Laman

Senin, 23 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (95): Bahasa Abung Wilayah Lampung; Bahasa Lampung di Pedalaman, Bahasa Melayu di Wilayah Pesisir Pantai

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Abung merupakan bagian/puak dari suku Lampung. Suku Abung tersebar di sebelah utara berbatasan dengan Sungkai dan Way Kanan, sebelah barat berbatasan dengan daerah Lampung Barat, sebelah selatannya berbatasan dengan Lampung Selatan, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Suku Abung sering disebut juga Abung Bunga Mayang. Bahasa Abung masih termasuk rumpun Melayu.


Pronomina dialek Lampung Abung. HM Junaiyah. 1993. Abstrak. Bahasa Lampung dipakai di Propinsi Lampung. Bahasa Lampung terdiri atas dua dialek, dialek Nyo 'apa' atau dialek Api 'apa' (Van Roijen 1930), dialek O dan A (Hadikesuma 1988 atau dialek Abung dan dialek Pesisir (Walker 1976). Nama dialek Pesisir dan dialek Abung yang diberikan Walker sesuai dengan nama yang diberikan oleh penutur asli itu sendiri. Dialek Abung digunakan di (1) Kabupaten Lampung Utara, yaitu meliputi Kecamatan Kotabumi, Kecamatan Abung Besar, Kecamatan Abung Barat, Kecamatan Abung Timur, dan Kecamatan Abung Selatan; (2) Kabupaten Lampung Tengah, yang meliputi Kecamatan Sukadana, Kecamatan Gunung Balak, Kecamatan Gunung Sugih, Kecamatan Wai Jepara, Kecamatan Seputih Surabaya, Kecamatan Seputih Mataram, Kecamatan Terbanggi Besar, dan Kecamatan Padang Ram; (3) Kabupaten Lampung Selatan terdapat di dua buah desa, yaitu di desa Muara Putih, Negara Ratu, Kecamatan Natar; (4) Kotamadia Bandar Lampung, yaitu di desa Jagabaya, Gunung Agung, Gedung Meneng, Rajabasa, dan Labuhan Ratu. (https://lib.ui.ac.id/)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Abung di wilayah Lampung? Seperti disebut di atas bahasa Abung adalah dialek bahasa Lampung. Bahasa Lampung di pedalaman, bahasa Melayu di pesisir pantai. Lalu bagaimana sejarah bahasa Abung di wilayah Lampung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Abung di Wilayah Lampung; Bahasa Lampung di Pedalaman, Bahasa Melayu di Pesisir Pantai 

Nama Abung tentu saja sudah lama dikenal. William Marsden (1781) sudah menyebut nama kelompok populaso Aboeng di dekat (gunung) Samangka (dekat selat Sunda). Lalu kemudian tentang orang Aboeng ditulis tahun 1842. Deskripsi tentang orang Aboeng tersebut berjudul ‘De Uitroejing der Orang Aboeng in de Lampongs op Sumatra’ yang diterbitkan dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1842.

 

Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (Jurnal Hindia Belanda) adalah majalah berbahasa Belanda yang diinisiasi tahun 1838 oleh Dr WR van Hoëvell, pendeta Belanda yang bekerja di Batavia. Majalah ini menerbitkan kajian ilmiah bertema geografi, bahasa, dan cultuurstelsel serta artikel tentang masyarakat dan politik. Majalah ini berhenti terbit sementara ketika Van Hoëvell dipulangkan ke Belanda. Majalah kembali terbit saat ia kembali tahun 1849 dan menjadi redaktur sampai 1862. Majalah ini berhenti terbit pada tahun 1894. (Wikipedia)

Deskripsi tahun 1842 ini dimana orang Aboeng berada masih disebut di dekat (gunung) Samangka. Boleh jadi apa yang ditulis tahun 1842 masih merujuk pada Marsden, namun suah disebutkan adanya dua kampong. Orang Aboeng ini sudah lama berinteraksi dengan pangeran Banten. Oleh karena itu orang Aboeng yang berada di sekitar wilayah pantai dapat dikatakan sudah terbuka dengan dunia luar.


Orang Aboeng di dua kampong yang dekat dengan pantai ini merupakan orang Aboeng yang berselisih dan migrasi dari pedalaman ke dekat wilayah pesisir (yang kemudian berada di bawah pengeran Banten). Disebutkan orang Aboeng di pedalaman jaraknya tiga hari perjalanan, melalui hutan yang tidak berpenghuni, yang terdapat di berbagai kampong yang berjauhan. Kelompok populasi di wilayah pesisir menyebut mereka orang Aboeng, yang dianggap rendah karena orang gunung. 

Gambaran tentang wilayah orang Aboeng di pedalaman dideskripsikan oleh Zollinger yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1847. Saat kunjungan Zollinger ini ke pedalaman sudah ada pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang ditempatkan di Tarabangie. Zollinger juga melakukan kunjungan ke Manggala (suatu kota/perkampongan besar yang dapat diakses dari muara sungai Toelang Bawang). Zollinger dari Tarabangie (Terbanggi) melakukan perjalanan hingga ke Tigenningang (Tegineneng) hingga ke selatan di Telok Betong. Menurut Zollinger kelompok populasi beragama Islam.


Pada masa ini, seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, dari berbagai kelompok populasi di wilayah pedalaman masih banyak yang memiliki kepercayaan tradisi seperti Komering, Ogan, Kikim dan Pasemah. Kelompok-kelompok populasi di pedalaman ini memiliki bahasa sendiri-sendiri dengan aksara tradisi masing-masing. Pengaruh Islam di wilayah pesisir Lampung terutama di selatan hingga di Menggala (Toelang Bawang) karena pengaruh Banten sejak masa lampau.

Tarabangi adalah kota utama di pedalaman wilayah Lampong, kota/kampong besar yang berada di tengah wilayah Lampoeng. Saat kunjungan Zollinger ini Tarabangi adalah ibu kota dimana pejabat Pemerintah Hindia Belanda setingkat Controleur berkedudukan yang dilengkapi dengan sebuah benteng. Zollinger juga mengunjungi Goenoeng Batin dimana terdapat dua kampong dari orang Abdoeng (di Jawa disebut orang goenoeng).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Lampung di Pedalaman, Bahasa Melayu di Pesisir Pantai: Asal Usul dan Terbentuknya Bahasa Abung

Bagaimana dengan bahasa Aboeng? Seperti disebut di atas, Zollinger juga mengikuti pendpat sebelumnya bahwa orang Aboeng adalah kelompok populasi yang bermigrasi ke wilayah rendah dari wilayah pegunungan. Kelompok populasi Aboeng ini terdesak oleh kelompok populasi lainnya di wilayah pedalaman. Kelompok populasi di wilayah rendah (dataran rendah) orang Aboeng disebut sebagai orang goenoeng, kelompok populasi yang berasal dari pedalaman.


Zollinger (1847) juga mendeskripsikan perihal bahasa di wilayah Lampoeng Districten. Bahkan Zollinger juga menyusun kamus kecil bahasa Lampong. Yang tidak kurang penting, Zollinger juga menyalin aksara Lampoeng dalam aksara Latin. Deskripsi Lampoeng oleh Zollinger dapat dikatakan yang terlengkap sejauh ini. Sementara itu TJ Willer juga telah menyalin aksara Barak Angkola/Mandailing yang dilampirkan dalam laporannya tahun 1846. Aksara Lampung dan aksara Angkola/Mandailing ada kemiripan. Bagaimana bisa? Aksara di wilayah Lampoeng sendiri memiliki kesamaan meski ada beberapa variasi karena penulisnya. Disebutkan, hanya di Croei ditemukan buku yang berisi obat dan tanaman. Suatu buku yang umum ditemukan di wilayah Batak. Aksara Batak mirip dengan aksara Poenisia (lihat Schroeder, 1927). Zatatan: Zollinger dan Schoeder sama-sama sarjana berdarah Jerman.Zollinger sebelumnya telah melakukan kunjungan ke Bali dan Lombok (1846); sementara Schroeder ke Nias.

Bahasa Abung adalah salah satu dialek dari bahasa Lampong. Dalam hal ini bahasa Lampung adalah nama umum untuk semua dialek-dialek bahasa di Lampong districten. Semua dialek ini memiliki aksara yang mirip satu sama lain dengan variasnya. Perlu ditambahkan kelompok populasi yang memiliki kemiripan bahasa dan aksara sama-sama menjalankan adat djoedjoer (suatu adat yang juga ditemukan di Tanah Batak).


Orang Batak tidak mengenal bilangan tahun. Mengapa? Agama Islam mengenal Hijiriah, agama Kristen dengan Masehi dan orang Jawa Kuno dengan tahun Saka. Satu tahun memiliki 12 bulan. Orang Batak juga tidak mengenal bilangan minggu. Mengapa?  Hanya mengenal satu bulan adalah 30 hari. Satu yang tidak kalah penting, orang Batak memiliki nama untuk bilangan jam. Mengapa? Lantas bagaimana dengan di Lampoeng. Idem dito. Orang Lampoeng juga memiliki nama bilangan jam (sebutannya mirip bahasa Batak tetapi dalam bahasa Jawa; mungkin karena pengaruh Banten?).

Bahasa Lampong banyak memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Namun diantara sejumlah kosa kata Lampung ada kosa kata elementer yang mirip dengan bahasa Batak seperti bulung (daun); balu (janda), balak (besar), bura (buih), ukkap (buka), disan (disana), lappa (jalan) dan  dang (tidak).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar