Laman

Selasa, 24 Desember 2019

Sejarah Jakarta (67): Sejarah Pacenongan, Awalnya Bernama Moordenaarslaan (Gang Pembunuh); Pusat Percetakan Tempo Dulu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Di Jakarta, dekat Monas terdapat satu kawasan (area) yang disebut Pacenongan. Kawasan Pacenongan ini berpusat di Jalan Pacenongan. Dengan memperhatikan namanya, kawasan ini dapat dibilang sebagai kawasan tertua di Indonesia. Kawasan ini awalnya disebut kawasan para Pembunuh (Moordenaars), namun dalam perkembangannya diperhalus menjadi hanya Pacenongan. Apa arti pacenongan? Kita lihat nanti.

Javasche courant, 21-08-1841
Pada awal pemerintahan Hindia Belanda Jalan Pacenongan adalah batas wijk (kelurahan) yakni Wijk 19. Wijk 19 meliputi area yang dibatasi oleh kanal Riswijk di selatan, jalan Molenvliet di barat, jalan Prinsen di utara dan jalan Moordenaars di timur. Dengan memperhatikan peta masa kini, Wijk 19 ini termasuk kawasan Sawah Besar, kampong halaman Ridwan Saidi. Apakah Ridwan Saidi mengetahui riwayat ini?  

Tentu saja sejauh ini sejarah Pacenongan belum pernah ditulis. Oleh karena di Pacenongan tempo doeloe terdapat situs-situs penting dan kejadian-kejadian penting, maka oada ini hari perlu kiranya didokumentasikan kembali agar tidak gagal paham tentang Kawsan Pacenongan. Untuk memahami sejarah Paconangan lebih jauh, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Gang Patjenongan (Foto udara, 1943)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Moordenaarslaan dan Chinezenmoord, 1740

Kawasan Pacenongan pada masa ini, dulunya masih berupa jalan setapak (jalan kampong) antara kanal (kini jalan Juanda) dengan jalan Prinsenlaan (kini jalan Mangga Besar). Jalan setapak ini melintasi kebun-kebun dan sawah-sawah luas. Sawah yang luas itu diantaranya sawah besar (yang kini menjadi area/kawasan Sawah Besar. Jalan setapak ini belum terindentifikasi pada Peta 1740 (era VOC/Belanda). Jalan setapak ini paling tidak sudah terindentifikasi pada 1824 (era Pemerintah/Hindia Belanda).

Molenvlietlaan (kini jalan Hayam Wuruk/Gajah Mada) adalah jalan kuno yang sudah terbentuk sejak era Pakwan/Padjadjaran.Pasca serangan Metaram ke Kasteel Batavia tahun 1629 dibangun dua benteng terjauh ke arah hulu di sisi barat sungai Tjiliwong )fort Noordwijk) dan di sisi timur sungai Krokot (fort Riswjik). Pada tahun 1640 dibangun kanal untuk pengendali banjir di kota (Stad Batavia) antara dua benteng (kini kanal di sisi jalan Juanda). Pada tahun 1650an kanal dibangun dari fort Riswijk ke kota sejajar dengan jalan kuno yang kemudian disebut jalan Molenviliet. Kanal ini juga difungsikan untuk sumber irigasi (dalam pencetakan sawah baru). Jalan Prinsenlaan sendiri dibangun pada awal pendudukan Jacatra oleh VOC/Belanda (setelah 1619). Setelah terbentuknya jalan di sisi kanal (jalan Juanda sekarang) lalu kemudian muncul jalan setapak yang kelak disebut Gang Patjenongan. Wilayah sebelah selatan kanal kerap disebut wilayah Roswijk sedangkan wilayah sebelah sebelah utara sebagai wilayah Noordwijk. Rijswijk, 1775.

Pemerintah Hindia Belanda menggantikan VOC/Belanda pada tahun 1800. Para Gubernur Jenderal yang baru menganggap Batavia tidak lagi layak sebagai tempat pemerintahan. Gubernur Jenderal meninggalkan Stadhuis (Balai Kota Batavia) dan menyewa rumah seorang orang kaya di jalan Molenvliet sebagai rumah dan kantor Gubernur Jenderal (kini menjadi gedung Arsip Negara). Pada era Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811) mulai dipikirkan istana yang baru yakni dengan membeli istana peninggalan Gubernur Jenderal Parra di Weltevreden (kini RSPAD). Di kawasan ibu kota yang baru ini juga dibangun garnisun militer dan juga disediakan lapangan yang cukup luas yang disebut Waterlooplein (kini Lapangan Banteng). Sejak inilah jalan setapak yang berada di sisi kanal (jalan Juanda sekarang) ditingkatkan sebagai jalan post).

Setelah adanya jalan pos (Stad Batavia, Riswijk, Noordwijk dan Weltevreden) ini diduga muncul jalan perlintasn (yang baru( dari jalan Prinsenlaan ke Riswijk/Noordwijk. Jalan perlintasan ini melalui kebun-kebun dan sawah-sawah (yang kini menjadi kawasan Sawah Besar). Jalan setapak inilah yang diidentifikasi pada Peta 1824.  
\
Setelah terbentuknya jalan pos (ruas Riswijk/Noordwijk) dan jalan setapak (menuju Prinsenlaan), lambat laun jalan setapak tersebut ditingkatkan sebagai jalan alternatif yang kemudian disebut jalan Moordenaarslaan. Nama jalan ini paling tidak teridentifikasi pada tahun 1828 (lihat Javasche courant, 29-04-1828).

Kawasan Noordwijk dan Weltevreden perkembanganya sedikit melambat pada era pendudukan militer Inggrsi (1811-1816). Hal ini karena Letnan Gubernur Jenderal Inggris, Raffles lebih memilih ibu kota di Buitenzorg dan Semarang. Hal in boleh jadi istana di Weltevreden belum selesai dibanguun, sementara istana/villa di Buitenzorg sudah sejak lama eksis.  

Pasca pendudukan Inggris, jual beli tanah di Moordenaarslaan atau Gang Patjenongan juga semakin intens terjadi di jalan alternatif tersebut. Di jalan ini paling tidak diketahui keberadaan percetakan pemerintah, Lands Drukkerij (lihat Javasche courant, 29-10-1836). Dari nama-nama orang yang melakukan jual dan beli lahan di jalan Moordenaarslaan adalah orang-orang Eropa.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa namanya disebut Moordenaars (Para Pembunuh). Apa tidak ada nama lain? Apakah nama ini awalnya senagaja dibiarkan? Jika itu yang menjadi sebab, boleh jadi di gang tersebut sebelumnya bermukim gang/kelompok pembunuh. Nama itu digunakan atau disebut untuk maksud menakut-nakuti pihak lain.

Satu peristiwa terdekat di masa lalu yang terkait pembunuhan adalah kejadian pembantaian orang Cina oleh pemerintah/militer VOC Belanda pada tahun 1740. Kejadian yang mengerikan ini kerap disebut Chinezenmoord, 1740. Deskripsi kejadian yang diperkirakan telah mengakibatkan korban pembantaian sebanyak 10.000 dapat dibaca pada surat kabar Oprechte Haerlemsche courant edisi 15-07-1741 dan edisi 18-07-1741. Lantas apakah para pembunuh itu kemudian yang membangun tempat tinggal di area tersebut?

Bagaimana kejamnya pembunuhan tersebut terungkap kelak. Namun pada berita-berita yang dapat dibaca dalam Daghregister pada bulan Oktober 1740 tidak ada yang mengindikasikan pembunuhan (hanya pengepungan dan penembakan yang dikategorikan sebagai perang militer VOC melawan pemberontakan Cina). Pada tahun 1972 kasus pembunuhan ini terbongkor karena ditemukan bukti ketika pembangunan sebuah pusat perbelanjaan baru di Jakarta ditemukan kerangka ratusan Cina yang dieksekusi oleh tentara Belanda yang mana para korban dalam kondisi diborgol pada saat kematian mereka. Kerangka ratusan korban itu ditemukan di sebuah lubang yang dalamnya lima meter (lihat NRC, 29-09-1972).      

Setelah kembalinya Pemerintah Hindia Belanda berkuasa, area Riswijk dan Noordwijk kembali semarak. Hal ini karena Gubernur Jenderal van der Capellen (1816-1826) yang awalnya tinggal di Weltevreden (suatu kota yang dirintis oleh Gubernur Jenderal Daendels), namun dalam perkembangannya Capellen lebih memilih menyewa tempat tinggal di Rijswijk. Disamping itu memilih tinggal di Rijswijk memungkinkan terhubung dengan baik dengan hotel-hotel yang sudah ada di Molenvliet dan keberadaan Societeit Harmonie di Rijswijk. Rumah Gubernur Jenderal ini disebut Hotel van Zijne Excellentie den Heere Gouverneur Generaal. Boleh jadi karena itulah di gang Patjenongan didirikan percetakan negara Lands Drukkerij. Apakah karena faktor ini nama Moordenaarslaan berubah menjadi Patjenongan? Entahlah.

Yang jelas, rumah yang dimiliki oleh JA van Braam di Rijswijk yang disewa untuk tempat tinggal Gubernur Jenderal Capellen kemudian dibeli oleh Pemerintah. Lahan milik JA van Braam yang berada di belakang Hotel Gubernur Jenderal juga dibeli oleh Pemerintah. Hotel dan lahan yang menghadap Koningsplein itu kelak menjadi menarik bagi pemerintah untuk pengembangan lebih luas dengan membangun istana yang baru menghadap ke selatan. Meski demikian, acara-acara kenegaraan seperti peringatan yang terkait dengan raja tetap dipusatkan di Weltevreden. Pada masa ini kediaman GG menghadap ke utara dikenal sebagai Istana Negara, sedangkan gedung yang diabngun baru menghadap ke selatan (ke Koningsplein) dikenal sebagai Istana Merdeka.

Gang Patjenongan: Pusat Percetakan

Dalam perkembangannya nama jalan Moordenaarslaan adakalanya disebut Gang Patjenongan. Mengapa muncul nama buru Patjenongan tidak diketahui secara jelas. Yang jelas, nama Gang Patjenongan telah menggantikan jalan Moordenaars. Nama inilah yang digunakan seterusnya hingga ini hari.

Area Riswijk dan Noordwijk cepat berkembang. Lebih-lebih di persimpangan Riswijk telah didirikan gedung yang megah yaitu gedung klub sosial Societeit Harmonie. Area dua sisi kanal tersebut (area selatan Riswijk dan area utara Noordwijk) rumah-rumah Eropa/Belanda  semakin banyak, jumlahnya semakin banyak hingga bermunculan gang-gang baru. Gang Patjenongan sebagai gang yang sudah lama ramai makin ramai lagi. Satu gang baru yang terbentuk adalah gang yang kini dikenal sebagai jalan di sisi timur Istana Negara.

Ketika Gubernur Jenderal Capellen lebih memilih tinggal di Riswijk Istana Negara yang sekarang) Pemerintah telah memfungsikan eks Fort Rijswijk dijadikan sebagai markas kaveleri (tidak jauh dari Hotel/Istana Rijswijk yang berada tepat di seberang jalan gedung Societeit Harmonie). Lantas muncul pertanyaan apakah markas kavelery ini awalnya bermarkas di Moordenaarslaan, sebagai kavelery pembunuh? Entahlah. Kepindahan ke eks Fort Riswijk sebagai upaya menjauhkan militer dari lingkungan kediamanan GG?

Pada tahun 1818 Pemerintah Hindia Belanda mulai menata Koningsplein dengan meminta swasta untuk mengerjakannya sebagaimana diiklankan pada surat kabar Bataviasche courant, 11-07-1818. Dalam penataan ini, jalan kuno (sejak era Pakwan-Padjadjaran) di sisi timur lapangan digeser mengikuti tata ruang baru. Kereta dan pedati yang datang dari Buitenzorg akan mengikuti jalur yang akan dibangun. Setelah selesainya penataan Koningsplein, secara perlahan-lahan mulai bermunculan bangunan-bangunan di sisi luar jalan-jalan yang mengitari Koningsplein.

Gang Patjenongan, 1880
Dengan semakin intensnya pembangunan di sekitar area Koningsplein dan di area Weltevreden, secara spasial telah terintegrasi dan membentuk kawasan ibukota (stad) yang baru yang sangat luas (Rijswijk, Noordwijk, Weltevreden dan Koningsplein). Pusat ibukota tidak di Weltevreden, melainkan di Koningsplein. Stad (ibukota) Batavia yang jauh berada di dekat pantai yang dibangun sejak awal VOC dengan sendirinya telah menjadi kota tua (oud Batavia). Gang Patjenongan mendapat berkah dari situasi ini.

Percetakan Lands Drukkerij di Patjenongan dapat dipandang sebagai situs tua terpenting di Gang Patjenongan. Percetakan Lands Drukkerij ini turut mendampingi kehadiran Pemerintah Hindia Belanda untuk melanjutkan pemerintahan VOC. Namun Lands Drukkerij sempat disela oleh percetakan orang Inggris pada era pendudukan militer Inggris (1811-1816).   

Edisi perdana dari tiga surat kabar pertama
Sejak kapan Lands Drukkerij didirikan di Batavia tidak begitu jelas. s’Land Drukkerij, suatu percetakan swasta adalah percetakan yang sudah lama eksis di Belanda (‘Gravenhaag, kini Den Haag) Boleh jadi Lands Drukkerij di Batavia adalah salah satu cabangnya. Percetakan negara di Belanda adalah Koninklijke Staats Drukkerij. Keberadaan ‘s Land Drukkerij di Batavia paling tidak diketahui sudah eksis pada tahun 1810 (era Gubernur Jenderal Daendels). s’Land Drukkerij adalah percetakan yang menerbitkan surat kabar pertama di era Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, Bataviasche Koloniale Courant (lihat Bataviasche koloniale courant, 02-02-1810), Percetakan ini juga melayani kebutuhan barang cetakan pemerintah. Sementara surat kabar Bataviasche koloniale courant oplahnya baru terbatas hingga di Semarang dan Sourabaja. s’Land Drukkerij juga memiliki toko buku sebagaimana diiklankan pada surat kabar Bataviasche koloniale courant, 20-04-1810. Sejarah awal kehadiran percetakan ini di Batavia lihat Bataviasche koloniale courant, 23-11-1810. Namun tidak lama kemudian terjadi pendudukan militer Inggris tahun 1811. Surat kabar berbahasa Belanda Bataviasche koloniale courant digantikan oleh surat kabar berbahasa Inggris Java government gazette (yang diterbitkan oleh A.H. Hubbard di Molenvliet). Pada tahun 1816 Pemerintah Hindia Belanda kembali berkuasa. Surat kabar baru berbahasa Belanda di Batavia terbit dengan nama Bataviasche courant, edisi pertama 20-08-1816. Surat kabar ini diterbirkan oleh s’Land Drukkerij.

Percetakan Lands Drukkerij kembali eksis di Batavia pada tahun 1816 dengan menerbitkan surat kabar baru Bataviasche courant. Percetakan orang Inggris diketahui berada di Molenvliet tetapi percetakan Lands Drukkerij yang dimiliki oleh orang Belanda tidak diketahui secara jelas dimana kantornya. Yang jelas sejak 1817 Lands Drukkerij yang menerbitkan surat kabar Bataviasche courant diketahui telah menerbitkan buku Almanak 1817 (lihat Bataviasche courant, 05-04-1817).

Seperti telah disebutkan di atas, Lands Drukkerij beralamat di Patjenongan (paling tidak berdasarkan informasi tahun 1836). Besar dugaan Lands Drukkerij telah beralamat setelah 1817 dan sebelum tahun 1836. Hal ini sehubungan dengan ibu kota secara permanen pindah ke Weltevreden/Koningsplein. Gang Petjenongan tetap berada di seberang jalan/kanal istana/rumah Gubernur Jenderal. Percetakan ini terkesan bersifat monopoli atau suatu badan satu-satunya yang diduga diizinkan oleh pemerintah. Percetakan ini telah menjadi milik pemerintah (Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad, 11-02-1859).

Dalam perkembangannya Lands Drukkerij menerbitkan surat kabar baru dengan nama Javasche courant dengan edisi kedua tanggal 3 Januari 1828. Sebagaimana diebutkan pada halaman terakhir diterbitkan Lands Drukkerij, logo logo surat kabar terlihat tidak berubah. Ini dengan sendiirinya Javasche courant hanya menggantikan nama lama Bataviasche courant. Boleh jadi perubahan nama ini untuk memperluas pemasaran, tidak hanya terbatas di Batavia tetapi juga seluruh Jawa.

Direktur perusahaan Lands Drukkerij diketahui bernama Jacob Eduard de Meijieir. Sang pionir percetakan di Batavia dan Semarang ini dikabarkan telah meninggal dunia di Malang pada tanggal 8 April 1859 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-05-1859). Catatan: Surat kabar Java Bode terbit kali pertama tanggal 5 Januari 1853 di bawah pimpinan W Bruning. Javasche courant sendiri terakhir terbit pada tahun 1849 yang kemudian muncul surat kabar baru di Semarang yang diberi nama Samarangsch advertentie-blad (terbit sejak Januari 1850). Penerbit surat kabar di Semarang ini adalah De Groot. Kemudian pada 1863 surat kabar ini digantikan dengan nama De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad di bawah penerbit D Groot, Kolff en Co.

Berakhirnya surat kabar Javasche courant tahun 1849 diduga menjadi awal dari pengakuisisian percetakan Lands Drukkerij oleh pemerintah. Ketiadaan surat kabar di Batavia memicu munculnya surat kabar baru yakni Java Bode yang terbit pertama kali di Batavia pada tanggal 5 Januari 1853 di bawah pimpinan W Bruning (yang kemudian diakuisisi oleh HM van  Dorp en Co.)..

Peta 1890
Pada tahun 1885 Kolff & Co. menerbitkan surat kabar Bataviaasch nieuwsblad di Batavia. Surat kabar ini menjadi pesaing untuk Java Bode. Perusahaan G Koolf en Co beralamat di Pasar Pisang. Peta 1890 dan Peta 1897

Dalam perkembangannya percetakan pemerintah, Lands Drukkerij relokasi dari Patjenongan ke Struiswijk (kini Salemba). Sementara di Patjenongan sendiri sudah sejak lama berkembang sebagai kawasan industri percetakan. Salah satu pengusaha percetakan di Patjenongan adalah seorang Tionghoa bernama Louis Zecha. Pada tahun 1899 Zecha telah membuka percetakan baru di Soekaboemi dengan nama Soekaboemische snelpersdrukkerij (lihat De Preanger-bode, 25-11-1899).

Pada Peta 1890 di jalan Patjenongan terdapat nama salah satu gang yang disebut gang Zecha. Besar dugaan nama gang tersebut disebut Zecha karena area tersebut merupakan tempat tinggal Louis Zecha. Nama Zecha telah ditabalkan menjadi nama marga baru untuk keturunannya. Nama Zecha mirip Sech atau Secha untuk nama panggilan/gelar bagi orang Arab yang laki-laki dan perempuan. Dalam perkembangannya keluar Zecha di Soekaboemi telah menjadi konglomerat. Jalan Zecha di Pacenongan kini bernama jalan Pintu Air 2.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Naskah Patjenongan

Tunggu deskripsi lengkapnya



*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar