Laman

Kamis, 11 Agustus 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (767): Pers Berbahasa Melayu Dikembangkan Orang Cina dan Batak; Awal Pers di Asia Tenggara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Kegiatan tulis menulis tidak selalu linier. Itu juga terjadi dalam pers(uratkabaran). Pers berbahasa Melayu, sebenarnya dimulau oleh orang-orang Belanda, tetapi kemudian dikembangkan oleh orang Cina dan orang Batak. Pers berbahasa Melayu adalah surat kabar dan majalah yang menggunakan bahasa Melayu. Ini mengindikasikan pada awal orang Melayu sendiri belum terlibat dalam pers berbahasa Melayu. Orang-orang Melayu di Semenanjung Malaya bahkan belum kenal ap aitu pers berbahasa Melayu.


Surat kabar di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Singapoera dan Filipina serta lainnya) bermula di Batavia (kini Jakarta). Dengan mengabaikan surat kabar pada era VOC/Belanda, surat kabar di Batavia dimulai pada tahun 1810. Surat kabar pertama ini berbahasa Belanda. Setelah Batavia kemudian baru muncul di Soerabaja. Semarang dan Padang. Seiring dengan pertumbuhan surat kabar di Indonesia (baca: Hindia Belanda), mulau muncul jurnal/semi/ilmiah di Batavia kemudian disusul di Singapoera (berbahasa Inggris) dan di Manila (berbahasa Spanyol). Surat kabar berbahasa Melayu muncul pertama di Soerabaja pada tahun 1853. Lalu kemudian menyusul di Padang dan Batavia. Pada awal pertumbuhan pers berbahasa Melayu ini mulai muncul surat kabar berbahasa Inggris di Singapoera dan berbahasa Spanyol di Manila. Hingga sejauh ini pers berbahasa Melayu (di Hindia Belanda) masih dikelola oleh orang-orang asing (Belanda dan Jerman). Pada tahun 1895 di Padang seorang pribumi (orang Batak) mulai aktif sebagai editor dalam surat kabar berbahasa Melayu. Lalu bagaimana dengan orang-orang Cina.

Lantas bagaimana sejarah pers berbahasa Melayu dikembangkan orang Cina dan orang Batak? Seperti disebut di atas, pers berbahasa Melayu awalnya orang asing tetapi kemudian menysul yang pertama orang pribumi dan orang Cina. Lalu bagaimana sejarah pers berbahasa Melayu dikembangkan orang Cina dan orang Batak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pers Berbahasa Melayu Dikembangkan Orang Cina dan Batak; Sejarah Awal Pers Indonesia

Pers berbahasa Melayu, surat kabar atau majalah ditulis dalam bahasa Melayu (umumnya menggunakan aksara Latin). Namun awal munculnya pers berbahasa Melayu bukan di Tanah Melayu (seperti Semenanjung Malaya dan Kepulauan Riau). Anehmya lagi, pers berbahasa Melayu justru diawali orang-orang yang bukan berbahasa ibu bahasa Melayu. Para pegiat awal pers berbahasa Melayu, bukan juga orang-orang Jawa tetapi umumnya adalah orang-orang Cina dan orang-orang Batak. Mengapa bisa begitu?


Sejak kapan orang Batak bisa berbahasa Melayu? Sulit diketahui secara pasti. Yang jelas penduduk orang Batak sedari doeloe di zaman kuno umumnya berada di pedalaman (Sumatra). Namun ada kekhususan wilayah orang Batak di (distrik) Angkola (kini wilayah kota Padang Sidempuan). Wilayah Angkola secara geografis pada zaman dulu adalah wilayah paling sempit pulau Sumatra (semacam bootleneck) dimana di wilayah Angkola antara pantai barat Sumatra dan pantai timur Sumatra memiliki jarak terpendek. Ibarat pada masa ini di wilayah (area) mana jarak terdekat antara sungai Ciliwung dan sungai Cisadane. Jelas tidan antara kota Jakarta dan kota Tangerang, tetapi di pusat kota Bogor (antara kampong Sempur dan kampong Empang). Oleh karena itu lalu lintas perdagangan orang Bogor zaman doeloe (Pakwan-Padjadjaran) bisa melalui daerah aliran sungai Ciliwung maupun daerah alisaran sungai Cisadane, Hal itulah dengan wilayah Angkola di pedalaman Sumatra (bagian utara) begitu dekat jarak antara pantai barat (di Pelabuhan Lumut, sebelum bergeser ke Barus) dan pantai timur (Pelabuhan Binanga). Boleh jadi wilayah Angkola adalah jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Tiongkok (orang India menerima barang dari Tiongkok di Lumut dan orang Tiongkok menerima barang dari India di Binanga). Dalam catatan geografi Ptolomeus abad ke-2 diinterpretasi sentra produk kamper (komoditi sangat berharga) di Sumatra bagian utara. Dalam catatan Eropa pada abad ke-5 disebut kamper diekspor dari Pelabuhan Barus. Dalam prasasti Kedoekan Boekit (682 M) disebut raja Dapunta Hyang Nayik dengan pasukannnya berangkat dari (Pelabuhan) Minanga (pelabuhan yang diduga kuat Binanga). Parasasti Tanjore (1030 M) kerajaan Chola termasuk menaklukkan Panai (kini berada di Binanga). Dalam teks Negarakertagama (1365) disebutkan sejumlah kerajaan (kota perdagangan) diantaranya Panai dan Barus. Sebelum kehadiran Portugis, penulis Mendes Pinto (1537) menyebut Kerajaan Aru Batak Kingdom pernah menyerang (kerajaan) Malaka. Mendes Pinto juga mencatat kekuatan Kerajaan Aru sebanyak 15.000 pasukan, dimana delapan ribu adalah orang Batak dan sisanya didatangkan dari Minangkabau, Jambi, Indragiri, Brunai dan Luzon. Pada tahun 1703 menurut catatan Kasteel Batavia (Daghregister) disebutkan seorang pedagang Cina tinggal di Angkola selama 10 tahun berdagang (dia datang dari Batavia melalui Malaka hingga memasuki wilayah Angkola dari pantai timur Sumatra sekitar 1693). Pada tahun 1703 kembali ke Batavia tahun 1703 dengan seorang istri Angkola dengan putri tunggal mereka).

Berbahasa Melayu sejak zaman kuno tentulah tidak hanya orang (yang diidentifikasi/ mengidentifikasi) Melayu. Bahasa Melayu sebagai lingua franca sejak zaman kuno, sudah banyak orang non Melayu yang bisa berbahasa Melayu. Orang Jawa di pulau Jawa juga sudah banyak yang berbahasa Melayu (ini dapat dilihat dalam berbagai prasasti di Jawa). Orang Cina yang sudah aktif dalam perdagangan sejak masa lampau di nusantara (Sumtra, Jawa, Kalimantan dan lainnya) sudah barang tentu menggunakan bahasa Melayu. Ini mengindikasikan bahwa sejak lama orang Cina dan orang Batak sudah banyak yang bisa berbahasa Melayu (dwibahasa). Ibarat masa ini penduduk Batak di pedalaman Sumatra (utara) tidak hanya bahasa Batak juga bisa berbahsa Indonesia (dwibahasa).


Orang Cina pada awalnya bukan pelaut. Dalam catatan Tiongkok, dinasti Han abad ke-2 disebut utusan raja Yehtiao menhadap Kaisar Tiongkok di Peking untuk membuka pos perdagangan. Para peneliti era Hindia Belanda yakin Yehtiao diduga adalah kerajaan di Sumatra. Pada prasasti Vo Chan (kini di Vietnam) pada abad ke-5 terbentuk kerajaan baru. Pada abad ke-7 sudah ada komunitas Arab di Canton. Masih pada abad ke-7 I’tsing menggunakan kapal asing dari Kanton ke pantai timur Sumatra (Sriwijaya). Kemampuan Tiongkok dalam navigasi pelayaran (perdagangan) baru diketahui secara pasti pada awal abad ke-15 (ekspedisi Cheng Ho). Pada saat kehadiran Portugis di Malaka tahun 1511 sudah ada komunitas Cina di (pelabuhan) Malaka. Dalam laporan Mendes Pinto juga disebut Kerajaan Aru memberi izin bagi orang-orang Mandarin berdagang di pantai timur Sumatra. Saat mana ekspedisi pertama Belanda (1595-1597) disebutkan banyak perahu-perahu Jung Tiongkok di pantai utara Jawa dan juga menemukan komunitas Cina di Banten. Pada era VOC (Belanda) pedagang-pedagang Cina menjadi perantara antara perdagangan di pantai dan pedalaman (sebagai misal ada nama kampong Pondok Cina di Depok pada era VOC). Pada era Pemerintah Hindia Belanda, posisi perdagangan Cina di seluruh Hindia Belanda sudah sangat kuat dengan komunitas Cina di kota-kota pantai dan kota-kota pedalaman (seperti di Buitenzor/Bogor dan bahkan Bandoeng).  

Pada era Pemerintah Hindia Belanda, dalam domain bahasa Belanda dan bahasa Melayu sebagai bahasa utama dalam pemerintahan, mulai diintroduksi aksara Latin, dengan mendirikan sekolah-sekolah pemerintahan, awalnya dimulai di kota-kota besar seperti Batavia, Soerabaja dan Padang. Orang-orang Cina di perkotaan mulai mengadopsi aksara Latin dalam penulisan mereka sendiri. Anak-anak orang Cina juga memasuki sekolah-sekolah yang dibuat pemerintah. Di pedalaman Sumatra, sekolah pemerintah bagi penduduk pribumi mulai diselenggarakan pada tahun 1840an di dua tempat di Padangsche Bovenlanden (Afdeeling Agam, sekitar Fort de Kock dan di Tapanoeli (afdeeling Angkola Mandailing). Pada tahun 1854 sudah ada dua lulusan sekolah di Angkola Mandailing yang diterima di sekolah kedokteran di Batavia (dua siswa pertama yang diterima dari luar Jawa).


Pada tahun 1856 sekolah guru didirikan di Fort de Kock (sekolah guru pertama di Hindia Belanda didirikan di Soeracarta pada tahun 1851). Pada tahun 1857 seorang lulusan sekolah di Mandailing, Sati Nasution berangkat studi keguruan ke Belanda (orang pribumi pertama studi ke Belanda). Setelah lulus sekolah guru di Belanda, Sati Nasution alias Willem Iskander kembali ke kampong halaman dan mendirikan sekolah guru tahun 1862 di kampong Tanobato, Mandailing (sekolah guru ketiga di Hindia Belanda). Pada tahun ini di Afdeeling Angkola Mandailing sudah ada enam sekolah pemerintah, darimana para lulusan menjadi siswa yang diterima di sekolah guru yang diasuh oleh Willem Iskander. Sekolah-sekolah guru yang ada itulah kemudian menghasilkan banyak guru-guru (yang memiliki kemampuan aksara Latin dan bahasa Melayu) yang kemudian sekolah semakin banyak didirikan. Hal itulah mengapa sejak awal (era Pemerintah Hindia Belanda) sudah banyak  orang Jawa, orang Minangkabau dan orang Batak (khususnya Angkola Mandailing) plus orang Cina yang telah menghasilkan tulisan (buku-buku pelajaran dan buku-buku umum). Dengan situasi dan kondisi ini pula, penduduk pribumi dan Cina di Hindia Belanda mulai memasuki dunia jurnalistik.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Awal Pers Indonesia: Dimulai Orang Batak dan Orang Cina

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar