Laman

Sabtu, 09 Agustus 2025

Sejarah Mahasiswa (61): Mamoer Al Rasjid Alumni Stovia; Hariman Siregar dan Sjahrir dalam Peristiwa MALARI 1974 di Djakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Stambuk yang saya terima dari keluarga garis keturunan Dr Haroen Al Rasjid Nasoetion, dicatat Soetan Abdoel Azis memiliki tujuh anak, tiga diantaranya dokter: Haroen Al Rasjid, Abdoel Hakim gelar Soetan Isrinsah dan Mamoer Al Rasjid. Keturunan mereka ini juga sangat baik. Putri Dr Haroen Al Rasjid di Telok Betoeng bernama Ida Loemongga menjadi perempuan pribumi pertama yang meraih gelar doktor (PhD) di bidang kedokteran di Belanda (1932) dan Mr Gele Haroen lulusan hukum di Belanda tahun 1936 menjadi Residen Lampung yang pertama. Putra Dr Abdoel Hakim wakil walikota (locoburgemeester) Padang bernama Mr Egon Hakim, sarjana hukum lulusan Leiden tahun 1936 menjadi menantu MH Thamrin yang mengamankan Ir Soekarno di Padang saat akan dievakuasi Belanda ke Australia tahun 1942. Bagaimana dengan Dr Mamoer Al Rasjid?


Dr. Sjahrir (24 Februari 1945 – 28 Juli 2008) yang akrab disapa Ciil adalah seorang aktivis, ekonom dan politisi Indonesia. Sjahrir dikenal sebagai salah seorang mahasiswa yang dijebloskan ke penjara sewaktu peristiwa Malari di Jakarta tahun 1974. Sampai akhir hayatnya dia menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden membawahi bidang ekonomi yang resmi dilantik pada tanggal 11 April 2007. Sjahrir merupakan anak semata wayang dari pasangan Minangkabau, Maamoen Al Rasjid dan Roesma Malik (Roesma asal Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat). Ayahnya pernah kuliah di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dan menjadi pejabat pemerintah pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sementara ibunya adalah pegawai Inspektorat Pendidikan Wanita di Departemen Pendidikan jebolan Syracuse University, Amerika Serikat. Meskipun berasal dari Koto Gadang, keluarga Sjahrir lebih banyak tinggal di pulau Jawa; Kudus, Yogyakarta, Magelang, Surabaya, dan terutama Jakarta. Ia menikah dengan Kartini Panjaitan, seorang doktor di bidang antropologi yang kini menjabat Duta Besar RI untuk Argentina. Juga ketua Asosiasi Antropologi Indonesia. Dari pernikahan itu, pasangan Sjahrir-Kartini memperoleh seorang putra, Pandu Patria Sjahrir, serta seorang putri, Gita Rusmida Sjahrir (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Mamoer Al Rasjid alumni STOVIA? Seperti disebut di atas, Mamoer Al Rasjid adalah saudara kandung Haroen Al Rasjid dan Abdoel Hakim. Bagaimana dengan nama Maamoen Al Rasjid yang di dalam Wikipedia disebut kuliah di STOVIA? Yang jelas Hariman Siregar dan Sjahrir adalah dua diantara tokoh mahasiswa dalam Peristiwa Malari 1974. Lalu bagaimana sejarah Mamoer Al Rasjid alumni STOVIA? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.

Mamoer Al Rasjid Alumni STOVIA; Hariman Siregar dan Sjahrir dalam Peristiwa Malari 1974

Banyak nama Mamoen al Rasjid. Nama Mamoen al Rasjid mirip dengan nama Mamoer al Rasjid. Nama Mamoen al Rasjid yang terkenal adalah Sultan Deli. Nama Mamoer al Rasjid terinformasikan pada tahun 1911 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-08-1911). Disebutkan ujian transisi di STOVIA yang mana lulus ujian naik dari kelas satu ke kelas dua tingkat persiapan antara lain Maamoer al Rasjid. Yang naik dari kelas dua ke kelas tiga antara lain Sjoeib.


De Preanger-bode, 30-07-1912: ‘Berangkat dari Tandjoeng Priok tanggal 27 bulan ini dengan kapal ss. Camphuys ke Benkoelen, Kroë, Padang, Sibolga: I. Wagemakar, dan istrinya, W. F. Tichelaar, Loan Hoen Twee, Oei Pang Nio, keluarga Hulstein, keluarga de Gelder, Sjoeib, Maamoen al Rasjid”.

Ada nama Maamoer al Rasjid dan ada juga nama Maamoen al Rasjid. Bataviaasch nieuwsblad, 05-08-1912 memberitakan hasil ujian transisi di STOVIA: naik dari kelas dua ke kelas tiga tingkat persiapan antara lain Maamoer al Rasjid. Naik dari kelas tiga ke kelas 1 tingkat medik antara lain Sjoeib. Pada tahun 1914 lulus ujian di tingkat medik dari kelas satu ke kelas dua antara lain Maamoer al Rasjid dan ke kelas tiga antara lain Sjoeib (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-07-1914). Di tingkat persiapan naik dari kelas dua ke kelas tiga antara lain Abdoel Moenir. Marie Thomas dan Mohamad Joesoef. Pada kelas tertinggi dari kelas lima ke kelas enam antara lain Sardjito.


Pada tahun 1915 lulus ujian di tingkat medik dari kelas dua ke kelas tiga antara lain Maamoer al Rasjid dan ke kelas empat antara lain Sjoeib (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-07-1915). Di tingkat tertinggi lulus ujian dari kelas lima ke kelas enam antara lain Achmad Mochtar. Pada tahun 1916 lulus ujian di tingkat medik dari kelas tiga ke kelas empat antara lain Maamoer al Rasjid dan ke kelas lima antara lain Sjoeib (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-06-1916). Di tingkat persiapan naik dari kelas satu ke kelas dua antara lain Mamoen. 

Di Stovia kini ada nama Maamoer al Rasjid dan juga ada nama Mamoen. Pada tahun 1917 lulus ujian di tingkat medik dari kelas empat ke kelas lima antara lain Maamoer al Rasjid dan ke kelas enam antara lain Sjoeib (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 18-06-1917). Di tingkat persiapan naik ke kelas dua antara lain Aminoedin dan Abdoel Moerad; naik kelas tiga antara lain Djabangoen dan Mamoen. Tahun ini ada penambahan kelas propaedeutische (setelah lulus tingkat persiapan dan sebelum memasuki tingkat medik).

 

Sejak tahun 1913 sekolah kedokteran yang baru dibuka di Soerabaja dengan nama Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). STOVIA hanya diperuntukkan untuk siswa pribumi yang kemudian dibuka untuk siswa Cina, sedangkan NIAS untuk semua golongan Eropa/Belanda, Cina dan pribumi. Siswa yang diterima di STOVIA adalah lulusan sekolah dasar Eropa (ELS), demikian juga di NIAS. Salah satu yang diterima pada tahun 1917 adalah Haroen al Rasjid berasal dari Sibolga (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-06-1917). Haroen al Rasjid yang diterima di sekolah kedokteran NIAS bukan saudara dari Maamoer al Rasjid. Haroen al Rasjid dan Mohamad Hamzah lulus sekolah kedokteran di Batavia (Docter Djawa School) pada tahun 1902. Mohamad Hamzah ditempatkan di Telok Betoeng dan Haroen Al Rasjid ditempatkan di Padang. Pada tahun 1903 Dr Haroen Al Rasjid menikah dengan Alimatoe’ Saadiah putri dari pemimpin surat kabar Pertja Barat Dja Endar Moeda di Padang. Putri pasangan muda lahir pada tahun 1905. Yang diberi nama Ida Loemongga. Saudara Dr Mohamad Hamzah seorang guru di Padang Sidempoean bernama Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan berangkat studi tahun 1903 ke Belanda. Setelah mendapat akta guru (LO) pada tahun 1907 kemudian melanjutkan studi untuk akta MO. Pada tahun 1908 Soetan Casajangan menginisiasi pendirian Perhimpoenan Hindia (Indisch Vereeniging). Untuk mendukung pembangunan di Sumatra, pada bulan Januari 1917 di Belanda didirikan Sumatra Sepakat (Sumatranen Bond) dengan dewan: Sorip Tagor Harahap, kedua; Dahlan Abdoellah, Sekretaris, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara; dan salah satu komisaris Tan Malaka. Pada bulan Desember 1917 di Batavia oleh siswa-siswa STOVIA didirikan Jong Sumatranen Bond: T Mansjoer (ketua), Abdoel Moenir Nasoetion (wakil ketua) dan Mohamad Amir (bendahara).

Maamoer al Rasjid dan Sjoeib Prohoeman sama-sama lancar dalam studi. Keduanya tidak pernah tinggal kelas. Maamoer al Rasjid pada tahun 1918 lulus ujian transisi naik dari kelas lima ke kelas enam (lihat De Indiër, 04-06-1918). Yang lulus ujian naik dari kelas tiga persiapan ke tingkat satu medik antara lain Mamoen dan Djabangoen. Dalam penerimaan siswa baru di Stovia terdapat nama Maamoer al Rasjid (lihat De Indiër, 13-06-1918). Yang juga diterima adalah Bahder Djohan, FL Tobing dan Kasmir Harahap. Pada tahun 1918 ini Sjoeib Prohoeman sudah lulus dan mendapat gelar dokter.


De nieuwe courant, 02-03-1918: ‘Ujian akhir "Stovia" Dalam ujian semi-arts Indisch, berikut ini yang telah lulus. Dari 39 kandidat yang lolos adalah: RM Marsaid Mangkowinoto, R Djoendjoenan, Abdoel Madjid, Marzoeki, R Iskandar, P. Johan Nainggolan, Jacob, Soehardi, Savioedin, Sjofjan Rossat, Heerdjan, R. Boentaran, R. Moh. Djoehana, Sjoeib Proehoeman, Aulia, M. Mandjono, OL. Fanggiday’.

Ada dua nama Maamoer al Rasjid, yang satu hampir lulus dan yang satu lainnya baru masuk di Stovia. Juga masih ada nama Mamoen. Pada tahun 1919 Maamoer al Rasjid lulus ujian akhir dan mendapat gelar dokter. Maamoer al Rasjid diangkat sebagai asisten dosen di Stovia. Sementara itu Dr Sjoeib Proeboeman saat ini bertugas di Panjaboengan. Di Batavia Dr Maamoer al Rasjid termasuk salah satu pendiri Bataksch Bond.


De Sumatra post, 15-11-1919: ‘Batakschebond. Sebuah perkumpulan baru telah didirikan di Batavia dengan nama ini. Pengurusnya terdiri dari: ketua Dr. Abdoel Rasjid; wakil ketua R. St. Casajangan; sekretaris pertama Abdoei Hamid; sekretaris kedua Merarie Siregar; bendahara W. Faril dan L. Tobing; komisaris Dr. Maamoer Rasjid, St. Casajangan, Abdoel Hamid, dan Faril L. Tobing; Shaboedin (dosen pertanian); Hadjoran (pengawas); St. Pamenan, mantan demang; dan Ahmad Pohan’.

Dalam kepengurusan Batakschbond termasuk adik Dr Sjoeib Proehoeman yakni Shaboedin. Yang menjadi ketua adalah Dr Abdoel Rasjid Siregar lulus Stovia bersama Dr Sjoeib Proehoeman tahun 1918 dimana Dr Abdoel Rasjid Siregar ditempatkan sebagai asisten dosen di Stovia. Yang duduk sebagai wakil ketua adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, pendiri Indische Vereeniging di Belanda pada tahun 1908. Soetan Casajangan sendiri setelah lulus mendapat akta MO (sarjana pendidikan) tahun 1911, kemudian pada tahun 1913 kembali ke tanah air menjadi direktur sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock. Kini, Soetan Casajangan menjadi direktur sekolah guru (normaalschool) di Meester Cornelis. Sebelumnya Soetan Casajangan sebagai direktur sekolah guru (kweekschool) di Ambon. Merarie Siregar dalam hal ini adalah seorang sastrawan di Batavia.


Pada tahun 1920 Dr. Maamoer Rasjid dari Stovia kemudian ditempatkan sebagai dokter di Loeboek-Pakam dan gouvernements Indisch arts Sjoeib Proehoeman dipindahkan dari Penjaboengan ke Solok serta Dr Abdoel Rasjid dari Stovia ditempatkan di Panjaboengan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-06-1920).

Pada tahun 1920 ini di Stovia di tingkat medik Mamoen, Tjiong Boen Kie dan Djabangoen naik ke kelas tiga (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-05-1920). Di kelas yang sama juga ada nama Tjiong Boen Kie. Di tingkat terendah persiapan naik dari kelas satu ke kelas dua antara lain Krueng Raba Nasoetion, Soetan Loebis dan Daliloedin Loebis; di kelas tertinggi medik naik dari kelas lima ke kelas enam antara lain Mohamad Djamil dan Abdoel Moenir.


Sebelumnya sudah terlebih dahulu dilakukan ujian masuk di Stovia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-05-1920). Sejumlah nama yang diterima dari berbagai kota di Hindia antara lain Ali Bosar Harahap dari Medan; Abdoe Hanafiah dari Fort de Kock; Haroen al Rasjid dari Padang; Gindo Siregar dan Pamenan Harahap dari Sibolga; Abdoel Moeloek dan Mohamad Jamin dari Padang Pandjang. Dalam hal ini, nama Haroen al Rasjid kembali muncul lagi. Ini kurang lebih sama dengan tahun 1918 diterima nama Maamoer al Rasjid. Begitu banyaknya individu yang menggunakan nama al Rasjid di belakang nama di Hindia, seakan al Rasjid menjadi semacam marga tersendiri. Dalam hal inilah muncul lebih dari sekali nama Haroen al Rasjid dan nama Maamoer al Rasjid. Lantas bagaimana dengan nama yang menggunakan nama Mamoen yang mirip dengan nama depan Mamoer.  

Pada tahun 1920 ini merupakan titik kritis berikutnya dalam perjalanan sejarah Pendidikan di Hindia Belanda. Pada tahun ini akan dibuka sekolah tinggi di bidang teknik (Technisch Hoogeschool=THS) di Bandoeng. Selama ini sekolah-sekolah yang sudah ada bagi pribumi dan yang pertama sekolah guru (kweekschool) dan sekolah kedokteran (Docter Djawa School yang menjadi Stovia). Lalu kemudian ditambahkan sekolah kedokteran hewan dan sekolah pertanian di Buitenzorg, sekolah hukum di Batavia dan sekolah pamong di sejumlah kota. Sekolah kedokteran NIAS di Soerabaja adalah yang pertama untuk bisa diakses siswa Eropa/Belanda sebelum dibukanya sekolah THS di Bandoeng.


De Telegraaf, 14-06-1920: ‘Pendidikan dan Pelatihan. Pendidikan Menengah di Belanda. Inspektur Stokvis berbicara. Seorang perwakilan dari Aneta yang berbasis di Den Haag bertemu dengan Bapak Z Stokvis, inspektur pendidikan menengah di Hindia Belanda, untuk menanyakan hasil studi bandingnya dan kesan yang diperolehnya sehubungan dengan tujuan kunjungannya ke Belanda. Kami menyajikan laporan wawancara yang dikirimkan kepada kami. Bapak Stokvis tampak puas. Banyak guru berpengalaman telah melamar penempatan atau penugasan ke pendidikan menengah di Hindia Belanda atau telah meminta informasi lebih lanjut. Ketika ditanya jenis guru apa yang paling dibutuhkan oleh pendidikan menengah Hindia Belanda, Bapak Stokvis menjawab bahwa semua kategori dipersilakan. Hindia Belanda juga sangat membutuhkan insinyur berpengalaman untuk pendidikan teknik, dan dengan mempertimbangkan hal ini, Bapak Stokvis bermaksud untuk menghubungi kalangan teknik sebelum keberangkatannya, serta dengan spesialis pertukangan kayu dan besi untuk sekolah teknik di Hindia Belanda. Menciptakan peluang di Hindia Belanda untuk memperoleh ijazah untuk kualifikasi sekolah menengah juga merupakan hal yang sangat penting. Bapak Stokvis mengatakan bahwa kita harus memiliki sekolah pelatihan sendiri di Hindia Belanda, di mana para guru akan ditugaskan untuk mengajar. Untuk tujuan ini, beliau telah berdiskusi dengan berbagai profesor di negeri ini. Bapak Stokvis menganggap keputusan yang diambil saat ini, yaitu bahwa bahasa Prancis akan lebih banyak diajarkan di sekolah dasar dan oleh karena itu tidak lagi menjadi persyaratan untuk masuk ke sekolah menengah, sangat penting bagi Hindia Belanda. Dulu terdapat gelombang besar mahasiswa ke program Sarjana, tetapi ini akan menjadi lebih besar lagi ketika bahasa Prancis tidak lagi diwajibkan untuk masuk. Ada kemungkinan bahwa sekolah MULO akan terancam sebagai fondasi untuk pendidikan menengah umum, dan serbuan yang tidak diinginkan ke Sekolah Menengah Atas akan menjadi lebih besar lagi. Hal ini akan merugikan Sekolah Menengah Atas maupun sekolah MULO. Oleh karena itu, Bapak Stokvis, meskipun mengapresiasi keputusan yang diambil di Dewan Perwakilan Rakyat dari perspektif pedagogis dan didaktik, saat ini melihat adanya bahaya bagi Sekolah Menengah Atas di Hindia Belanda. Siswa dari sekolah-sekolah Hollandsch Chinesche akan diterima di HBS dengan pengetahuan bahasa Belanda yang masih terbatas, dan di sana mereka akan dihadapkan dengan tiga bahasa baru yang sulit yang belum mereka ketahui. Sementara itu, Sekolah Menengah Umum, yang memiliki kurikulum yang sangat sesuai untuk anak-anak Indo-Belanda dan bertujuan sama dengan HBS, akan kehilangan siswa yang ditugaskan di sana. Garis Indo-Belanda yang telah susah payah diraih dalam pendidikan dapat dipatahkan lagi. Menanggapi pertanyaan tentang urgensi pendirian lembaga pendidikan tinggi di Hindia Belanda, Tuan Stokvis. mengenang bahwa baru empat tahun yang lalu, sebuah laporan resmi menyimpulkan bahwa Hindia Belanda belum siap untuk pendidikan tinggi. Dan lihatlah, pada tanggal 1 Juli, Universitas Teknik Hoogeschoo1 akan dibuka, sementara persiapan sedang dilakukan untuk fakultas kedokteran dan hukum. Hal yang luar biasa adalah bahwa pendidikan di fakultas-fakultas ini akan sepenuhnya setara dengan di negara asal dan tidak akan ada fakultas kelas dua, seperti di Hindia Timur Britania. Kedua fasilitas tersebut tidak akan menjadi universitas, karena fakultas hukum kemungkinan besar akan berlokasi di Bandoeng, sementara fakultas kedokteran terhubung dengan rumah sakit besar di Batavia, yang dibangun dengan biaya jutaan dolar. Klinik ini berafiliasi dengan sekolah pelatihan dokter pribumi, yang biasa disebut Stovia. Dengan demikian, orang Jawa tidak perlu lagi pergi ke Belanda untuk mendapatkan ijazah kedokteran Belanda di sini setelah berpraktik sebagai dokter pribumi. Lebih lanjut, pemerintah berencana untuk tidak lagi memberikan beasiswa untuk menempuh pendidikan universitas di Eropa jika kesempatan tersebut ada di Hindia Belanda sendiri. Jika Perguruan Tinggi Teknik Terapan (THS) tidak membuka fakultas teknik sipil di Bandoeng, misalnya, tidak akan ada lagi beasiswa yang diberikan kepada warga Hindia untuk menempuh pendidikan teknik di Delft, terutama untuk studi teknik sipil. Namun, Bapak Stokvis berpendapat bahwa pemerintah perlu memberikan kesempatan bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi di Hindia Belanda untuk melakukan perjalanan studi ke pendidikan tinggi. Hal ini juga berlaku bagi mahasiswa berprestasi. Bapak Stokvis juga menyampaikan, antara lain, bahwa setelah tinggal selama empat bulan di negara asal, beliau bermaksud untuk kembali ke Hindia Belanda sekitar pertengahan Juli. Sisa waktunya akan beliau habiskan untuk mengunjungi berbagai lembaga dan lembaga-lembaga di bidang pendidikan dan berdiskusi dengan para ahli terkait isu-isu pendidikan yang juga penting bagi Hindia Belanda’. 

Pada tahun 1920 ini juga mulai dipraktekkan sistem demokrasi di dewan pusat (Volksraad) dimana sejumlah dapil dibentuk yang masing-masing dapil memilih untuk satu kursi ke Volksraad. Dalam fase ini pulau Sumatra dijadikan satu dapil. Salah satu nama yang mengemuka untuk kandidat Volksraad di Sumatra adalah Dr Abdoel Rasjid di Panjaboengan (lihat De Sumatra post, 25-06-1920). Seperti disebut di atas, Abdoel Rasjid tidak hanya dikenal sebagai dokter lulusan Stovia, juga sebagai pendiri organisasi kebangsaan Batakschbond. Sementara itu nama lain yang muncul adalah Abdoel Moeis seorang jurnalis di Bandoeng. Abdoel Moeis sendiri pernah kuliah di Stovia namun gagal.


Pada tahun 1921 Mamoen dan Djabangoen serta Tjiong Boen Kie naik dari kelas tiga ke kelas empat (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 03-05-1921). Hingga sejauh ini mereka bertiga tetap menjaga konsistensinya dalam studi. Sebab bagaimanapun di sekolah kedokteran Stovia terbilang ketat dengan tingkat drop-out yang tinggi. Pada tahun 1921 di Stovia yang lulus ujian akhir dan mendapat gelar dokter adalah Soehado, Soeprapto, Notopratomo, Mohamad Djamil, Mohomad Zen, Abdulrachman, Soekaton, Soeratman, Mardjaban, Soediono, Tamaela.

Pada tahun 1922 Mamoen, Djabangoen dan Tjiong Boen Kie lulus ujian transisi naik dari dari kelas empat ke kelas lima (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-05-1922). Yang lulus ujian akhir dengan mendapat gelar dokter adalah Goelam. Mohamad Joesoef, Karamoy, Leimena dan nona Marie Thomas. Pada tahun 1922 ini juga muncul kembali nama Haroen al Rasjid diterima di Stovia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-04-1922). Sekali lagi banyak nama yang sama tetapi berbeda tahun masuk. Persamaan nama ini sangat banyak untuk nama yang mengindikasikan dari Jawa. Namun yang perlu dicatat dalam hal ini, putri Dr Haroen Al Rasjid dari Telok Betoeng Bernama Ida Loemongga lulus HBS di sekolah Prins Hendrik School di Batavia diterima di fakultas kedokteran di Universiteit te Utrecht.


De Indische courant, 19-01-1922: ‘Sekolah Kedokteran Hindia Belanda (NIAS) Soerabaia dan STOVIA (Weltevreden). Ujian masuk sekolah kedokteran akan segera diadakan kembali. Berdasarkan surat edaran yang beredar dan yang telah diposting, batas waktu pendaftaran berakhir pada 11 Februari. Karena semakin jelas betapa sedikitnya pengetahuan tentang kelompok dokter Hindia Belanda dan pelatihan mereka secara umum, berikut adalah ikhtisar singkat, yang juga berfungsi sebagai insentif untuk belajar. Siapa pun yang telah menyelesaikan sekolah dasar di Eropa atau sekolah Belanda-Tiongkok dapat diterima di program ini, asalkan mereka lulus ujian masuk. Siswa dari kelas tertinggi sekolah Belanda-Indonesia juga diterima jika kepala sekolah menyatakan bahwa mereka siap untuk kelas satu sekolah menengah (MULO). Pendidikan di sekolah dibagi menjadi komponen persiapan dan medis. Studi departemen persiapan berlangsung selama tiga tahun: pendidikannya merupakan program MULO (pendidikan menengah pertama) yang dimodifikasi. Berikut ini adalah mereka yang diterima di departemen medis: a. mereka yang telah menyelesaikan departemen persiapan; b. mereka yang telah dipromosikan ke tahun ke-4 HBS (pendidikan tinggi profesi); c. mereka yang telah menyelesaikan ujian akhir sekolah MULO, tetapi hanya setelah lulus ujian susulan dalam goniometri dan trigonometri; d. orang muda yang telah menyelesaikan ujian akhir HBS (pendidikan tinggi profesi) 5 tahun yang lalu dapat ditempatkan langsung di tahun ke-2 departemen kedokteran. Studi departemen kedokteran berlangsung selama tujuh tahun, atau enam tahun bagi mahasiswa dengan ujian akhir HBS (pendidikan tinggi profesi), setelah itu ujian akhir diselenggarakan. Apa yang telah dicapai mahasiswa dengan menyelesaikan ujian akhir mereka? Apa posisi mereka? Harus dibuat perbedaan di sini antara dokter dalam layanan pemerintah dan dokter bebas dari Hindia Belanda, yang terkait erat dengan kondisi di mana mereka belajar. 1. Mahasiswa yang dianggap cocok untuk layanan pemerintah dilatih. Mereka menerima tunjangan, pendidikan gratis, buku, dll., tetapi sebagai imbalannya mereka harus berkomitmen untuk melayani pemerintah selama jumlah tahun yang sama dengan jumlah tahun yang mereka tempuh selama belajar sambil menerima tunjangan tersebut. Posisi mereka tentu saja tidak buruk. Saat ini mereka menerima gaji mulai dari 250 gulden ditambah tunjangan biaya hidup sebesar 100 gulden per bulan, sementara maksimum yang dicapai setelah 18 tahun bekerja adalah 500 gulden ditambah tunjangan biaya hidup. Selain itu, mereka memiliki hak untuk praktik swasta. Posisi ini akan ditingkatkan. Telah diusulkan untuk meningkatkan gaji awal menjadi 350 gulden, gaji akhir menjadi 750 gulden. Pengaturan ini juga tidak akan berkelanjutan dalam jangka panjang. Jika kita membandingkan insinyur, mantan mahasiswa Universitas Teknik Bandung, dengan lulusan Hindia Belanda, tampaknya yang pertama berhak atas gaji sebesar ƒ400 hingga ƒ1.000. Saat ini, para pemuda harus belajar untuk ujian teknik mereka selama empat tahun setelah menyelesaikan ujian HBS (pendidikan tinggi profesional) mereka. Bagi pemuda dengan ijazah yang sama, dibutuhkan enam tahun studi yang sama beratnya untuk mendapatkan ijazah doktor Hindia Belanda. Oleh karena itu, doktor Hindia Belanda berhak atas setidaknya tingkat remunerasi yang sama dengan insinyur Hindia Belanda. Kedua, posisi doktor Hindia Belanda yang bekerja secara mandiri jauh lebih baik. Kelompok ini terdiri dari mereka yang menempuh pendidikan dengan biaya sendiri dan doktor pemerintah Hindia Belanda yang telah menjalani masa baktinya. Mereka berpraktik seperti biasa dan tidak terikat oleh batasan apa pun. Pengalaman menunjukkan bahwa pendapatan ƒ1.000, ƒ2.000, dan lebih bukanlah hal yang aneh bagi mereka. Untuk mencapai hal ini, mereka harus menempuh pendidikan dengan biaya sendiri dan membiayai sendiri nafkah mereka selama masa tersebut. Sekalipun mereka tidak membangun profesi tetapi bergabung dengan bisnis, posisi mereka jauh lebih baik daripada doktor pemerintah di Hindia Belanda, yang gaji tetapnya 600 hingga 1.000 gulden dan lebih tinggi merupakan hal yang umum. Pertanyaan yang sah tentu saja adalah apakah situasi yang menguntungkan ini akan berlanjut di masa depan. Kami yakin akan demikian. Seiring perkembangan Hindia Belanda, permintaan akan perawatan medis akan terus meningkat, tentu saja lebih besar daripada gelombang dokter yang akan dilatih pada dekade-dekade awal. Terakhir, hubungan antara sekolah kedokteran di Hindia Belanda dan universitas-universitas di Belanda perlu dipertimbangkan secara singkat. Biasanya, dokter di Hindia Belanda harus mengulang dua ujian terakhir untuk mendapatkan gelar dokter Eropa. Pengalaman banyak dokter di Hindia Belanda menunjukkan bahwa hal ini dapat dicapai dalam dua tahun. Bagi dokter Indonesia yang bebas, ijazah Belanda ini kurang berharga. Bagi dokter pemerintah Indonesia, ini berarti mereka juga dapat diangkat sebagai dokter pemerintah dan sebagai petugas kesehatan. Dengan mempertimbangkan semua hal, masa depan sangat memungkinkan bagi generasi muda yang memenuhi syarat untuk belajar menjadi dokter Indonesia. untuk menyelesaikan studi mereka di sekolah, di mana sangat dianjurkan agar mereka belajar dengan biaya sendiri. "Belajar dengan biaya pemerintah, tentu saja, lebih mudah, tetapi itu berarti kewajiban untuk kemudian memasuki layanan pemerintah untuk waktu yang lama, dan seperti yang telah kita lihat sebelumnya, posisinya kemudian jauh lebih tidak menguntungkan.

Stovia kembali menerima siswa baru pada tahun 1923 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-04-1923). Salah satu yang diterima adalah Adnan dan Armijn Pane dari Fort de Kock. Sementara itu dalam ujian transisi di Stovia yang naik dari kelas lima ke kelas enam diantaranya Mamoen, Tjiong Boen Kie, Aminoedin Pohan dan Abdoel Moerad. Tidak terdapat nama Djabangoen. Ada apa dengan Djabangoen Harahap?  Di kelas tertinggi tingkat medik yang naik dari kelas enam ke kelas tujuh antara lain Achmad Mochtar, F Loemban Tobing, Pirngadie dan Aboe Bakar.


Siswa Stovia yang tidak terdapat namanya di dalam daftar hasil ujian transisi atau ujian akhir tahun berikutnya bisa jadi karena tinggal kelas atau dropout. Siswa yang tinggal kelas bisa jadi karena masih mengikuti her atau melakukan penangguhan kuliah karena sakit atau diizinkan karena alasan keluarga.

Setelah pendirian THS di Bandoeng tahun 1920, pada tahun 1924 sekolah tinggi hukum (Rechthoogeschool=RHS) dibuka di Batavia. Ini berarti sudah ada sekolah tinggi di Hindia Belanda. Seperti halnya di THS, siswa yang diterima di RHS adalah lulusan HBS dan AMS. Lalu mengapa Stovia dan NIAS masih bertahan dengan kurikulum yang ada?  


De Indische courant, 31-05-1924: ‘Hindia Belanda. Membanjiri calon mahasiswa Stovia. Kami memahami bahwa tidak kurang dari tujuh pemuda dari berbagai lapisan masyarakat telah mendaftar untuk program Stovia baru di Weltevreden, yang semuanya memiliki ijazah MULO (Pendidikan Menengah Atas), sehingga mereka tidak perlu mengikuti program persiapan. Jumlah ini, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sangat tinggi, mungkin akibat penghapusan kriteria ras pada saat itu, sehingga pemuda selain penduduk asli Belanda juga dapat diterima dalam program ini. Kedua, karena Stovia mempersiapkan posisi terhormat di masyarakat, tanpa memberikan tuntutan berlebihan pada perkembangan akademis. Situasi yang ganjil kini muncul, yaitu tidak ada calon yang dapat ditolak, dan setiap orang dengan ijazah MULO harus diterima. Inilah yang diatur dalam peraturan. Dan tentu saja bukan tujuan kami di sini untuk menganjurkan penerapan peraturan yang restriktif, tetapi kami ingin menunjukkan kesulitan terkait gelombang mahasiswa yang luar biasa besar ini. Sebenarnya ada beberapa kesulitan. Intinya adalah ini. Kami telah diberitahu bahwa program studi baru, termasuk mahasiswa dari departemen persiapan yang telah pindah, kali ini akan dimulai dengan total 100 hingga 120 mahasiswa di kelas pertama. Meskipun sebelumnya hanya ada satu kelas pertama, semua orang segera menyadari bahwa beberapa kelas paralel harus dibangun; berapa jumlahnya, kami tidak tahu. Terkait hal ini, pertanyaan tentang guru langsung muncul, yang mungkin mudah diatasi oleh Weltevreden. Situasi dengan ruang kelas agak berbeda, karena kami telah diyakinkan bahwa ruang kelas tersebut tidak lagi tersedia. Saat ini terdapat kekurangan ruang kelas yang layak. Diharapkan solusi akan segera ditemukan’. 

Pada tahun 1924 di Stovia Adnan dan Armijn Pane naik dari kelas satu ke kelas dua di tingkat persiapan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-06-1924). Di tingkat medik yang naik ke kelas lima antara lain Diapari Siregar. Sementara yang naik ke kelas enam antara lain Aminoedin Pohan dan Djabangoen serta Mohamad Ali Hanafiah. Di kelas tertinggi naik ke kelas tujuh antara lain Mohamad Joenoes. Dalam daftar hasil ujian tahun 1924 ini tidak terdapat nama Mamoen dan Tjiong Boen Kie. Namun nama Djabangoen kembali muncul.


Yang menjadi pertanyaan mengapa Aminoedin Pohan kembali dinyatakan naik dari kelas lima ke kelas enam. Padahal tahun sebelumnya sudah disebut seperti dimana juga terdapat nama Mamoen dan Tjiong Boen Kie. Apakah ada transisi program dalam pembelajaran seperti halnya terjadi pada tahun 1979 ke tahun 1980 yang menyebabkan tahun ajaran yang dimulai bulan Januari menjadi bulan Juli? Iya betul bahwa ada peningkatan mutu satu tahun di masing-masing kelas. Pada tahun 1924 adalah penerimaan siswa yang terakhir di Stovia. Hal ini karena sekolah kedokteran Stovia akan dihapuskan dengan dibentuknya sekolah tinggi kedokteran di Batavia (Geneeskundige Hoogeschool=GHS) yang akan dibuka pada tahun 1927 dimana mahasiswa yang diterima adalah lulusan HBS dan AMS). Mereka yang berada di Stovia yang kemudian telah menyelesaikan tingkat tiga (setara MULO) diarahkan untuk melanjutkan studi ke AMS (Batavia, Solo, Jogjakarta, Bandoeng dan lainnya) atau sekolah kedokteran NIAS di Soerabaja. Pada tahun 1924 Rechtschool di Batavia telah ditingkatkan dengan dibukanya Rechthoogeschool=RHS.

Aminoedin Pohan dan Djabangoen serta Mohamad Ali Hanafiah pada tahun 1925 di Stovia naik dari kelas enam ke kelas tujuh (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 15-05-1925). Dalam daftar yang naik di kelas tertinggi ke kelas tujuh ini juga terdapat nama Bahder Djohan dan Tjiong Boen Kie. Bagaimana dengan nama Mamoen? Ini mengindikasikan nama Mamoen sudah dua kali ujian transisi (1924 dan 1925) tidak muncul.


Pada tahun 1926 di Stovia diadakan ujian transisi yang naik ke kelas tertinggi kelas tujuh antara lain Abdoel Moerad, Diapari Siregar dan EM Dirksen (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-09-1926). Nama Mamoen kembali tidak terinformasi. Apakah ini Mamoen telah dropout? Yang jelas Dr. Mamoer Rasjid yang lulus tahun 1920 kini gouvernements Indisch arts di Padang Sidempoean (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie, 1926 Deel: 2).

Lalu bagaimana dengan Aminoedin Pohan, Djabangoen, Mohamad Ali Hanafiah, Bahder Djohan dan Tjiong Boen Kie pada tahun 1926 ini? Apakah mereka sudah menyelesaikan studinya? Namun yang jelas pada tahun 1926 para pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan mengadakan kongres dengan mengusung tema persatuan Indonesia dalam konteks Indonesia Raja.


Ini dimulai pada bulan Januari sudah terbentuk panitia dengan mengusung tema persatuan Indonesia (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 09-01-1926). Panitia: Tabrani (Ketua), Bahder Djohan (Wakil Ketua), Soemarto (Sekretaris), J Toule Solehuwij (Bendahara), dan Paul Pinontoan (Komisaris). Persiapan kongres sudah hampir final (lihat De locomotief, 09-04-1926). Empat ceramah akan disampaikan secara berturut-turut, dimulai pada 30 April. Topik-topiknya adalah: "Persatuan Indonesia" oleh Soemarto; "Posisi Perempuan dalam Masyarakat Ini" oleh Bahder Djohan dan beberapa lainnya; "Kemungkinan Masa Depan Bahasa dan Sastra Indonesia" oleh Mohamad Jamin; dan "Peran Agama dalam Pergerakan Nasional" oleh Paul Pinontoan. Tentu saja, ketua kemudian akan menyampaikan pidato penutup. Akan ada jamuan makan malam, dan pertunjukan teater juga direncanakan. Kongres akan ditutup pada 2 Mei. Kongres Pemuda Indonesia pertama akan berlangsung di Weltevreden dari tanggal 30 April hingga 2 Mei 2019, di gedung Loji Freemason (lihat De Indische courant, 29-04-1926).  Ceramah oleh Bapak Bahder tentang perempuan akan dilanjutkan oleh Ibu Adam

Bahder Djohan dan Djabangoen belum terinformaskan apakah sudah lulus ujian akhir. Yang sudah terinformasikan lulus Aminoedin Pohan dan Mohamad Ali Hanafiah. Aminoedin Pohan dan Mohamad Ali Hanafiah kemudian telah diangkat sebagai dokter pemerintah (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-09-1926). Yang paling mengejutkan Tjiong Boen Kie asal Tjikarang lulus bersama dengan Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga asal Soemedang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-07-1926).


Siapa Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga? Nama ini diduga adalah nama Mamoen yang sempat tidak terinformasikan setelah 1923 tidak pernah terinformasikan. Dari nama lengkap Mamoen kita dapat mengetahui darimana asalnya. Pada masa ini dinarasikan Raden Maamoen Al Rasjid Koesoemadilaga lahir di Soemedang memulai kuliah di Stovia tahun 1915 dan dinyatakan lulus tanggal 17 Juli 1926. Ini tentu saja kurang lebih sama dengan yang diberitakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-07-1926.

Lalu apakah ada lagi nama-nama Haroen Al Rasjid, Mamoer Al Rasjid dan Mamoen Al Rasjid berikutnya? Yang jelas putri Dr Haroen Al Rasjid bernama Ida Loemongga telah menyelesaikan studi dan meraih gelar dokter di Utrecht pada tahun 1927.


Ida Loemongga setelah sempat bekerja di Amsterdam, kemudian melanjutkan studinya ke tingkat doktoral. Ida Loemongga Haroen berhasil meraih gelar doktor (PhD) di bidang kedokteran di Amsterdam pada tanggal 22 April 1932 dengan disertasi berjudul: ‘Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’ (lihat De koerier, 23-04-1932). Disebutkan menurut telegram khusus Aneta dari Den Haag, gadis pribumi pertama menerima gelar doktor kedokterannya kemarin dengan disertasi akademis berjudul: ‘Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’ (Diagnosis dan prognosis cacat jantung bawaan). Wanita muda ini adalah Nona Ida Loemongga Haroen kelahiran Padang, dengan spesialisasi penyakit anak adalah putri seorang dokter pribumi di Padang Sidempoean (mungkin mengacu pada tempat lahir Dr Haroen Al Rasjid, fakta bahwa sejak 1911 Dr Haroen Al Rasjid menetap di Telok Betoeng). Ini dengan sendirinya menambah jumlah orang Indonesia yang meraih gelar doctor ke-47 di Belanda. Perlu ditambahkan di siini De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 08-05-1931 memberitakan bahwa Aminoedin Pohan (lahir di Sipirok) dipromosikan menjadi doktor dengan judul disertasi: ‘Abortus, voorkomen en deproefshrift’ (Aborsi, pencegahan dan pengobatan’. Dalam beberapa bulan kemudian Algemeen Handelsblad, 17-12-1931 memberitakan bahwa di Leiden, Diapari Siregar (lahir di Sipirok) lulus ujian menjadi dokter. Dr. Aminoedin Pohan dan Dr Diapari Siregar menyelesaikan tingkat sarjananya di STOVIA, Batavia. Aminoedin Pohan satu angkatan dengan Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga dan Tjiong Boen Kie. Keluarga Haroen Al Rasjid mengikuti wisuda Ida Loemongga, dan keluarga Haroen Al Rasjid kembali ke tanah air. Sedangkan adik Ida Loemongga bernama Gele Haroen lulusan AMS Bandoeng telah diterima di fakultas hukum di Leiden dan tidak ikut pulang. Setelah kembali dari Telok Betoeng, Dr Ida Loemongga membuka klinik dokter anak di Menteng.

Di Stovia pada tahun 1931 yang lulus ujian transisi kelas enam yang naik ke kelas tujuh antara lain Soleman Siregar, Rasidin, Pangariboean Siregar, Slamat Imam Santoso, Endon, Moewardi, Oen Boen Ing, JA Cohrane dan lainnya (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 06-05-1931). Mereka ini adalah kloter terakhir yang akan mengakhiri studinya di Stovia. Yang lulus ujian akhir pada tahun 1931 dan mendapat gelar dokter Indisch Arts, antara lain Roebini, Daliloedin Loebis, J Leimena, Nona HA Schenkhuizen, Zahar, Gindo Siregar, Oey Kim San, Auskarani, Abdoel Moeloek, Kasmir Harahap, Achmad Hamami, Ali Bosar Harahap, Aboe Hanifah dan lainnya.


Pada tahun 1932 kloter terakhir Stovia masing-masing siswa mengikuti ujian akhir yang berbeda-beda waktu. Perlu ditambahkan di sini sekolah kedokteran NIAS di Soerabaja masih tetap eksis (tingkat persiapan ditiadakan dan hanya saja siswa yang diterima adalah lulus sekolah MULO atau setara MULO). Kloter terakhir Stovia yang lulus ujian akhir dan mendapat gelar dokter Indisch Arts, antara lain: R Slamat Imam Santoso (lihat De Indische courant, 11-04-1932); JA Cohrane (lihat De Indische courant, 18-04-1932); M Wisnoe Joedo dan M Sapoean Sastrosatomo (lihat De Indische courant, 25-04-1932); M Soegianto dan Ouw Eng Liang (lihat De locomotief, 02-05-1932); Soepardji (lihat De locomotief, 11-07-1932); Soleman Siregar (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-07-1932); R Soeparto Setjodihardjo (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-08-1932); JBM Goewie dan Rasidin (lihat De locomotief, 24-10-1932); Achmad Mochtar (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-11-1932); Oen Boen Ing (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-11-1932); M Djoenaedi dan Slamet Soeminto (lihat De Indische courant, 12-12-1932); M Soeparmo Honggopati Tjitrohoepojo (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-12-1932). Perlu ditambahkan disini di Geneedkundika Hoogeschool lulus ujian ujian doctoral kedua (2e deel doctoralexamen) HAE van der Linde (lihat De locomotief, 02-05-1932).

Dengan berakhirnya Stovia, ada sejumlah individu yang menggunakan nama Mamoen dan Mamoer, namun yang menggunakan nama belakang Al Rasjid (merujuk pada pengetahuan tentang khalifah Haroen Al Rasjid) hanya Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga saja yang terinformasikan hingga menjelang berakhirnya Belanda di Indonesia (sebelum pendudukan Jepang). Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga asal Soemedang cukup dikenal di dalam pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda.


Sementara itu rekan kuliahnya dulu yang sama-sama lulus dari STOVIA Tjiong Boen Kie asal Tjikarang tidak bekerja di pemerintahan tetapi bekerja sendiri sebagai pengusaha yang juga membuka klinik untuk dokter praktek bagi dirinya di Batavia. Dr Tjiong Boen Kie juga menjadi anggota dewan Jawa Barat (Provincie West Java Raad).

Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga yang telah mendapat bintang de Orde van Oranje Nassau kemudian diangkat sebagai dokter pemerintah di consulaat Jeddah (lihat Zutphensche courant, 05-09-1939). Pada saat terjadinya pendudukan Jepang di Indonesia Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga masih di Jeddah. Oleh karena itu Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga selain tidak ada transportasi dan juga larangan kapal asing memasuki wilayah perairan Indonesia menyebabkan Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga tidak bisa kembali ke Indonesia. Sebagai staf Pemerintah Hindia Belanda di Jeddah. Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga juga tidak bisa ke Belanda (karena restriksi pemerintah pendudukan Jerman di Belanda).


Dalam konteks inilah kemudian Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga berangkat ke Amerika untuk meningkatkan studinya di bidang kedokteran. Amigoe di Curacao: weekblad voor de Curacaosche eilanden, 04-03-1944 memberitakan Raden Mamoen Arrasjid Koesoemadilaga, seorang pakar medis ternama di Hindia Belanda, menghabiskan beberapa bulan di Washington mempelajari metode pengobatan penyakit tropis di Amerika Utara. Ia akan berangkat ke Australia melalui Suriname untuk memberikan bantuan medis segera setelah negaranya merdeka. De West, 15-03-1944 memberitakan Dr Mamoen kembali ke Washington. Washington, 14 Maret. Dr Mamoen, sebagaimana dilaporkan dari Washington, telah kembali ke ibu kota Amerika hari ini setelah kunjungan singkat ke Suriname.

Dalam perkembangannya, Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga Pemerintah Hindia Belanda di pengasingan, yang dipimpin Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dr HJ van Mook diangkat sebagai Dokter Gubernur Kepala, sebagai anggota luar biasa Dewan Pimpinan Departemen. Namun tidak terinformasikan dimana saat ini berada Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga, apakah masih di Amerika, Australia atau tempat lainnya.


Oost-Brabant, 13-12-1944: ‘Perubahan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tanggal 16 November, dekrit-dekrit berikut dikeluarkan oleh Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dr HJ van Mook: Sejak Ir Ch F von Haeften, seorang tawanan perang Jepang, dan karena diperlukan untuk sementara mengisi posisi manajemen Departemen Perhubungan, Pekerjaan Umum, dan Pengelolaan Air. Dewan Pimpinan Departemen memutuskan untuk sementara mempercayakan posisi ini kepada Kepala Departemen Industri Departemen Perekonomian. Dewan juga memutuskan untuk mengangkat Raden Mamoen Rashid Koesoemadilla, sebagai Dokter Gubernur Kepala, sebagai anggota luar biasa Dewan Pimpinan Departemen’.

Besar dugaan bahwa Raden Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga segera berangkat ke Australia, yang menjadi basis perjuangan untuk melawan otoritas militer Jepang di Indonesia. Sebagaimana diketahui sejak pendudukan Jepang di Indonesia orang-orang Belanda di Indonesia melarikan diri ke Australia. Orang-orang Indonesia juga semakin banyak yang berada di Australia, selain para buruh pelabuhan di Australia, juga termasuk tahanan politik dari Digoel yang telah dibebaskan.


Amigoe di Curacao, 26-01-1945: ‘Sitsen dikenang. Perwakilan dari kalangan resmi Belanda memberikan penghormatan terakhir untuk mengenang almarhum pada pemakaman almarhum Bapak Sitsen pada hari Rabu. Bapak Ch van der Plas menggambarkannya sebagai sahabat lama dan kolega yang bersemangat dan berdedikasi. Karyanya adalah cita-citanya. Konsul Jenderal Belanda di Sydney, Bapak JBP Penninck, memuji kebajikan almarhum sebagai seorang pria dan seorang ayah. Raden Mamoen Arrashid Koesoemadilaga, Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Hindia Belanda, berbicara atas nama rakyat Indonesia dan memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum atas keberhasilannya dalam persiapan pemakaman (Aneta)’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Hariman Siregar dan Sjahrir dalam Peristiwa Malari 1974: Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa

Organisasi mahasiswa pertama Indonesia didirikan di Belanda pada tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging. Seperti disebut di atas organisasi diinisiasi oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan yang kemudian terpilih sebagai presiden pertama. Pada saat Dr Soetomo menjadi ketua (1922) namanya diubah menjadi Indonesiasch Vereeniging. Kembali namanya diubah pada saat ketuanya Mohamad Hatta pada tahun 1924 dengan nama Perhimpoenan Indonesia. Organisasi mahasiswa Indonesia tertua ini pada masa pendudukan Jerman di Belanda dipimpin oleh Dr Parlindoengan Lubis. Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia Perhimpoenan Indonesia dipimpin oleh FKN Harahap dkk.


Untuk menghormati Kwik Kian Gie yang belum lama ini meninggal, perlu dicatat bahwa yang menjadi ketua Perhimpoenan Indonesia di Belanda pada tahun 1963 adalah Drs Kwik Kian Gie. Seperti kita lihat nanti Perhimpoenan Indonesia di Belanda ini masih eksis hingga ini hari.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia dihadapkan pada situasi perang mempertahankan kemerdekaan. Hal ini karena saat pelucutan senjata dan evakuasi militer Jepang oleh Sekutu/Inggris orang Belanda dengan bendera NICA menyusup dan kemudian mengambil alih wilayah yang ditinggalkan oleh Sekutu/Inggris. Perang tidak terhindarkan. Pada masa perang inilah kemudian mahasiswa mulai menginisiasi pembentukan organisasi mahasiswa.


Di Djogjakarta yang telah menjadi ibu kota RI setelah mengungsi dari Djakarta/Batavia Lafran Pane dkk pada tanggal 5 Februari 1947 mendirikan organisasi Himpoenan Mahasiswa Islam (HMI). Lafran Pane yang menjadi ketua HMI pertama adalah adik dari Armijn Pane yang disebutkan di atas. Pada tanggal 20 November 1947 di Djakarta/Batavia Ida Nasoetion dan G Harahap menginisiasi pendirian organisasi mahasiswa Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia (PMUI). Ida Nasoetion yang mahasiswa fakultas sastra UI yang juga seorang esais terkenal menjadi presiden pertama. Ida Nasoetion dilaporkan koran Nieuwsgier diculik tanggal 23 Maret 1948. Ida Nasoetion hilang selamanya dan diduga kuat dibunuh oleh intelijen dan tentara Belanda (lihat juga Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948). Berbeda dengan HMI, sejak tiadanya Ida Nasoetion eksistensi PMUI tidak terinformasikan lagi.

Akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia (dalam bentuk RIS) yang mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. Pada permulaan masa NKRI ini mulai bermunculan organisasi-organisaasi mahasiswa yang baru. Selain HMI yang masih eksis dengan cabangnya di berbagai kota. Di berbagai Fakultas di Universitas Indonesia sejak 1950 sudah dibentuk organisasi mahasiswa. Pada tahun 1952 organisasi mahasiswa di tingkat Universitas Indonesia di Djakarta dibentuk dengan nama Dewan Mahasiswa (studentenraad) Universitas Indonesia Djakarta (lihat De nieuwsgier, 22-12-1952). Disebutkan dalam berita ini Presiden terpilih adalah Widjojo [Nitisastri] (Fakultas Ekonomi). Anggota terdiri dari Soebardi (Fakultas Sastra dan Filsafat), Soeharto (Fakultas Kedokteran) dan Ismed Siregar (Fakultas Hukum). Dewan Mahasiswa pimpinan Widjojo Nitisastro ini hanya mencakup empat fakultas Universitas Indonesia di Djakarta.


Di Bandoeng juga dibentuk Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang mencakup dua fakultas yakni Fakultas Teknik dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam. Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia di Bandoeng diinisiasi oleh Januar Hakim Harahap dkk. Januar Hakim Harahap adalah mahasiswa teknik sipil yang diduga masuk tahun 1951 (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 28-01-1952). Disebutkan di Bandoeng di afdeeling Civiel lulus ujian propaedeu (propaedeutisch examen le gedeelte) antara lain Januar Hakim.

Pada tahun 1953 di Djakarta dibentuk federasi mahasiswa Indonesia yang diinisiasi oleh AM Hoetasoehoet. Tujuan pembentukan federasi ini mirip dengan yang terjadi menjelang Kongres Pemoeda pada tahun 1928. Federasi organisasi mahasiswa pada tahun 1953 dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Kongres Pemoeda tahun 1953 di Djakarta. Dalam kongres ini dilakukan sumpah pemuda yang isinya adalah hasil putusan Kongres Pemuda 1928. Hal ini dilakukan para pemuda seiring dengan bermunculannya pemberontaikan di sejumlah daerah.


AM Hoetaseohoet adalah mantan tantara pelajar di Padang Sidempoean yang setelah pengakuan kedaulatan Indonesia hijrah ke Jakarta dan bekerja sebagai jurnalis di harian Indonesia Raja. AM Hoetasehoet saat ini juga sebagai ketua dewan mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta di Deca Park (kini daerah Monas). AM Hoetasoehoet kini lebih dikenal sebagai pendiri Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/IISIP Jakarta di Lenteng Agung.

Widjojo Nitisastro dan Januar Hakim Harahap adalah dua satelit di lingkaran mahasiswa Universitas Indonesia, yang satu mengorbit di Jakarta dan yang satu lagi mengorbit di Bandoeng. Januar Hakim Harahap adalah putra Gubernur Sumatra Utara Abdoel Hakim Harahap (diangkat sejak 1951).


Pendidikan Abdoel Hakim Harahap di mulai di sekolah Prins Hendrik School di Batavia (adik kelas Ida Loemongga). Semasa sekolah di Batavia Abdoel Hakim Harahap adalah salah satu pengurus Jong Islamieten Bond di Batavia. Abdoel Hakim Harahap yang bekerja di bea dan cukai cukup lama sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan (1930-1938) dan kemudian menjadi pejabat Financien di pusat. Pada masa pendudukan Jepang, Abdoel Hakim Harahap menjadi ketua dewan Tapanoeli. Dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Abdoel Hakim Harahap ketua Masyumi di Tapanoeli diangkat pemerintah pusat di Jogjakarta menjadi wakil residen Tapanoeli. Yang menjadi Residen adalah Dr FL Tobing (alumni Stovia). Abdoel Hakim Harahap kemudian berpartisipasi dalam KMB di Den Haag. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (dalam bentuk RIS), Abdoel Hakim Harahap dari sisi Republik Indonesia diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri di Jogjakarta (1950). Segera setelah dibubarkannya RIS pada tanggal 17 Agustus 1950, Abdoel Hakim Harahap diangkat sebagai Gubernur Sumatra Utara. Pada kabinet Perdana Menteri Boerhanoedin Harahap (1955), Abdoel Hakim Harahap menjadi Menteri Negara Pertahanan yang mendamaikan dua kubu kolonel yang satu dengan kepemimpinan Kolonel Abdoel Haris Nasoetion dan yang satu lagi dengan kepemimpinan Kolonel Zulkifli Lubis. Sebagaimana diketahui sejak Oktober 1952 Major Jenderal Abdoel Haris Nasoetion dirumahkan karena memimpin demonstrasi di depan Istana Merdeka karena militer menginginkan parlemen dibubarkan karena korupsi dan juga parlemen terlalu banyak campur tangan di militer yang saat itu Abdoel Haris Nasoetion sebagai KASAD. Dalam perdamaian dua kubu kolonel pada tahun 1955 Abdoel Hakim Harahap yang mantan residen perang di Tapanoeli meminta para dua kubu kolonel untuk memimpin salah satu pimpinan tertinggi saja. Akhirnya para kolonel berhasil memilih dengan cara voting yang kemudian terpilih Kolonel Abdoel Haris Nasoetion. Abdoel Hakim Harahap kemudian merekomendasi kepada PM Boerhanoedin Harahap untuk diteruskan ke Presiden Soekarno. Lalu Presiden Soekarno mengangkat Abdoel Haris Nasoetion (kembali) menjadi KASAD. Selesai sudah kisruh di tubuh militer.

Kepengurusan Dewan Mahasiswa yang dipimpin oleh Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan berakhir tahun 1954. Kepengurusan baru dilanjutkan oleh Kartomo Wirosoehardjo (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-10-1954). Kartomo Wirosoehardjo adalah (mahasiswa Fakultas Ekonomi diterima tahun1952). Sejak 1954 yang menjadi Rektor UI adalah Dr Bahder Djohan; sementara rektor UGM di Jogjakarta masih dijabat oleh Dr Sardjito (keduanya alumni STOVIA).


Di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia sendiri lulusan pertama adalah Drs. Sie Bing Tat (lulus pada akhir Mei 1953). Lulusan kedua adalah Drs Oei Kwie Tik pada bulan Agustus 1953 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-08-1953). Selanjutnya Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-03-1954 memberitakan Drs baru dalam perekonomian di Fakultas Ekonomi di Djakarta, pada hari Selasa tanggal 2 Maret bernama Saleh Siregar lulus ujian doktoral (Drs) di bidang ekonomi. Lebih lanjut disebutkan dia (Saleh Siregar) adalah kandidat ketiga yang memperoleh gelar doktoral (Drs) di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Djakarta. Selanjutnya De nieuwsgier, 09-03-1955 memberitakan lulus tingkat doctoraal di Fakultas Ekonomi: Widjojo [Nitisastro]. Kemudian disusul oleh tiga lulusan berikutnya yakni R Dahmono, HMT Oppusunggu dan Tjiong Joe Lian (lihat De nieuwsgier, 29-04-1955).

Seperti disebut di atas, sejarah mahasiswa Indonesia dan sejarah organisasi mahasiswa Indonesia adalah sejarah yang sudah panjang. Perguruan tinggi (universitas) pada mulanya hanya ada di Belanda. Dalam hubungannya inilah kemudian organisasi mahasiswa Indonesia pertama didirikan pada tahun 1908 di Belanda yang diketuai oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Meski sudah didirikan perguruan tinggi di Indonesia sejak 1920, namun organisasi yang dibentuk mahasiswa lebih cenderung bersifat kepemudaan (umum).


Secara khusus organisasi mahasiswa baru terbentuk lagi pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yakni organisasi HMI yang didirikan Januari 1947 di Djokjakarta (ketua Lafran Pane) dan PMUI yang didirikan November 1947 di Djakarta (ketua Ida Nasoetion).

Setelah dibubarkannya RIS (bentukan Belanda) dan kembali ke negara kesatuan (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950 lambat laun dosen-dosen asal Belanda mulai berkurang karena kembali ke negaranya. Sempat booming mahasiswa Indonesia yang studi ke Belanda karena adanya program dari pemerintah Indonesia. Namu seiring dengan munculnya ketidakharmonisan Belanda dan Indonesia, era baru kemahasiswaan dimulai. Dosen-dosen non Belanda terutama dari Amerika mulai masuk. Lalu seiring dengan adanya beasiswa dari Amerika Serikat, mulai banyak mahasiswa Indonesia yang berangkat studi ke Amerika dengan beasiswa atau dengan biaya sendiri.


Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-08-1957: ‘Ekonom ke AS (Amerika Serikat). Enam pakar ekonomi Indonesia, yang berafiliasi dengan Fakultas Ekonomi di Djakarta, telah dikirim ke AS. meninggalkan tanah air selama dua tahun untuk mengembangkan diri secara ekonomi. Para ahli adalah: Widjojo Nitisastro, T Umar Ali, Barli Halim, Suhadi Mangkusuwondo, JE Ismael dan Wahju Sukotjo. Studi mereka di berbagai universitas di AS dilakukan dalam konteks Indonesianisasi dosen-dosen Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia di Djakarta’.

Semakin memburuknya hubungan Indonesia dan Belanda dalam hal Papua, banyak mahasiswa Indonesia di Belanda yang pindah seperti ke Jerman dan negara-negara lainnya di Eropa. Arus mahasiswa yang studi ke Amerika menjadi jauh lebih meningkat.

 

Lantas sejak kapan mahasiswa Indonesia studi ke Amerika? Pada masa Pemerintah Hindia Belanda tujuan utama mahasiswa Indonesia studi ke Belanda. Namun karena sebab-sebab khusus ada beberapa mahasiswa Indonesia di Belanda yang melanjutkan studi ke luar Belanda seperti ke Belgia (Dr Abdoel Rivai, 1908); ke Jerman (Dr Ratoelangi, 1914), ke Swiss (Ir AFP Siregar, 1940). Pada tahun 1924 Dr Sardjito setelah mendapat gelar PhD dalam bidang kedokteran di Belanda, berangkat ke Boston untuk menambah pengetahuannya (Dr Sardjito kini Rektor UGM). Seperti disebut di atas, Dr Mamoen Al Rasjid Koesoemadilaga semsa Perang Dunia II (1944) berangkat ke Washington untuk meningkatkan pengetahuannnya di bidang kedokteran. Sejauh yang diketahui mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi ke Amerika baru terinformasikan pada tahun 1952 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 06-05-1952). Disebutkan kemarin, Mr GB Yosua diangkat sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Utara, menggantikan Mr Ismail Daulay, yang menjalani studi ke Amerika. Seperti dikutip di atas, Widjojo Nitisastro dkk baru berangkat studi ke Amerika tahun 1957 (lihat Sejarah Diaspora Indonesia di Amerika Serikat oleh Akhir Matua Harahap, forthcoming)Lantas bagaimana dengan yang dikutip dari Wikipedia di atas, bahwa Dr Sjahrir lahir 24 Februari 1945 (di Koedoes) adalah putra Maamoen Al Rasjid dan Roesma Malik? Disebutkan Maamoen Al Rasjid pernah kuliah di STOVIA; Roesma Malik jebolan Syracuse University, Amerika Serikat.

Pada tahun 1957 semua dewan mahasiswa yang berada di bawah Universitas Indonesia (Djakarta, Bandoeng dan Bogor) disatukan dalam satu presidium dengan ketua terpilih Hasan Rangkuti (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 29-10-1957). Dalam acara laporan tahunan Presiden Universitas Indonesia, ketua dewan yang baru Hasan Rangkuti juga turut hadir dan berbicara (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 31-10-1957). Disebutkan Hasan Rangkuti mengatakan bahwa Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia adalah salah satu organisasi yang menyatukan mahasiswa Bandoeng, Bogor dan Djakarta menjadi keluarga besar. telah diakui oleh Presiden Universitas Indonesia. Pembentukan dewan ini memiliki tujuan untuk ikut bertanggung jawab atas penciptaan dan pengembangan universitas, singkatnya, itu adalah co-operator untuk bersama-sama bertanggung jawab dalam eksistensi dan perkembangan universitas.

 

Pada tahun 1959 Universitas Indonesia dimekarkan dimana semua fakultas yang terdapat di Bandoeng disatukan dengan membentuk Institut Teknologi Bandoeng (ITB). Sejak ini Presidium Mahasiswa Universitas Indonesia yang dipimpin Hasan Rangkuti mereduksi menjadi hanya terbatas di Djakarta. Sementara eks Dewan Mahasiswa UI di Bandoeng menjadi Dewan Mahasiswa ITB. Meski sudah terbentuk Dewan Mahasiswa ITB, di Djakarta Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia tetap menonjol dalam peta organisasi mahasiswa di dalam kampus dari masa ke masa.  

Hasan Rangkuti adalah mahasiswa Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial. Hasan Rangkuti menjabat ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia periode 1957-1960. Hasan Rangkuti kembali terpilih pada periode 1962-1964. Ini mengindikasikan garis linier dari era Ida Nasoetion hingga era Hasan Rangkoeti tetap terjaga.


Perubahan arah tujuan mahasiswa untuk melanjutkan studi yang tidak lagi ke Belanda, sudah mulai membuahkan hasil. Misalnya Arifin M. Siregar memulai tingkat sarjana di Economische Hoogeschool Rotterdam tahun 1953 (lihat Het Parool, 18-06-1954), Namun karena hubungan Belanda dan Indonesia memanas soal Papua, Arifin M Siregar melanjutkan studi tingkat doktoral (PhD) ke Jerman di Universität Münster. Arifin M Siregar meraih gelar PhD di Jerman pada tahun 1960. Sementara itu, Widjojo Nitisastro yang berangkat ke Amerika tahun 1957 kemudian berhasil meraih PhD di University of California at Berkeley tahun 1961. Catatan: Widjojo Nitisastro kelak dikenal sebagai pendiri Lembaga Demografi di Fakultas Ekonomi UI (1963). Widjojo Nitisastro dan Kartomo Wirosoehardjo keduanya pernah menjadi Kepala Lembaga Demografi, suatu lembaga riset di Fakultas Ekonomi UI tempat saya bekerja dalam kegiatan riset sejak 1991. Saya mengenal Widjojo Nitisastro dan Kartomo Wirosoehardjo.

Presidium mahasiswa UI (Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia) terus menjaga marwah sebagai penyeimbang antara pemerintah dan rakyat. Lalu kemudian mulai berjuang dimulai dari penentangan terhadap kebijakan Presiden Soekarno (1966). Selanjutya Presidium mahasiswa UI (Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia) melakukan penentangan terhadap kebijakan Presiden Soeharto. Ini bermula dengan munculnya tokoh mahasiswa bernama Hariman Siregar yang ingin mencalonkan diri sebagai kandidat ketua DEMA UI tahun 1972.


Pada tahun 1971, Hariman Siregar mengajukan diri untuk dicalonkan menjadi ketua senat. Hasilnya, Hariman Siregar terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran. Eskalasi politik di kalangan mahasiswa makin meningkat karena persoalan kemasyarakatan semakin menganga antara kebijakan pemerintah dengan kenyataan yang dihadapi rakyat banyak. Hariman Siregar menyadari organisasi intrakampus akan sangat terbatas. Kebetulan mahasiswa kedokteran se-Indonesia akan melakukan kongres di Makassar 1972. Hariman Siregar melepaskan jabatan Ketua Senat dan mengajukan diri untuk menjadi Sekjen Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI). Dalam kongres ini Hariman Siregar terpilih. Nama Hariman Siregar mulai mencuat ke permukaan. Kini, Hariman Siregar sudah memiliki portfolio. Suatu portfolio yang unik, suatu kombinasi modal aktivis politik (kemasyarakatan) dan aktivis profesi (keilmuan). Figur Hariman Siregar mengubah mainstream politik kampus. Mahasiswa yang masih banyak dalam posisi ‘mengambang’ selama ini lalu hanyut dan mengidolakan Hariman Siregar sebagai calon pemimpin baru. Hariman Siregar menyadari bahwa IMKI belum cukup. Hariman Siregar masih butuh ‘kendaraan’ politik mahasiswa yang powerfull. Hariman Siregar mulai meretas jalan menuju Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI), Teman-temannya sadar betul peluang Hariman Siregar sangat kecil untuk bisa menjadi Ketua DMUI. Hal ini karena dari masa ke masa yang menjabat posisi itu adalah mahasiswa yang memiliki basis yang kuat. Saat itu HMI sangat kuat dan mahasiswa UI banyak yang berafiliasi dengan HMI. Hariman Siregar tidak peduli dengan apa yang dipahami teman-temannya. Hariman Siregar justru masih melihat ada celah. Dan itu tantangannya. 

Seorang yang memiliki darah pejuang, menghadapi tantangan adalah perjuangan. Hariman Siregar mengajukan diri. Sekali lagi, teman-temannya menganggap keinginan Hariman Siregar itu sulit terlaksana, bahkan dari kalangan HMI sendiri juga menganggap Hariman Siregar tidak perlu diperhitungkan. Hariman Siregar yang cerdas mungkin menyimpulkan begini: ‘jika kawan dan lawan meremehkan saya, itu berarti kekuatan saya dan dapat dianggap sebagai bonus yang diterima di awal pertarungan’. Hariman Siregar tampaknya tidak takut dan memang tidak ada takutnya. Hariman Siregar tidak hanya mahasiswa pemberani tetapi juga mahasiswa cerdas serta memiliki talenta diplomasi yang kuat. Hariman Siregar lahir di Padang Sidempoean. 


Kota Padang Sidempoean adalah tempat lahirnya para pionir organisasi mahasiswa Indonesia, mulai dari Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, pendiri Perhimpoenan Indonesia di Belanda pada tahun 1908. Sorip Tagor Harahap, pendiri organisasi mahasiswa Sumatra di Belanda tahun 1917 (ompung dari Inez/Risti Tagor dan Deisti Astriani Tagor/istri Setya Novanto mantan ketua DPR); Lafran Pane pendiri HMI di Jogjakarta pada tahun 1947 dan Ida Nasoetion pendiri PMUI di Djakarta pada tahun 1947. Dan tentu saja harus diingat Januar Hakim Harahap pendiri Dewan Mahasiswa UI di Bandoeng tahun 1953.  Hariman Siregar lahir di Padang Sidempoean tanggal 1 Mei 1950. Ayahnya Kalisati Siregar adalah Kepala Dinas Perdagangan di Kabupaten Tapanuli Selatan di pengasingan semasa perang mempertahankan kemerdekaan dan hingga pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dipulihkan pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Kalisati Siregar sebagai pejabat di Padang Sidempoean kemudian dipindahkan ke Medan pada saat mana Abdoel Hakim Harahap menjadi Gubernur Sumatra Utara (sejak Januari 1951). Setelah beberapa tahun di Medan, Kalisati Siregar dipindahkan ke Palembang untuk menggantikan posisi jabatan kepala dinas perdagangan yang ditinggalkan oleh Darwin Hamonangan Nasoetion. Terakhir, Kalisati Siregar dipindahkan ke pusat sebagai pejabat di Departemen Perdagangan RI tahun 1959 (hingga pension). Pada saat ini belum lama terbentuk kabinet baru (Presiden Soekarno) yang mana sebagai Menteri Muda Perdagangan adalah Letnan Kolonel Mr Arifin Harahap (Adik mantan Perdana Menteri RI Mr Amir Sjarifoeddin Harahap). Hariman Siregar menyelesaikan sekolah dasar (SD) tahun 1961, pendidikan sekolah menengah (SMP dan SMA) juga diselesaikan di Jakarta dan lulus 1967. Awalnya Hariman Siregar diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB). Akan tetapi ayahnya meminta untuk kuliah di Universitas Indonesia saja agar bisa menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran. Hariman Siregar yang selalu hormat kepada orangtua ini mengiyakan permintaan sang ayah. Hariman Siregar ujian saringan di Universitas Indonesia dan diterima dan terdaftar di Universitas Indonesia pada tahun 1968.

Dalam pemilihan DEMA UI 1972 Hariman Siregar mulai bekerja dengan caranya sendiri (soliter), karena Hariman Siregar bangkit karena kesadaran sendiri. Hariman Siregar lalu bergerilya (sebagaimana ayahnya dulu di medan perang) dengan melakukan pendekatan ke semua unsur yang ada dan anehnya bahkan melakukan pendekatan ke orang-orang HMI sendiri. Padahal HMI telah punya calon sendiri. Mungkin Hariman Siregar berpikir: ‘selagi mereka semua adalah bangsa Indonesia, mereka adalah kawan’. Karenanya, Hariman Siregar terus mendekati mahasiswa-mahasiswa HMI meski Hariman Siregar mengetahui mereka sudah memiliki calon yang direstui oleh Pengurus Besar HMI (yang kala itu dijabat oleh Akbar Tanjung). Bahkan Hariman Siregar, berani-beraninya datang menghadap Akbar Tanjung.


Akbar Tanjung anak Sibolga ini mungkin hanya tersenyum melihat kedatangan Hariman Siregar anak Padang Sidempoean. Tersenyum karena merasakan dalam dirinya sesama anak Tapanoeli, karena Hariman Siregar memiliki jiwa petarung dan otak yang encer. Mungkin Akbar Tanjung dalam posisi dilematis: mengiyakan berarti menciderai dirinya sendiri karena Akbar Tanjung adalah Ketua PB HMI; menolak berarti takut ‘kualat’ sama Lafran Pane (pendiri HMI). Mungkin juga Ashadi Siregar juga ikut sumringah melihat cara Hariman Siregar. Ashadi Siregar adalah lulusan SMA Negeri Padang Sidempuan (kini SMA N 1) tahun 1964 dan diterima di Fakultas Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada. Ashadi lulus dan mendapatkan gelar sarjana di UGM tahun 1970. Sebagai mantan aktivis mahasiswa dan sarjana politik sudah barang tentu Ashadi Siregar terus mengamati dinamika mahasiswa termasuk dengan majunya Hariman Siregar sebagai kandidat ketua DEMA UI. Saya waktu itu tahun 1972 sudah duduk di kelas 3 SD Negeri 16 Padang Sidempuan (di suatu komplek pendidikan dimana SMA N 1 dan SMP N 3 juga berada). Saya masih ingat nama Hariman Siregar juga menjadi pembicaraan umum oleh siswa-siswa mulai SD hingga SMA). Ashadi Siregar meski seorang sarjana politik tetapi juga seorang sastrawan. Seperti Ida Nasoetion, Ashadi Siregar juga seorang esai yang dikenal dan juga dikenal sebagai pemimpin redaksi majalah Sendi. Sebagai seorang esai, Ashadi Siregar sudah hampir mendekati esai terkenal sastrawan Mochtar Lubis.

Hasil bergerilya Hariman Siregar berbuah hasil. Para analisis menyimpulkan perebutan Ketua DMUI akan sengit. Angka-angka yang beredar ternyata sudah fifty-fifty antara Hariman Siregar dengan calon kuat dari HMI. Meski begitu, semua kalangan menganggap Hariman Siregar akan tetap kalah. Tapi Hariman Siregar adalah ‘joki’ terbaik dari Padang Sidempoean dengan kuda poni terbaik dari Sipirok. Jika ketemu kombinasi kimia ‘joki terbaik’ dan ‘kuda terbaik’ maka suatu pertempuran sekalipun itu dilangsungkan di Wild West akan meraih kemenangan. Hariman Siregar adalah ‘lone ranger’ van Batakland. Hariman Siregar mengabaikan opini orang lain. Hariman Siregar lebih percaya pada kearifan yang dibangun di atas kecerdasan yang dibawa dari huta. Ketika ‘pemilu’ DMUI berlangsung dan saatnya perhitungan suara, Hariman Siregar kejar-kejaran dalam pengumpulan suara.


Ketika posisi 24-24, masih ada dua suara yang berada di dalam stoples (total voter 50 suara perwakilan mahasiswa). Mahasiswa HMI yang mengikuti perhitungan suara itu tetap yakin akan menang kandidatnya karena secara defacto ada 25 voter yang berafilasi dengan HMI. Lalu kertas berikutnya dibuka, dan ternyata suara untuk Hariman Siregar: skor menjadi 25-24. Hariman Siregar berada di atas angin. HMI masih punya harapan dalam proses pemilihan ulang karena suara terakhir adalah milik HMI sehingga skor 25-25 alias draw.

Sebagaimana lazimnya suara terakhir yang menentukan selalu diulur-ulur oleh panitia untuk mempermainkan emosi penonton. Akibatnya suasana di TPS itu semakin tegang. Akhirnya panitia pemilihan membuka kertas suara, tetapi mau mengatakan apa malah terdiam tak disadarinya. Dapat diduga bahwa panitia yang membuka dan akan membacakan langsung itu adalah panitia yang berafiliasi kepada HMI. Tetapi hadirin mendesak untuk segera dibacakan. Dengan setengah malu dan kecut menyeru: Ha…riman! Lalu semua forum kaget dan tidak menduga yang menang adalah Hariman Siregar. Dari sudut supporter Hariman Siregar lalu berteriak: Hidup Hariman, Hidup Hariman, Hidup Hariman. Dari sudut supporter HMI yang sejak beberapa saat terdiam, lalu menyadari calon mereka telah dikalahkan dan Hariman Siregar yang menang. Terpilih sudah ketua DEMA UI tahun 1972.


PB HMI gusar: bukan terhadap Hariman Siregar. Tetapi, siapa yang membelot dari 25 mahasiswa yang mewakili (berafilasi) HMI itu? Pertanyaaan ini tidak terjawab sekian lama. PB HMI juga tidak terlalu memusingkannya lagi, mereka sadar ‘pemilu’ DMUI adalah bagian dari demokrasi. Hariman Siregar sendiri juga tidak perlu menyelidiki siapa-siapa yang mendukungnya dan memberikan suara kepada dirinya. Hariman Siregar ingin segera bekerja. Bekerja untuk menyusun pengurus DMUI yang baru. Anehnya, Hariman Siregar justru memilih fungsionaris pertama adalah sekjen (jantung organisasi). Anehnya lagi, Hariman Siregar justru mengangkat kompetitornya sebagai sekjen (ini mirip pada masa ini ketika Presiden Joko Widodo, mengangkat kompetitornya Prabowo Subiantoi menjadi Menteri Pertahanan di jantung pertahanan Indonesia). Dunia kampus terheran-heran. Tapi, orang lupa bahwa Hariman Siregar adalah orang yang cerdas yang tidak pernah mau memusuhi siapapun selagi yang bersangkutan masih bangsa Indonesia. Adat ‘dalihan natolu’ ditunaikan oleh Hariman Siregar: ‘mendahulukan relasi daripada unsur’, mendahulukan konten (relasi) daripada siapa yang harus melakukan (unsur). Akbar Tanjung dari kubu HMI (generasi selanjutnya dari Lafran Pane) paham betul supra-teori ‘dalihan natolu’, dan jelas tidak kaget dan tidak heran mengapa yang dipilih dari HMI untuk sekjen dan mengapa pula Hariman Siregar berpikir begitu. Lafran Pane kelahiran Padang Sidempoean asal Sipirok; Hariman Siregar kelahiran Padang Sidempoean asal Sipirok. Last but not least: penulis artikel ini juga kelahiran Padang Sidempuan asal Sipirok.

Pengangkatan orang HMI sebagai sekjen disambut sukacita oleh semua kalangan HMI seluruh Indonesia termasuk HMI di Padang Sidempoean (dimana sudah ada IKIP cabang Medan dan IAIN cabang Medan). Mungkin Akbar Tanjung dan Lafran Pane hanya tersenyum-senyum saja. Hariman Siregar dalam hal ini tidak hanya merebut kemenangan dengan tanpa peluru, tetapi juga telah merebut hati kalangan HMI dengan gemuruh. Ini bonus kedua yang diperoleh Hariman Siregar pada posisi portfolionya sebelum memulai tugas baru: perjuangan untuk rakyat.


Hariman Siregar telah memberi contoh bagaimana seharusnya hidup berbangsa. Ayahnya dulu di masa perang dapat mempertahankan NKRI tidak dengan peluru tetapi dengan amunisi pangan (sebagai kapala dinas perdagangan). Lalu dalam perkembangannya, dan melihat kondisi objektif yang ada (apalagi sekjennya adalah dari HMI), orang HMI yang dianggap membelot itu kemudian buka suara, namanya Imran Hasibuan (sudah barang tentu asalnya dari Padang Sidempoean). Ketika ditanyakan kepadanya mengapa membelot (partisan HMI) dan memberikan suara kepada Hariman Siregar (non-partisan). Imran hanya menjawab enteng: ‘saya adalah HMI tulen, tetapi saya juga adalah anak Batak dari Padang Sidempuan’. Mungkin mendengar jawaban Hasibuan ini, pendiri HMI Lafran Pane dan ketuanya yang kini dijabat Akbar Tanjung hanya tersenyum-senyum saja. Diplomasi Siregar yang cerdas dibalas dengan diplomasi Hasibuan yang cerdas pula—diplomasi ‘halak hita’, diplomasi ‘dalihan natolu’ (arti harpiahnya begini: saya dan engkau adalah teman, jika dia adalah temanku atau jika dia adalah temanmu, maka dia adalah teman kita untuk memperkuat berdirinya sebuah tungku segitiga).

Hariman Siregar menyadari betul bahwa dalam adat 'dalihan natolu' bahwa hidup dan kehidupan itu adalah unsur-unsur yang memiliki relasi dan bersifat komplementer (bukan substitusi). Sebab substitusi itu adalah saling menyingkirkan atau bahkan saling membunuh, sementara komplemen adalah saling memperkuat. Ketika Lafran Pane dulu di masa perang ketika mendirikan HMI di luar kampus (ekstrakurikuler), justru rekan 'dongan sahuta' Ida Nasoetion bersama G. Harahap mendirikan PMUI di Jakarta di dalam kampus (intrakurikuler), Kedua mahasiswa asal Padang Sidempoean itu membangun konsep pemikiran atas dasar saling memperkuat. Adagium saat itu: 'semua adalah kawan, musuh bersama adalah kolonialisme dan imperialisme’.


Kini Hariman Siregar paham betul bagaimana Lafran Pane dengan HMI dan Ida Nasoetion dengan PMUI membangun organisasi untuk tujuan bersama. Kedua anak Padang Sidempoean itu bersinergi bukan saling melukai. Hariman Siregar mengikuti pola pikir kedua seniornya yang kebetulan 'dongan sahuta' di Padang Sidempoean dengan memadukan kekuatan massa HMI dengan massa non-HMI dalam satu kekuatan mahasiswa bersatu melawan musuh bersama yakni yang menggerogoti negara kala itu: korupsi dan modal asing. Nyata bahwa ramuan Hariman Siregar itu paten rasanya seperti halnya tempo doeloe tahun 1908 di Leiden, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan van Padang Sidempoean menghimpun semua mahasiswa asal Hindia (Jawa, Minangkabau, Batak, Manado, Ambon) dalam satu wadah tunggal Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia/Perhimpoenan Indonesia).

Setelah Hariman Siregar terpilih menjadi Ketua DMUI, eskalasi politik khususnya antara pemerintah dan kalangan mahasiswa semakin meninggi. Kebijakan pro pemerintah yang menginginkan pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan segelintir penduduk Indonesia, tidak sejalan dengan harapan masyarakat dan mahasiswa yang menginginkan pemerataan kesejahteraan. Ini semua dipicu oleh semakin merajalelanya korupsi dan tekanan Negara asing melalui modal asing. Eropa dengan ketuanya Belanda (via IGGI yang diketuai oleh Pronk) dan invasi produk-produk Jepang (yang saat itu PM Jepang adalah Tanaka).


Dua isu ini yang membuat rakyat terpuruk. Hariman Siregar paham betul masalah ini, karenanya pemerintah harus didesak untuk menyelesaikan sumber masalah. Berbagai pendekatan telah dilakukan Hariman Siregar melalui DMUI untuk mempercepat mengatasi permasalahan bangsa. Hariman Siregar menghubungi semua unsur, dalam bahasa sekarang stakeholder. Keluar: Hariman Siregar menghububungi Jenderal Soemitro sebagai Pangkopkamtib dan Ali Moertopo sebagai asisten pribadi (aspri) Presiden Suharto. Bagi sejumlah kalangan mahasiswa cara Hariman Siregar surapa ini tidak lazim dan dianggap merendahkan mahasiswa. Apalagi Hariman Siregar menjalin hubungan baik dengan Ali Moertopo. Kedalam: Hariman Siregar melakukan konsolidasi mahasiswa di dalam kampus. Hariman blusukan ke kampus-kampus dan berhasil menjalin hubungan baik dan melakukan MOU dengan sepuluh kampus.

Hariman Siregar memimpin perwakilan sepuluh kampus untuk bertemu dan menanyakan langsung kepada Suharto tentang permasalahan Negara ini. Pertemuan ini deadlock karena mahasiswa yang dibawanya ternyata berdialog tidak taktis malah membuat Suharto agak kesal.


Diskusi-diskusi di kalangan mahasiswa semakin intens. Intelijen yang selama ini memonitor di lapangan memberi laporan yang membuat petinggi ABRI Jendral Soemitro dan Ali Moertopo menjadi sangat gelisah. Ali Moertopo coba mengendalikan mahasiswa melalui Hariman Siregar yang dianggapnya sebagai teman. Akan tetapi Ali Moertopo ‘kecele’, Hariman Siregar terus maju dengan apa yang dipikirkannya. Akbar Tanjung pernah mengatakan bahwa ‘Hariman adalah orang yang tidak bisa dikendalikan’. Hariman Siregar adalah orang yang independent. Tentu saja Hariman Siregar seorang yang soliter dan seorang lone ranger.

Di internal DMUI sempat muncul mosi tidak percaya kepada Ketua DMUI, Hariman Siregar. Pada tanggal 28 Desember 1973 satu kelompok fungsionaris DMUI mengatakan bahwa Hariman Siregar dalam beberapa bulan terakhir tidak menjalankan agenda kegiatan atas nama DMUI. Menanggapi hal ini Hariman Siregar beserta petinggi DMUI lainnya mengambil tindakan cepat dan tegas.  Sehari setelah mosi tidak percaya tersebut disampaikan, kelompok fungsionaris tersebut dicopot dari keanggotaannya dari DMUI. Mungkin dalam hal ini Hariman Siregar menggertak: ‘lo mau apa, gue ini anak Batak’. Dalam bahasa sekarang dapat diterjemahkan sebagai wujud ketegasan: ‘Saya tidak memandang kalian itu siapa, saya berjuang untuk kepentingan rakyat. Mau ikut atau kagak. Titik’. Respons yang lamban dari pemerintah disentil Hariman Siregar dalam pidatonya di Universitas Indonesia pada malam pergantian tahun baru 1973-1974. Statement-nya jelas, antara lain:


“Tidak ada hasil yang diperoleh tanpa kerja keras, tanpa perjuangan, dan tanpa keberanian. Karena, kalau kita tidak mau dikekang, dianca, baik oleh kekuasaan maupun cecunguk-cecunguknya, maka kita mahasiswa harus berani bersikap dan bergerak untuk mewujudkan pendapat-pendapat yang diperoleh. Ingat, pada akhirnya yang menentukan bukanlah analisis yng bagus-bagus yang ilmiah, tetapi tindak nyata yang mengubah keadaan. 


Kepada tukang becak, mari abang-abang, kita bergerak bersama untuk membuka kesempatan kerja. Kepada para penganggur yang puluhan juta, yang berada di desa-desa dan kota-kota untuk bergerak untuk kesejahteraan sosial; kepada warga Negara Indonesia yang bekerja untuk perusahaan asing, mari kita bergerak untuk menuntut persamaan hak dengan karyawan-karyawan asing, mari kita bergerak untuk menuntut persamaan hak dengan karyawan-karyawan asing. Dan akhirnya, kepada para koruptor penjual bangsa, pencatut-pencatut sumber alam Indonesia yang mengejar-ngejar komisi sepuluh persen, kami serukan bersiap-siaplah menghadapi gerakan kami yang akan datang.”

Eskalasi politik terus semakin meninggi tatkala ada rencana kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang yang akan berkunjung ke Indonesia 15-17 Januari 1974 dan menambah kebencian terhadap asing. Hariman Siregar mencoba untuk jalan dialog dan bertemu langsung dengan PM Tanaka. Namun Hariman Siregar ditekan teman-temannya dari seluruh Indonesia agar menghindari dialog dan langsung turun ke jalan. Hariman Siregar tidak berdaya lalu ikut menyetujui. Inilah kesetiaan Hariman Siregar terhadap kawan, selagi perjuangan masih berada di dalam relnya. Pada tanggal 15 Januari 1974 mahasiswa yang dimotori DMUI coba melakukan protes dengan turun ke jalan menuju bandara Halim tempat kedatangan PM Jepang, tetapi itu tidak mudah karena sudah dihalangi oleh berikade tentara. Lalu demonstrasi dialihkan menuju Grogol dengan longmarch dan melakukan orasi di kampus Trisakti.


Pada hari yang sama, tidak disangka, ada pihak ketiga yang mengacaukan Jakarta dengan memicu penjarahan, pembakaran gedung-gedung, toko-toko dan mobil-mobil produk Jepang. Mendengar kejadian ini, atas perintah Hariman Siregar, mahasiswa langsung balik ke kampus UI Salemba dan di dalam terus memantau apa yang tengah terjadi. Hariman Siregar di dalam kampus sesungguhnya tidak panik. Hariman Siregar meminta mahasiswa bertahan di dalam kampus dan Hariman Siregar sendiri bergegas menuju Kantor TVRI untuk melakukan siaran yang berisi seruan penghentian demonstrasi dan menyerukan agar mahasiswa tidak terlibat dalam kerusuhan yang tengah terjadi.

Esok harinya, opini berkembang dan semua menyudutkan Hariman Siregar. Meski demikian, Hariman Siregar tidak gentar. Secara publik kecaman itu diterimanya, tetapi di dalam hati dia tetap tenang karena merasa tidak bersalah. Karena mahasiswa tidak menginginkan kerusuhan tetapi mengkritisi pemerintah agar melakukan koreksi. Hariman Siregar paham. Ibarat lempar batu ke utara, tetapi kali ini jatuhnya di selatan.


Lalu Petinggi ABRI dalam hal ini Jenderal Soemitro memerintahkan Sudomo sebagai wakilnya untuk menangkap Hariman Siregar sebagai yang pertama. Sewaktu ditahan Hariman Siregar sudah lulus doctorandus medicus (dr.med). Hariman Siregar tidak melawan, malah tidak melarikan diri ketika mau ditangkap. Hariman Siregar dibawa ke rumah tahanan militer Budi Utomo, Jakarta Pusat. Hariman Siregar menunggu proses hukum yang dituduhkan kepadanya. Biar pengadilan yang menjelaskan. Hariman Siregar ‘diadili’ dan kemudian lalu divonnis enam tahun pada tanggal 21 Desember 1974. Hariman Siregar lalu ditahan di penjara Nirbaya, Podok Gede Jakarta.

Hariman Siregar tidak berusaha beretorika. Hariman Siregar mengikuti semua prosedur peradilan yang dimainkan saat itu. Hariman Siregar dalam hati mengabaikan semua tuduhan dan berusaha berkelakuan baik meski sudah berada di penjara. Hariman Siregar mengambil risiko itu, sebagaimana Parlindungan Lubis dulu telah mengambil risiko itu. Hariman Siregar tidak ingin menambah kegaduhan. [Anak-anak Padang Sidempoean lainnya yang ditangkap diantaranya Adnan Buyung Nasoetion dan Mochtar Lubis]. Melakukan pembelaan diri saat itu tidak tepat.


Mochtar Lubis adalah pendiri dan ketua International Press Institute (IPI) pertama chapter Indonesia (1952). Mochtar Lubis memimpin demonstrasi untuk Kebebasan Pers (1953). Atas sepak terjangnya dalam melawan tirani, Mochtar Lubis dipenjara di rumah tahanan CPM (jalan) Guntur, lalu dipindahkan ke penjara militer (jalan) Boedi Oetomo (1956): Pada tahun 1957 Mochtar Lubis dibela Mohamad Yamin dan didukung oleh PWI Bandung (Pemimpin surat kabar Pikiran Rakyat Sakti Alamsjah Siregar) sedangkan PWI pusat diam saja (tetapi akhirnya mendukung tetapi setengah hati). Juga didukung Internationale Pers Instituut di Zürich. Tentu saja juga ada dukungan dari para sastrawan. Juga ada dukungan dari para penulis dari Himpunan Pengarang Islam. Tahun 1966 Mochtar Lubis bebas, sebaliknya Soekarno ‘ditahan’. Indonesia Raya terbit kembali tahun 1967. Mochtar Lubis bereaksi ketika De Spiegel menuduh Adam Malik korupsi (akhirnya koran De Spiegel meralat dan minta maaf). Hariman Siregar diterima di Fakultas Kedokteran UI. Pada tahun 1968 Mochtar Lubis berteman dekat dengan Profesor Soemitro Djojohadikoesoemo. Pada tahun 1969 Mochtar Lubis kritik wartawan amplop dan juga ‘menyerang kerajaan’ Ibnu Soetowo. Pada tahun 1970 di era Soeharto, tetap konsiten anti korupsi dan juga masih wartawan paling terkenal di pers asing. Mochtar Lubis bertemu dengan Hariman Siregar dalam Malari 1974.

Hariman Siregar hanya berusaha untuk tetap kuat dan tegar ketika kesedihan selalu mengusiknya: ada korban jiwa dan materi. Hariman Siregar hanya sangat bersedih karena rakyat juga yang menderita. Kerusuhan yang berlangsung selama dua hari itu tercatat sebelas orang meninggal.


Kesedihan Hariman Siregar terus bertambah. Hariman Siregar hanya bersedih pada penderitaan rakyat dan terhadap orang-orang yang sangat dicintainya. Istrinya yang masih bestatus mahasiswa FPsUI itu mengandung untuk kali kedua. Akibat keadaan, istri Hariman Siregar menjadi stress dan anak kembar mereka yang lahir meninggal. Bapak mertua juga ikut ditangkap yang juga tengah berada di dalam tahanan. Kesedihan ternyata masih berlanjut. Beberapa waktu kemudian, ayahnya, Kalisati Siregar (pejuang Padang Sidempoean) dikabarkan telah meninggal dunia. Kalisati Siregar, pejuang Padang Sidempoean masih sempat melihat anaknya, 'sang petarung' Hariman Siregar berjuang habis-habisan demi rakyat banyak. Ayahnya tersenyum (like son, like father) dan lalu menutup mata untuk selamanya. Kalisati Siregar meninggal dengan tenang. Selamat jalan, Pak Komandan! Hormat kami dari anak-anak Padang Sidempoean. Perjuanganmu menjadi inspirasi kami. Semoga diterima di sisiNya. Amin. Kini, hanya tinggal ibu (boru Hutagalung) yang kerap bolak-balik datang ke penjara. Ketika semua itu datang bersamaan, Hariman Siregar berupaya mengelola kesedihannya agar tidak sampai merusak dan membunuh dirinya. Hariman Siregar berusaha tetap kuat dan tegar meski muncul ‘cobaan’ yang begitu berat. Hariman Siregar menganggap perjuangan yang dicita-citakan masih lama dan butuh waktu dan tenaga.

Pemerintah dan ABRI mengoreksi keputusannya. Vonnis Hariman Siregar yang ditetapkan pada awalnya enam setengah tahun hanya dijalani dua tahun tujuh bulan. Pejuang sejati tetaplah berjuang. Selepas keluar dari tahanan, mahasiswa tetap menganggap Hariman Siregar sebagai figure kuat dan ideal. Hariman Siregar diminta mendukung. Hariman Siregar tidak keberatan. Hariman Siregar ikut mendukung gerakan mahasiswa 1978 yang menolak Soeharto sebagai presiden kembali. Dalam perkembangannya, nama Hariman Siregar terrehabilisasi. Jenderal Sumitro dalam biografinya meyakini Hariman Siregar tidak terlibat. Sumitro balik menuduh kelompok jaringan intel lepas Opsus (Operasi Khusus) di bawah komando Ali Moertopo seharusnya yang paling bertanggung jawab atas peristiwa malapetaka lima belas januari itu. Jangan lupa, yang memerintahkan untuk menangkap Hariman Siregar adalah Sumitro sendiri. Anehnya, dugaan siapa yang berada di balik kerusuhan itu adalah sebagian dari kelompok mosi tak percaya di DMUI itu yang kemudian dikenal sebagai ‘Kelompok Sepuluh’ yang dikaitkan dengan peran Ali Moertopo. Hariman Siregar tahu siapa yang harus dipecat yaitu orang-orang yang ingin menodai perjuangan. Hariman Siregar telah menunaikan itu selagi menjadi ketua DMUI.


Hariman Siregar telah mengisi organisasi mahasiswa yang telah dibentuk dan didirikan oleh pendahulunya: Sutan Casajangan (PPI), Lafran Pane (HMI) dan Ida Nasoetion (PMUI) dengan pahit dan manis. Hariman Siregar dipandang sebagai tokoh yang unik dan berpolitik tanpa ambisi kekuasaan. Akan tetapi bagi anak-anak Padang Sidempoean hal serupa itu dianggap lumrah. Prinsip dalihan natolu dalam tradisi anak-anak Padang Sidempoean selalu hadir dimanapun berada. Organisasi adalah bentuk modern dari system social dalihan natolu. Unsur dalam organisasi mahasiswa adalah sangat penting tetapi yang lebih penting adalah relasinya. Tidak akan kuat sebuah organisasi mahasiswa jika hanya terdiri dari unsur-unsur yang tidak berkaitan satu sama lain (relasi). Hariman Siregar melihat mahasiswa adalah kekuatan dan kekuatan itu powerfull jika satu sama lain disatukan.

Hariman Siregar kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Fakultas ini merupakan rangkaian perkembangan pendidikan kedokteran di Indonesia dari era kolonial Belanda yang dimulai tahun 1851 yang kemudian disebut Docter Djawa School, dan berubah nama tahun 1902 menjadi STOVIA lalu tahun 1927 berubah menjadi Geneeskundige Hoogeschool yang kemudian menjadi salah satu faculteit di Universiteit van Indonesia (setelah pasca kedaulatan RI menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Hariman Siregar adalah generasi yang kesekian, anak-anak yang berasal dari afd. Padang Sidempuan (sebelumnya bernama afd. Mandheling en Angkola).


Generasi pertama adalah Si Asta dan Si Angan yang masuk docter djawa school pada tahun 1854. Sekolah kedokteran ini dibuka tahun 1851, dan saat masuk kedua anak Padang Sidempuan belum ada siswa yang lulus. Ini artinya Si Asta dan Si Angan atau anak-anak Padang Sidempuan adalah termasuk generasi pertama di sekolah kedokteran. Dua tahun berikutnya (1856) menyusul dua siswa lagi, Si Doepang dan Si Dorie. Demikian, seterusnya secara periodik dua anak Padang Sidempuan direkrut studi di Docter Djawa School karena sejumlah criteria: lebih cerdas (pendidikan dasar yang lebih baik), lebih mampu (karena dukungan financial orang tua), lebih berani dan mandiri (saat itu belum ada komunikasi), lebih tekun, lebih tabah dan lebih sehat, serta bersedia ditempatkan dimanapun (tidak cengeng dan memiliki rasa pengabdian di bidang kesehatan).

Putra-putra asal Padang Sidempuan ini ada yang sekelas dengan Dr. Wahidin, Dr. Tjipto, Dr. Soetomo dan dokter-dokter lainnya yang cukup dikenal di Jawa pada waktu itu. Dr Majilis satu angkatan dengan Dr Wahidin; Dr Abdoel Hakim Nasoetion dan Dr Abdoel Karim Harahap satu kelas dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo; dan Radjamin Nasoetion yang menjadi wali kota Soerabaja satu angkatan dengan Dr Soetomo. Alumni sekolah kedokteran asal Padang Sidempuan itu puluhan banyaknya, sementara kebutuhan dokter di afd. Padang Sidempuan (seluas satu kabupaten) dari masa ke masa hanya satu orang (sesuai kebijakan pemerintahan kolonial kala itu). Mereka itu ditempatkan di berbagai tempat, ada yang di Batavia, Buitenzorg, Semarang, Soerabaja, kota-kota di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, dan tentu saja kota-kota di Sumatra (termasuk di Sumatra’s Westkust dan Sumatra’s Ooskust).


Beberapa diantaranya yang cukup dikenal di Padang Sidempuan alumni Docter Djawa School adalah Dr. Haroen Al Rasjid (Nasution) dan Dr. Muhamad Hamzah (Harahap) yang keduanya lulus tahun 1901. Haroen Al Rasjid menjadi menantu Dja Endar Moeda (editor pribumi pertama). Anak pertama Haroen Al Rasjid, bernama Ida Loemongga adalah dokter bergelar doktor (PhD) pertama orang Indonesia (lulus di Leiden 1931). Satu lagi anaknya bernama Gele Haroen, ahli hukum lulusan Leiden (dan menjadi Residen pertama Lampung). Dr. Muhamad Hamzah adalah saudara guru Sutan Casajangan yang menjadi anggota dewan pribumi pertama Pematang Siantar.

Hariman Siregar di masanya (era Malari dan sesudahnya) sangat dikenal di Universitas di Indonesia. Namun sangat disayangkan para pendahulunya di Universitas Indonesia seperti Ida Nasoetion dan Hasan Rangkoeti agak terlupakan. Ida Nasoetion adalah perintis organisasi Perhimpunan Mahasiswa di Universitas Indonesia (PM-UI) dan Hasan Rangkoeti sebagai inisiator terbentuknya Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DEMA-UI). Lalu bagaimana dengan Sjahrir dan lainnya semasa era Malari?


Data sejarah tidak selalu mudah dicari. Bisa jadi tidak pernah tercatat. Jika pernah dicatat tetapi tidak pernah terpublikasikan. Bagaimanapun itu menjadi tugas para sejarawan. Namun perlu disadari, pada masa kini era medsos, setiap orang dapat berkontribusi dalam ketersediaan data publik yang dapat diakses semua orang. Dengan demikian, jika setiap orang ingin menulis sejarah maka dimungkinkan antara satu data dengan data yang lain dapat direlasikan. Dalam urusan merelasikan data sejarah pada dasarnya menjadi bidang yang paling menantang bagi sejarawan. Dalam konteks inilah data sejarah menjadi penting untuk semua. Seperti disebut di atas, sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri.

Hariman Siregar lahir di Padang Sidempoean 1 Mei 1950 dan Sjahrir lahir di Koedoes 24 Februari 1945. Keduanya beda usia sekitar lima tahun. Ayah Hariman Siregar terinformasikan sebagai Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Tapanuli Selatan pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Posisi itu tetap masih dijabat hingga permulaan kedaulatan Indonesia diakui Belanda (setelah 27 Desember 1949). Bagaimana dengan Sjahrir? Seperti dikutip dari Wikipedia di atas, ayah Sjahrir bernama Maamoen Al Rasjid dan ibu bernama Roesma Malik. Maamoen Al Rasjid pernah kuliah di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dan menjadi pejabat pemerintah pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sementara Roesma Malik adalah pegawai Inspektorat Pendidikan Wanita di Departemen Pendidikan jebolan Syracuse University, Amerika Serikat.


Nama Maamoen Al Rasjid sejauh data yang dapat diakses tidak pernah terinfomasi pernah studi di STOVIA. Yang terinformasikan adalah Maamoen Al Rasjid dengan nama lengkap (Raden) Mamoen Al Rasjid (Koesoemadilaga) masuk Stovia tahun 1918 dan lulus ujian akhir dengan gelar dokter pada tahun 1926. Sekolah kedokteran Stovia sendiri sejak 1924 tidak menerima siswa baru lagi. Bagaimana dengan nama Roesma (Malik)? Juga tidak pernah terinformasikan yang pernah berangkat studi ke Amerika. Lantas bagaimana? Satu yang jelas data sejarah tidak selalu mudah dicari. Bisa jadi tidak pernah tercatat. Jika pernah dicatat tetapi tidak pernah terpublikasikan. Untuk itu, pada masa kini era medsos, setiap orang dapat berkontribusi dalam ketersediaan data publik yang dapat diakses semua orang. Dengan kata lain data sejarah menjadi penting untuk semua orang. Seperti disebut di atas, sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. 

Semasa Pemerintah Hindia Belanda banyak nama Mamoen dan Roesma, tetapi ada dua nama Maamoen Al Rasjid dan satu nama (perempuan) Roesma yang memiliki pendidikan sekolah menengah yang diduga kuat menjadi bagian dari pegawai pemerintah. Nama-nama tersebut dibatasi karena kedua orang tua Sjahrir yakni Maamoen Al Rasjid pernah sebagai pejabat pemerintah pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan Roesma (Malik) pernah sebagai pegawai Inspektorat Pendidikan Wanita di Departemen Pendidikan.


Ma’moen Al Rasjid Siregar kandidat guru di Sibolga diangkat sebagai guru pribumi di sekolah HIS di Siak Sri Indrapoera (lihat De Sumatra post, 14-09-1927). Sementara itu seorang lulusan Mosvia di Fort de Kock Makmoen al Rasjid diangkat sebagai pegawai (ambtenaar) di landraaden di Sibolga (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-09-1930). Pada tahun 1931 Makmoen al Rasjid ambtenaar di landraden te Sibolga dipindahkan ke landraden te Tandjoeng Balai (lihat Deli courant,18-09-1931). Setelah beberapa tahun di Siak, tampaknya Ma’moen Al Rasjid Siregar dipindahkan (lihat De Sumatra post, 24-05-1933). Disebutkan dengan kapal ss „Op ten Noort" dari Batavia naik sejumlah penumpang di Singapore antara lain Mamoen AR Siregar yang mana kapal tiba di Belawan Medan. Pada tahun 1939 hulponderwijzer Makmoen Arrasjid di Hollandsch-Inlandsche School di Sigli dipindahkan ke sekolah Gouv. Vervolgschool di Lho Seumawe (lihat Deli courant, 19-08-1939).  

Saat ini selain ada nama Dr (Raden) Mamoen Al Rasjid (Koesoemadilaga) yang menjadi dokter pemerintah, juga ada nama Mamoen Al Rasjid sebagai guru dan ada sebagai pegawai (ambtenaar) di pengadilan pribumi (Landraad). Bagaimana dengan nama Roesma? Juga ada nama laki-alki bernama A Roesma yang juga lulusan Stovia. Nama Roesma yang perempuan terinformasikan di Medan yang baru lulus sekolah keputrian (kini sejenis sekolah keguruan).


De Sumatra post, 17-07-1939: ‘Medansche Huishoudschool (van de Vrouwen-Organisatie van het IEV), sekolah keputrian yang mengikuti ujian dan dinyatakan lulus: A Fliers, D Monteiro, T Rietema, G Braijn, Jie Njoek San, Tje Tjoei Nie, Tan Boei Jan, Tjan Liem Lioe, Jap Moi Siat, Fatimah, Aminah, Sinta Tampoebolon, S Sannoer, S Noermala, Hasijani, Nafsiah, Deliana, W Sorongan, Joesna, Catrien Loebis, Joesniar, Roesma’.

Pada tahun 1941 kembali nama) Mamoen Al Rasjid terinformasikan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 09-01-1941). Disebutkan dipindahkan ke Padang Sidempoean, Makmoen al Rasjid, ambtenaar yang bertugas di landraden di Sawahloento. Beberapa bulan kemudian Makmoen al Rasjid dipindahkan ke Jawa (lihat Soerabaijasch handelsblad, 10-07-1941). Disebutkan ditugaskan sementara sebagai Panitera Pajak di Landraden Pasoeroean. Makmoen alias Rasjid, saat ini sebagai ambtenaar di landraden Padang Sidimpoean.


Untuk guru-guru pribumi mutasi umumnya antara satu tempat dengan tempat yang lain yang masih terbilang berdekatan. Hal ini berbeda dengan pegawai-pegawai pengadilan yang tidak hanya di wilayah yang berdekatan tetapi juga dari satu tempat ke tempat yang jauh misalnya dari Sumatra ke Jawa atau sebaliknya. Pada tahun 1941 guru (onderwijzer) Makmoen Arrasjid dipindahkan dari Lho'seumawe ke Koealasimpang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 05-09-1941). Disebutkan di Inl. volgendeschool di Lho'seumawe dipindahkan ke sekolah serupa di Koeala Simpang, de hulponderwizjer Makmoen Arrasjid.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar