Laman

Sabtu, 10 Desember 2022

Sejarah Madura (28): Zending di Madura, Apa Orang Madura Harus Islam? Zending di Tapanuli, Tidak Semua Orang Batak Islam


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini   

Pada era Pemerintah Hindia Belanda terbentu slogan orang Melayu adalah Islam, orang Minangkabau adalah Islam. Di wilayah Semenanjung Malaya sebaliknya semua orang beragama Islam adalah Melayu. Slogan ini tidak muncul di Jawa, di Sunda dan di Tapanuli. Bagaimana dengan di Bali? Seperti halnya di Tanah Melayu, apakah orang Madura harus Islam? Itu adalah satu hal. Dalam hal ini kita sedang mendeskripsikan (kegitan) zending di Tanah Madura. Agama adalah satu hal dan afiliasi kultural (etnik/suku) adalah hal lain lagi.


Kegiatan zending di Madura berawal abad ke-19 seorang penduduk pulau Jawa keturunan Madura, Tosari menjadi Kristen (1843). Tosari coba menyebarkan Kristen ke Madura, namun orang Madura tidak menerimanya. Beberapa tahun kemudian ia dijunjung tinggi sebagai salah seorang pendekar gereja Jawa, dengan nama kehormatan Kiyai Paulus Tosari. Salah seorang utusan misionaris dari negeri Belanda yang beroperasi di Jawa Timur pada masa Paulus Tosari adalah Samuel Harthoorn. Pada tahun 1864 Harthoorn dan istrinya mulai menetap di Pamekasan di Madura. Selama empat tahun di Madura usahanya gagal dan terhenti setelah terjadi tragedi tahun 1868. Ketika Pendeta Harthoorn sedang keluar kota, segerombolan orang Madura di Pamekasan mengepung rumahnya dan membunuh istrinya. Setelah peristiwa yang begitu mengerikan itu, Harthoorn hengkang membawa trauma dan dukanya meninggalkan Madura selama-lamanya. Selanjutnyua datang JP Esser, pendeta muda yang pandai, belajar teologia dan memperdalam bahasa Madura sampai mencapai gelar doctor dan memasuki pulau Madura 1880. Misinya gagal, dan menetap di Bondowoso, lalu pindah ke Sumberpakem, yang penduduknya banyak suku Madura dan Dr Esser membabtis seorang Madura, Ebing 23 Juli 1882. Dialah orang Madura pertama yang memeluk agama Kristen.  Pada tahun 1886, Dr. Esser menyelesaikan terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Madura namun tidak terbit karena Esser meninggal umur 37 tahun. Pada tahun 1889, seorang pendeta muda H van der Spiegel, berangkat ke Jawa Timur untuk meneruskan misi mendiang Esser yang kemudian sebuah tragedi terjadi di Madura, gereja Ebing dibakar massa. Lalu seorang rekan sekerja Spiegel, pendeta F Shelfhorst sejak tahun 1912 dan keluarganya tinggal di Kangean Madura. Usaha Shelfhorst gagal. Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Madura baru selesai 1994 oleh Cicilia Jeanne d’Arc Hasaniah Waluyo, dengan judul “Alketab E Dhalem Basa Madura (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah zending di Madura, apakah orang Madura harus Islam? Seperti disebut di atas kegiatan zending pernah di pulau Madura, tetapi dapat dikatakan terbilang gagal. Apakah ini juga karena ada slogan seperti di tempat lain, orang Madura harus Islam? Sementara itu zending di Tapanuli dapat dikatakan terbilang berhasil dan itu menyebabkan tidak semua orang Batak beragama Islam. Lalu bagaimana sejarah zending di Madura, apakah orang Madura harus Islam? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Zending di Madura, Apakah Orang Madura Harus Islam? Zending di Tapanuli, Tidak Semua Orang Batak Islam

Sejarah tetaplah sejarah. Sebagaimana sejarah Hindoe Boedha dan Islam, sejarah Kristen juga bagian sejarah di Indonesia sejak era Portugis hingga era Pemerintah Hindia Belanda. Sejarah kekeristenan (Katolik) era Portugis masih terbatas di Maluku (Amboina), Timot-Flores (Solor) dan pantai timur Jawa (Balambangan/Banjoewangi). Pada era VOC, sejarah Kristen antara lain di Batavia dan di Depok serta di Minahasa/Manado (perluasan dari Amboina). Sejarah Kristen (Protestan) di Depok terbilang (salah satu) yang terawal, yang kemudian pada era Pemerintah Hindia Belanda meluas hingga ke sejumlah wilayah seperti Minahasa (menggantikan Katolik) dan pantai barat Sumatra dan Borneo (tentu saja di Jawa sendiri).

Sejarah Islam mengikuti sejarah Hindoe Boedha. Penyebaran agama Islam di Indonesia, keberadaan agama Islam di Indonesia bermula di Baroes pada abad ke-7. Itu terjadi pada zaman kenabian (awal Hijrah) sebagaimana ditemukan prasasti/batu nisan di Baroes yang berasal dari tahun-tahun awal Hijrah tersebut. Pada saat yang sama (di Baroes), Islam juga di Canton (pantai timur Tiongkok) dimana juga terdapat perkampongan Islam di tiga kampong (sumber catatan Tiongkok). Canton saat itu adalah jalur navigasi pelayaran perdagangan Arab terjauh, yang diduga kuat Baroes sebagai pelabuhan transit. Dalam hal keberadaan Islam di Indonesia yang kali pertama di Tanah Batak, yang dalam hal ini orang Batak diduga kuat adalah yang pertama masuk Islam di Nusantara. Sebagaimana Canton, Baroes juga pada saat itu adalah kota metropolitan, kota pelabuhan orang Batak yang dapat mengakses ke pedalaman melalui dua jalut (jalur ke Silindoeng/Toba dan jalur ke Angkola/Mandailing). Keberadaan Baroes sendiri sudah dikenal di Eropa pada abad ke-2 sebagaimana dalam catatan geografi Ptolomeus dimana disebutkan kamper diimpor dari Sumatra bagian utara. Ini diduga bersesuaian dengan peta Prolomeus (peta Aurea Chersonesus) dimana bagian barat daya pulau Sumatra diidentifikasi nama kota Tacola (yang diduga nama Angkola pada masa ini). Dalam catatan Eropa pada abad ke-5 disebut secara eksplit nama Baroes yang menjadi pelabuhan ekspor kamper. Peta dan catatan Eropa inilah kemudian berlanjut hingga kehadiran pedagang-pedagangan Arab di Baroe pada abad ke-7 (zaman kenabian).

Sejarah Kristen pada era Pemerintah Hindia Belanda (Protestan) semakin intens terutama di wilayah timur Hindia (Maluku dan Manado/Minahasa) dan di wilayah barat Hindia (pantai barat Sumatra). Di wilayah Manado/Minahasa yang berpusat di Amboina pada awal tahun 1830an semakin meluas ke barat di Bolaang dan ke utara (Sangir Talaud) yang diperankan oleh BNJ Roskott (beberapa kampong yang awalnya Katolik/Amboina/Portugis beralih Protestan/Amboina/Belanda). Era Roskott ini kira-kira sejaman dengan upaya penyebaran Kristen di pantai barat Sumatra (terutama di Bengkulu, Padang dan Teluk Tapanoeli).


Penyebaran Kristen pada era VOC tidak terinformasikan di pantai barat Sumatra. Sejarah Kristen di pantai barat Sumatra baru muncul pada era pendudukan Inggris (sebelum berakhirnya Inggris di Bengkulu tahun 1824, Traktat London). Dua pendeta Inggris Richard Burton, pendeta Nathaniel Ward dan pendeta Evans memasuki wilayah Batak di Silindoeng dan mendapat penolakan. Lalu kemudian disusul pendeta Amerika Munson dan Lyman yang harus menemui kematian mereka. Sebaliknya, pada saat yang bersamaan pendeta Inggris Verhouven merintis di wilayah Mandailing yang kemudian atas persetujuan raja Radja Mangatas Lubis dibangun gereja tahun 1834 di kampong Hoeta Barhot di district Pakantan. Dalam hal ini terbilang sukses pertama kekeristinan di pantai barat Sumatra. Namun pengaruh gereja Pakantan ini tidak meluas karena sejatinya berada di wilayah Mandailing yang sudah sejak lama beragama Islam. Lalu bagaimana dengan di Silindung dan Toba? Seperti kita lihat nanti, itu bermula dari wilayah Angkola. Seperti di Mandailing, kekeristenan juag kurang berhasil di Angkola yang sudah beragama Islam. Hal itulah pada fase awal ini orang Batak tidak semua beragama Islam.

Lantas bagaimana dengan di pulau Madura? Sejarahnya bermula di Jawa dengan origin di Depok (Protestan yang sudah eksis sejak era VOC/Belanda sejak 1714). Pada tahun 1840 seorang misionaris Nederlandsch Zendeling-Genootschap, LJ van Rhijn, untuk kali pertama seorang misionaris datang berkunjung ke Depok. Boleh jadi inilah pertemuan dua belah pihak yang saling membutuhkan: para pewaris sangat membutuhkan bimbingan, dan pendeta (kebetulan dari misionaris) membutuhkan jemaat untuk dibimbing.


Pada tahun 1848 Land Depok terguncang, para pewaris Cornelis Chastelein terpojok. Ahli waris yang mengaku pewaris asli mengajukan ke Pengadilan Tinggi di Batavia untuk menuntut agar lahan yang diserahkan oleh Cornelis Chastelein dikembalikan. Mereka beralasan dan mengklaim bahwa mereka ahli waris yang sah dari garis lurus keturunan dari Anna de Haan, janda dari Anthony Chastelein (yang merupakan putra sebagai pewaris asli dari Cornelis Chastelein. Pewaris Cornelis Chastelein yang beragama Kristen di Land Depok sesungguhnya tidaklah lebih baik dalam hal penghidupan dibanding penduduk asli yang beragama Islam di sekitar mereka. Para pewaris ini masih hidup dalam kemiskinan dan tinggal di gubuk-gubuk yang tersebar diantara pohon-pohon kelapa, dan hanya beberapa keluarga yang kelihatan rumahnya lebih baik. Para ahli waris asli melihat celah bahwa pewarisan itu adalah subjek dari hak pakai, yang menurut Hukum Hollandsch akan berakhir dalam seratus tahun. Menurut mereka ahli waris asli, sekarang dianggap harus sebagai sudah selesai pada bulan Agustus tahun 1814 dan klaimnya adalah bahwa terdakwa harus dihukum: ‘menarik tangan mereka dan negara untuk mengevakuasi mereka segera, dan menyerahkan kepada penggugat dan menurut constituanten sebagai pemilik yang sah. Sejak bulan Agustus 1814 semua manfaat yang diperoleh dari lahan harus mengkompensasi semua manfaat dan pendapatan nya. Seorang pembaca menulis bahwa gugatan muncul karena nilai Land Depok sekarang sudah berbeda (nilainya tinggi) pada tahun 1848 jika dibandingkan nilainya yang hanya 700 rijksdaalder yang mana Cornelis Chastelein telah membayarnya sebelum tahun 1714. Akan tetapi semua tuntutan itu buntu. Mahkamah Agung di Batavia berdasarkan materi tuntutan dan berdasarkan bukti pewarisan memutuskan bahwa penyerahan tanah kepemilikan penuh dinilai sah. Lalu tuntutan ditolak dan penggugat dikecam dan dikenai denda selama proses pengadilan. Land Depok tetap untuk melestarikan gereja. Pasca berakhirnya sengketa antara pewaris asli dan pewaris Cornelis Chastelein inilah zending masuk. Depok dan Depokkers adalah suatu lahan dan kehidupan yang terasing meski sudah lebih dari satu abad mereka beragama Kristen. Oleh karena itu Toegoe dan Depok dianggap sebagai pos terdepan dari misi dimana terdapat koloni Kristen yang hidup miskin. Tentu saja LJ van Rhijn di Nederlandsch Zendeling-Genootschap, misionaris yang pernah berkunjung ke Depok tahun 1840 akan menjadi faktor penting sebagai penyambung antara pendeta misionaris dengan jemaat yang membutuhkan dukungan. Komunitas Kristen Depok adalah organisasi persaudaraan penduduk pribumi yang solid, dan Nederlandsch Zendeling-Genootschap akan menjadikannya sebagai model stasion misionaris. Masuknya zending di Depok telah memperkuat para pewaris Cornelis Chastelein karena mereka didukung. Hubungan antara pewaris yang sudah beragama Kristen dengan misionaris di satu sisi telah diperkuat, tetapi di sisi lain hubungan pewaris yang beragama Kristen dengan penduduk asli yang beragama Islam justru semakin longgar yang satu sama lain memunculkan prasangka-prasangka yang berujung pada kekhawatiran. Singkat kata, dalam perkembangannya Depok menjadi pusat seminari (zending) di Hindia Belanda.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Zending di Tapanuli, Tidak Semua Orang Batak Beragama Islam: Agama Satu Hal dan Afiliasi Kultural (Etnik) Hal Lain Lagi

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar