* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Ada dua tanggal penting kejadian di Yogyakarta pada era perang kemerdekaan RI: Tanggal 19 Desember 1948 dan tanggal 1 Maret 1949. Kejadian-kejadian di seputar dua tanggal tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan. Perdebatan yang muncul bukan di kalangan orang Belanda tetapi justru di kalangan orang Indonesia masa kini. Di kalangan Indonesia, duduk soal kejadian tanggal 1 Maret 1949 bukan pada peristiwa yang terjadi tetapi siapa yang menjadi inisiator serangan tersebut. Pada era Orde Baru, nama Suharto mengemuka dalam hal ini. Akan tetapi tidak semua orang sepakat. Kontroversi muncul di era Reformasi (termasuk reformasi sejarah).
Ada dua tanggal penting kejadian di Yogyakarta pada era perang kemerdekaan RI: Tanggal 19 Desember 1948 dan tanggal 1 Maret 1949. Kejadian-kejadian di seputar dua tanggal tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan. Perdebatan yang muncul bukan di kalangan orang Belanda tetapi justru di kalangan orang Indonesia masa kini. Di kalangan Indonesia, duduk soal kejadian tanggal 1 Maret 1949 bukan pada peristiwa yang terjadi tetapi siapa yang menjadi inisiator serangan tersebut. Pada era Orde Baru, nama Suharto mengemuka dalam hal ini. Akan tetapi tidak semua orang sepakat. Kontroversi muncul di era Reformasi (termasuk reformasi sejarah).
Kontroversi lainnya
adalah kejadian-kejadian pada tanggal 19 Desember 1948, tanggal kapan militer
Belanda melakukan pendudukan di Yogyakarta. Kontroversi yang terjadi bukan di
kalangan Indonesia, tetapi di dunia internasional. Salah satu peristiwa yang
terjadi pada tanggal 19 Maret bahkan membuat Dewan Kemanaan PBB marah besar dan
meminta Kerajaan Belanda melakukan investigasi sesegera mungkin. Seperti kita
lihat nanti, Kerajaan Belanda di Den Haag menggelar segera pengadilan darurat.
Lantas kontroversinya dimana? Peristiwa yang dibicarakan dunia internasional
ini tidak dimasukkan dalam sejarah Indonesia masa kini.
Dua peristiwa tanggal 19
Maret 1948 (yang disebut Agresi Militer Belanda II) dan tanggal 1 Maret 1949
(Serangan Umum oleh Republiken), faktanya dapat diikuti di dalam pemberitaan
surat kabar hari demi hari. Dalam penulisan sejarah Indonesia, berita-berita
ini dapat dianggap lebih otentik karena diberitakan apa adanya (belum masuk
angin). Lalu seperti apa duduk perkaranya? Mari kita sarikan dari berita-berita
di seputar tanggal tersebut: bad news, good news.
Het dagblad, 01-03-1949 |
Serangan Umum 1 Maret 1949: Siapa
Memimpin Siapa
Pada hari penyerangan Selasa
tanggal 1 Maret, kantor berita Aneta melaporkan yang dikutip Het dagblad bahwa tujuh
tentara Belanda tewas dan 14 orang terluka ketika pasukan gerilyawan Repoebliken.
Para penyerang menyerang dari semua sisi, tetapi mereka terpukul mundur ke
belakang dengan kehilangan banyak personil dan peralatan. Komandan garnisun
(Jogjakarta) Kolonel D van Langen, mengatakan kepada koresponden Aneta bahwa
pasukannya bertanggung jawab atas situasi tersebut.
Berita ini bukanlah
berita besar. Beberapa hari terakhir ini, Het dagblad justru berita tentang Soekarno dan Mohamad Hatta yang
berada di pengasingan yang dianggap penting dan usulan konferensi meja bundar
di Den Haag. Masalah perang dan penyerangan sudah menjadi keseharian militer
Belanda di berbagai daerah. Pertempuran sudah menjadi urusan di belakang.
Urusan ke depan yang jauh lebih penting adalah perihal pemimpin politik
Indonesia dan konferensi.
Satu hal lagi yang penting sebelum kejadian 1 Maret adalah kesepakatan antara UNCI (Komisi PBB) dengan Kerajaan Belanda bahwa tanggal 1 Maret diadakan pertemuan di Djakarta. Delegasi Belanda mengirim surat ke UNCI bahwa sudah siap tanggal 1 Maret (Trouw, 18-02-1949). Namun UNCI meminta ditunda dulu karena ada surat dari Republiken yang meminta delegasi Belanda agar memulai investigasi atas pembunuhan Mr. Masdulhak Nasution, penasehat Mohamad Hatta, pada tanggal 21 Desember 1948.
Pada hari Rabu pagi
situasi di Jogja kembali normal. Jenderal Spoor terbang ke Djogja setelah penyerangan
untuk melihat situasi. Pada hari Rabu ini juga Spoor berangkat dari Djogja dengan
mobil ke Batavia via Semarang. Dalam kunjungan Spoor ini beberapa pejabat sipil
dan militer ikut mengunjungi Jogja. Mereka ini juga mengunjungi ke kediaman
Sultan Yogyakarta, yang adalah Menteri Negara (minister voor Buitengewone Zaken)
pada kabinet terakhir Repoeblik. Lebih lanjut disebutkan kediaman Sultan, yang
disebut Kraton, berada di daerah netral aksi militer terakhir, dimana di tempat
itu tidak ada pasukan Belanda yang ditempatkan. Sejauh ini tidak ada kontak
resmi antara Pemerintah Belanda dan Sultan.
Sebelum dan sesudah terjadi serangan
umum di Yogyakarta 1 Maret 1949, satu-satunya perang yang masih terjadinya di Indonesia
adalah di ibukota kabupatan Angkola di Padang Sidempuan (kampung halaman Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap). Mengapa? Militer Belanda sudah berhasil menduduki
ibukota Residenti Tapanoeli (Sibolga( dari tiga arah (laut, udara dan darat).
Setelah dari Sibolga, militer Belanda merangsek ke Padang Sidempoean untuk dua
tujuan: Pertama, untuk mengamankan perkebunan-perkebunan Eropa/Belanda di
sekitar Padang Sidempoean. Kedua, untuk
membangun markas di Padang Sidempoean untuk mengepung ibukota (darurat) RI di
Bukittinggi. Kota Padang Sidempoean sendiri adalah satu-satunya akses dari
utara ke Bukittinggi. Ketiga, wilayah antara Padang Sidempoean dan Bukittinggi
adalah Mandailing, kampung halaman Kolonel Abdul Haris Nasution. Militer
Belanda secara psikologis akan menekan Abdul Haris yang berada di Jawa dengan
cara menduduki Mandailing. Namun Abdul Haris Nasution, Panglima Siliwangi
mengirim dua orang kepercayaannya ke Padang Sidempoean Letkol AE Kawilarang dan
Mayor Ibrahim Adji.
Misi militer Belanda itu ternyata
tidak berhasil. Para pejuang Republiken dari Padang Sidempoean menyongsong
Belanda ke Batangtoru lalu memnghacurkan jembatan Batang Toru. Namun pasukan
zeni yang berada di belakang cepat memperbaiki dan lalu pasukan infantri
Belanda mendesak hingga ke Padang Sidempoean. Pos-pos militer Republik
dibombardir oleh pesawat-pesawat tempur dari Pinangsori. Namun penduduk lalu
mulai mengungsi ke dan kota dibakar habis (Padang Sidimpoean Lautan Api).
Pertempuran beberapa kali di benteng yang dibangun Republiken di Huraba (batas kecamatan
Angkola kampung Amir Sjarifoedin dan kecamatan Mandailing kampung Abdul Haris
Nasution (kini dikenal Benteng Huraba), Belanda tidak pernah menembus.
Selamatlah kampung halaman Abdul Haris Nasution dan ibukota RI di Bukittinggi. Mandailing
adalah satu-satunya wilayah penting yang tidak pernah tersentuh oleh Belanda
selama perang kemerdekaan.
Sudah barang tentu bagi
Republiken serangan ke Djogja ini adalah sesuatu yang besar, tetapi bagi
Belanda tampaknya itu adalah hal kecil yang hanya ditangani oleh seorang komandan
garnisun di Djogja (Kolonel Langen). Djogja tampaknya hanya sehari (pada hari
Selasa) yang tegang tetapi besoknya (Rabu) diberitakan sudah normal kembali. Jenderal
Spoor yang datang hari Rabu bahkan tidak lama di Djogja kembali ke Batavia naik
mobil via Semarang (melalui Magelang dan Ambarawa?).
Surat kabar yang terbit di Suriname,
Het nieuws: algemeen dagblad, 04-03-1949 mengutip berita kantor berita Aneta melaporkan
bahwa ‘pada hari serangan (Selasa) seorang sersan Belanda telah memberikan
tanda dengan membunyikan sirene untuk awal serangan gerilya yang dilakukan di
Jogja sehingga terdengar di sini (kantor Aneta?). Pada bunyi sirene yang
pertama, serangan gerilyawan dimulai dari beberapa titik. Para penyerang juga
datang dari (arah) kediaman Sultan. Sejauh ini kediaman itu tidak ditempati
oleh pasukan Belanda. Tempat tinggal Sultan berada di sebuah desa dimana beberapa
ribu orang tinggal di sekitar, yang semuanya terkait dengan layanan Sultan.
Karena keadaan yang disebutkan di atas, tempat tinggal sekarang sebagian dihuni
mereka. Beberapa orang Tionghoa terbunuh dalam serangan ketika mereka menolak
untuk memberikan furnitur kepada para penyerang untuk membangun barikade. Pabrik
orang Cina di bagian selatan Jogja diamuk dan beberapa rumah Cina dibakar.
Setelah kerusuhan, pemimpin komunis terkenal Mohamed Tjusouf ditangkap. Yusuf
telah berpartisipasi dalam pemberontakan komunis melawan Republiken. Dia
ditangkap oleh Repoeblikeinen, tetapi kemudian dibebaskan. Dia sekarang masih
berada di Jogja’.
Berita serangan di Jogja
tidak lama kemudian sepi sendiri. Seperti sebelumnya, terkait Jogja berita
politik lebih terasa gaungnya. Soekarno yang berada di pengasingan terus digoda
untuk berunding di dalam konferensi meja bundar. Namun Soekarno tetap kukuh
dengan pendiriannya. Soekarno menginginkan Jogja.
Het nieuws : algemeen dagblad, 07-03-1949
BATAVIA 7. 3 (AP) - Repoebiikeinen secara resmi menolak undangan Belanda untuk
berpartisipasi dalam Konferensi Meja Bundar. Sukarno berpendapat bahwa dia
tidak dapat memberikan keputusan resmi selama dia belum pulih di Jogja.
Jelas dalam hal ini
serangan di Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949 bukanlah masuk berita dunia. Yang
justru berita dunia yang dilansir oleh surat kabar di Eropa adalah keinginan
Soekarno kembali ke Jogja daripada sekadar menghadirkannya di meja perundingan
yang diwacanakan dalam konferensi meja bundar. Statement Soekarno ini adalah
suatu perjuangan herois di mata internasional. Soekarno ingin Jogja, Soekarno
tidak ada tawar menawar dengan RI yang beribukota di Djogjakarta.
Untuk sekadar kilas balik Serangan Umum
1 Maret 1949 besar dugaan terkait dengan keinginan Belanda untuk segera merealisasikan
pembentukan negara serikat. Dalam hal ini wilayah RI hanya satu bagian di dalam
negara serikat bersama-sama dengan negara federal yang sudah dibentuk seperti
Negara Sumatra Timur dan Negara Jawa Timur. Penerapan negara serikat ini pada
mulanya ditargetkan tercapai pada tanggal 1 Januari 1949. Upaya ini dilakukan
dengan datangnya Menteri Stikker ke Jogjakarta dan telah bertemu dengan Perdana
Menteri Mohamad Hatta (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 01-11-1948). Namun hasilnya tidak memuaskan bagi Belanda. Yang
terjadi adalah kebuntuan. Sementara itu dalam perkembangannya Presiden Soekarno
dan rombongan dengan lima menteri di dalamnya diumumkan akan berangkat ke India
pada tanggal 18 Desember 1948. Gelagat ini direspon Belanda sebagai upaya RI
memindahkan ibukota ke India agar lebih leluasa kontak dengan Dewan Kemanan
PBB. Pesawat yang akan menjemput Presiden dan rombongan yang sudah berada di
Singapora tidak mendapat via dan izin dari kedubes Belanda di Singapoera. Ini
tentu terkait dengan rencana Belanda untuk menyerang Jongjakarta tepat pada
tanggal 19 Desember 1948. Penyerangan ini di satu sisi telah menghalangi
Presiden Soekarno ke India dan di sisi lain serangan ini telah menunda rencana
Belanda untuk pembentukan negara serikat pada tanggal 1 Januari 1949.
Trouw, 18-02-1949 |
Belanda secara de facto
sejak pendudukan Jogja yang dimulai pada tanggal 19 Desember 1948 hingga
serangan umum 1 Maret 1949 sudah berlangsung selama dua bulan lebih. Telah
banyak peristiwa yang berlalu sejak pemimpin RI terusir dari Jogjakarta. Suatu
peristiwa yang membawa konsekunsi tidak berjalannya pemerintahan RI yang
dipimpin oleh Soekarno dan Mohamad Hatta. Pada pendudukan Belanda di Jogjakarta
tanggal 19 Desember 1948 orang yang pertama ditangkap adalah Mr. Masdoelhak
Nasution, Ph.D.
Agresi militer Belanda kedua tidak
hanya di Jogjakarta tetapi juga di kota-kota strategis lainnya seperti di
Padang Sidempoean. De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,
04-01-1949 melaporkan: ‘Dari sumber-sumber resmi bertanggal 1 ini
dikomunikasikan: Di pulau Sumatera berlangsung pembersihan (oleh militer Belanda).
Daerah Sawahloentoh dan Teloekbetoeng pasukan Belanda telah menduduki tempat
ini. Sumber resmi yang lain melaporkan bahwa di Padang Sidempoean (tenggara
dari Sibolga), Pagar-Alam (barat daya Lahat) dan Loeboek Linggau (barat laut
Lahat) TNI telah dimurnikan (didesak keluar kota oleh militer Belanda). Di Jogja
sebanyak 169 mantan perwira TNI telah melaporkan diri (kepada militer Belanda)’.
Apa yang dilakukan oleh sebanyak 169
mantan perwira TNI ini di Jogjakarta adalah suatu penghianatan ketika para
pemimpin RI seperti Soekarno dan Mohamad Hatta ditahan (dan akan diasingkan)
serta Sultan (menteri) dirumahkan alias tidak dibolehkan keluar rumah di
kraton. Di Padang Sidempoean, kampung halaman Amir Sjarifoeddin dan Abdul Haris
Nasution para pejuang Republiken melakukan tindakan heroik seperti yang pernah
dilakukan di Bandoeng. Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 07-01-1949:
‘Di Padang Sidempoean kantor-kantor pemerintah dan juga markas dari TNI
dibakar. Kondisi penduduk di bagian selatan Tapanoeli tampaknya kurang
menguntungkan (sulit dikalahkan) daripada di bagian utara’. Dari sumber lain
disebutkan pembakaran ini tidak hanya gedung pemerintah dan markas TNI tetapi
juga rumah-rumah penduduk yang bagus yang khawatir digunakan oleh militer
Belanda jika berhasil menduduki kota.
Untuk sekadar catatan: Pada jelang agresi
militer Belanda kedua (yang dimulai 19 Desember 1949) hanya tinggal beberapa wilayah Republiken yang
masih eksis, terutama di Jawa Tengah khususnya di Jogjakarta, Tapanoeli khususnya
di Padang Sidempoean dan kota-kota pedalaman seperti yang dilaporkan De
locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-01-1949. Wilayah-wilayah
pendudukan Belanda seperti Batavia, Semarang, Soerabaja, Medan dan Bandoeng
sudah tidak ada lagi perang. Yang ada justru kolabora pemimpin lokal dengan
Belanda dalam pembentukan negara-negara boneka Belanda seperti Negara Sumatra
Timur di Medan. Negara Jawa Timur di Soerabaja dan Negara Pasundan di Bandoeng.
Pemerintah (kabupaten) Tapanuli
Selatan yang telah mengungsi ke gunung dan hutan jauh dari kota di Padang
Sidempoean lalu pada tanggal 1 Februari 1949 pemerintahan ini berangkat ke
Angkola Jae (benteng Huraba) untuk melanjutkan perjalanan ke Mandailing untuk
membentuk ibokota kabupaten yang baru. Dari benteng Huraba semua kekuatan TNI
dan laskar melakukan gerilya beberapa kali ke kota Padang Sidempoean. Pada
tanggal 5 Mei 1949 pasukan Belanda melakukan serangan umum ke benteng Huraba
dan berhasil diduduki, tetapi beberapa hari kemudian pasukan TNI yang dibantu
laskar dan penduduk berhasil mengusir militer Belanda kembali ke Padang
Sidempoean. Baru terjadi gencatan senjata di Padang Sidempeoan pada tanggal 3
Agustus 1949 karena adanya kesepakatan oleh pemimpin politik Indonesia untuk
berunding ke konferensi meja bundar di Den Haag. Benteng Huraba tidak pernah
tertembus oleh militer Belanda, selamatlah kampung Abdul Haris Nasution di
Mandailing (yang menjadi ibukota baru kabupaten Tapanuli Selatan) dan terhalang pula
militer Belanda dari utara untuk membantu rekan mereka dalam mengganyang ibukot
RI di Bukittinggi (yang telah merangsek dari Padang). Benteng Huraba adalah
salah simbol perjuangan terakhir para Republiken dalam melawan agresi militer
Belanda pada era perang kemerdekaan.
Mr. Masdoelhak Nasution,
Ph.D ditangkap di rumahnya di Kaliurang pada tanggal 19 Desember 1949 dan
membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung. Masdoelhak di rantai dengan
penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa
berdoa dan makan apa adanya dari jagung mentah.Akhirnya setelah beberapa waktu,
beberapa tahanan lainnya berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu
keenam orang ini dilepas di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor.
Masdoelhak tewas ditempat. Seorang diantara mereka (Mr. Santoso, Sekjen
Kemendagri) terluka sempat berhasil melarikan diri, tetapi ketika di dalam
mobil dalam perjalanan ke Jogja dapat dicegat tentara lalu disuruh berjongkok
di tepi jalan lalu ditembak dan tewas ditempat. Peristiwa ini dilaporkan surat
kabar De waarheid, 25-02-1949.
Berita pembunuhan keji ini kali
pertama beredar dan dilansir di London sebagaimana diberitakan De
Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland
en Noord-Overijssel, 01-02-1949. Koran ini mengutip pernyataan pers dari kepala
kantor Republik Indonesia di London yang pernyataannya sebagai berikut:
‘sejumlah intelektual terkemuka di Indonesia, diantaranya Masdulhak, seorang
penasihat pemerintah dibunuh hingga tewas tanpa diadili.
Berita yang beredar di
London menarik perhatian di Eropa dan mengundang perhatian Dewan Keamanan PBB
dan marah besar. Pimpinan organisasi bangsa-bangsa meminta sebuah tim netral di
Belanda untuk melakukan penyelidikan segera atas kematian Dr. Mr. Masdoelhak
Nasoetion di Yogyakarta 21 Desember 1948. Reaksi cepat badan PBB ini untuk
menanggapi berita yang beredar dan dilansir sejumlah surat kabar di Eropa.
Mengapa Dewan Keamanan PBB demikian
marahnya atas kasus ini? Masdoelhak adalah seorang intelektual paling terkemuka
di jajaran inti pemerintahan Republik Indonesia. Masdoelhak adalah akademisi
muda bergelar doktor di bidang hukum lulusan Eropa. Masdoelhak juga menjadi
adviseur der regering (penasehat pemerintah), penasehat pimpinan republik
(Soekarno dan Hatta). Masdoelhak adalah satu-satunya sarjana bergelar doktor di
lingkaran satu pemerintahan Republik Indonesia di Jogjakarta. Inilah alasan mengapa
petinggi Belanda (van Moek dan Spoor)
menaruh nama Masdoelhak pada baris pertama dalam list orang yang paling
dicari dalam serangan hari pertama di Jogjakarta sesegera mungkin (wanted):
dead or alive.
Desakan Dewan Keamanan
PBB tersebut ditanggapi oleh Kerajaan Belanda dengan menggelar segera sidang
pengadilan luar biasa. Hasil persidangan pembunuhan Mr. Masdoelhak Nasution ini
dilaporkan oleh De waarheid, 25-02-1949.
De waarheid, 25-02-1949: ‘Kejadian bermula
ketika Belanda mulai menyerang Jogja pukul lima pagi, 19 Desember 1948, tentara
Belanda bergerak dan intelijen bekerja. Akhirnya pasukan Belanda menemukan
dimana Masdoelhak. Lalu tentara menciduk Masdoelhak di rumahnya di Kaliurang
dan membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung. Masdoelhak di rantai dengan
penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa
berdoa dan makan apa adanya dari jagung mentah.Akhirnya setelah beberapa waktu,
beberapa tahanan berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu keenam
orang ini dilepas di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas
ditempat. Seorang diantara mereka (Mr. Santoso, Sekjen Kemendagri) terluka
sempat berhasil melarikan diri, tetapi ketika di dalam mobil dalam perjalanan
ke Yogya dapat dicegat tentara lalu disuruh berjongkok di tepi jalan lalu
ditembak dan tewas ditempat’.
Di pengadilan, menurut
De waarheid jaksa penuntut umum menganggap pembunuhan ini sebagai ‘pembunuhan
pengecut’. Koran ‘De waarheid’ (waarheid=truth=‘kebenaran’) melihat kasus ini
selama ini sengaja ditutup-tutupi. Awalnya resolusi Dewan Keamanan hanya
menuntut Belanda bahwa semua tahanan politik harus dibebaskan, malahan membunuh
dengan cara keji begini. Koran ini memberi judul beritanya sebagai metode teror
fasis (Fascistische terreur-methoden). Desas-desus yang sebelumnya diterima
Dewan Keamaman PBB yang membuat mereka marah dan meminta dilakukan penyelidikan
secara tuntas akhirnya terungkap di pengadilan. Hasilnya penyelidikan yang
diungkapkan oleh koran ‘kebenaran’ ini sebagai: pembunuhan keji para
intelektual, pembunuhan secara pengecut dan penggunaan metode fasis.
Siapa Masdoelhak? Masdoelhak adalah
anak Padang Sidempoean kelahiran Siboga. Nama lengkapnya Masdoelhak Nasoetion
gelar Soetan Oloan. Ayah Masdoelhak bernama Nazar Samad Nasoetion gelar
Mangaradja Hamonangan (lahir di Padang Sidempoean) dan ibunya bernama Namora
Siti Aboer br Siregar (lahir di Padang Sidempoean). Masdoelhak, anak keenam
dari tujuh bersaudara ini setelah menyelesaikan pendidikan dasar Belanda (ELS)
di Siboga berangkat sekolah MULO di Medan dan kemudian dilanjutkan ke AMS di
Jawa dan tinggal bersama abangnya Makmoen Al Rasjid (dokter lulusan STOVIA).
Pada tahun 1930, Masdoelhak anak seorang pengusaha di Residentie Tapanoeli ini
lulus ujian AMS. Dari 55 kandidat lulus 42 orang dan Masdoelhak salah satu dari
lima siswa terbaik yang direkomendasikan langsung melanjutkan ke pendidikan
tinggi di Negeri Belanda (lihat, Soerabaijasch handelsblad, 19-05-1930). Masdoelhak berangkat dari Batavia dengan menumpang kapal
s.s. Prins der Nederland’ menuju Amsterdam tanggal 4 Oktober 1930 (lihat De Telegraaf, 01-10-1930). Di
Universiteit Leiden, Masdoelhak mengambil bidang hukum. Selama kuliah
Masdoelhak yang terbilang cerdas ini juga aktif dalam organisasi
ekstrakurikulir. Masdoelhak dan kawan-kawan di Universitas Leiden menggagas
didirikannya himpunan mahasiswa untuk mempromosikan Indonesia dengan nama Studentenvereniging ter bevordering van de
Indonesische Kunst (SVIK). Organisasi mahasiswa yang diresmikan tanggal 1
November 1935 ini sebagai ketua disebut Masdoelhak Hamonangan gelar Soetan
Oloan (lihat De tribune: soc. dem. Weekblad, 23-11-1935). Setelah lulus
tingkat sarjana di Universiteit Leiden, Masdoelhak tidak pulang melainkan
melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral di Utrecht (Rijksuniversiteit). Pada
tahun 1943 Masdoelhak lulus ujian doctoral sebagaimana dilaporkan Friesche courant, 27-03-1943. Masdoelhak
berhasil mempertahankan desertasinya dengan predikat cum laude yang berjudul
‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’. Setelah berhasil menjadi
doktor hukum, Masdoelhak pulang kampung. Pada saat pulang ke tanah air,
Indonesia di bawah pendudukan Jepang, Namun tidak lama kemudian, Jepang
menyerah kepada sekutu lalu Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, 17
Agustus 1945. Pada tanggal 22 Agustus ditunjuk Mr. M. Hasan sebagai gubernur
Sumatra, mewakili pemerintah pusat berkedudukan di Medan. Lalu kemudian Sumatra
dibagi tiga wilayah: Sumatra Utara, Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan. Yang
ditunjuk untuk gubernur muda di Sumatra Tengah yang beribukota di Bukittinggi adalah
Masdoelhak Nasution. Selag agresi militer Belanda yang
pertama (1847) Masdoelhak dipanggil ke Jogjakarta untuk membantu pemerintahan
pusat (menjadi penasehat hukum internasional).
Reformasi Sejarah di Indonesia
Agresi militer Belanda
kedua yang dimulai di Jogjakarta pada tanggal 19 Desember 1948 dan serangan
umum tanggal 1 Maret 1949 adalah dua tanggal penting di Jogjakarta pada era
perang kemerdekan. Dua kejadian pada tanggal ini yang sejatinya sangat khusus
bagi kota Jogjakarta tetapi dalam (penulisan) sejarah nasional justru
mengundang banyak perdebatan dan dalam berbagai sisi peristiwa memunculkan
kontroversi.
Sejarah di Indonesia
harus dibedakan sejarah lokal dan sejarah nasional. Sejarah nasional adalah
sejarah yang bernuansa dan berskala internasional. Perjuangan Soekarno untuk
kukuh kembali ke Jogjakarta haruslah dicatat sebagai sejarah nasional
Indonesia. Demikian juga dibunuhnya intelektual muda Indonesia juga harus
dicatat sebagai sejarah nasional yang terjadi di Jogjakarta. Serangan umum di
Jogjakarta yang dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949 daya gaungnya singkat dan
terbatas dan kurang mendapat perhatian internasional seyogianya dicatat sebagai
sejarah lokal yang heroik. Ke dalam daftar ini, sejarah lokal herois lainnya antara
lain: Bandoeng Lautan Api (lihat Limburgsch dagblad, 26-03-1946), Perang Medan
Area, dan tentu saja Padang Sidempoean Lautan Api. Kejadian lokal serupa yang
bersifat nasional dalam hal ini adalah Peristiwa Perang 10 November 1945 di
Soerabaja.
Penempatan suatu
kejadian di masa lampau di dalam sejarah nasional Indonesia masa kini haruslah
mempertimbangkan fakta yang sebenarnya, fakta apa adanya. Dengan dasar itu maka
berbagai peristiwa itu dikelompokkan yang mana yang bersifat nasional dan mana
yang bersifat lokal. Jika dasarnya keliru (apalagi dibuat keliru) penempatan
kejadian tidak tertib, apalagi ada unsur pemaksaan, maka suatu kejadian yang harusnya
dianggap bersifat nasional malah ditempatkan sebagai sejarah lokal, sebaliknya
yang lainnya suatu sejarah berkategori lokal ditempatkan pada level sejarah
nasional.
Kini, Indonesia semakin demokratis,
semakin reformis, maka ketika rakyat Indonesia semakin maju dan terpelajar maka
sejarah Indonesia yang ditulis sembarangan akan tidak menarik buat generasi
muda masa kini lebih-lebih generasi yang akan datang. Pengetahuan masa kini
sudah jauh lebih berkembang jika dibandingkan dua atau tiga dasawarsa yang
lalu. Kini di era digital, semua data dan fakta kejadian masa lalu di Indonesia
dapat diakses dalam bentuk digital oleh semua orang. Sumber-sumber sejarah yang
tersaji dalan bentuk digital jauh lebih lengkap dan otentik jika hanya memungit
informasi ‘katanya’ atau mengkreasi data dan informasi yang peristiwanya
sesungguhnya tidak pernah terjadi.
Jika diperhatikan lebih
cermat pada peristiwa serangan 1 Maret 1949 satu hal yang mungkin terlewatkan
adalah serangan dari arah selatan, dari arah sekitar kraton Jogjakarta. Ada
tiga informasi penting serangan dari selatan ini, pertama bahwa Sultan (masih)
berada di Jogjakarta sebagai pemimpin lokal yang sebelumnya adalah menjabat
sebagai menteri dalam kabinet terakhir. Kedua, koridor dari selatan ini dalam
konfigurasi pertahanan Belanda tidak menempatkan tentara Belanda yang tentu
saja untuk menghindari ketersinggungan kraton. Sebaliknya dari pihak Belanda
menyadari itu karena berharap, sebagaimana di kota-kota lain seperti di Medan
dan Bandoeng, pemimpin lokal diproyeksikan sebagai partner. Ketiga, lingkungan
di sekitar kraton di arah selatan datangnya serangan ke kota (Jogjakarta)
adalah lingkungan pemukiman setia Sultan. Jika tiga fakta ini disimpulkan maka
serangan dari selatan adalah suatu bentuk serangan heroik:
Kraton yang sejak dari dulu
dikucilkan Belanda dan Sultan yang dimandulkan secara psikologis Sultan, paling
tidak mengizinkan serangan dari selatan, dari aloon-aloon yang berada persis di
depan kraton. Tidak ada siapapun yang bisa berbuat, paling tidak seizin dari
Sultan. Wilayah pemukiman di selatan kota, di sekitar kraton adalah orang setia
sultan, sudah barang tentu pasukan yang ikut menyerang dalam serangan 1 Maret
adalah pasukan kraton, paling tidak pasukan yang terbentuk dari orang-orang
setia kraton. Sultan dan kraton yang menjadi bagian penting dalam pemerintahan
RI di Jongja (pengungsian) dan Sultan sebagai anggota kabinet sebelum ‘dibubarkan’
Belanda bukan tidak disadari oleh Sultan risikonya. Risiko itu diambil oleh
Sultan. Disinilah bentuk heroisme Sultan dalam serangan 1 Maret 1949. Akan
tetapi peristiwa serangan 1 Maret ini meski berskala lokal, tetapi tidak dicatat
dalam sejarah nasional, sebab nuansa dan fakta keberadaan Sultan saat serangan
adalah figur pemimpin nasional, paling tidak sebagai menteri.
Dalam konteks sejarah
nasional di Jogjakarta apakah pada agresi militer Belanda kedua 19 Desember
1948 dan serangan umum oleh Republiken pada tanggal 1 Maret 1949 tidak banyak
nama yang disebut. Nama-nama yang disebut dalam surat kabar pada dua tanggal
penting di Jogjakarta ini diantara yang sedikit beberapa diantaranya adalah
Soekarno, Mohamad Hatta, Sultan (Hamengkoeboewono IX) dan Masdoelhak Nasution.
Keempat nama ini terungkap dalam dunia internasional.
Kiprah tiga nama pertama sudah
banyak ditulis dalam sejarah nasional Indonesia. Namun nama Masdoelhak Nasution
sepi sendiri. Masdoelhak Nasution baru ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional
pada tahun 2006. Namun sangat disayangkan hingga ini hari nama Masdoelhak
Nasution tidak pernah diwujudkan sebagai bagian dari Jogjakarta, paling tidak
hanya sekadar nama jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar