Laman

Minggu, 29 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (620): Semenanjung Chersonesus dan Pulau Taprobana Peta Era Ptolomeus Abad ke-2; Daratan Menyempit dan Kemudian Meluas

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apakah Teori Sundaland terbukti? Jika tidak terbukti, Teori Sundaland telah membutatan mata kita untuk melihat bentuk yang lain tentang sebaran pulau-pulau di Indonesia. Dalam hal ini Teori Sundaland adalah satu hal. Hal yang lain yang ingin dibuktikan dalam artikel ini adalah Teori Semenanjung Chersonesus dan Teori Pulau Taprobana.

Dalam artikel ini Teori Sundaland ditolak. Sebaliknya dipromosikan Teori Semenanjung Chersonesus dan Teori Pulau Taprobana. Pada artikel lain dalam blog ini telah dibuktikan bahwa dimana posisi pulau Taprobana yang dibicarakan hampir dua ribu tahun sejak era Ptolomeus abad ke-2, sejatinya adalah pulau Kalimantan. Idem dito dengan Teori Pulaiu Taprobana, bahwa Teori Semenanjung Chersonesus masih terus diperdebatkan bahkan hingga ini hari. Seperti pada ertikel sebelum ini telah dideskripsikan bahwa pulau Jawa dan Sumatra pernah bersatu dengan daratan Asia (di wilayah Burma). Dalam artikel ini Teori Semenanjung Chersonesus membuktikan bahwa posisi GPSnya di masa lampau adalah Semenanjung Bangka (sebelum terbentuk Semenanjung Malaya). Teori Semenanjung Bangka telah diuraikan pada artikel lain dalam blog ini.

Lantas bagaimana sejarah Semenanjung Chersonesus pada Era Ptolomeus abad ke-2? Seperti disebut di atas, ada dua peta masa lalu Semenanjung Chersonesu dan Pulau Taprobana masih mendapat perhatian hingga masa ini dimana posisi GPS-nya. Seperti dilihat nanti disimpulkab bahasa Semenanjung Chersonesus adalah Semenanjung Bangka (sebelum terbentuknya Semenanjung Malaya). Lalu bagaimana sejarah Semenanjung Chersonesus pada Era Ptolomeus abad ke-2? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Semenanjung Chersonesus dan Pulau Taprobana: Peta Geografis Era Ptolomeus Abad ke-2

Nama (semenanjung) Aurea Chersonesus sudah eksis lama, dalam catatan geografi Ptolomeus (abad ke-2) posisinya berada di timur (semenanjung Malaya yang sekarang). Para peneliti Eropa kemudian menganggap Aurea Chersonesus adalah Semenanjung Malaya. Namun para penulis Eropa mengkritik Ptolomeus menyajikan peta semenanjung terlalu (panjang) ke selatan hingga melampaui garis ekuator.

The Golden Chersonese (Latin: Chersonesus Aurea) meaning the Golden Peninsula, was the name used for the Malay Peninsula by Greek and Roman geographers in classical antiquity, most famously in Claudius Ptolemy's 2nd-century Geography. The horizontal line represents the Equator, which is misplaced too far north due to its being calculated from the Tropic of Cancer using the Ptolemaic degree, which is only five-sixths of a true degree (Wikipedia)

Apakah sebodoh itu Ptolomeus menurut anggapan orang Eropa generasi selanjutnya? Harus diingat yang membuat peta pertama kali bukan Ptolomeus, dalam hal in Ptolomeus adalah seorang ahli geografi yang memiliki keahlian untuk memastikan semua data yang dikumpukan dan menjadi bahan analisisinya (catatan geografi). Pada masa ini Ptolomeus dapat dianggap adalah guru besar geografi pada masa itu. Lantas, apakah Ptolomeus salah menginterpretasi peta Aurea Chersonesus?

Peta-peta pada dasarnya tidak dibuat oleh seorang diri. Seperti peta masa kini adalah hasil kumulatif pengetahuan para ahli. Peta-peta masa lampau seperti pada era Ptolomesu, peta-peta yang tersedia adalah hasil-hasil yang dikumpulkan dari berbagai pihak dari seluruh penjuru peradaban, mulai dari pelancong/penjelajah, para pelaut, yang mengumpulkan peta dari penduduk lokal di berbagai tempat di muka bumi apakah dalam bentuk asli atau yang disalin. Peta-peta yang tersedia inilah yang dianalisis oleh Ptolomeus untuk mengkonstruksi muka bumi (Peta Dunia). Tentu saja harus diingat Ptolomeus tidak memiliki waktu untuk mengkonfirmasi peta-peta itu ke berbagai wilayah yang jauh. Saat itu harus pula diingay belum ditemukan kompas (hanya berdasarkan ilmu awal astronomi). Ini sama dengan saya pada masa ini, saya kumpulkan berbagai peta sejak era Portugis, VOC dan Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian saya analisis dalam kaitan penulisan topik-topik tertentu yang pada gilirannya saya memahami konstruksi peta Indonesia masa lampau yang dapat diperbandingkan dengan peta googlemap masa kini. Semua itu menjadi domoin saya dalam penulisan berbagai artikel di dalam blog ini.

Dalam hal kapasitas Ptolomeus saat itu, saya yakin Ptolomeus adalah orang yang bekerja di bidang keahliannya, geografi, dan melakukan pekerjaan sangat teliti, sehingga peta yang dibuat/disalin ulang Ptolomeus adalah peta yang benar-benar ada dan wujudnya seperti yang digambarkan dalam peta tersebut. Namun sayangnya, tanpa menggunakan pemahaman yang komfrehensif, generasi Eropa berikutnya, ada yang menganggap Ptolomeus menyalin peta yang salah dan menganalisisnya dalam catatan geofrafinya. Jelas itu bukan tugas Ptolomeus, karena keterbatasan banyak hal.

Generasi Eropa selanjutnya sepakat bahwa peta Aurea Chersoneus itu beradaa di wilayah timur di Asia sekitar Semenanjung Malaya yang sekarang. Hanya saja ditanggapi dengan pemahaman mereka saat itu, bahwa peta itu dibuat berlebihan sehingga peta Aurea Chersonesur panjangnya telah meleati garis ekuator. Tanda ekuator itulah yang sebenarnya membingungkan gernerasi Eropa setelah Ptolomeus sehingga mereka dengan gampang menyalahkan Ptolomeus bahwa bentuk sebenarnya peta itu salah.

Dengan asumsi, saya yakin bahwa peta yang dibuat/disalin sejak era Ptolomeus tentang semenanjung Aurea Chersonesus adalah benar apa adanya, maka yang menimbulkan pertanyaan adalah mengapa wujud semenanjung itu berbeda dengan pada masa 1.300 tahun berikutnya. Pertanyaan ini tentu memerlukan jawaban dengan mengumpulkan bukti data yang lebih banyak.

Sebelum saya mencari dan mengumpulkan bukti-bukti, ada satu peneliti Belanda dalam artikelnya yang terbit tahun 1942 yang membahas tentang geografi di seputar Selat Malaka dalam hubungannya membuktikan posisi sebenarnya dimana letak kerajaan Sriwijaya. Peneliti tersebut bernama V Obdeijn yakin dan menggambarkan bahwa pada awal era Sriwijaya semenanjung Malaya masih lebih panjang hingga mencapai pulau Bangka dan Belitung. Dalam hal ini peta intuitif Obdeijn tersebut saya sebut (saja) sebagai peta Semenanjung Bangka. Oleh karena itu Peta Semenanjung Bangka inilah yang kini saya interpretasi sebagai semenanjung Aurea Chersoenesus yang berasal dari abad ke-2. Tampaknya Obdeijn dalam analisisnya pada artikel 1942 itu tidak sama sekali menyebut atau menyinggung peta Aurea Chersonesus. Dalam hal ini, saya adalah yang pertama menghubungkan petas Aurea Chersonesus dengan peta intuitif Obdeijn yang karena itu saya sebut namanya peta Semenanjung Bangka.

Tunggu deskripsi lengkapnyaBagaimana wilayah/kawasan semenanjung Aurea Chersonesus atau Semenanjung Bangka berubah yang kemudian terpecah-pecah menjadi pulau-pulau yang lebih kecil seperti Bangka, Belitung, Singkep, Lingga, Batam, Bintan dan Singapoera. Penjelasan ini sudah dideskripsikan pada artikel terdahulu tentang Semenanjung Bangka, yang mana terpecahnya daratan Semenanjung Bangka karena pengaruh abrasi jangka panjang dari arah Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Proses abrasi jangka panjang ini terjadi pada bahan batuan yang membentuk Semenanjung Bangka adalah batuan granit yang banyak mengandung partikel kuarsa (bahan pasir).

Komposisi bahan pembentuk daratan Semenanjung Bangka meski terdiri dari bahan batuan keras, tetapi karena mengandung kuarsa maka akan lebih mudah berguguran jika diterjang arus laut/ombak dalam jangka panjang. Hal itu akan berbeda dengan bahan batuan yang membentuk daratan (pulau) Sumatra yang terdiri dari batuan andesit yang kuat dan solid sebagai pengaruh aktivitas vulkanik di masa lampau. Oleh karenanya, meski Sumatra dan Jawa terdapat pengaruh yang kuat dari arus laut/ombak Lautan India. Tidak menyebabkan terjadi perubahan yang radikal di dua pulau. Harus diingat bahwa zaman dulu pulau Sumatra dan Jawa masih ramping (tidak segemuk/seluas yang sekarang). Bagaimana Sumatra dan Jawa menjadi lebih luas karena terjadi proses sedimentasi jangka panjang di arah pantai timur Sumatra dan arah utara pantai Jawa. Proses sedimentasi ini karena adanya aktivitas manusia di pedalaman ke dua pulau dan juga karena ada dampak yang ditimbulkan aktivitas tektonik dan vulkanik.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Semenanjung Chersonesus dan Pulau Taprobana: Proses Perubahan Daratan Jangka Panjang yang Menyempit (Mengecil) dan Meluas (Membesar)

Kapan pulau-pulau Bangka, Belitung dan lainnya terpisah satu sama lain dan terpisah dengan sisa semenanjung (Semenanjung Malaya) tidak diketahui secara pasti karena itu telah berlalu jauh di masa lampau. Itu sudah berbeda dengan berubah secara perlahan-perlahan lebih dari 1.000 tahun. Besar dugaan bahwa daratan terluas di Nusantara (antara Asia dan Australia) adalah daratan Semenanjung Bangka. Namun sesudahnya daratan luas itu menjadi berkeping-keping menjadi pulau-pulau kecil dimana pulau yang terbesar Bangka dan Belitung.

Dalam fase awal terbentuknya pulau-pulau kecil (eks Semenanjung Bangka), seperti disebut di atas, gambaran  pulau Jawa dan Sumatra sangat ramping, tidak segemuk/seluas sekarang. Demikian juga pulau Kalimantan, bentuknya masih kecil dan tidak seluas sekarang. Deskripsi tentang pulau Kalimantan, juga dulu pada era Ptoloemus disebut pulau Taprobana sudah dideskripkan pada artikel terdahulu di dalam blog ini. Bahkan pulau Papua juga masih kecil dan tidak seluas sekarang, yang juga telah dideskripsikan pada artikel terdahulu dalam blog ini.

Hal itulah mengapa garis ekuator kini berada di sekitar pulau Lingga, suatu garis ekuator yang telah dipetakan pada era Prolomeus sebagai garis ekuator yang memotong semenanjung Aurea Chersonesus. Perubahan yang terjadi inilah yang orang Eropa generasi setelah Ptolomeus memperhatikan peta Semenanjung Bangka (Aurea Chersoneus) dianggap salah, karena sudah berbeda seperti bentuk yang kurang lebih sama dengan yang sekarang.

Dalam hal ini Ptolomeus tidaklah bodoh, Dalam hal ini generasi Eropa berikutnya tidak bisa menyalahkan Ptolomeus. Hanya bentuk semenanjung Aurea Chersoneus yang berubah, perubahan yang tidak terlalu dipahami di Eropa saat itu. Tentu saja hingga saat ini perubahan itu tidak dimengerti hingga dapat dijelaskan pada artikel ini. Seperti halnya artikel saya sebelumnya tentang peta pulau Taprobana, penjelasan semenanjung Aurea Chersonesus dipotong garis ekuator dapat dikatakan penemuan terbaru dalam sejarah geografi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar