Laman

Sabtu, 16 September 2023

Sejarah Bahasa (23): Bahasa Kulawi Dialek Kaili Sulawesi Tengah Asal Toradja? Danau Lindu, Gunung Kulawi dan Danau Lore


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Kulawi atau juga dikenal sebagai Suku To Kulawi merupakan suku yang berasal dari provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Sigi yang masih masuk daerah Donggala. Wilayahnya meliputi Danau Kulawi, Danau Lindau, Dataran Gimpu, dan sekitar aliran sungai Koro yang telah dihuni oleh leluhur mereka sejak masa zaman prasejarah. Suku ini merupakan suku yang termasuk suku minoritas di provinsi Sulawesi Tengah menggunakan bahasa Moma.

 

Moma (atau Kulawi) adalah bahasa yang dituturkan oleh etnis Kulawi di Sulawesi Tengah, salah satu dialek dari bahasa Kaili, tetapi berbeda karena pengaruh bahasa Uma. Suku Kulawi salah satu bagian dari kelompok suku Toraja Barat. Menurut legenda dari Suku Kulawi, mereka berasal dari Sigi dan Bora yang terletak di lembah Palu. Pada tahun 1905 dibawah komando seorang pahlawan dari Suku Kulawi bernama Towualangi (Taentorengke) memimpin peperangan melawan pihak Belanda. Pemerintah Hindia Belanda membuat daerah Kulawi kerajaan bernama Kerajaan Kulawi tahun 1906 dan memasukkan dataran Lindu kedalam administrasi Kerajaan Kulawi. Raja dalam Suku Kulawi disebut sebagai Magau atau Sangkala. Raja beserta keluarganya tinggal didalam rumah adat yang disebut sebagai Sourja. Selain itu pada tahun 1908 pihak kolonial Belanda diresetelmen kembali menjadi 3 daerah pemukiman yaitu: Penduduk yang tinggal di pemukiman Paku Anca yang kemudian disatukan menjadi satu tempat bernama Anca; Penduduk yang tinggal di pemukiman Wongkodomo dan Langko yang kemudian disatukan menjadi satu tempat bernama Langko; Penduduk yang tinggal di pemukiman Olu, Palili, dan Luo yang kemudian disatukan menjadi satu tempat bernama Tomado. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Kulawi di wilayah Sulawesi Tengah? Seperti disebut di atas penutur bahasa Kulawi terdapat di wilayah kabupaten Sigi yang sekarang, Bagaimana dengan bahasa Kulawi dialek Kaili asal Toradja di lanskap gunung Kulawi dan danau Lindu dan danau Lore? Lalu bagaimana sejarah bahasa Kulawi di wilayah Sulawesi Tengah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Kulawi di Wilayah Sulawesi Tengah; Dialek Kaili Asal Toradja; Gunung Kulawi dan Danau Lindu dan Lore

Kelompok populasi Da’a seperti pada artikel sebelumnya, kelompom populasi Koelawi juga diasosiasikan dengan kelompok populasi Kaili. Kaili Da’a berada di arah selatan teluk Palo, sedangkan Kaili Koelawi di arah timur (tenggara). Keberadaan orang To Koelawi dilaporkan pertama kali oleh Dr N Adriani dan AC Kruijt yang diterbitkan dalam MNZG, 1898.


Oleh karena Sarasin bersaudara (Paul dan Fritz) yang pernah ke pedalaman dari teluk Palo, apa yang menjadi sumber tulisan Adriani dan Kruijt berasal dari pemahaman orang-orang yang berada di wilayah pantai terutama di pantai utara teluk Tomini dan danau Poso. Dalam tulisan mereka disebutkan orang Koelawi bermukim di barat daya danau Lindoe diketinggian 500 M. Orang Koelawi salah satu stem (sub kelompok populasi di wilayah lanskap Sigi). Mereka adalah orang-orangnya bersahaja dan jujur (naif dan berani). Mereka mengaku sebagai keturunan seorang pangeran Sigi yang atas undangan roh pohon Kulawi, menetap di sana sebagai bagian dari tawanan perang. Lanskap Koelawi terdiri dari 11 kampong dengan jumlah populasi sekitar 2.200 jiwa. Mereka adalah pemburu seperti orang Dajak yang mengambil kulit kepala musuh mereka yang digunakan sebagai hiasan senjata dan rumah mereka.

Ekspedisi Paul Sarasin dan Fritz Sarasin memulai ekspedisi pada bulan Juli dari teluk Palos dengan tujuan Palopo melalui pedalaman. Pada hari ketiga Sarasin bersaudara dengan 120 orang kuli tiba di Pakoeli, ada ngarai yang bervegetasi lebat mengali sungai Goembasa yang mengalir ke teluk Paloe (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-11-1902). Kampong Pakoeli ini masuk wilayah lanskap To Waeli. Dari Pakoeli medannya semakin terjal dan semakin jarang ditemukan penduduk. Pada hari keenam tiba di Kulawi, sebuah daerah pedesaan dengan persawahan yang indah, sekitar lima ratus meter di atas permukaan laut. Orang Kulawi adalah stem Toradja salah satu ciri wajah yang istimewa, namun belakangan kita ketahui, orang-orang ini sangat ditakuti karena seringnya mereka melakukan penyerangan terhadap musuh-musuhnya di sekitar.


Dari Kuwali, Danau Lindue dikunjungi. Memang tidak besar, tapi sangat indah, di sisi timurnya dikelilingi pegunungan tinggi, Ngilalaki. Letaknya di ketinggian 100 kaki dan dapat menjadi stasiun kesehatan kelas satu di masa depan. Yang lebih aneh lagi, sudah terlihat bahwa di bawah setiap rumah ada peti mati, dan peti mati itu dipahat dengan sangat indah. Sarasin bersaudara dihadang di Koelawi dan mundur ke Sakeli tiga hari perjalanan dan kembali lagi ke Koelawi. Selama dua hari berada di pinggir sungai Koro hingga tiba di Gimpoe sampai di aliran sunbgai utama, sungai yang muaranya terletak di Lariang. Dari Gimpo jalan menjadi sangat sulit jalan mengarah sepanjang tepi kanan sungai Doro, terkadang melewati dinding gunung yang curam jauh di atas sungai, terkadang melewati batu-batu besar di sungai. Bisa dikatakan, wilayah itu tidak berpenghuni. Di tepi seberang ada pemukiman kecil. Dari Korodal melewati punggung gunung yang cukup tinggi ke arah Timur. Lalu memasuki wilayah lanskap Bada sebuah dataran aneh di tengah pegunungan, sekitar delapan ratus meter di atas laut. Di dataran terdapat banyak desa, yang lebih besar, akibat seringnya peperangan kampong membuat benteng, tembok tanah ditanami bamboo. Pedang dan tombak yang ditempa di negara itu sendiri memiliki kesempurnaan yang tinggi. Setelah beberapa hari, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan melewari pegunungan tinggi 1900 M dpl hingga ke lanskap Leboni (bawahan wilayah Loewoe; kini wilayah Rampi). Di Lobo (rumah roh) tergantung tengkorak asli dan banyak potongan menghiasi loteng jerami dari dua kayu kasar. sosok yang dianggap mewakili nenek moyang suku tersebut. Di sini ada kebiasaan menyembelih tawanan perang dan budak dalam berbagai kesempatan (mereka mengonsumsi sepotong kecil otak atau daging dan sedikit darah dan katanya, ini membuat mereka berani dalam pertempuran). Termometer turun hingga 11 Celcius namun dataran tersebut tidak lebih tinggi dari seribu meter di atas laut. Lalu ditemukan dataran tinggi yang puncak tertingginya disebut Takala. Saat ini para pelancong melakukan perjalanan di ketinggian berkisar antara 1500 hingga 2000 M. Pada hari keempat setelah meninggalkan Leboni, para pelancong telah melihat barisan pegunungan tinggi di arah timur, mungkin yang tertinggi di Sulawesi Tengah sekita 3.500 M. pada hari ke-8 sampai di desa Waiboenta dan akhirnya tiba di Palopo tanggal 3 Oktober.

Dari laporan Sarasin bersaudara danau Lindoe berada di lanskap Koelawi. Dari lanskap Koelawi jalan semakin sulit hingga ditemukan daratan tinggi (lanskap Bada). Wilayah yang sulit ini mengindikasikan kawasan yang memberi arah ke empat penjuru angin. Ke wilayah barat ke pantai barat melalui sungai Lariang, ke timur melalui lanskap Bada ke danau Poso. Rute perjalanan Sarasin bersaudara dari utara di Paloe hingga selatan di Palopo dapat digakatan garis lurus.


Satu yang jelas dari laporan Sarasin bersaudara ini bahwa lanskap Koelawi adalah lanskap yang subur, berkecukupan di dataran tinggi pedalaman, Mereka adalah pemberani dan memiliki seni pahat yang baik.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Gunung Kulawi dan Danau Lindu Danau Lore: Peta Bahasa Bahasa di Sulawesi Tengah

Kelompok populasi penutur bahasa Koelawi belum lama dikenal. Dua yang pertama mempelajarinya adalah Dr N Adriani dan AC Kruijt (1898). Lalu kemudian tentang orang Koelawi dilengkapi oleh Sarasin bersaudara: Dr P Sarasin dan Dr F Sarasin (1902). Dua ahli Swiss/Jerman ini menyatakan orang Koelawi sebagai kelompok populasi jujur dan berani. Lalu dengan dikenalnya wilayah Koelawi, Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk cabang pemerintahan di wilayah Koelawi.


Pada tahun 1905 di wilayah Hindia hanya tinggal dua wilayah yang masih melakukan perlawan terhadap otoritas pemerintah. Di Atjeh masih massif perlawanan, diantaranya perlawanan yang dipimpin oleh Teuku Oemar; di Tanah Batak perlawanan yang dipimpin oleh Sisingamangaradja. Sementara itu, di wilayah Papoea, memang tidak ada perlawanan dari kelompok populasi setempat, tetapi yang terjadi adalah para pejabat Pemerintah Hindia Belanda baru memulai pembentukan cabang-cabang pemerintahan di berbagai wilayah di Papua. Bagaimana dengan di pulau Sulawesi?

Pada tahun 1902 Sarasin bersaudara ditahan oleh kelompok populasi Koelawi ketika dalam perjalanan ekspedisi ilmiah dari Paloe ke Palopo. Sarasin bersaudara harus mundur tiga hari perjalanan hingga akhirnya satu kekuatan militer didatangkan dari Makassar untuk menekan Radja Sigi. Dalam situasi Radja Sigi yang tertekan, dan Radja Sigi yang cukup kenal dengan orang To Koelawi, akhirnya Sarasin bersaudara mendapat akses untuk melewati lanskap Koelawi untuk meneruskan perjalanan mereka dari Koelawi ke Palopo. Saat Sarasin bersaudara di Koelawi yang ditemani oleh para pemimpin local wilayah lain, orang Koelawi tetap menunjukkan ketidaksenangan terhadap kehadiran orang asing di wilayah mereka.


Soerabaijasch handelsblad, 26-12-1905: ‘Telegram dari Donggala via Balikpapan, 26 Desember 1905. Berita dari Sulawesi Tengah. Satu pasukan dibawah komandi Mulder sukses besar sampai ke Koelawi dan bisa dikatakan seluruh Lembah Paloe (Sigi) kini menjadi wilayah pemerintah. Namun, perlawanan ditemui di Koelawi; tempat orang-orang dari Lindoe bergabung. Lanskap Koelawi dan Lindoe keduanya terletak di dataran tinggi di pegunungan dan dibentengi; Kelompok populasi ini hampir tidak dapat diakses. Letnan Mulder dievakuasi ke Makasser karena sakit. Letnan Vink telah ditunjuk sebagai komandan pasdukan menggantikannya. Dia meminta penguatan pasukan. Instruktur Hagen dikirim ke sana dengan 30 pradjoerit’.

Bagaimana perlawanan yang dilakukan oleh orang To Koelawi terhadap otoritas pemerintah tidak terinformasikan secara detail. Apakah komandan pasukan Letnan Mulder terluka, sehingga harus digantikan Letnan Viuk dengan menambah jumlah pasukan? Seperti disebut di atas, Sarasin bersaudara menggambarkan orang Koelawi sebagai stem (keturunan) Toradja, kelompok populasi di sekitar danau Lindoe yang sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya.


Dr Adriani dan AC Krujit memperkirakan kelompok populasi To Koelawi tersebar di 11 kampong dengan jumlah populasi sekitar 2.000 jiwa. Satu kelompok populasi yang terbilang sedikt, tetapi mengapa begitu berani melakukan perlawanan terhadap otoritas Pemertintah Hindia Belanda? Lalu siapa yang memimpin perlawanan di lanskap Koelawi? Di lanskap Toba (di seputar danau Toba) perlawanan yang dipimpin oleh Sisingamangaradja sudah sejak 1876 dan masih berlangsung hingga tahun 1905. Seperti kita lihat nanti Sisingamangaradja baru dapat dikalahkan setelah tertembak oleh pasukan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1907.

Perlawanan orang Koelawi tampaknya mampu mengatasi militer Pemerintah Hindia Belanda di lanskap Koelawi. Militer pemerintah dipukul mundur hingga menjauh dari Koelawi. Komandan militer tidak lagi berpangkat letnan tetapi sudah dikendalikan oleh perwira berpangkat mayor. Disebut Mayor Vis yang bermarkas di Toewa dari tanggal 31 Desember hingga 3 Januari telah mundur. Laporan Vis menyebutkan pasukan Koelawi terlalu berani (lihat De Preanger-bode, 16-01-1906).


Mayor Vis yang mundur, lalu memerintahkan Kapten Phaff yang bermarkas teluk Paloe untuk bergerak ke Poso untuk mengambil alih detasemen Voskuil di Posso untuk bergerak cepat melalui Towaeli, Toboli, Posso untuk menggulingkan Napoe dan Lindoe di Kulawi. Kapten Phaff dengan pasukan 100 bayonet yang bergerak dari teluk Paloe melalui Lindu ke Kulawi membatalkan karena karena kondisi medan dan sungai yang sulit serta tidak adanya pelayaran di Toboli. Pada tanggal 9 Januari, Toewa diduduki kembali oleh seorang perwira dan enam puluh bayonet. Pada 10 Januari, Kapten Pnuff melaporkan sebagai berikut: “Saya akan kembali ke Toewa, saya ingin memaksakan orang Momie/Koelawi. Kapten Phaff dan pasukannya baru tiba di Toewa pada tanggal 12 Januari. Dalam berita tersebut juga dilaporkan bahwa besok satu seksi dari Batalyon 8 dan dua perwira akan meninggalkan Makasser menuju Paloe, untuk menggantikan unsur-unsur pasukan Sigi (pasukan pribumi?) yang kurang layak tempur.

Dari berita-berita di atas, tampaknya pasukan Koelawi telah mendapat sokongan dari orang Napoe dan orang Lindoe. Para letnan Mayor Vis tampaknya kesulitan melawan Koelawi sehingga harus menggerakan pasukan yang menjaga markas di Paloe (yang dipimpin oleh Kapten Phaff). Pasukan terdekat hanya ada detasemen di Poso (tetapi sulit mendapat akses). Pasukan tambahan kembali didatangkan dari Makassar. Lantas apakah perlawanan Koelawi akan dapat menandingi militer Pemerintah Hindia Belanda?


Laporan komandan militer (Mayor Vis?) tanggal 26 Januari mengindikasikan kemajuan yang diperoleh Kapten ACL Phaff dan pasukkannya di Koelawi (lihat De nieuwe vorstenlanden, 31-01-1906). Disebutkan setelah tiga hari perjalanan yang berat di sepanjang tepi kiri sungai Mioe, hulu sungai Paloe dan melewati beberapa punggung gunung, pasukan Phaff, dengan 93 bayonet, masuk tanggal 18 tepat berada di belakang posisi musuh, di Toewa. Dalam beberapa pertempuran kami tidak menderita kerugian, tetapi musuh menewaskan 15 orang dan beberapa terluka serta meninggalkan banyak senjata. Pasukan pemerintah kemudian menduduki Kampong Namo, yang terletak di puncak jembatan dan dengan demikian menguasai sepenuhnya dataran Kulawi. Beberapa kepala suku kemudian menawarkan pengajuan menyerahkan diri.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar