Laman

Minggu, 17 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (25): Kota Jogjakarta Tidak Pernah Berstatus Gemeente (Kota), Mengapa? Inilah Daftar Residen Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
 

Kota Jogjakarta di era kolonial Belanda pantas jadi Kota (Gemeente), tetapi itu tidak pernah terjadi. Kota-kota yang telah menjadi gemeente antara lain kota Semarang dan kota Tegal, Seperti halnya Jogjakarta, Kota Soerakarta juga tidak pernah menjadi Kota (Gemeente). Kedua kota di vorstenlanden ini hanya dibina oleh masing-masing seorang Asisten Residen. Setali tiga uang, kedua kota ini juga tidak memiliki dewan kota (gemeenteraad) sendiri.

Batas kota Jogjakarta, 1890
Kota yang pertama menjadi Kota (Gemeente) adalah Batavia sejak 1903. Kemudian diiikuti oleh tiga kota tahun 1905 yakni Soerabaja, Butenzorg dan Chirebon. Kota-kota lainnya yang berstatus gemeente pada tahun 1906 adalah Bandoeng, Tegal, Pakalongan, Semarang, Palembang dan Magelang. Di (pulau) Sumatra, setelah Palembang adalah Medan pada tahun 1909. Setelah itu bertambah lagi yang secara keseluruhan hingga tahun 1921 sebanyak 31 kota. Satu hal yang unik, kota Padang Sidempoean tidak berstatus gemeente tetapi memiliki dewan tersendiri.

Lantas mengapa kota Jogjakarta tidak pernah berstatus gemeente? Padahal pantas berstatus gemeente. Lalu mengapa kota Padang Sidempoean memiliki dewan sendiri tetapi tidak pernah berstatus gemeente? Itulah pertanyaannya. Suatu pertanyaan sepele tentang gemeente dan gemeenteraad, tetapi memiliki dampak besar terhadap penataan (dinamika) kota selama era kolonial Belanda. Uniknya, di dua kota ini pula pada akhir perang kemerdekaan terjadi serangan umum: di Jogjakarta 1 Maret 1949 dan di Padang Sidempoean Mei 1949.

Administrasi Pemerintahan Era Hindia Belanda: Gubernur, Residen dan Controleur

Administrasi pemerintahan sesungguhnya baru dimulai pada era Pemerintah Hindia Belanda. Pada era VOC/Belanda meski jabatan Residen sudah ada tetapi batas-batas wilayah pemerintahan belum dibuat secara tegas. Hanya disebutkan seorang residen ditempatkan di kota atau pelabuhan tertentu. Jabatan terendah dalam struktur pemerintahan saat itu (era VOC/Belanda) adalah posthouder. Jabatan tertinggi adalah Gubernur Jenderal yang membawahi beberapa gubernur seperti Gubernur Malaka dan Gubernur Amboina dan sejumlah residen (secara langsung).  

Pada era Pemerintahan Hindia Belanda, terutama pada masa jabatan Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811) administrasi pemerintahan diperjelas dengan membentuk sejumlah wilayah menjadi Provinsi atau Perfektur yang beribukota di kota-kota tertentu seperti Batavia, Chirebon, Semarang dan Soerabaja. Namun era baru Pemerintahan Hindia Belanda ini harus berakhir setelah terjadinya pendudukan Inggris yang dimulai pada bulan Januari 1812. Pemerintahan Hindia Inggris dibawah Letnan Gubernur Raffles, pulau Jawa (termasuk Madura) dibagi ke dalam 16 Residen. Dua diantaranya Residentie Soeracarta dan Residentie Djocjocarta. Pendudukan Inggris juga tidak lama lalu digantikan kembali Pemerintah Hindia Belanda (sejak 1816 hingga 1942).  

Pada era Pemerintahan Hindia Belanda (sejak 1816) terminologi Province atau Prefectur tidak digunakan lagi tetapi mengikuti konsep pembagian wilayah berdasarkan Residentie seperti yang telah dilakukan Inggris. Namun dalam perkembangannya, tahun 1834 secara khusus sejumlah residentie di Sumatra disatukan untuk membentuk satu provinsi yang disebut Provinsi Sumatra’s Westkust yang beribukota di Padang. Pada tahun 1840 Residentie Bengkoelen dipisahkan dan Residentie Tapanoeli dimasukkan sebagai penggantinya. Lalu tahun-tahun selanjutnya dibentuk Provinsi Groote Oost (baca: Indonesia Timur) yang beribukota di Makassar. Di Kalimantan, seperti halnya di Jawab tidak pernah dibentuk satuan administrasi provinsi. Pada tahun 1915 satu residentie dan hanya satu-satunya yakni Residentie Oost van Sumatra ditingkatkan statusnya yang dipimpin oleh seorang Gubernur berkedudukan di Medan. Sebaliknya, status provinsi dan jabatan gubernur di Sumatra’s Wesrkust dihapus. Baru pada tahun 1920an di pulau Jawa dibentuk provinsi, yakni: West Java berkedudukan di Batavia, Midden Java di Semarang dan Oost Java di Soerabaja. Dengan demikian Gubernur Jenderal membawahi lima Gubernur dan sejumlah Residen yang bersifat otonom seperti Residentie Tapanoeli yang beribukota di Sibolga. Pembagian wilayah ini tidak berubah hingga berakhirnya Belanda tahun 1942.

Residentie Soeracarta dan Jogjakarta: Pembentukan Dewan

Pembentukan dewan (raad) pada dasarnya dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam perencanaan dan pengawasan pada suatu wilayah tertentu. Dalam hal ini pada suatu wilayah kesatuan pembangunan satu afdeeling atau beberapa afdeeling (gewest), kota (gemeente) atau nasional dibentuk dewan untuk menampung aspirasi dari berbagai pihak dalam perencanaan dan pengembangan. Pemerintah juga memiliki wakil di dalam dewan. Perlunya pembentukan dewan ini juga sehubungan dengan perkembangan sosial, politik dan budaya. Cikal bakal dewan (anggotanya digaji pemerintah) adalah suatu dewan yang bersifat sukarela yang juga didayagunakan untuk pembentukan dana (fonds) untuk pembangunan). Dewan pembangunan (Fonds) ini berkembang di berbagai kota.

Sebagai contoh di Deli yang beribukota di Medan (sebelum 1900) sudah dibentuk suatu dewan sukarela  (fonds) yang diinisiasi oleh pemerintah (Residen). Anggota dewan (fonds) ini adalah wakil-wakil dari perusahaan besar atau asosiasi perusahaan (seperti Deli Mij, Spoor Mij), para pemimpin komunitas seperti Kapten/Majoor China, pangeran yang mewakili kesultanan dan juga wakil-wakil pemerintah seperti BOW. Dewan ini kemudian menyusun rencana, mengumpulkan dana dan melaksanakan berbagai kegiatan seperti perbaikan jalan, pengembangan drainase di dalam kota, penataan taman-taman kota dan bahkan pembangunan gedung-gedung publik. Dewan sukarela ini terus berkembang sehingga pada akhirnya bertransformasi menjadi dewan yang bersifat formal yang anggotanya digaji oleh pemerintah seperti Afdeelingraad, Regentchapraad, Volksraad dan gemeenteraad. Dewan sukarela (fonds) sebelumnya diangkat oleh pemerintah lalu dewan formal dipilih berdasarkan kriteria tertentu dan akhirnya dipilih melalui suatu  pemilihan (semacam pemilu atau pilkada).

Pembentukan dana (fonds) ini tidak terdeteksi di Soeracarta dan Djocjocarta. Dana-dana Fonds yang terbentuk di berbagai kota memunculkan gagasan dalam proses desentralisasi yang kemudian diformalkan pemerintah berdasarkan Staatsblad tahun 1903 Nomor 329. Rujukan ini kemudian menjadi dasar pementukan Kota (Gemeente) di Batavia tahun 1903. Kemudian dibentuk gemeente baru tahun 1905 di Soerabaja, Buitenzorg dan Chirebon. Lalu pada tahun 1906 terbentuk gemeente di Makassar, Bandoeng, Samarang, Tegal, Pekalongan, Magelang, dan Palembang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-03-1906).

Di Medan, dewan sukarela (Fonds) ini sangat kuat karena didukung oleh para miliarder-miliarder yang tinggi di Medan seperti para pengusaha kelas kakap di perkebunan, konglomerat bersaudara Tjong A Fier dan Tjing Jong Hian. Dalam perkembangannnya, gengsi pemerintah dipertaruhkan, lalu pemerintah menerapkan pembentukan dewan (raad) untuk menggantikan dewan sukrela (fonds) baik untuk wilayah maupun kota. Pada tahun 1909, sebagaimana yang sudah dilakukan di kota-kota lain, kota Medan dibentuk menjadi Kota (Gemeente). Seiring dengan pembentukan kota segera dibentuk dewan kota (gemeenteraad).  

Lantas mengapa Soeracarta dan Jogjakarta tidak dibentuk menjadi kota (gemeente) dan juga mengapa di Residentie Soeracarta dan Residentie Jogjakarta tidak terbentuk dewan atau fonds? Sulit menemukan penjelasannya. Padahal kota Soeracarta dan kota Djocjocarta memiliki potensi untuk dijadikan kota (gemeente) agar penggalian dana dapat dimaksimalkan dan perencanaan wilayah atau kota dapat menjadi lebih efektif. Satu-satunya faktor yang menjelaskan dalam hal ini adalah masih kuatnya pemerintahan lokal di dua wilayah yang bertumpu pada Kaisar di Soeracarta dan Soeltan di Jogjakarta yang pada gilirannya tiga stakeholder utama (pemerintah, kraton dan pengusaha) berjalan sendiri-sendiri.

Berdasarkan pengalaman sejak masa lampau terutama pasca Perang Jawa (yang dipimpin Pangeran Diponegoro) 1830, secara psikologis antara pemerintah (Residen) dan pemimpin lokal (Kaisar dan Soeltan) terus terjadi pasang surut. Pemerintah selalu sangat hati-hati jika berkaitan dengan kebijakan yang berbeda dari pihak kraton. Akibat tidak terlalu menyatunya pemerintah dan pemimpin lokal membuat pihak ketiga terutama para pengusaha menjaga jarak. Seperti di berbagai tempat atau kota, hubungan tripartit (pemerintah, pemimpin lokal dan para pengusaha) terbentuk hubungan yang harmonis, sedangkan di Soeracarta terutama di Djocjocarta hubungan satu sama bagaikan minyak dan air dalam satu wadah. Masing-masing menjalankan fungsi masing-masing. Bagi pengusaha, sifat sukarelanya tidak muncul seperti di Medan, karena para pengusaha lebih sering mengeluh karena kepentingan mereka kurang mendapat penanganan seperti pembangunan jalan dan jembatan yang memperlancar pengangkutan dalam usaha mereka. Hubungan kraton dengan pengusaha hanya sebatas sewa lahan dan hubungan pengusaha dengan pemerintah serba tanggung karena kemampuan pemerintah sangat terbatas di bidang anggaran. Terlambatnya pembanguunan kereta api ke Soeracarta dan Jogjacarta lebih pada kurang harmonisnya hubungan pemerintah dan pemerintah lokal. Dengan adanya pembangunan kereta api, para pengusaha hanya melihat sisi bisnis saja. Oleh karenanya, kantor-kantor pusat perusahaan-perusahan besar lebih memilih di Semarang dan hanya cabang yang ditempatkan di Soeracarta dan Jogjakarta.

Dalam prakteknya para konglomerat tidak menonjol di Soeracarta dan Jogjakarta. Konfigurasi ini menyulitkan partisipasi pengusaha dalam penggalangan dana pembangunan (fonds).  Yang terjadi di Jogjakarta adalah distribusi kemakmuran yang lebih merata diantara para pengusaha dan para pangeran. Akibatnya penggalangan dana berdasarkan partisipasi masyarakat kurang berkembang di kota Soeracarta dan Jogjakaarta. Urusan pembangunan menjadi seakan hanya urusan pemerintah. Pemerintah dalam mengintroduksi pembentukan kota maupun pembentukan dewan menjadi mengalami kesulitan tersendiri.  

Gemeente Raad dan Burgemeester: Soeracarta, Jogjakarta dan Padang Sidempoean

Struktur pemerintahan di masing-masing wilayah atau kota di Hindia Belanda berbeda-beda. Oleh karenanya dalam menyusun administrasi pemerintahan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah dan kota. Yang jelas dari semua sistem administrasi yang berbeda-beda itu hanya satu hal yang tetap: penerimanaan pemerintah harus lebih meningkat agar surplus (untung) lebih besar. Pemerintahan VOC dan Pemerintahan Hindia Belanda tetap menjalankan kebijakan koloni yang bertujuan untuk keuntungan.

Pemerintah dalam mengelola pembangunan wilayah atau kota dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif tetapi belum tentu efisien. Pemerintah dalam hal ini adakalnya mendapat tekanan. Di Soeracarta dan di Djocjocarta tekanan dari pemerintah lokal cukup kuat, sementara di Deli tekanan para pengusaha yang cukup menonjol. Oleh karenanya setiap wilayah atau kota memiliki kisahnya sendiri-sendiri dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi dan sosial dan pengembangan politik dalam pemerintahan dalam wujud otonomi (gemeente) atau partisipasi (gemeenteraad). Hasilnya ada kota yang maju pesat dan ada kota yang maju lambat. Kota Jogjakarta termasuk kota yang maju lambat dalam berbagai aspek urban.   

Lahirnya Boedi Oetomo pada tahun 1908 tidak cukup membantu untuk membuka perkembangan kota Jogjakarta. Boedi Oetomo sudah melenceng sesuai yang diharapkan para golongan muda. Boedi Oetomo cepat terkooptasi oleh golongan senior, Boedi Oetomo lambat laun menjadi terkesan hanya sekadar klub atau paguyuban para pangeran dan bupati. Pusat pemerintahan Boedi Oetomo tertambat di Jogjakarta. Boedi Oetomo justru sebaliknya memberi pengaruh kuat dalam pengembangan kota di Batavia, Semarang, Soerabaja, Bandoeng dan Buitenzorg. Para tokoh Boedi Oetomo di kota-kota ini yang cenderung dari golongan terpelajar bertarung untuk merebut kursi di dewan. Mereka yang terpilih bersuara lantang di dewan dalam urusan perkotaan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur, pengembangan pendidikan, kesehatan dan lainnya. Kota Jogjakarta jauh dari hingar bingar semacam ini. Kota Jogjakarta hidup dengan caranya sendiri, sunyi, sepi. Kesan gemerlapnya (perkembangan) kota tidak terlihat. Kota Jogjakarta tenggelam diantara kota-kota utama di Jawa.

Residen tidaklah ahli dalam urusan kota (urban) sebab itu adalah urusan wali kota (burgemeester). Residen hanya ahli dalam urusan wilayah, wilayah yang luas. Sekarang, ibarat bupati mengembangkan kota masih jauh lebih piawai jika dilakukan oleh seorang Wali Kota. Kota Jogjakarta tidak pernah menjadi Kota (gemeente) dan tentu saja tidak akan pernah ada dewan kota (gemeenteraad) dan juga tidak pernah datang seorang wali kota (burgemeester). Lantas mengapa Soeracarta dan Jogjakarta tidak pernah menjadi kota (gemeente). Hanya satu alasan yang membuat itu terjadi, bukan karena faktor Residen atau faktor Soeltan, tetapi karena kapasitas alamiah kota untuk menjadi gemeente. Kapasitas alamiah kota dalam hal ini antara lain kemampuan finansial warga kota, pertumbuhan dan perkembangan bisnis, keterbukaan kota (heterogen), pemanfaatan lahan kota dan dinamika perdagangan (arus keluar masuk barang).

Kota (gemeente) adalah otonomi khusus di tengah wilayah pembangunan. Sebagai otonomi khusus, pemerintah kota (burgemeester dan gemeenteraad) harus mampu menggali potensi ekonomi kota untuk mempu membiayai sendiri. Elemen ini tampaknya secara alamiah tidak dimiliki oleh Jogjakarta. Dan, karena itu pula Jogjakarta tidak pernah menjadi gemeente. Kota Jogjakarta tetap menggyunakan (alokasi) anggaran (pembangunan) wilayah yang dipimpin oleh seorang Residen. Sebagai perbandingan dapat disandingkan antara kota Bandoeng dan Jogjakarta sebagai dua kota di pedalaman. Semua elemen urban dan elemen pembentukan gemeente dimiliki oleh Bandoeng.

Apa yang terjadi di Jogjakarta, setali tiga uang juga terjadi di kota Padang Sidempoean. Sebagai kota di pedalaman, kota Padang Sidempoean tidak pernah memiliki kapasitas alamiah untuk menjadi kota. Tidak ada potensi ekonomi kota yang dapat digali. Oleh karena itu kota Padang Sidempoean tidak pernah menjadi gemeente. Namun ada perbedaan antara kota Jogjakarta dengan kota Padang Sidempoean. Di kota Padang Sidempoean terdapat kantor dewan. Bukan kantor dewan kota tetapi kantor dewan wilayah (gewest). Hal ini karena di luar kota Padang Sidempoean terdapat cukup banyak perkebunan. Lantas yang menimbulkan pertanyaan mengapa tidak terdapat (kantor) dewan wilayah di Jogjakarta. Disinilah duduk soal perbedaan antara kota Jogjakarta dengan kota Padang Sidempoean. Padahal wilayah di luar kota Jogjakarta terdapat banyak perkebunan, Lalu faktor apa yang menyebabkan suara-suara para pengusaha perkebunan tidak terbentuk dalam bentuk dewan di Jogjakarta? Boleh jadi hanya satu jawaban yakni masing-masing dari tiga stakeholder (pemerintah, kraton dan pengusaha) tidak ada yang mengambil inisiatif. Dengan kata lain dari tiga stakeholder di Djocjocarta (juga di Soeracarta) sama-sama merasa tidak memerlukan fungsi suatu dewan.

Hingga tahun 1921 di seluruh Hindia Belanda terdapat sebanyak 31 kota yang sudah berstatus gemeente (lihat lampiran di bawah). Masing-masing gemeente memiliki lembaga dewan kota (gemeenteraad). Dari daftar ini tidak terdapat nama kota Soeracarta dan nama kota Djocjocarta. Padahal dua kota ini terbilang dua kota tua.

Di seluruh Hindia Belanda terdapat sebanyak 53 wilayah yang memiliki dewan (raad) yang mana 31 wilayah merupakan gemeente. Uniknya, hanya satu wilayah yang setingkat onderafdeeling (kecamatan) yakni Onderfadeeling Angkola en Sipirok atau juga disebut Onderfadeeling Padang Sidempoean. Uniknya lagi, hanya di Onderafdeeling Padang Sidempoean satu-satunya dewan yang terbentuk di seluruh Residentie Tapanoeli. Lantas mengapa begitu? Satu-satunya jawaban: dari tiga stakeholder di wilayah Onderafdeeling Padang Sidempoean masing-masing merasa penting dan perlu dibentuk dewan. Ini seakan kota Jogjakarta dan kota Padang Sidempoean bertolak belakang dalam menyikapi perlunya pembentukan dewan. Disinilah duduk soal perbedaan antara kota Padang Sidempoean dengan kota Jogjakarta.   

Semua gemeente dipimpin oleh wali kota (Burgemeester), tetapi tidak semua gemeente memiliki wakil wali kota (Locoburgemeester). Hanya kota-kota besar yang memiliki locoburgemeester. Burgemeester dan Locoburgemeester semuanya orang Eropa/Belanda. Akan tetapi ada kekecualian untuk Kota Batavia dan Kota Padang. Di dua kota ini orang pribumi pernah menjadi Locoburgemeester. Di Kota Batavia pribumi yang pernah menjadi Locoburgemeester adalah MH Thamrin (tahun 1930-1931) sedangkan di Kota Padang adalah Dr. Abdul Hakim Nasution (1931-1942). Uniknya lagi kedua pribumi yang menjadi Locoburgemeester adalah besanan. Putra Dr. Abdul Hakim Nasution, Mr. Egon Hakim Nasution menikah dengan putri cantik MH Thamrin pada tahu 1935.

Dr. Abdul Hakim Nasution adalah teman sekelas Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo di Docter Djawa School (cikal bakal STOVIA) yang sama-sama lulus tahun 1905. Pada tahun 1930 di Gemeente Soerabaja terpilih satu diantaranya anggota dewan kota (gemeenteraad) yakni Dr. Radjamin Nasution (teman sekelas Dr. Soetomo di STOVIA). Masih pada tahun 1930 di Medan terpilih Abdul Hakim Harahap sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan. Abdul Hakim Harahap kelak menjadi Wakil Perdana Menteri RI di Jogjakarta (1950).

Last but not least. Mengapa di Onderfadeeling Angkola en Sipirok (Onderafdeeling Padang Sidempoean) yang merupakan satu-satunya di Hindia Belanda terdapat dewan pada tingkat kecamatan. Boleh jadi ini ada relasinya dengan banyaknya orang-orang Padang Sidempoean yang menjadi anggota dewan di berbagai tempat seperti Dr. Abdoel Hakim Nasution di Padang, Dr. Radjamin Nasution di Soerabaja dan Mr. Abdul Hakim Harahap di Medan.

Pada tahun 1916 mulai dirasakan perlunya dewan pusat, suatu dewan yang berkedudukan di Batavia. Namun fungsinya masih sangat terbatas, kira-kira mirip dengan pembentukan Fonds di Deli. Pada tahun 1918 semua gemeenteraad di Hindia Belanda ditingkatkan statusnya, para anggota tidak lagi penunjukan tetapi dilakukan melalui pemilihan. Lalu pada tahun 1927 untuk menjadi anggota Volksraad harus melalui pemilihan seperti yang telah dilakukan di level gemeenteraad. Pada pemilihan anggota Volksraad pada tahun 1930 jatah untuk pribumi sebanyak 17 orang yang mana 11 orang dari dapil di (pulau) Jawa. Untuk (pulau) Sumatra dibagi ke dalam empat dapil yakni Dapil West Sumatra, Dapil Zuid Sumatra, Dapil Oost Sumatra dan Dapil Tapanoeli/Atjeh. Masing-masing dapil hanya diwakili oleh satu orang. Yang terpilih untuk Dapil Tapanoeli/Atjeh adalah Dr. Alimoesa Harahap dan yang terpilih untuk Dapil Oost Sumatra adalah Mr. Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon. Alimoesa Harahap dan Mangaradja Soeangkoepon juga berasal dari Afdeeling Padang Sidempoean.  

Apakah pada era kemerdekaan Indonesia kota Jogjakarta sudah menjadi Kota (gemeente)? Dan, apakah sudah terbentuk dewan di Jogjakarta? Tentu saja dua fungsi pemerintahan kota tersebut sudah dibentuk.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Lampiran:
.


Jumlah Anggota Dewan Pribumi/timur asing (non-Eropa)
di Hindia Belanda, 1921
No
Nama Daerah
Bentuk administrasi
Jumlah anggota dewan pribumi
(non-Eropa)
1
Angkola en Sipirok
( afd. Padang Sidempoean)
Onder-afdeeling
23
2
Bandjermasin
Gemeente
12
3
Bandoeng
Gemeente
13
4
Bantam (Banten)
Gewest
12
5
Banjoemas
Gewest
13
6
Basoeki
Gewest
15
7
Batavia
Gemeente
17
8
Batavia
Gewest
22
9
Bindjei
Gemeente
6
10
Blitar
Gemeente
9
11
Buitenzorg (Bogor)
Gemeente
14
12
Cheribon (Cirebon)
Gemeente
7
13
Cheribon (Cirebon)
Gewest
16
14
Fort de Kock (Bukittinggi)
Gemeente
7
15
Kediri
Gemeente
9
16
Kediri
Gewest
19
17
Kedoe
Gewest
26
18
Komering Ilir
Gewest
17
19
Lematang Ilir
Gewest
17
20
Madioen
Gemeente
11
21
Madioen
Gewest
13
22
Madura
Gewest
12
23
Magelang
Gemeente
11
24
Makasser
Gemeente
12
25
Malang
Gemeente
12
26
Medan
Gemeente
10
27
Menado
Gemeente
9
28
Minahasa
Afdeeling
37
29
Mr. Cornelis (Jatinegara)
Gemeente
12
30
Modjokerto
Gemeente
8
31
Ogan Ilir
Gewest
23
32
Oostkust Sumatra
(Sumatra Timur)
Gewest
21
33
Padang
Gemeente
15
34
Padang Pandjang
Gewest
20
35
Palembang
Gemeente
12
36
Pasoeroean
Gemeente
9
37
Pasoeroean
Gewest
25
38
Pekalongan
Gemeente
12
39
Pekalongan
Gewest
11
40
Pematang Siantar
Gemeente
8
41
Preanger Regentschappen
Gewest
28
42
Probolinggo
Gemeente
12
43
Rembang
Gewest
16
44
Salatiga
Gemeente
8
45
Sawah Loento
Gemeente
5
46
Semarang
Gemeente
16
47
Semarang
Gewest
27
48
Soekaboemi
Gemeente
10
49
Soerabaja
Gemeente
19
50
Soerabaja
Gewest
24
51
Tandjong Balei
Gemeente
6
52
Tebing Tinggi
Gemeente
9
53
Tegal
Gemeente
10
Total
767
Catatan:
-Koefisien Pemilu adalah 50
-Gemeente=kota
-Gewest=Terdiri dari beberapa afdeeling
-Afdeeling=Terdiri dari beberapa onder-afdeeling
Sumber: De Preanger-bode, 01-02-1921
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar