama tersebut pada masa ini adalah nama-nama yang masih eksis di Tapanuli Selatan (daerah aliran sungai Baroemoen).

Nama-nama yang terdapat dalam prasasti Tanjore 1030  mengapa semua nama-nama di Sumatra (minus Lamuri) berada di Tapanuli Selatan? Apakah ada yang mirip dengan di Sumatra bagian selatan? Lalu mengapa nama-nama yang berdekatan di pantai timur Sumatra ini berada di Tapanuli Selatan? Tentu saja sulit semacam ini ditemukan di wilayah lain.

Jika dibandingkan dengan informasi dari masa lampau sejak catatan Ptolomeus (abad ke-2) bukankah ini masuk akal. Sebagaimana diketahui sumber kamper waktu itu hanya berasal dari Sumatra bagian utara dan nama Baroes (di pantai barat Sumatra) disebut pelabuhan eskpor kamper. Dalam hal ini ada nama yang mirip yang berasal dari abad ke-2 (Takola) dan nama yang berasal dari abad ke-11 (Takkolam) yang diduga kuat nama Akkola pada masa ini. Wilayah Angkola (Akkola( berada di hulu sungai Baroemoen, jarak yang sama dari Angkola ke muara sungai Baroemoen dengan jarak dari Angkola ke Baroes. Wilayah tetangga Angkola ini kini adalah wilayah Mandailing (wilayah yang membentuk Tapanuli Selatan). Untuk diketahui di wilayah perbatasan Angkola dan Mandailing terdapat situs candi kuno, candi Simangambat yang diperkirakan dibangun pada abad ke-8. Candi ini berada diantara gunung Malea di selatan (Mandailing) dan gunung Raja di utara (Angkola). Nama gunung Malea ini yang didalam prasasti Tanjore diduga sebagai nama Malayur. Catatan: catatan Marco Polo (1290) menyebut nama Malayur.

Nama-nama yang berada di wilayah Tapanuli Selatan yang bersumber dari teks Negarakertagama (1365) adalah Pane, Lawas dan Mandailing (plus Rokan dan Baroes). Tampaknya nama Pane dan Mandailing masih eksis sejak prasasti Tanjore 1030 M. Nama Lawas adalah nama wilayah Padang Lawas (berbatasan dengan Angkola dan Mandailing) dimana terdapat sungai Batang Pane dan sungai Batang Baroemoen.

Pada wilayah Padang Lawas ditemukan banyak candi-candi kuno yang berasal dari abad ke-11 hingga abad ke-14. Pada kawasan percandian Padang Lawas ini juga ditemukan sejumlah prasasti. Pada kawasan Padang Lawas inilah kini ditemukan nama-nama tempat seperti Torgamba, Binanga, Sunggam, Mandurana, Runding dan, Limbong; nama sunuai seperti Pane, nama gunung seperti Malea dan Sipalpal, plus nama Angkola dan Mandailing. Pada prasasti Tanjore 1030 M disebut Takkolam tempat dimana ilmuwan, suatu nama tempat dimana terdapat candi kuno yang dibangun pada abad ke-8. Apakah semua itu serba kebetulan atau hanya sekadar mirip-mirip saja? Seperti kata pepatah, jika hilang di tempat gelap. Carilah di tempat terang.

Situasi dan kondisi abad ke-15 di kawasan Padang Lawas, yang dicatat orang-orang Portugis di Malaka (sejak 1511), di daeah aliran sungai Baroemoen terdapat kerajaan Batak yang disebut Kerajaan Aroe Batak Kingdom. Catatan kata ‘aroe’ dalam bahasa India selatan adalah ;sungai’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar