* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Pada masa kini, di Yogyakarta terdapat nama jalan hampir 500 buah. Itu semua bermula dari tiga nama jalan: Residentie, Petjinan dan Malioboro. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota, nama-nama jalan baru terus bertambah. Namun nama-nama jalan itu diubah sejak pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Hanya satu nama jalan yang tetap abadi, yakni Jalan Malioboro.
Pada masa kini, di Yogyakarta terdapat nama jalan hampir 500 buah. Itu semua bermula dari tiga nama jalan: Residentie, Petjinan dan Malioboro. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota, nama-nama jalan baru terus bertambah. Namun nama-nama jalan itu diubah sejak pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Hanya satu nama jalan yang tetap abadi, yakni Jalan Malioboro.
.
Peta Yogyakarta (1903) |
Mengapa tidak ada daftar
nama jalan tempo dulu di Yogyakarta yang dapat dibaca pada masa ini? Tentu saja
bukan karena tidak tersedia data. Masalahnya adalah tidak ada yang tertarik
untuk menulisnya. Padahal nama-nama jalan tempo dulu adalah suksesi nama jalan masa
kini. Nama jalan tempo dulu lahir berproses secara alamiah. Sifat alamiah ini
adalah filosofi (karakter) awal tumbuhnya sebuah kota. Untuk itu mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Mungkin anda berpikir ‘apalah arti
sebuah nama jalan?’ Itu bukan pertanyaan sepintas dan sepele. Nama jalan adalah
sebuah pertarungan. Ceritanya bukan hanya pada masa ini, bahkan sudah sejak
lama terjadi di era kolonial Belanda. Pada tahun 1912 di Medan perebutan nama
jalan antara orang-orang Inggris dengan orang-orang Belanda dan antara orang-orang
Belanda dengan orang-orang Tionghoa. Lalu bagaimana dengan Jogjakarta pada tempo
dulu. Pada tahun 1884 orang di Semarang ingin mengganti nama Jalan
Ngajogjakarta menjadi Jalan Djogjakarta, lantas apa reaksi orang Jogjakarta.
Singkat kata: nama jalan atau perubahan nama jalan ternyata bukan hal sepele.
Ikuti hasil penelusurannya.
Nama Jalan Pertama di Jogjakarta
Ketika di Batavia,
Buitenzorg, Semarang, Soerabaja, Padang, Bandoeng dan Medan sudah
teridentifikasi nama jalan, di Jogjakarta belumlah ada nama jalan. Nama jalan
di Jogjakarta baru teridentifikasi pada Peta 1903. Ada beberapa nama yang
mengindikasikan nama jalan, yakni: Residentie laan, Kampemen straat, Patjinan,
Malioboro, Toegoe, Spoorlaan, Gemb laan dan Ngabean.
Peta Jogjakarta (1890) |
Setelah perubahan dan penetapan nama
jalan tersebut, seorang pembaca menulis sebagai berikut (lihat De Sumatra post,
05-06-1912): ‘Terloops. De Hollandsche namen! Hore, nama-nama Belanda ada dimana-mana
sekarang! Plang biru dengan huruf-huruf putih yang jelas, sekarang menghiasi
semua sudut dan lekuk jalan kota! Tidak ada lagi nama asing sekarang, hanya
nama Belanda, nama Belanda yang kuat! Inlander sekarang harus terbiasa dengan
nama-nama baru. Kita tahu setidaknya tidak ada lagi Djalan Astana, Djalan
Bahroe dan Djalan Hettenbach lagi! Kami orang Belanda di Medan, akan
menunjukkan kepada Inggris sekali, bahwa kami adalah orang Belanda, bahwa kami
merasakan bahasa kami dan kami bangga akan hal itu, menjadi sangat tinggi..’.
Nama-nama jalan yang
sudah diidentifikasi di Jogjakarta ini hampir semuanya berada di jalan utama (hoofdweeg).
Jalan utama di Jogjakarta sesuai peraturan perundang-undangan (stadsblad) jalan
utama adalah Groote weg yakni jalan nasional mulai (jalan dari arah Magelang)
Toegoe, Malioboro, Pantjinan, Residentie dan Ngabean (ke arah Tjilatjap). Nama
hanya nama-nama Belanda yang secara eksplisit ditabalkan sebagai nama jalan
yang diakhiri dengan strata jalan (weg, straat, laan plus boulevard). Weg adalah
hoofdweg (nasional, residentie atau district), Laan adalah jalan yang bagus dan
ramai. Sementara nama-nama jalan lainnya seperti Malioboro dan Patjinan
mengindikasikan sekadar nama area.
Peta Jogjakarta (1925) |
Setelah beberapa nama
jalan yang pertama, nama-nama jalan baru di luar jalan utama bertambah dari
waktu ke waktu. Di sekitar area Kraton (aloon-aloon), nama jalan yang membelah
aloon-aloon dari pintu gerbang Kraton disebut Kraton weg. Jalan diagonal dari
Kaoeman ke ujun jalan Kraton weg disebut Kaoeman weg. Jalan yang menghubungkan
Kraton weg dengan Residentie straat disebut Kadaster straat (diambil dari
adanya Landraad di sisi jalan). Sementara di area Eropa/Belanda di sekitar
Residetie straat muncul nama Groote Pasar weg (jalan antara benteng dengan
pasar). Nama jalan lainnya adalah Kantoor laan, Pandhuis laan dan Lodji Ketjil.
Sedangkan di area Petjinan muncul nama jalan Soerjaatmadja, Padjeksan, Majoor
laan dan Beska laan.
Tidak seperti di kota-kota lain, di
Kota Jogjakarta hampir semua nama jalan berbau lokal. Hanya sedikit yang berbau
Belanda dan Tionghoa. Nama-nama jalan Belanda, selain Residentie straat,
Kampement straat, Kantoor straat adalah Shonsmaker straat, Prinses Juliana
laan, Petronellla weg, Langen laan, Kroonprins laan, Hospital weg, Boelevard
dan Apotheek weg. Sedangkan nama Tionghoa hanya terhitung Patjinan weg dan
Majoor weg.
Permasalahan Nama Jalan di Era
Kolonial Belanda
Kota Jogjakarta dalam
hal urusan nama jalan boleh dikatakan adalah tuan rumah di kota sendiri. Hal
ini berbeda dengan di Kota Medan, yang mana nama-nama lokal telah digantikan dengan nama
Belanda dan nama Tionghoa. Bahkan nama yang terkait kesultanan, seperti jalan
Astana (Istana) tak kuasa dan diganti. Tentu
saja nama jalan berbau Inggris juga telah diganti dengan nama Belanda. Kota
Jogjakarta dan Kota Medan adalah dua kota dengan nama-nama jalan yang ekstrim.
Satu hal, jika di Medan, Depok,
Buitenzorg ditemukan nama Jalan Kartini, di Jogjakarta tidak teridentifikasi.
Orang-orang (Belanda) di Semarang keberatan dengan nama jalan Ngajogjakarta dan
bersikukuh harus diganti dengan Jalan Djogjakarta (lihat De locomotief :
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-08-1884).
Orang-orang Jogjakarta yang ada di Semarang tampk keberatan. Namun tidak jelas
bagaimana akhirnya.
Penamaan nama jalan
Belanda yang cukup dominan tidak hanya di Medan, tetapi juga di Semarang,
Bandoeng dan Soerabaja. Perbedaannya, di Medan nama Tionghoa sangat banyak yang
jauh lebih banyak dibandingkan kota-kota lain. Di Jogjakarta hanya terhitung
dua buah.
Satu nama Belanda yang terbilang
kontroversi adalah nama Jalan Max Havelaar. Jelas bahwa di Jogjakarta tidak ada
nama Jalan Max Havelaar, tetapi ditemukan di Medan dan Bandoeng. Max Havelaar
adalah nama buku Edward Douwes Dekker alias Multatuli, seorang Belanda pembela
pribumi terutama di Mandailing en Angkola (Afd. Padang Sidempoean) serta di
Banten. Di Medan, tidak hanya nama Max Havelaar yang dijadikan nama jalan,
tetapi juga nama tokoh-tokoh dalam buku tersebut juga ditabalkan nama jalan.
Era Kolonial Belanda Berakhir
Pada era pendudukan
Jepang, nama-nama jalan berbau Belanda, terutama di Batavia/Djakarta diganti
dengan nama berbau Jepang. Nama-nama penggantinya dngan berbau pribumi tidak
terpikirkan. Demikian juga pada saat kemerdekaan Indonesia (1945) perubahan nama
jalan juga belum sempat terpikirkan sudah datang kembali Belanda (di belakang
pasukan sekutu/Inggris). NICA mengembalikan nama Jepang ke nama Belanda
(ekembali ke nama-nama jalan di era Belanda sebelum pendudukan Jepang). Namun segera
setelah pengakuan kedaulatan RI terjadi perubahan nama Belanda dan nama
Tionghoa secara radikal terutama di kota-kota Batavia, Medan, Soerabaya,
Bandoeng, Semarang dan Malang. Heboh di negeri Belanda.
Nama jalan tempo dulu di Jogjakarta |
Sebelum perubahan nama
jalan diumumkan oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat melalui Menteri
Informasi mengumumkan segera perubahan nama Batavia menjadi Djakarta dan nama
Buitenzorg menjadi Bogor (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 21-01-1950).
Dua nama ini sangat penting karena dua kota dimana terdapat istana yang mana
kedua kota di era kolonial Belanda sama-sama pernah menjadi ibukota negara
(Istana Negara dan Istana Bogor).
Dalam fase transisi perubahan nama
masih tampak keraguan, seperti nama Oranje Boulevard menjadi Djalan Raja Oranje
(lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 08-04-1950). Namun dalam
perkembangannya, Oranje Boulevard diubah sepenuhnya menjadi Djalan Diponegoro
(lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
10-10-1950). Bersamaan dengan perubahan nama menjadi Djalan Diponegoro ini juga
berubah nama jalan dan nama taman. Nassau Boulevard menjadi Djalan Imam
Bondjol; Burgemeester Bisschopplein menjadi Taman Surapati dan Van
Heutzboulevard menjadi Djalan Teuku Umar. Total ada perubahan nama jalan
sebanyak 30 buah. Besoknya kemudian diumumkan perubahan nama-nama jalan yang
baru sebanyak 30 buah lagi (lihat Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-10-1950). Dengan demikian nama
jalan yang telah diubah menjadi 60 buah. Nam-nama jalan yang baru diubah
tersebut antara lain: Molenvliet West menjadi Djalan Gadjah Mada; Molenvhet
Oost menjadi Djalan Hajam Wuruk; Schoolweg menjadi Djalan Dokter Sutomo;
Sipayersweg menjadi Djalan Dokter Wahidin; Nieuwe weg van Gambir Selatan
(Kebonsirih) menjadi Djalan Thamrin; Rijswrjkstraat menjadi Djalan Modjopahit;
Nieuwe Vliegveldlaan menjadi Djalan Angkasa; Djalan Kemajoran menjadi Djalan
Garuda; Eyckmanlaan menjadi Djalan
Kimia; Boxlaan menjadi Djalan Borobudur; Bontiusweg menjadi Djalan Mendut; dan
Duracusweg menjadi Djalan Prambanan. Beberapa hari kemudian diumumkan kembali
perubahan nama jalan sebanyak 30 buah (lihat Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-10-1950). Jumlah nama jalan/taman
yang berubah telah mencapai sebanyak 90 buah. Nama-nama jalan yang berubah
tersebut antara lain: Drukkerijweg menjadi Djalan Percetakan Negara dan
Landhuisweg menjadi Djalan Tambak.
Selain di Djakarta,
perubahan nama jalan juga dilakukan di Bandoeng, Semarang, Soerabaja dan
Malang. Tentu saja di kota-kota lainnya dilakukan perubahan termasuk
Jogjakarta. Hanya saja tidak terlaporkan. Hanya perubahan nama jalan di kota
besar yang menjadi good news, bad news. Perubahan nama ini menjadi heboh di
Belanda, Semua surat kabar di Belanda melaporkannnya.
Nama-nama jalan di Bandung juga sebagian
besar diubah. Perubahan nama jalan ini sesuai dengan petunjuk pemerintah pusat,
efektif baru berlangsung pada tahun 1950. Groote weg menjadi Jl. Raya Barat,
Jalan Raya dan Jl. Raya Timur. Dalam perkembangannya Jl. Raya Timur menjadi Jl.
Asia Afrika. Nama-nama tokoh Belanda semuanya diubah. Tokoh lokal yakni walikota
Bandung pertama ditabalkan namanya sebagai Burgemeester Coops menjadi Jl.
Padjadjaran, Burgemeester Kuhr weg menjadi Jl. Purnawarman. Sejumlah tokoh
nasional seperti Idenburg weg (Jl. Sukabumi), Daendels weg (Jl. Jakarta), Heutz
weg (Jl. Serang), De Stuers weg, Both weg (Jl. Teratai), Rochussen weg (Jl.
Kacapiring). Ruyterlaan (Jl. Martadinata). Jika mundur ke belakang ada
nama-nama tokoh penting lainnya, seperti Riebbeek weg (menjadi Jl. Pacar),
Houtman (Jl. Tjioedjoeng) dan Tasman weg (Jl. Cilaki). Hollandia straat (nama
kapal ekspedisi Cornelis de Houtman). Bragaweg tetap dipertahankan. Nama jalan
lain yang tetap dipertahankan adalah Boscha dan Pasteur.
Di Soerabaja, nama-nama jalan juga telah
diubah. Berg/Societeit straat diubah
menjadi Jalan Veteran, Heereen Straat menjadi Jalan Rajawali; dan Chinese
voorstraat menjadi Jalan Karet. Sedangkan Jalan Handelstraat yang sering
dipertukarkan dengan Jalan Kembang Jepoon tetap dipertahankan sebagai Jalan
Kembang Jepun (lihat De vrije pers : ochtendbulletin, 25-03-1950). Dalam
penamaan baru nama jalan di Soerabaja ini, di wilayah Sawahan nama-nama jalan
diberi berdasarkan nama-nama gunung. Di wilayah Udjung diberi nama yang terkait
lautan, di wilayaj Pesapen terkait dengan kapal; di wilayah Kebalen nama-nama
jalan berdasarkan nama-nama negara bagian di Semenanjung; di wilayaj Jembatan
Merah terkait dengan nama-nama burung; di wilayah Kembangan demgan nama-nama
rempah; di Patjarkoening dengan nama-nama candi. Di Kembang Koening dengan
nama-nama tokoh seperti Mangkoenegoro dan Chairil Anwar; di wilayah Darmo
dengan nama-nama pahlawan nasional seperti Dr. Soetomo, MH Thamrin dan WR
Supratman
Perubahan nama jalan di
Medan yang paling dramatis. Sudah pasti nama Belanda diganti semua. Diantaranya adalah Wilhelmina
straat dipecah dan namanya diubah menjadi jalan Sutomo dan jalan Karimun. Prons
Hendrik straat menjadi jalan Bintang, Juliana straat menjadi jalan Asia, Louise
straat menjadi jalan Gandhi, Emma straat menjadi jalan Jose Rizal, Frederik
Hendrik straat menjadi jalan Tilax, Mauri straat menjadi jalan Peladju, Adolf
straat menjadi jalan China Town, Amalia straat menjadi jalan Sun Yat Sen.
Pergantian juga terjadi pada
nama-nama Tionghoa dan nama-nama Kling. Di
kawasan Pecinan, jalan Tapekong menjadi jalan Suwarna. Nama yang sebelumnya
jalan Markt menjadi jalan Perdagangan.dan jalan Kerk menjadi jalan Gereja (alih
bahasa saja), jalan Tjong A Fie menjadi jalan Tjakrawati, jalan Peking menjadi
jalan Palangkaraya, jalan Luitenant menjadi jalan Bandung, jalan Tjong Jong
Hian menjadi jalan Bogor, jalan Kapitent menjadi jalan Pandu, jalan Hong Kong menjadi
jalan Cirebon, jalan Hakka menjadi jalan Nusantara, jalan Canton menjadi jalan
Surabaya, jalan Shang Hai menjadi jalan Surakarta dan sebagainya. Di kawasan
Kling, jalan Calcutta diubah menjadi jalan Palang Merah, jalan Madras menjadi
jalan Djenggala, jalan Negapatam menjadi jalan Kediri, jalan Ceylon menjadi
jalan Muaratakus, jalan Colombo menjadi jalan Taruna, jalan Bombai menjadi
jalan Pagaruyung. Masih di kawasan Kling, jalan Kroesen menjadi jalan Teuku
Umar, jalan Poedpad menjadi jalan Candi Biara. Jalan Hindu tetap dipertahankan.
Moskee straat hanya diterjemahkan saja menjadi jalan Masjid.
Nama-nama yang terkait
kesultanan juga diubah. Sultans weg menjadi jalan Slamet Riyadi, jalan Radja
menjadi jalan Sisingamangaradja, Soesman weg menjadi jalan Lubuk Raya, Tamiroe
weg menjadi jalan Martimbang, Ottoman weg menjadi jalan Singgalang, Sultans weg
menjadi jalan Masjid Raya, S. Mahmoed weg menjadi jalan Sorik Marapi. Untuk
jalan Mahkamah tetap dipertahankan tetapi Paleis weg diganti menjadi jalan
Pemuda.
Dalam perubahan ini tokoh-tokoh
nasional muncul. Saat itu baru beberapa yang dikategorikan sebagai pahlawan
nasional, seperti Sisingamangaradja, Teuku Umar, Tjokro Aminoto, Sudirman, Imam
Bondjol dan sebagainya. Tokoh-tokoh nasional yang sudah meninggal seperti
Slamet Ryadi, Sutomo, A. Rivai, Tjut Nya’ Dien. Amir Hamzah, A. Dahlan, Chairil
Anwar, Madong Lubis, Saman Hudi, Suryo, Tjipto, Masdulhak. Juga tokoh-tokoh
masa lampau seperti Hayam Wuruk, Gajah Mada, Hang Lekir, Hang Jebat, Hang Tuah
dan Hang Kesturi. Tokoh-tokoh negara sahabat juga diabadikan seperti jalan
Gandhi, jalan Jose Rizal, jalan Sun Yat Sen.
Last but not least. Max
Havelaar laan tidak diganti tetapi digeser namanya dengan jalan Multatuli. Para
tokoh dalam buku Edward Doewes Dekker tersebut juga tetap dipertahankan:
Saidjah, Badoer dan Adinda. Masih di seputar kawasan ini nama-nama jalan yang
diambil dari nama bunga tetap dipertahankan: Kenanga, Melati, Melur, Teratai.
Kedalam kategori ini juga termasuk jalan Listrik (Electriciteit laan).
Mungkin kedengarannya aneh, Edward
Doewes Dekker alias Max Havelaar alias Multatuli yang jelas-jelas berkebangsaan
Belanda namanya tetap ditabalkan bahkan namanya berada diantara kawasan
nama-nama pahlawan dan tokoh nasional. Edward Doewes Dekker meski dibenci orang
Belanda tetapi bagi penduduk di Mandailing dan Angkola (kini Tapanuli Bagian
Selatan) adalah seorang pahlawan. Edward Doewes Dekker adalah orang yang
mengadvokasi dalam perjuangan penduduk untuk bebas dari tanam paksa pada awal
kolonialisme Belanda. Akibat advokasi tersebut Dekker dipecat dan dibuat
terlunta-lunta di Padang tahun 1844.
Selain itu, juga terdapat
nama-nama kayu dan nama gunung tetap dipertahankan. Beberapa nama jalan yang
tetap dipertahankan adalah jalan Djaparis, jalan Antara, jalan Amaliun, jalan
Utama dan jalan Puri.
Perubahan Nama Jalan Masa Kini
Pada masa ini perubahan
nama jalan tentu saja masih terjadi. Namun perubahan nama tidak selalu mulus
seperti di Jakarta dan Medan. Yang agak sedikit mulus adalah perubahan nama
jalan di Yogyakarta, seperti Jalan Ahmad Yani menjadi Jalan Margo Mulyo dan Jalan
AM Sangaji menjadi Jalan Mangkubumi. Di Bogor juga terkesan mulus ketika nama
jalan baru diperkenalkan, yakni: Jalan Andi Hakim Nasution.
Beberapa waktu yang lalu di Jakarta
ada wacana untuk mengganti nama-nama Jalan Medan Merdeka Utara, Jalan Medan
Merdeka Barat, Jalan Medan Merdeka Selatan dan Jalan Medan Merdeka Timur. Namun
wacana ini redup. Lalu ada usulan perubahan nama Jalan Buncit menjadi nama
jalan Abdul Haris Nasution, tetapi itu sejauh ini belum terealisasikan. Di Medan
muncul penabalan kembali nama Jalan Tjong Jong Hian, namun itu tidak dapat
direalisasikan.
Satu hal yang menarik
perhatian baru-baru ini adalah perubahan nama jalan di Bandung, di Surabaya dan
di Yogyakarta karena saling terkait. Di Yogyakarta diperkenalkan nama jalan
baru: Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi. Juga di Yogyakarta diperkenalkan
nama jalan Brawijaya dan Majapahit. Sehubungan dengan itu di Bandung
diperkenalkan nama jalan baru: Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk. Sementara
di Surabaya diperknalkan nama jalan baru: Jalan Siliwangi dan Jalan Sunda.
Namun yang tetap menjadi pertanyaan
mengapa nama-nama jalan di jalan utama (hoofdplaat) Jogjakarta sering
gonta-ganti. Kini jalan utama tersebut urutannya menjadi: Jalan Margo Utomo,
Jalan Malioboro, Jalan Margo Mulyo dan Jalan Pangurakan. Semntara pada masa
lampau (saat awal penamaan jalan) cara pandangnya
dengan urutan sebagai berikut: Jalan Kraton, Jalan Kadaster, Jalan Residentie,
Jalan Patjinan, Jalan Malioboro dan Jalan Toegoe.
Satu hal lagi, di Jogjakarta tidak
ditemukan nama Jalan Masdulhak Nasution dan Jalan Lafran Pane, padahal dua
tokoh ini adalah pahlawan nasional yang justru diusulkan karena berjuang di
Provinsi DI Yogyakarta. Jalan Lafran Pane hanya ada di Kota Depok dan Jalan
Masdulhak Nasution hanya ada di Medan. Lafran Pane adalah pendiri organisasi
mahasis Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Masdulhkan Nasution adalah
penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta saat perang
kemerdekaan. Ketika Jogjakarta diduduki Belanda tahun 1948 Dr, Masdoelhak
Nasution, Ph.D yang pertama diculik Belanda di tumahnya di Kaliurang dan lalu
ditembak mati di Pakem. Atas penembakan ini, PBB marah besar dan meminta
Kerajaan Belanda untuk melakukan penyelidikan karena telah membunuh intelektual
muda Indonesia. Masdulhak Nasution, lahir di Sibolga, mendapat gelar doktor
(Ph.D) pada bidang hukum internasional di Universiteit Amsterdam dengan predikat
Cum Laude. Masdulhak Nasution adalah aset dunia, karena itu PBB marah besar dan
terbukti Kerajaan Belanda segera (dalam satu bulan) melakukan investigasi dan
pengadilan tentang pembunuhan yang keji tersebut.
artikel yang bagus, boleh tau untuk sumber-sumber data sejarah Yogyakartanya gan? seperti peta-peta pada tempo dulu,
BalasHapusSebutkan sumber data yang dimaksud secara spesifik misalnya surat kabar tanggal berapa, peta tahun berapa. Silahkan dialamatkan ke alamat email di atas. Terimakasih
HapusMohon informasi dimana letak nama Jalan Tjode di Jogjakarta pada tahun 1948, dan sekarang nama Jalan Tjode tersebut berubah menjadi jalan apa ?
BalasHapusNama djalan Tjode tempo doeloe kini menjadi jalan Ahmad Jazuli yang sekarang (paralel dengan kali Code). Saat itu nama jalan Tjode sangat terkenal karena pada tahun 1950 mulai dibangun masjid Syuhada (lahan eks museum). Nama jalan Tjode sendiri sudak eksis sejak tahun 1924 (sehubungan dengan pembangunan perumahan elit di kawasan itu) dan pembukaan jalan akses (jembatan di atas kali Tjode (jalan Abu Bakar Ali).
HapusDemikian