Seseorang menulis pada surat kabar Java Bode 03-02-1864 mengindikasikan bahwa di Bandoeng dibutuhkan 15 guru. Namun tidak praktis dengan cara mengirim siswa untuk studi ke Belanda (seperti yang telah dilakukan oleh Willem Iskander). Pembaca menulis ini besar dugaan adalah KF. Holle.
KF Holle, 1860 |
KF Holle adalah seorang pengusaha
perkebunan sukses di Preanger. Pengusaha perkebunan ini ternyata sangat suka
belajar, mempelajari budaya dan kesusasteraan Soenda. KF Holle tampaknya
memiliki misi yang ideal dan sesuai dengan kebutuhan di Preanger: meningkatkan
literasi penduduk sambil mengembangkan kesusasteraan dan mengembangkan industri
perkebunan dengan meningkatkan ketersediaan tenaga kerja pribumi yang terdidik.
Rumah Junghuhn di Lembang, 1860 |
KF Holle yang dekat dengan penduduk dan
pemimpinnya dianggap pemerintah orang yang ideal untuk menjembatani misi
pemerintah dan kebutuhan penduduk. KF Holle diangkat pemerintah setara sebagai
pejabat pemerintah. Hal serupa ini juga pernah dialami oleh Junghuhn selain
bertugas untuk pemetaan geologi dan botanis di Tapanoeli juga diangkat
pemerintah pusat sebagai pejabat yang diperbantukan di daerah (1842-1843).
Peran seperti inilah yang diduga mempercepat proses pembentukan sekolah guru
(kweekschool) di Bandoeng. Sebagai upaya untuk menyediakan guru agar pada
gilirannya pendidikan tersebar luas di seluruh Preanger (bahkan West Java)
perlunya sekolah guru sangat penting. KF
Holle telah melihat itu.
Dr. Gronemen, 1860 |
Kweekschool Bandoeng, 1860 |
Pada
pembukaan Kweekschool Bandoeng hanya dihadiri direktur pendidikan pribumi dari
Batavia dan Residen Preanger yang berkedudukan di Tjiandjoer. Mr. JA. van der
Chijs, Inspektur Pendidikan Pribumi justru melakukan inspeksi dan datang untuk melakukan
penilaian langsung terhadap Kweekschool Tanobato (Juni 1866). Hasil kunjungan van
der Chijs ke Tanobato sangat mengharukan dan menghebohkan. Dampaknya pendidikan di Jawa
terguncang.
Mr. JA. van der Chijs, Inspektur
Pendidikan Pribumi segera setelah dari Kweekschool Tanobato, Kementerian
Pendidikan lalu mempercepat perbaikan pendidikan di Jawa setelah pemerintah di
kritisi oleh parlemen. Terungkap bahwa terdapat 15 dari 22 residentie di Jawa belum
memiliki pendidikan. Sekolah guru Soerakarta tidak memadai untuk seluruh Jawa,
sementara sekolah guru Bandoeng justru baru dimulai.
Hasil Kunjungan Chijs ke Mandailing dan Angkola: Reformasi Pendidikan di (pulau) Jawa
Laporan
kunjungan Chijs telah dikutip/dilansir semua surat kabar di Hindia Belanda dan
di Negeri Belanda, seperti di Rotterdam, Amsterdam dan Haarlem, Algemeen
Handelsblad dan Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie di Batavia, De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad di Semarang, Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad di
Padang.
Seketika berubah
semuanya, pandangan orang luar terhadap Tanah Batak, paling tidak di afdeeling
Mandailing dan Angkola berubah 360 derajat yang mana 180 derajat kesan primitif
menghilang dan 180 derajat tidak diduga telah memiliki sistem pendidikan yang terbaik
di Hindia Belanda. Inilah sumbangan fantastis Willem Iskander di Tapanoeli
khususnya di afdeeling Mandailing dan Angkola. Iskander Effect tengah bekerja.
Iskander
Effect tidak hanya telah mengalami difusi jauh hingga ke pelosok-pelosok
terpencil di Tapanoeli, juga mengguncang wilayah-wilayah di Jawa. Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang
mengutip dari surat kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5 November sangat
menyentuh: ‘Mari kita mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan.
Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita
memperluas pendidikan sehingga penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus
belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan
(sebelum ke Tanobato) pantai barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun
sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah
terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola
bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs’.
Rupanya tulisan
(laporan) Chijs itu telah menggelinding kemana-mana bahkan di pusat kekuasaan
kolonial di Jawa. Afdeeling Mandailing en Angkola telah menjadi ‘kiblat’
perubahan, perubahan yang sangat fundamental di Hindia Belanda. Kweekschool
Tanobato adalah sekolah swasta (dukungan partisipasi pemimpin local di
Mandailing dan Angkola).
Laporan
Chijs juga mengindikasikan sekolah guru di Fort de Kock gagal total. Menurut
Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak pantas memakai nama sekolah guru.
Sebaliknya sukses besar di Tanobato. Laporan Chijs menggarisbawahi siswa-siswa
Tanobato juga belajar tiga bahasa sekaligus. Menurut Chijs di sini (maksudnya
Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non Maleijer, di negara non-Melayu
dengan sangat baik. Buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Mandailing/Angkola.
Adanya kemajuan
pendidikan tak terduga di Mandailing dan Angkola menyadarkan pemerintah untuk
segera membangun sekolah guru di Bandoeng. Tahun 1865 Kweekschool Tanobato
diakuisisi pemerintah dan dijadikan sekolah guru negeri. Kweekschool Bandoeng
mulai dibuka tahun 1866, Dengan demikian sekolah guru negeri menjadi empat
buah: Soerakarta (1852), Fort de Kock (1856), Tanobato (1865) dan Bandoeng
(1866).
Reaksi
mulai bermunculan, tidak hanya dari kalangan pribumi tetapi juga diantara
orang-orang Eropa/Belanda. Sekolah guru Tanobato, sekolah guru yang diasuh oleh
Willem Iskander adalah sekolah yang tidak diinginkan. Karena pemerintah hanya
menginginkan sekolah guru terbatas di Soerakarta (Jawa) dan di Fort de Kock
(Sumatra). Namun pemerintah segera menyadari dan langsung membangun sekolah
guru di Bandoeng dan mengakuisisi sekolah guru yang sudah berdiri di Mandailing
dan Angkola.
Arnhemsche courant,
13-11-1869: ‘…Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya
15 juta jiwa. Anggaran yang dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas.
Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas hanya
dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa… lalu stadblad diamandemen
untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak
setuju’.
Setelah
adanya perubahan dan kemenangan di parlemen (dewan) oleh yang pro, diantara
yang pro ada yang mengungkapkan kekecewaannya selama ini sebagaimana dilaporkan
oleh Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java
adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap
bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu
pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban
pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.
Sementara di
Mandailing Angkola, tidak hanya Willem Iskander yang menulis buku-buku
pelajaran, juga guru-guru sekolah dasar (alumni Kweeskschool Tanobato) menulis
buku-buku pelajaran. Sebagian dari buku-buku yang ditulis itu dicetak di Padang
dan Batavia. Buku pelajaran yang ditulis Willem Iskander sudah ada yang dicetak
di Batavia tahun 1865.
Langkah
pertama yang akan dilakukan di Jawa adalah
untuk melanjutkan pengembangan pendidikan di 15 ibukota kabupaten,
dimana tidak ada sekolah berada selama ini. Namun tidak disebutkan nama-nama 15
ibukota afdeeling tersebut. Jika jumlah ibukota tahun 1865 sebanyak 23 maka
baru delapan ibukota yang memiliki sekolah.
Di Residentie
Tapanoeli yang mana ibukota sudah terbentuk di enam kabupaten (Natal,
Mandailing dan Natal, Sibolga, Baroes, Singkel dan Nias), pada tahun 1870 sudah
ada 10 sekolah negeri yang didirikan. Tujuh diantaranya berada di afdeeling
Mandailing dan Angkola dan masing-masing satu buah di afd. Natal, afd. Sibolga
dan afd. Nias. Pada tahun 1870 bertepatan ibukota Afdeeling Mandailing dan
Angkola dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempuan. Di ibukota baru ini
sudah terdapat dua sekolah negeri (Batoenadoea dan Hoetaimbaroe).
Pengembangan
pendidikan di Jawa mulai menemukan jalan keluar. Pendirian sekolah guru di
Bandoeng yang dibuka tahun 1866 telah diperluas ke Jawa Tengah dengan membangun
sekolah guru di Oengaran.
Ini berarti
bahwa sekolah guru, selain di Solo, Bukittingi, Tanpbatoe juga di Bandoeng dan
Oengaran.---kemudian di Probolinggo.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar