*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Siapa Gondowinoto? Sudah ada yang menulis narasi sejarahnya. Semua narasi yang ada tampaknya mengacu pada buku Poeze. Okelah utu juga berguna. Lantas mengapa narasi sejarah Gondowinoto yang disebut sarjana hukum (Mr) Indonesia harus ditulis lagi, Sejauh data baru ditemukan, narasi sejarah tetap harus ditulis. Semakin banyak data yang tersedia semakin lengkap penulisan narasi sejarah. Sejarah sendiri adalah narasi fakta dan data.
Lantas bagaimana sejarah Gondowinoto? Seperti disebut di atas, Gondowinoto studi hukum di Belanda dan dianggap sebagai pribumi pertama sarjana hukum (Mr). Lalu bagaimana sejarah Gondowinoto? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Pahlawan Indonesia dan Gondowinoto: Studi Hukum di Belanda
Setelah lulus sekolah dasar berbahasa Belanda (ELS), Gondowinoto melanjutkan sekolah menengah (HBS). Pada tahun 1902 Gondowinoto lulus ujian masuk di HBS Semarang (lihat Soerabaijasch handelsblad, 03-05-1902). Pada tahun 1903 Gondowinoto lulus ujian transisi naik dari kelas satu ke kelas dua di HBS Semarang (lihat De locomotief, 04-05-1903). Yang sama satu kelas dengan Raden Mas Gondowinoto antara lain Raden Slamet dan RM Manoerijo. Di atas mereka satu tahun (naik ke kelas tiga) antara lain RM Notosoeroto, RM Aboesono, Raden Achmat dan Raden Soedjono. Yang naik ke kelas empat antara laon Raden Noer Singgih dan RM Moeliono. Pada kelas tertinggi naik ke kelas lima tidak ada nama non Eropa/Belanda.
Pada tahun 1903 Dr AA Fokker akan menerbitkan majalah dwi mingguan di Belanda yang diberi nama Biintang Hindia. Untuk mendukung rencana tersebut, AA Fokker bekerjasama dengan Dja Endar Moeda, pemimpin surat kabar Pertja Barat di Padang. Dalam hubungan ini, Dja Endar Moeda juga merekomendasikan Abdoel Rivai. Dalam kunjungan Dja Endar Moeda pada tahun 1903 ini ke Belanda, membawa dua guru untuk membantu Bintang Hindia yakni Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan dan Djamaloedin. Soetan Casajangan adalah guru di Padang Sidempoean yang juga merupakan adik kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean. Sedangkan Djamaloedin adalah guru muda lulusan Kweekschool Fort de Kock yang selama ini membantu Dja Endar Moeda sebagai editor pada majalah Insulinden yang terbit di Padang. Pada awal tahun 1905 Soetan Casajangan pulang ke ke tanah air sehubungan dengan rencananya untuk melanjutkan studi di Belanda. Soetan Casajangan berangkat kembali ke Belanda pada bulan Juli 1905. Pada akhir tahun 1905 Soetan Casajangan menulis artikel yang dimuat di Bintang Hindia yang berisi tentang ajakan studi ke Belanda yang disertai tip persiapan di tanah air, selama pelayaran dan selama studi. Soetan Casajangan juga menginformasikan perguruan tinggio yang dapat dipilih oleh siswa asal Hindia.
Pada tahun 1904 RM Gondowinoto nak dari kelas dua ke kelas tiga (lihat De locomotief, 26-04-1904). Raden Slamet dan RM Manoerijo juga naik ke kelas tiga. Di bawah mereka satu tahun yang naik ke kelas dua antara lain RM Soegdjarto, Raden Simbardjo, Jap Hong Tjoen, RM Soemito, Raden Soebiakto, RM Soehoed, RM Notodiningrat, RM Soerjopoetro dan Be Tiat Tjong. Pada tahun 1905 RM Gondowinoto lulus ujian naik ke kelas empat (lihat De Preanger-bode, 27-04-1905). Yang sama-sama naik kelas empat antara lain RM Moenarjo dan Raden Achmat. Yang lulus pada kelas terendah naik ke kelas dua antara lain RM Oetarjo.RM Alibazah dan Be Soen Tjong. Pada kelas tertinggi naik ke kelas lima RM Notosoeoroto, Jap Soen Tjong dan RM Soedjono.
Pada tahun 1906 Raden Mas Notosoeroto lulus ujian akhir di HBS Semarang (lihat De locomotief, 21-05-1906). RM Notosoerorto adalah saudara RM Gondowinoto, putra RMA Notodirpdjo (kerabat Pakoealaman). Pada bulan Juli R< Notosoeroto berangkan ke Belanda (lihat De locomotief, 20-07-1906). Disebitkan kapal ss Ophir berangkat dari Semarang dengan tujuan akhir Nederland. Hanya Notosoeroto dengan nama non Eropa/Belanda dan sebagian besar penunpang adalah militer. Sebagaimana diketahui RMA Notodirodjo adalah pensiunan militer dengan pangkat terakhir Majoor. Sementara itu satu putra Notodirodjo sudah ada yang studi di Belanda, berangkat tahun 1905.
Pada tahun 1907 RM Gondowinoto lulus ujian akhir di HBS Semarang (lihat De locomotief, 04-06-1907). Yang sama-sama lulus di HBS Semarang antara lain RM Moenarijo dan RM Soedjono. Sementara yang lulus di Batavia antara lain Mas Doeta Koesoemoningrat. Sedangkan di Soerabaja hanya satu siswa yang lulus. Dalam hal ini RM Gondowonoto lancar dalam studi (tidak pernah ketinggalan kelas). Lalu Gondowinoto melanjutkan studi ke Belanda.
Seperti halnya saudara-saudaranya langsung berangkat ke Belanda. RM Gondowinoto berangkat 29 Agustus dengan kapal ss Vondel dari Batavia dengan tujuan akhir Nederland (lihat Sumatra-bode, 26-08-1907). Kapal ss Vondel singgah tanggal 22 September di Genua (lihat Het vaderland, 25-09-1907). Yang satu kapal antara lain A Baadilla. Pada tahun 1908 satu lagi putra Notodirodjo yang lulus ujian HBS Semarang adan berangkat ke Belanda adalah RM Notodiningrat. RM Notodiningrat lulus di HBS Semarang (lihat De locomotief, 03-06-1908) dan berangkat dari Batavia dengan kapal ss Willis 23 Juli dari Semarang dengan tujuan akhir Nederland (lihat De locomotief, 20-07-1908). Yang juga dalam satu kapal antara lain RM Oetarjo dengan sebagian besar penumpang adalah militer. Kapal telah singgah di Marseille tanggal 16 Agustus (lihat Haagsche courant, 20-08-1908).
Dimana RM Gondowinoto studi berlum diketahui. Hal ini karena harus memenuhi syarat dengan lulus ujian nasional masuk perguruan tinggi (semacam UMPTN pada masa ini). Yang jelas Gondowinoto bersaudara sudah ada empat orang, putra Majoor tituler RMA Notodirodjo di Belanda,
RM Gondowinoto studi hukum di Leiden bersama Notosoeroto sedangkan Notodingrat di Technische Hoogeschoool di Delft (lihat De nieuwe courant, 17-12-1910). Dalam berita ini juga disebutkan ketiganya telah mengajukan diri untuk militer cadangan di tentara Belanda. Pada tahun 1911 permohonan itu masih dipertimbangkan di Tweede Kamer (lihat De Maasbode, 29-06-1911). Pada tahun 1912 RM Gondowinoto lulus ujian kandidat di Leiden (lihat Het vaderland, 19-06-1912). Sementara saudara tertua mereka, Notokworo studi kedokteran di Amsterdam.
Pada tahun 1911 salah satu siswa sekolah guru di Jogjakarta Sjamsi Sastra Widagda dikirim pengrus Boedi Oetomo untuk melanjutkan studi di Belanda. Sjamsi Sastra Widagda dititipkan kepada Soetan Casajangan dan mengawasinya pendidiknya di Haarlem. Pada rapat tahunan Boedi Oetomo yang diadakan di Jogjakarta tahun 1912 pengurus mendapat serangan pertanyaan setelah ketua Notokoesoemo berbicara yang intinya apa yang telah bisa diperbuat para pengurus. Notokoesoemo menjawab untuk menjalankan program peningkatan guru telah dilakukan penerbitan majalah Goeroe Desa dan pengiriman siswa sekolah guru melanjutkan studi ke Belanda. Pada hari kedua pertemuan Notokoesoemo tidak hadir tetapi menimpikan surat. Lalu surat dibaca yang menyatakan Notokoesoemo mengundurkan diri. Lalu pengurus yang lain mengundurkan diri (padahal masih tersisa dua tahun lagi masa kepengurusan). Lalu muncul mosi untuk pemilihan pengurus baru. Dalam pemilihan ketua terpilih RMA Notodirodjo (ayah dari Gondowinoto bersaudara). Lalu bagaimana nasib Sjamsi Sastra Widagda? Soetan Casajangan sendiri pada tahun 1911 lulus ujian mendapat akata guru MO (sarjana pendidikan, setara lulusan IKIP pada masa ini). Pada tahun 1911 ini Soetan Casajangan diangkat sebagai guru bahasa Melayu di Handelsschool di Amsterdam. Saat inilah Soetan Casajangan, mantan ketua Indische Vereeniging yang pertama berininisiatif bersama Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepan membentuk studiefond. Dana yang terkumpul tumbuh dan cepat berkembang. Pada saat Soetan Casajangan akan kembali ke tanah air karena telah diangkat sebagai direktur sekolah guru di Fort de Kock, dalam pertemuan Indische Vereeniging, Soetan Casajangan menitipkan pesan agara alokasi dana studiefond porsinya lebih banyak untuk mahaiswa yang mengambil studi keguruan karena peningkatan pendidikan pribumi di Hindia masih diperlukan. Namun dalam pertemuan itu Notosoeroto keberatan, dan sebaliknya lebih ditujukan kepada mahasiswa yang akan mengambil kedokteran, teknik dan hukum. Tampaknya cara pandang Soetan Casajangan berbeda dengan cara pandang Notosoeroto. Memang Soetan Casajangan berhak meminta alokasi itu karena studiefond adalah inisiatifnya. Lalu bagaimana nasib Sjamsi Sastra Widagda?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Mr Gondowinoto: Pribumi Bergelar Doktor Hukum
RM Gondowinoto lulus ujian akhir dan mendapat gelar sarjana hukum (Mr) di Leiden pada tahun 1918 (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 03-07-1918). Disebutkan RM Gondowinoto berasal dari Soerabaja. RM Gondowinoto tidak segera pulang ke tanah air. Sebagaimana disebut di atas, Gondowinoto sudah berada di Belanda (Leiden) sejak 1907 (dan belum pernah pulang). Gondowinoto masih melanjutkan studi ke tingkat doktoral untuk meraih gelar doktor (Ph.D).
Pribumi yang studi di Belanda yang sudah meraih gelar doktor di Belanda, yang pertama adalah Raden Hoesein Djajadiningrat pada tahun 1913. Seperti disebut di atas, Hoesein Djajadiningrat, lulus HBS di Batavia tiba di Belanda tahun 1906. Dr Abdoel Rivai juga disebut telah meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Gent (Belgia).
Mr RM Gondowinoto berhasil mempertahankan desertasi dan meraih gelar doktor di bidang hukum pada tahun 1919 (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 21-02-1919). Disebutkan dipromosikan menjadi doktor dengan tesis RM Gondowinoto lahir di Jogjakarta. Ini menambah jumlah pribumi studi di Belanda yang meraih gelar doktor.
Sementara semakin banyak yang meraih gelar sarjana hukum (Mr) di Belanda, jumlag pribumi yang studi di Belanda juga semakin banyak yang meraih gelar doktor di bidang hukum. Gondokoesoemo, lulusan Rechtschoool Batavia yang kemudian melanjutkan studi ke Belanda tahun 1920 meraih gelar doktor di bidang hukum pada tahun 19222 (lihat De standaard, 29-06-1922). Gondokoesoemo lahir di Blora dengan desertasi ‘Vernietiging van Dorpsbesluiten in Indie’. Pada bulan Februari di Leiden lulus ujian sarjana hukum, RM Koesoemah Admadja lahir di Pekalongan (lihat De Maasbode, 25-02-1922). Yang lulus juga ujian sarjana hukum pada tahun 1922 adalah R Oerip Kartodirdjo dari Madioen; R Moekiman dari Keboemen; M Besar dari Pekalongan; M Soemardi dari Rembang; R Sastromoeljono dari Pati; dan R Pandji Singgih dari Pasoeroen (lihat De Preanger-bode, 22-01-1923). Dalam berita ini juga disebut R Soegondo dari Rembang promosi bersama Koesoemah Admadja. Pada bulan Juni 1923 Koesoemah Admadja meraih gelar doktor di bidang hukum (lihat De avondpost, 30-06-1923). Dalam berita ini juga disebut Mr Raden Pandji Singgih berhasil meraih gelar doktor di bidang hukum. Pada tahun 1925 yang meraih gelar doktor di bidang hukum adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Bioemi kelahiran Batang Toroe, Padang Sidempoean (lihat Algemeen Handelsblad, 30-05-1925) dan R Soebroto, kelahiran Pasoeroean (lihat De Maasbode, 25-09-1925).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar