Laman

Selasa, 19 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (721): Politik Rasial Era Kolonial, Benarkah? Federasi Malaysia Mewariskan Isu Politik Rasial?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Politik rasial adalah isu internasional sejak masa lampau. Terutama sejak era kolonial. Bagaimana politik rasial itu terjadi. Itu satu hal. Apakah politik rasial benar-benar ada pada era kolonial di Asia Tenggara. Jika ada apakah di negara Federasi Malaysia masih mewariskan politik rasial?


Politik rasial adalah praktik para aktor politik yang mengeksplotasi masalah ras untuk memajukan sebuah agenda. Di Malaysia, politikus Malaysia, Chang Ko Youn berkata "Malaysia telah mempraktikkan politik rasial selama 51 tahun dan kami tahu itu bersifat memecah belah karena setiap partai hanya berbicara atas nama kelompok rasial yang diwakili... Saat seluruh ras berada dalam sebuah partai tunggal, tak ada seorangpun yang akan berupaya untuk menjadi pahlawan partai.... Lebih mudah untuk menjadi pahlawan Melayu, pahlawan Tionghoa Malaysia atau pahlawan India Malaysia, sulit menjadi pahlawan Malaysia.... Negara ini sekarang menghadapi masalah-masalah ekonomi dan kini penting bagi pemerintah dan partai-partai politik untuk merumuskan sebuah agenda Malaysia tentang bagaimana cara menyatukan rakyat dan menghadapi tantangan-tantangan tersebut. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah politik rasial di Asia Tenggara era kolonial, benarkah? Seperti disebut di atas, banyak orang berasumsi bahwa di negara Malaysia masih ada politik rasial. Politik rasial ini disebutkan terjadi pada era kolonial. Lalu bagaimana sejarah politik rasial di Asia Tenggara era kolonial, benarkah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Politik Rasial di Asia Tenggara Era Kolonial, Benarkah? Federasi Malaysia Mewariskan Politik Rasial?

Apa itu politik rasial? Pada masa ini kerap muncul kritik parea rasis.  Para penonton sepak bola attau pemain sepakbola sendiri bisa bersikap rasis. Karena itu muncul slogan dengan memasuk spanduk ‘no racism’ di lapangan sepak bola. Lalu apakah permasalahan sosial di Amerika Serikat juga adalah soal politik rasis? Contoh politik rasis yang kerap dihubungkan adalah praktek rasis di Afrika Selatan (Apartjeid). Nah, apakah di Asia Tenggara terjadi politik rasial? Apakah tuduhan dari sepihak ada politik rasial di Malaysia? Bagaimana dengan di Indopesia?


Jika memperhatikan sejarah, terutama sejak era kolonial, politik rasial di Afrtika Selatan dapat dikatakan adalah sisa poliyik rasial dari era kolonial yang paling mencolok diantara negara-negara di dunia pada dekade-dekade terakhir. Jika itu yang digambarkan sebagai politik rasial, berarti itu pernah berlaku di Indonesia pada era kolonial tetap tidak lagi setelah era kemerdeakaan Indonesia 1945. Nah, lalu bagaimana di Malaysia? Apakah masih politik rasial masih tersisa? Apakah ada tanda-tanda yang tersisa praktek politik rasial yang tersisa?

Politik rasial, pada dasarnya baru kasat mata terjadi sejak kehadiran orang Eropa di wilayah lain muka bumi termasuk di Hindia Timur. Namun itu masih sebatas rasialism seperti halnya dilapangan sepak bola pada hari ini. Politik rasial baru tampak nyata pada era pemerintahan kolonial yang di Indonesia (baca: Hindia Belanda) bermula tahun 1800 (dan di Malaysia pada tahun 1819. Pada masa itu dapat diperhatikan pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan kerajaan (seperti Inggris dan Belanda) dan tanah jajahan (Hindia Belanda; dan Hindia Inggris) yang mana dalam pasal-pasal tertentu dibedakan secara hukum antara orang Eropa di satu sisi dan orang pribumi di sisi lain (diantara keduanya dibedakan golongan Asia Lainnya).


Pada awal pembentukan sistem pemerintahan di Hindia Belanda, kedudukan Gubernur Jenderal adalah hub bagi Menteri Koloni di wilayah jajahan. Gubernur Jenderal (Hindia Belanda) adalah pimpinan tertinggi di wilayah (negara) jajahan. Pada level yang lebih rendah gubernur/residen susunan pemerintahan masih kombinasi. Artinya dalam susunan pemerintahan, gubernur/residen dalam memerintah masih dibandtu oleh orang Eropa, orang pribumi (dan adakalanya ditambahkan pimpinan komunitas Asia Lainnya). Kombinasi ini tidak hanya pada sistem eksekutif tetapi juga dalam sistem yudikatif. Untuk urusan fungsinal lainnya yang memerlukan keahlian khusus seperti militer dan bidang pembangunan seperti pendidikan, kesehatan dan pertanian ditangani oleh orang-orang Eropa/Belanda. Sturuktut kombinasi ini juga berlaku untuk tingkat pemerintahan yang lebih rendah Asisten Residen (Afdeeeling) dan Controleur (Onderafdeeling). Namun hal itu tampak berbeda di wilayah jajahan Inggris seperti do Semenanjung Malaya (The Strait Settlement).

Dalam perkembangannya, struktur kombinasi pemerintahan tersebut secara perlahan dihapus mulai dari tingkat atas gubernur/residen, tetapi tidak pada semua wilayah. Pada wilayah-wilayah tertentu yang memiliki pemimpin/sistem pemerintahan yang terbilang kuat masih disertakan. Boleh jadi hal itu berlaku karena di satu sisi para pemimpin pribumi dianggap lemah atau tidak efektif lagi dan di sisi lain masih ada pemimpin pribumi yang dibutuhkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya sistem pemerintahan mulai dipisahkan dimana di satu sisi terbentuk stuktur pemerintahan Eropa/Belanda, dan para raja/sultan diakui dengan pejanjian-perjanjian (pendek/panjang). Daftar para raja/sultan yang masih diakui dapat dilihat pada Almanak 1870. Sejak saat inilah diduga praktek politik rasial mulai efektif diberlakukan yang mana secara hukum dipisahkan orang Eropa/Belanda. Orang Timur Asing dan orang pribumi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Federasi Malaysia Mewariskan Politik Rasial? Apakah Ada Hubungannya dengan Kolonial?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar