Laman

Sabtu, 16 September 2023

Sejarah Bahasa (22): Bahasa Kaili di Teluk Palu Donggala; Rumah Pohon Kaili Da’a, Masak Nasi Bambu dan Pemujaan Leluhur


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Kaili mendiami sebagian besar dari Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Suku Kaili juga di wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, di kabupaten Parigi-Moutong, Tojo Una-Una dan Poso; desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di kabupaten Poso di Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso. Orang Kaili dalam bahasa Kaili disebut To Kaili.


Bahasa Kaili adalah bahasa yang digunakan oleh etnik Kaili di Sulawesi Tengah, yang tersebar di Kabupaten sebagian Kabupaten Banggai, sebagian Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Toli-Toli, Kabupaten Poso, Kabupaten Morowali, Kota Palu, Kabupaten Tojo Una Una, dan sebagian Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Sementara, bentuk puisi tidak kurang terdiri dari 20 macam bentukan, seperti Kimba, Tavaa, Gane, Paseva (kata-kata hikmah) dan Dadendate (syair berantai). Bahasa Kaili terdiri dari beberapa sub bahasa Contoh: Kaili Ledo, Inde, Da'a, Unde, Ado, Edo, Rai, Doi dan lain-lain. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Kaili di teluk Palu, Donggala? Seperti disebut di atas, penutur bahasa Kaili bukan di pantai teluk luas Tomini, tetapi di pantai teluk sempit Paloe. Bagaimana dengan rumah pohon Kaili Da’a, cara memasak nasi dengan bambu dan tradisi pemujaan leluhur? Lalu bagaimana sejarah bahasa Kaili di teluk Palu, Donggala? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Kaili di Teluk Palu Donggala; Rumah Pohon Kaili Da’a, Memasak Nasi Bambu dan Tradisi Pemujaan Leluhur

Konon, danau di pedalaman adalah kebidayaan awal berkembang, suatu wilayah di era lanun, yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan. Terbentuknya budaya dan kebudayaan membutuhkan waktu yang lama dan berkesinambungan. Gambaran itu terdapat di seluruh pulau-pulau (besar) di Hindia. Dalam hal inilah, mengapa Sarasin bersaudara begitu tertarik mengunjungi danau-danau di pedalaman pulau Sulawesi.


Dr P Sarasin dan saudara sepupunya Dr F Sarasin telah mengungjungi wilayah bagian selatan dan bagian tenggara pulau Sulawesi. Mereka memulai dari Makassar pada tahun 1893. Mereka telah mengunjungi danau Towuti dan danau Matano. Lalu ekspedisi mereka dilanjutkan hingga ke wilayah teluk Tomini bahkan hingga mencapai danau Poso. Jauh sebelum itu sejumlah peneliti yang berbeda telah mengunjungi danau-danau pedalaman di Sumatra seperti danau Takengon, danau Toba, danau Siais, danau Maninjau, danau Singkarak, danau Kerintji dan danau Ranau. Dalam konteks inilah Dr P Sarasin dan Dr F Sarasin berkesempatan mengunjungi danau-danau di pedalaman di wilayah penutur bahasa Kaili pada tahun 1902 (lihat Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 14-08-1902).

Awalnya F. Sarasin dan P Sarasin tidak mudah memasuki wilayah penutus bahasa Kaili, mereka sempat ditahan oleh Radja Sigi. Dengan bantuan Pemerintah Hindia Belanda dari Makassar mereka dapat dibebaskan. Disebutkan daerah penutur bahasa Kaili ini belum pernah dikunjungi oleh orang Eropa. F. Sarasin dan P Sarasin pada bulan Juli 1902 dari Dinggala, berangkat dengan melintasi pedalamaan hingga berakhir di Palopo. Dengan rencana ini F. Sarasin dan P Sarasin akan melengkapi seluruh pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecilnya dalam ekspedisi ilmiah mereka.


Kerajaan Sigi di pedalaman adalah tetanggak kerajaan Kaili di teluk Palo Donggalo. Kerajaan Sigi sebelumnya dianggap bagian wilayah (kerajaan) Kaili (Kajéli). Di Donggala sudah dibentuk 1893 cabang Pemerintahan Hindia Belanda dimana controleur ditempatkan. Sebelum itu, pada tahun 1890 telah dilakukan penyelidikan bahwa Belomaroe, Sigi dan Dolo sebenarnya independen dari raja-raja pesisir pantai yang berada di bawah kekuasaan Belanda di Donggala. Artinya kerajaan Kaili (di pantai) berbeda dengan Kerajaan Sigi (di pedalaman). Hal itulah Radja Sigi menahan F. Sarasin dan P Sarasin. Namun dari tekanan Pemerintah Hindia Belanda di Donggala akhirnya keduanya dibebaskan dan kemudian menyelesaikan ekspedisi mereka hingga ke Palopo.

Bagaimana sejarah orang Kaili di teluk Paloe? Satu yang jelas bahasa mengikuti eranya. Semakin jauh interval waktu, kemungkinan bahasa itu semakin jauh perubahannya. Setiap bahasa yang berbeda tetapi saling berdekatan secara geografis (intensitas interaksi yang tinggi) kemiripan bahasa tinggi (kekerabatannya dekat). Bahasa yang berbeda di wilayah yang sama juga dapat berarti berasal dari bahasa yang sama di masa lampau. Bagaimana dengan bahasa Kaili?


Nama Kaili sudah lama diketahui, tetapi tidak diketahui secara pasti tahun berapa. Pada era VOC disebutkan oleh Montanus (1675) bahwa Raja Jala dari Kaili mengirim utusan menemui perusahaan (VOC) di Manado. Nama-nama lain yang mengirim utusan (radja) adalah Boeol dan Toli Toli. Sebagaimana diketahui VOC telah membuka pos perdagangan pada tahun 1659 di Manado (yang sejak lama di bawah yusrisdiksi Kerajaan Ternate). Sementara itu kerajaan lain yang sudah lama eksis adalah Kerajaan Gowa di Makassar, Kaili sendiri sudah menjadi pusat perdagangan. Arus barang dari Kaili bahkan sudah sampai ke Gresik (lihat Nederlandsch-Indisch handelsblad, 30-11-1831). Produk antara lain tali pengikat, gaun Kaili. damar, emas dan karet. Dalam sumber lain disebutkan bahwa pada pameran tahun 1851 sepotong pakaian, terbuat dari kayu kertas dari kayu dikirim dari pantai barat Sulawesi, tempat yang disebut Kaili (lihat De volksvlijt).

Kaili Paloe sendiri adakalanya dicatat sebagai Kaijeli Pulos atau Kayeli Pulos, suatu kawasan rawa (lihat Aardrijkskundig woordenboek der Nederlanden, 1851). Hollander menyebut nama Kaili dengan Kajeli dan Paloe dengan Palos (lihat Hollander, 1872). Disebutkan Kajeli di Kerajaan Palos (tetapi) penduduk setempat menyebutnya Paloe.


Sejarah Kaili secara lebih lengkap dapat dibaca pada jurnal Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1905. Pada dasarnya kawasan teluk Palos ini sangat dipengaruhi oleh pedagang-pedagang orang Bugis, Makassar dan Mandar yang tinggal di sepanjang pantai teluk. Dalam hal ini, kawasan Kaili di teluk Palos ini kemudian lebih dikenal sebagai Donggala (tempat dimana para pedagang berada di kmapong Donggala). Disebutkan lebih lanjut bahwa lanskap Kaïli atau Kajeli dulu terdiri dari enam kerajaan: Paloe atau Palos, Banawa atau Donggala, Kajeli, Sigi, Tipa atau Taipa dan Besi atau Bolien (anak sungai di Ternate sebelum abad ke-17). Pada awal abad itu ditaklukkan oleh orang Eropa yang berhutang budi kepada Raja Makassar, Tuni Balangga. Tampaknya tetap berada di bawah kekuasaan orang Makassar sampai tahun 1669. Pada 1683 Laksamana Speelman mengembalikannya ke Ternate dan kemudian menyerahkannya melalui kontrak kepada VOC yang telah membuatnya tunduk pada Pemerintah Makassar sejak tahun 1679. Hal itu karena para pangeran Ternate kurang intens, sementara ketika di bawah VOC yang sangat peduli pada Kaili, secara terus-menerus mengalami gangguan internal, secara bergantian didominasi oleh orang Mandar, Makassar, dan Bugis. Beberapa kali VOC diminta untuk memenuhi permintaan bantuan para pangeran Kaili, tetapi ketika kekuatan Boni meningkat, pengaruh VOC di bagian wilayah itu berkurang. Pada tahun 1790 seluruh wilayah Kaïli jatuh dari VOC. Dalam susunan pemerintahan di Sulawesi pada tahun 1824, Kaïli pada awalnya ditempatkan di bawah Menado, tetapi tidak lama kemudian dimasukkan di bawah Pemerintah Makassar. Sejak saat itu kembali Kaili menjalin hubungan persahabatan dengan Pemerintah tanpa mengingat banyak hutang lama. Meskipun pada tahun 1824 Komisaris Van Schelle dan Tobias telah menandatangani kontrak dengan para pangeran Kaïli dan ditentukan bahwa sebuah pos akan didirikan di Teluk Palos, dibutuhkan hingga 1891 sebelum seorang pemegang jabatan diangkat. Teluk itu, bagaimanapun, kadang-kadang dikunjungi oleh kapal perang Belanda, sementara hubungan antara pangeran dan pemerintah di Makassar dipertahankan sampai batas tertentu melalui campur tangan kepala orang Bugis yang tinggal di teluk, yang tinggal di Donggala, yang diberi gelar Mayor dan yang kepentingan komersialnya mengharuskan hubungan yang lebih dekat dengan Pemerintah.

Berdasarkan catatan di atas, Kaili pada dasarnya nama yang sudah lama yang awalnya disebut Kajeli. Hal ini bermula dari Kerjaan Ternate yang menempatkan orang Kajeli (di pulau Buru) di sekitar teluk pada era VOC. Mereka inilah yang dapat dikatakan pendatang pertama yang berinteraksi dengan penduduk asli (Alifurun) di Sulawesi dari arah pantai barat (di teluk Paloe). Namun karena perubahan arsitektur perdagangan dan adanya pengaruh politik di kawasan (terutama orang Mandar, Makassar dan Bugis) maka situasi dan kondisi mengalami perubahan. Sebagian wilayah Tanah Kajeli atau Kaili menjadi lanskap Banawa atau Donggala yang terbagi tiga distrik yakni Banawa atau Donggala, Lero atau Towaeli dan Bala Esang en Dampelas. Wilayah inilah yang kini dikenal sebagai kabupaten Donggala (termasuk Kota Palu). Sementara sisa wilayah Kajeli adalah kabupaten Sigi yang sekarang.


Seperti disebut di atas, penutur bahasa Kaili mendiami sebagian besar dari provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah kabupaten Donggala (dan Kota Palku), kabupaten Sigi dan seluruh daerah di lembah antara gunung Gawalise, gunung Nokilalaki, gunung Kulawi dan gunung Raranggonau. Penutur bahasa Kaili juga terdapat di wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi kabupaten Parigi-Moutong, kabupaten Tojo Una-Una dan kabupaten Poso. Salah satu dialek bahasa Kaili adalah bahasa Kaili Da’a yang penuturnya terdapat di dataran tinggi wilayah kabupaten Sigi dan kabupaten Donggala dan juga terdapat di Bambaira, kabupaten Mamuju Utara.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Rumah Pohon Kaili Da’a, Memasak Nasi Bambu dan Tradisi Pemujaan Leluhur: Bahasa adalah Elemen Budaya Terpenting

Sebagai bukti betapa kecilnya raja-raja Kaili yang menganggap diri mereka sebagai subyek dari Pemerintah, dapat disebutkan bahwa ketika Asisten Residen Schaap pada tahun 1847, pada kesempatan misinya ke teluk Palos, mengusulkan gagasan penyelesaian Pemerintah, izin raja untuk melakukannya tunduk pada sentimen para pangeran Gowa dan Boni. Keadaan kebetulan membawa beberapa perubahan secara proporsional.


Pada tahun 1852 seorang Syarif Achmad Baginda Umar, yang juga dipanggil Tuwan Lolo, yang telah melakukan pembunuhan di kediaman Menado, melarikan diri ke Kaili; atas permintaan ekstradisinya, para pangeran Kaili menyatakan diri mereka tidak berdaya untuk melakukannya. Selama kunjungan berikutnya ke teluk Palos pada tahun 1854 oleh Gubernur Van der Hart, dengan beberapa kapal perang dan divisi pendaratan, mereka yang melarikan diri ke pegunungan tidak berhasil mendapatkan Tuwan Bolo, tetapi setidaknya kontrak dibuat dengan para pangeran Palos, Donggala, dan Towaïli, kontrak yang, bagaimanapun, belum disahkan oleh adat, sehingga nilainya kecil.

Sementara itu menjadi jelas bahwa otoritas para pangeran telah dirusak oleh sejumlah besar orang asing, seperti: Bugis, Makassar, Melayu dan Arab; terutama pengaruh yang terakhir dan orang Makassar tampaknya lebih dominan, sedangkan pengaruh orang Bugis memudar antara lain karena perpecahan diantara mereka, karena ketidakhadiran Mayor Kangkang yang berulang kali.


Gubernur van der Hart sekarang mengangkat Patana Ba Bandoe sebagai kepala suku Bugis dengan gelar letnan, bawahan Mayor sebagaimana dimaksud, tampaknya untuk memperkuat pengaruh orang Bugis. Namun, setelah kepergian Gubernur, gejolak terus berlanjut, terutama melalui penghasutan Radja Muda Palos yang memiliki pengaruh lebih besar daripada pangeran sendiri, sehingga permusuhan bahkan dilakukan terhadap orang Bugis dan pemerintah, sementara itu menolak menerima pengesahan kontrak. Namun, setelah kematian Radja Muda pada tahun 1855, perdamaian datang dan pada bulan Oktober 1856 para pangeran menyatakan diri mereka siap untuk menerima kontrak yang telah diratifikasi, yang juga dilakukan pada bulan November tahun itu; mereka disajikan kepada para pangeran oleh komandan kapal uap Z.M Montrado. Pada bulan Maret 1861, orang-orang dari beberapa daerah Palos dan Donggala bersalah atas perampokan dan pembunuhan seorang pejabat pemerintah yang datang untuk berdagang di teluk Palos dengan prahunya; pengiriman kapal uap HM Reinier Claessei kesana mengakibatkan pangeran Palos dan rakyat Towaeli membayar ganti rugi yang dituntut, sedangkan pangeran Donggala menyerahkan salah satu pelakunya. Pada bulan November 1861 pangeran Towaeli mengirim orang La Garoeda, yang menikah dengan putri pangeran itu, ke Makassar untuk memperbarui kontrak tahun 1854 atas namanya, yang menurut pendapat. raja itu seharusnya terjadi karena kematian Gubernur Jansen. La Garuda ini, yang dikenal sebagai bajak laut terkenal, yang telah kami lacak selama bertahun-tahun, tetapi masih berhasil lolos. Meskipun pangeran Towaeli, yang diberitahu tentang pemenjaraan ini, meminta pengampunan untuk menantunya, dia diserahkan ke pengadilan dan dihukum 15 tahun kerja paksa.

Para penguasa Kaïli yang memerintah pada tahun 1854 dengan siapa kontrak yang disebutkan di atas dibuat, meninggal berturut-turut dan, menurut kebiasaan negara, pengganti mereka dipilih, untuk Palos Djodjokodi Tomesina, putra pangeran yang telah meninggal dan untuk Donggala La Maka Gilli Tomedada, keponakan mendiang raja. Sesuai dengan ketentuan pasal. 20 dari kontrak yang dibuat dengan lanskap tersebut pada tahun 1854, perjanjian tersebut seharusnya diperbarui.


Oleh karena tidak lagi sesuai dengan persyaratan saat ini, kontrak baru dibuat dengan mereka pada tanggal 1 dan 2 Mei 1888. Pada kesempatan penghentian Parigi di rawa Tomini pada bulan November 1888 oleh orang Bugis di teluk Palos, sebagai pembalasan atas pembunuhan dan perampokan yang dilakukan terhadap beberapa rekan senegaranya disana, dan untuk mengurangi tindakan berani mereka, oleh Pemerintah dikeluarkan Surat Keputusan tertanggal 18 September 1891 No 9, dengan persetujuan kerajaan lebih lanjut, seorang pemegang jabatan dengan personel yang diperlukan ditempatkan di Donggala. Berdasarkan Staatsblad 1893 No 80 pemegang pos secara definitif dimasukkan ke dalam layanan; berdasarkan Staatsblad 1895 No 115 ia digantikan oleh seorang gubernur letnan sipil. Dia telah diinstruksikan untuk mengawasi urusan Tanah Kaili, serta orang Bugis di dekat Teluk Palos. Pada bulan November 1891 pemegang pos yang disebutkan di atas diinstall; pada kesempatan itu disepakati bahwa pengadilan yang ada sejak berdirinya orang Bugis, yang disebut Raad van Oudsten, dipimpin oleh Mayor atau Luitenant Kalankangang, dan dimana beberapa sesepuh bertindak sebagai anggota, akan selalu duduk di hadapan pemegang jabatannya, yang, bagaimanapun, hanya memiliki satu suara penasihat. Hukuman yang dijatuhkan oleh Raad dalam kejahatan, yang dapat dihukum dengan pengusiran di luar lanskap Banawa, diajukan untuk persetujuan kepada Direktur Kehakiman, yang juga menunjukkan tempat hukuman.

Wilayah teluk Palo yang terus berkembang seiring dengan meningkat keterlibatan Pemerintah Hindia Belanda, penduduk yang berada di sekitar teluk semakin cosmopolitan. Hal itu menjadi ragam dialek bahasa Kaili semakin menjauh satu sama lain. Dialek Kaili di wilayah yang lebih jauh ke pedalaman lebih stabil jika dibandingkan dengan dialek Kaili yang lebih dekat ke Paloe dan Donggala.


Salah satu dialek bahasa Kaili disebut bahasa Da'a dari orang-orang To Da'a. Kelompok poluasi To Da’a ini nomaden yang mendiami perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Mereka bermukim di kawasan hutan dan pegunungan, terutama di gunung Gawalise. Kolompok populasi To Da'a diidentifikasi memiliki ciri fisik dan kebudayaan non-Austronesia. Jika dilihat dari bentuk wajah, sebagian masyarakat suku Da'a menyerupai orang Papua. Masyarakat Da’a umumnya tinggal di dataran tinggi wilayah Kabupaten Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah, juga di Bambaira, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Awalnya, suku Da’a hidup secara nomaden dengan berburu dan meramu. Mereka ahli menggunakan sumpit, seperti suku Dayak di pulau Kalimantan. Makanan utama masyarakat suku Da'a merupakan sagu dan ubi jalar.  Bahasa Da’a memiliki keterkaitan dengan bahasa lain yang terdapat di Sulawesi Tengah, yang banyak memiliki kemiripan dengan bahasa Kaili dari keompok populasi Kaili. Rumah asli suku Da’a pada saat ini adalah rumah panggung tinggi yang disebut sou langa atau rumah tinggi. Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang bambu yang tingginya sekitar 4–15 m di atas permukaan tanah. Dahulu rumah mereka dibangun di atas sebuah pohon (rumah pohon) kayu keras yang batang utamanya lurus dengan banyak cabang yang mendatar, seperti pohon ketapang yang memiliki ketinggian 7-20m. (Wikipedia)

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar