*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini
**Untuk melihat artikel Sejarah Dramaga dalam blog ini Klik Ini
Di Institut Pertanian Bogor (IPB) tempo dulu sangat dikenal dengan TPB (Tingkat Persiapan Bersama). Program pendidikan TPB ini sekarang disebut Program Pendidikan Kompetensi Umum (PPKU). Setiap mahasiswa IPB harus memulainya dari TPB, suatu program pendidikan tahun pertama sebagai persiapan untuk memasuki fakultas. Kurikulum pendidikan pada TPB ini bersifat bersama, semua mahasiswa harus mengambil mata kuliah yang seragam. Karena itulah nama program pendidikan IPB tersebut disebut Tingkat Persiapan Bersama, suatu program pendidikan yang dapat dianggap sebagai ‘hub’ antara pendidikan pasca SMA (juruan IPA) dan pendidikan pra-universitas (fakultas).
**Untuk melihat artikel Sejarah Dramaga dalam blog ini Klik Ini
Di Institut Pertanian Bogor (IPB) tempo dulu sangat dikenal dengan TPB (Tingkat Persiapan Bersama). Program pendidikan TPB ini sekarang disebut Program Pendidikan Kompetensi Umum (PPKU). Setiap mahasiswa IPB harus memulainya dari TPB, suatu program pendidikan tahun pertama sebagai persiapan untuk memasuki fakultas. Kurikulum pendidikan pada TPB ini bersifat bersama, semua mahasiswa harus mengambil mata kuliah yang seragam. Karena itulah nama program pendidikan IPB tersebut disebut Tingkat Persiapan Bersama, suatu program pendidikan yang dapat dianggap sebagai ‘hub’ antara pendidikan pasca SMA (juruan IPA) dan pendidikan pra-universitas (fakultas).
Kantor TPB-IPB dan mahassiwa (1983) |
Program pendidikan TPB-IPB yang seragam, ternyata mahasiswanya sangat
beragam. Mereka diundang setelah seleksi administratif sebagai siswa terbaik di
sekolahnya. Mereka datang dari berbagai tempat di seluruh Indonesia, ada yang
datang dari dekat tugu Monas di Jakarta ibukota Republik Indonesia, juga ada
yang datang dari kota kecil terpencil di pedalaman Sumatra, seperti saya; ada
yang lulusan SMA Negeri 8 Jakarta juga ada yang datang dari SMA Negeri 1 Padang
Sidempuan, seperti adik kelas saya; ada yang datang dari Sabang dan ada yang
datang dari Merauke, serta ada yang datang dari Sekolah Kedutaan di Paris.
Tidak hanya itu, keluarga mereka juga sangat beragam, ada anak petani, seperti
saya, juga ada anak Menteri dan anak Presiden; tentu saja ada anak seorang guru
di pelosok kecamatan dan anak seorang guru besar di IPB. Bhineka tunggal ika di
tingkat persiapan bersama. Benar-benar wujud miniatur Indonesia. Saya tahu
persis karena saya termasuk di dalamnya dengan nomor identitas diri IP20.0324.
Nomor ini menjadi kode navigasi untuk melacak mahasiswa pada angkatan (tahun
tertentu) yang berada di Kelompok 2 dan Golongan 6.
Sedang kuliah di Ruang P-1 (daftar absen di pintu belakang) |
Kurikulum pendidikan TPB terbagi ke dalam tiga
kelompok mata kuliah: Kelompok mata kuliah inti, seperti Matematika, Fisika, Kimia
dan Biologi; Kelompok mata kuliah umum, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Agama, Kewiraan dan P4; Kelompok mata kuliah khusus, seperti Ilmu
Ekonomi, Ilmu Sosiologi dan Ilmu Pertanian. Disebut mata kuliah inti karena
semua mahasiswa berasal dari SMA jurusan IPA.
Mata kuliah inti ini tingkat kesulitannya satu level di atas mata
pelajaran di SMA untuk Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi. Anda bisa
bayangkan, bagaimana reaksi mahasiswa yang berasal dari berbagai level SMA di
tanah air terhadap mata kuliah inti yang levelnya ditingkatkan setara dengan di
luar negeri. Itu adalah satu masalah. Masalah yang lebih penting yang ingin
diselesaikan program pendidikan TPB-IPB ini adalah memberi kesempatan untuk
semua anak negeri untuk kuliah di fakultas tanpa harus mengurangi mutu. Solusi
yang diberikan adalah memberi kesempatan bagi mahasiswa IPK 1.25-1.99 untuk
mengulang satu tahun. Program pendidikan TPB IPB ini boleh dikatakan seleksi
akademik terlama dan terketat. Saya termasuk kelompok mahasiswa yang mengulang
alias RCD (Reducing Crisis and Dropout). RCD menjadi semacam proses tera ulang
(kalibrasi) karena perbedaan asal-usul mahasiswa. Proses ini juga menjadi treatment
untuk memposisikan mahasiswa pada level mutu yang diinginkan oleh semua
fakultas di Institut Pertanian Bogor. Mahasiswa yang lulus TPB dan mulai
mengikuti studi di fakultas sudah dalam status siap belajar di fakulteit
(keragaman telah dieliminasi). Itulah kejeniusan program pendidikan TPB IPB ini
suatu sistem seleksi akademik yang mengkombinasikan seleksi bakat alam (kecerdasan)
dan seleksi ketahanan sosial (bersaing mencapai level yang sama dalam satu kelompok
umur, cohort yang sama dengan latar belakang mahasiswa yang sungguh sangat
beragam). Program pendidikan TPB IPB ini, sadar tidak sadar, sangat sesuai dengan
amanat konstitusi negara. TPB-IPB menjadi semacam ‘padepokan’ candradimuka
dalam mempersiapkan lebih awal calon sarjana Indonesia sebelum mereka nanti berbakti
di tengah masyarakat.
TPB-IPB dapat dikatakan sebagai suatu situs penting dalam dunia akademik untuk
menempa mahasiswa sebelum diberi memilih fakultas yang diinginkannya. TPB-IPB
menyeleksi anak negeri dengan memberikan tekanan yang tinggi pada suhu ruang
yang sama sebelum diproses lebih lanjut di tingkat fakultas (universitas).
TPB-IPB telah mengeliminasi keragaman input yang tinggi (kecerdasan, tingkat
budaya dan perkembangan sosial yang berbeda-beda) untuk membentuk karakter
lulusan yang homogen pada level tinggi di awal perkuliahan di fakultas. Proses
eliminasi yang hebat ini, TPB IPB menjadi sebuah ‘hub’ yang menjembatani
keragaman asal usul darimana mahasiswa datang (setelah lulus SMA) dan keseragaman
input dalam memasuki dunia akademik di tingkat fakultas (Perguruan Tinggi yang
sebenarnya). TPB-IPB telah menjadi supra seleksi masuk perguruan tinggi yang
jauh melampaui bentuk seleksi lainnya yang melalui ujian tertulis (PP-1, kini
disebut SBMPTN). TPB IPB telah melakukan
fungsinya untuk mengkalibrasi kemampuan intelektualitas calon mahasiswa,
ketahanan sosialnya dan pembentukan minat sehingga mahasiswa benar-benar siap
kuliah di fakultas yang dipilihnya. Karena itulah tahun pertama di IPB disebut Tingkat
Persiapan Bersama (TPB). Suatu sistem pendidikan pasca-SMA dan pra-universitas
yang hanya ditemukan di IPB. Disinilah keutamaan TPB IPB ini jika dibandingkan
dengan model PMDK (kini SNMPTN) yang mana setiap calon mahasiswa sudah memilih
fakultas sebelum datang ke IPB.
TPB IPB
telah menyeleksi kemampuan akademik mahasiswa (mengkalibrasi mata kuliah inti
ke level yang diinginkan, dengan kesempatan mengulang satu tahun/dua semester), menguji mahasiswa
duduk bersama dengan rekan yang beragam asal-usul pada kondisi suhu ruang yang
sama untuk membentuk ketahanan sosial mahasiswa. TPB IPB sadar tidak sadar
telah mempersiapkan calon mahasiswa yang ‘tahan banting’ yang diharapkan kelak
ketika lulus sarjana tidak cengeng dalam meniti karir. Motto IPB yang sekarang ‘Searching
and Serving The Best’ sejatinya telah dipraktekkan di IPB pada masa lampau yang
disebut TPB.
TPB IPB telah banyak dikenang oleh para
alumninya. TPB IPB dipandang sebagai program pendidikan yang unik. Suatu
program pendidikan dengan proses pembelajaran dengan tekanan tinggi. Akibatnya
antar satu sama lain mahasiswa tidak lagi melihat siapa saya, siapa kamu dan
siapa dia, tetapi setiap mahasiswa hanya larut untuk berjuang untuk diri
sendiri agar nilainya bagus dan terhindar dari dropout. Kebersamaan misi inilah
yang membuat mahasiswa menjadi akrab ketika jelang berakhir semester dengan
berlibur bersama, apakah ke Istana Bogor, ke puncak atau melakukan kunjungan
sosial ke panti sosial. Untuk menutup kebersamaan selama satu tahun kuliah di
TPB IPB mereka yang satu kelompok kelas mengabadikan nama mereka dengan membuat
buku kenangan yang dibagi pada saat kelulusan,
TPB-IPB dapat dikatakan sebagai suatu situs penting dalam dunia akademik untuk
menempa mahasiswa sebelum diberi memilih fakultas yang diinginkannya. TPB-IPB
menyeleksi anak negeri dengan memberikan tekanan yang tinggi pada suhu ruang
yang sama sebelum diproses lebih lanjut di tingkat fakultas (universitas).
TPB-IPB telah mengeliminasi keragaman input yang tinggi (kecerdasan, tingkat
budaya dan perkembangan sosial yang berbeda-beda) untuk membentuk karakter
lulusan yang homogen pada level tinggi di awal perkuliahan di fakultas. Proses
eliminasi yang hebat ini, TPB IPB menjadi sebuah ‘hub’ yang menjembatani
keragaman asal usul darimana mahasiswa datang (setelah lulus SMA) dan keseragaman
input dalam memasuki dunia akademik di tingkat fakultas (Perguruan Tinggi yang
sebenarnya). TPB-IPB telah menjadi supra seleksi masuk perguruan tinggi yang
jauh melampaui bentuk seleksi lainnya yang melalui ujian tertulis (PP-1, kini
disebut SBMPTN). TPB IPB telah melakukan
fungsinya untuk mengkalibrasi kemampuan intelektualitas calon mahasiswa,
ketahanan sosialnya dan pembentukan minat sehingga mahasiswa benar-benar siap
kuliah di fakultas yang dipilihnya. Karena itulah tahun pertama di IPB disebut Tingkat
Persiapan Bersama (TPB). Suatu sistem pendidikan pasca-SMA dan pra-universitas
yang hanya ditemukan di IPB. Disinilah keutamaan TPB IPB ini jika dibandingkan
dengan model PMDK (kini SNMPTN) yang mana setiap calon mahasiswa sudah memilih
fakultas sebelum datang ke IPB.
Setelah dua atau tiga dasawarsa kehilangan
kontak, mahasiswa eks TPB IPB dikumpulkan kembali dalam bentuk Reuni. Sebuah
komite dibentuk untuk mempersiapkan kegiatan reuni TPB IPB. Komite mulai
melacak kelompok dalam satu angkatan, Komite ini tampaknya sangat antusias
mengumpulkan kembali group semacam suatu ‘pasukan’ yang dulu eksis namanya Kelompok...Angkatan
...TPB IPB yang lulusannya kini terpencar bagaikan daun-daun berserakan
(mengambil nama judul buku yang dikarang oleh Prof. Andi Hakim Nasution). Eks
pasukan itu, dengan berbasis ‘buku kenangan’ semua ‘anggota pasukan’ dilacak melalui
komunikasi Word of Mouth (WOM), networking dan searching via internet. Semua eks
pasukan tampaknya harus ditemukan: Dead or Alive.
Beberapa tahun belakang ini, terutama setelah dipicu oleh adanya ‘medsos’
muncul keinginan untuk melakukan reuni, seperti reuni SD, reuni SMP, reuni SMA
dan reuni fakultas atau universitas. Animo reuni itu juga ternyata terjadi pada
suatu kelompok ‘calon mahasiswa’ fakultas yang disebut TPB IPB. Uniknya, reuni
TPB IPB ini tidak hanya melacak mahasiswa yang lulus TPB IPB saja yang
melanjutkan studi di fakultas di IPB, juga kawan-kawan yang satu kelompok
tetapi mereka DO. Mereka yang DO harus dibedakan yang datang dari kampung dengan
yang datang dari kota besar. Yang datang dari kampung umumnya karena level
pemahamannya masih kurang karena kualitas SMAnya, tetapi yang dari kota besar
yang asal SMA berkualitas, mereka DO karena ketidaksesuaian peminatan. Tetapi
mereka yang DO di tahun pertama atau DO setelah mengulang umumnya melanjutkan
studi ke universitas lain yang sesuai minatnya. Mereka ini bahkan banyak yang
sukses kuliah di ITB dan dan UI. Jadi, seleksi akademik di TPB IPB tidak hanya
seleksi kecerdasan (level pemahaman mahasiswa) tetapi juga ketahanan sosialnya
(apakah psikologis dan bidang minatnya sesuai dengan ilmu-ilmu pertanian).
Dari semua bentuk-bentuk reuni pada masa ini, apa
yang menarik dari Reuni TPB IPB jika dibandingkan dengan reuni-reuni yang lain?
Reuni TPB IPB adalah suatu reuni yang unik. Jika reuni SD, SMP, SMA dan
Fakultas melakukan reuni karena mereka pernah bersama beberapa tahun di masa
lampau. Tetapi TPB IPB hanya bersama kurang dari satu tahun alias dua
semester). Inilah yang menyebabkan reuni TPB IPB, baik berdasarkan kelompok
atau berdasarkan angkatan setelah sekian dekade menjadi sangat khas.
Komite
reuni tampaknya telah bekerja keras untuk mempersiapkan reuni dan juga berusaha
untuk melacak dan menemukan kawan-kawan lama seperjuangan di TPB IPB. Modal
anggota komite untuk melacak adalah buku kenangan, buku yang berisi nama, alamat
dan asal SMA plus foto ditambah sedikit pesan dan kesan yang ditutup oleh
sebuah komentar singkat yang dibuat para anggota editor buku. Buku kenangan yang
berfungsi sebagai file memori kolektif yang digunakan sebagai modal awal pelacakan
juga memiliki informasi masa lalu yang mengindikasikan mereka berasal darimana.
Reuni menjadi suatu kegiatan retrospektif ke masa lalu, buku kenangan dalam hal
ini menjadi kotak pandora, suatu file yang berisi informasi yang dapat
diperbandingkan dengan informasi pada saat reuni. Hasilnya sangat
mencengangkan: mereka kini terdistribui kembali di seluruh Indonesia dengan
profesi yang sangat beragam. TPB IPB dalam hal ini terkesan menjadi semacam
titik simpul (bottleneck): dari keragaman lama ke keragaman yang baru.
Perbedaan keragaman ini mengindikasikan terdapat perbedaan signifikan antara
origin (asal, tempat masa lalu) dan tempat tujuan (tempat tinggal masa kini). TPB
IPB telah menjadi bandara/terminal transit. Asal Jawa Barat ke Sumatra Barat,
asal Jawa Timur ke Jakarta, asal dari desa ke luar negeri dan sebagainya. Yang
juga tidak terduga, hanya minoritas yang tetap setia pada bidangnya, di bidang
pertanian. Semua datang ingin jadi Insinyur Pertanian, tetapi kenyataannya
hanya sedikit yang benar-benar berprofesi sebagai Insinyur Pertanian. Mereka
setelah lulus TPB IPB bagaikan air mengalir sampai jauh. Faktor ini pula yang
diduga menjadi penyebab penting mengapa reuni diadakan meski sejatinya hanya
pernah duduk besama dalam satu tahun saja. Frase dalam William Shakespeare ‘apalah
arti sebuah nama’ berlanjut ke farse Forrest Gump ‘pertemuan di halte bis yang
sekejab adakalanya lebih berkesan daripada suatu pasangan di dalam perkawinan yang
masing-masing menaruh cintanya tidak dalam satu piring’
Mereka yang bereuni eks TPB IPB baik pada tingkat
kelompok apalagi pada tingkat angkatan, sesungguhnya tidak saling mengenal
secara mendalam. Mereka hanya mengenal karena pernah satu SMA, pernah satu
fakultas, pernah berdekatan atau satu kost atau pernah satu pekerjaan atau
bertetangga setelah sarjana. Namun apa yang menyebabkan mereka bersemangat
untuk bereuni, bahkan lebih bersemangat daripada reuni-reuni eks satu fakultas
atau eks satu SMA. Itulah yang menjadi pangkal perkara sehingga dapat dikatakan
reuni yang khas. Namun jika kembali ke masa lampau, jawaban itu dapat
ditemukan. Mereka pernah duduk bersama, meski hanya dalam rentang waktu dua
semester, tetapi mendapatkan pengalaman bergaul dengan teman-teman baru (yang
heterogen) dalam suasana akademik dengan menu yang seragam. Mereka datang ke
kelas atau lab seakan gaya sentrifugal yang muncul (saling membantu), tetapi
jika sudah habis kuliah/praktikum gaya sentripetal yang ada (lekas ke kost
untuk belajar mandiri). Jadi, faktor satu-satunya mereka saling kenal betul
hanya ketika kelas dan praktikum berlangsung, Suasana yang cenderung akademis
inilah yang membuat kesan sesama begitu mendalam: saling merasakan arti kebersamaan
dalam mempersiapkan diri masing-masing untuk UTS maupun UAS dan lulus dari TPB.
Ibarat kerumunan menunggu di halte bis AKAP untuk mengantarkan mereka ke tujuan
masing-masing. Romantisme yang bersifat akademik inilah yang menjadikan
perasaan kuat untuk reuni. Suatu romantisme yang muncul sekejab yang hanya
terjadi singkat, selama dua semester di TPB IPB.
Jadi intinya bukan di reuni tetapi justru di TPB IPB itu sendiri, di
suatu tempat yang khusus di masa lampau. Reuni dalam hal ini hanya sekadar menjadi
titik simpul baru, titik kumpul baru, datang dari berbagai tempat, lalu habis
itu berpencar kembali. Reuni dapat terjadi lagi (ada angkatan atau kelompok
sudah melakukan dua kali reuni dengan interval tiga atau lima tahun). TPB IPB
menjadi situs penting di masa lalu. Suatu situs pembelajaran yang dilakukan
model treatment menguji daya intelektualitas dan ketahanan sosial mahasiswa.
Andi Hakim Nasution dan TPB IPB
Penerapan Program Pendidikan Tingkat Persiapan
Bersama (TPB) tidak hanya di IPB, tetapi juga di ITB. Yang membedakannya TPB
IPB dengan TPB ITB adalah tingkat keberagaman mahasiswanya. TPB IPB seperti
telah dideskripsikan di atas, TPB ITB mahasiswanya lebih seragam, cenderung
datang dari kota-kota besar dengan tingkat sosial keluarga yang relatif homogen
jika dibandingkan dengan TPB IPB. Program pendidikan TPB IPB mengikuti pola ‘jemput
bola’ sedangkan TPB ITB ‘menunggu bola’. Pola ‘jemput bola’ memiliki proporsi
yang besar untuk mahasiswa undangan yang disebut PP-2 (semacam PMDK atau SNMPTN
pada masa ini), sedangkan pola ‘menunggu bola’ proporsi terbesar mahasiswa yang
telah lolos seleksi ujian tulis nasional (PP-1, kini UNPTN atau SBMPTN). Perbedaan
karakteristik mahasiswa inilah yang membedakan TPB IPB dan TPB ITB. Perbedaan
metode seleksi masuk PTN inilah yang membuat ada perbedaan besar antara komposisi
mahasiswa TPB IPB dan TPB ITB.
Pola seleksi TPB IPB ini dimulai tahun 1973 oleh Prof. Andi Hakim
Nasution dan koleganya. Saat itu, Andi Hakim Nasution adalah Direktur
Pendidikan Sarjana IPB. Sebagai seorang Statistikawan, Andi Hakim Nasution
sudah barang tentu paham ‘distribusi normal’ mahasiswa yang diterima di PTN
dengan ‘distribusi normal’ lulusan SMA di seluruh Indonesia. Ada perbedaan yang
besar. Untuk memenuhi tuntutan amanat konstitusi bahwa pendidikan untuk semua,
maka gagasan sistem penerimaan masuk untuk PTN harus ditinjau ulang. Andi Hakim
Nasution bersama kolega momodifikasi ‘distribusi normal’ dengan gagasan baru
sistem penerimaan siswa baru dengan treatment ala TPB IPB yakni dengan
mengundung semua siswa SMA berprestasi (paling tidak nilai rapor selama lima
semester di SMA bersifat linier atau konstan) tetapi dijaga ketat, tidak hanya
seleksi akademiki administratif tetapi seleksi akademik khusus yang itu tadi
kita sebut kuliah persiapan bersama TPB IPB selama dua semester. Ada risikonya,
tetapi lebih banyak memberi dampak pada manfaat, selain memenuhi amanat
konstitusi, juga memberi kesempatan untuk para lulusan SMA yang berasal dari tingkat
keragaman yang tinggi dalam soal mutu. Treatment ini diperlonggar sedikit,
tidak hanya treatment TPB IPB satu tahun (dua semester) tetapi juga
dimungkinkan untuk mengulang (satu tahun lagi) untuk mengurangi jumlah
mahasiswa yang mengalami Crisis dan Dropout (RCD). Hasil program pendidikan TPB
IPB tambahan ini (RCD) digabung dengan lulusan TPB IPB tahun berjalan untuk
membentuk distribusi normal baru. Oleh karena itu ‘distribusi normal’ yang
digunakan TPB IPB berbeda dengan ‘distribusi normal’ TPB ITB. Distribusi normal
TPB IPB sejatinya bukan distribusi normal tunggal (unik) tetapi pada dasarnya
seakan mirip penggunaan ‘distribusi normal ganda’. Lulus TPB IPB apakah lulus
satu tahun atau lulus dua tahun dianggap sama untuk persyaratan masuk fakultas (perguruan
tinggi). Karena itu, jika tidak lulus TPB IPB memang tidak layak melanjutkan ke
fakultas (perguruan tinggi). Disinilah perbedaan hasil seleksi masuk PTN
(fakultas) di ITB dengan hasil masuk masuk fakultas (PTN) di IPB.
Seleksi masuk PTN ala IPB melalui Program
Pendidikan TPB ini sangat terkesan bagi lulusan IPB. Para lulusan yang terkesan
tidak hanya mereka yang berasal dari wilayah-wilayah terpencil, tetapi juga
yang berasal dari kota besar. Sebab pada dasarnya, mahasiswa yang berasal dari
SMA yang rendah mutunya, seperti SMA di pedalaman ada juga yang lulus setahun TPB
IPB dengan nilai IPK tinggi, sebaliknya mahasiswa yang berasal dari SMA yang
tinggi mutunya dari kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan ada
juga yang harus mengulang (RCD). Dalam hal ini Program Pendidikan TPB IPB telah
menjalankan fungisnya secara tepat sebagai fungsi pengaman (mengkalibrasi
kemampuan mahasiswa) sebelum mahasiswa benar-benar mengikuti program pendidikan
selanjutnya di tingkat fakultas (perguruan tinggi) apakah pada sisi
intelektualitas atau sisi ketahanan sosial. TPB IPB menjadi ‘kawah
candradimuka’ untuk setiap siswa di seluruh Indonesia, karena telah menawarkan (mengakomodir)
program pendidikan yang lebih humanis dan berkeadilan (menyadari Indonesia itu
tidak homogen). Keragaman itu telah dieliminasi dengan baik oleh program
pendidikan di TPB IPB.
Program pendidikan di TPB IPB, tidak hanya menyeleksi untuk memenuhi
persyaratan memasuki PTN (persyaratan akademik dan ketahanan sosial) tetapi
juga menjadi situs penting untuk mereview minat dan cita-cita yang muncul
ketika di SMA dengan proyeksi bidang pekerjaan yang diambil di masa depan
melalui pemilihan fakultas yang sesuai. Bakat dan cita-cita terasah dengan
sendirinya selama TPB IPB. Setiap mahasiswa mulai menilai diri sendiri path
atau passionnya berada di jalur/bidang apa. Sebab selama dua semester di TPB
IPB setiap mahasiswa sudah bisa memprediksi program pendidikan di berbagai
fakultas. Pengukuran kapabilitas diri dengan pemilihan program/fakultas menjadi
fungsi tambahan dalam mengikuti Program Pendidikan TPB IPB. Pengembangan bakat
dan pembentukan minat dipertemukan. TPB IPB menjadi faktor koreksi pada
cita-cita. Mahasiswa yang sebelumnya ingin menjadi ahli agronomi berubah
menjadi ingin menjadi ahli perikanan; yang sebelumnya ingin ahli peternakan
bergeser dengan minat baru menjadi dokter hewan; yang berminat kehutanan
beralih ke teknologi pertanian; dan sebagainya. Tentu saja ada yang tadinya
ingin ahli statistika pertanian seperti Prof. Andi Hakim Nasution menjadi ahli
ekonomi pertanian, yang sebelumnya ingin menjadi ahli pakan ternak menjadi ahli
gizi manusia. Saya tidak membayangkan ahli ekonomi karena saya dan semua
mahasiswa TPB IPB berasal dari jurusan IPA di SMA. Suatu jurusan di SMA yang
sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan mata pelajaran (ilmu) ekonomi.
Tapi, TPB IPB telah memberi penawaran baru dan membuka minat mahasiswa untuk
menjadi ahli ekonomi.
TPB IPB telah memoles setiap lulusan SMA menjadi
calon mahasiswa untuk siap memasuki fakultas (perguruan tinggi) sesuai ‘passing
grade’ yang distandarkan, memperkuat ketahanan sosial mahasiswa dan juga
meluruskan cita-cita mahasiswa. Itulah hakikat TPB IPB. Suatu program
pendidikan yang khas, suatu program pendidikan yang digagas oleh Andi Hakim
Nasuation dan kolega. Karena itu Andi Hakim Nasution dikenang oleh semua lulusan
IPB.
Program
Pendidikan TPB dimulai tahun 1973 dan berakhir pada tahun 1993. Program ini
bertahan selama dua puluh tahun. Dengan asumsi bahwa batas usia pensiun 70
tahun untuk dosen senior (guru besar), maka semua dosen-dosen senior yang ada
di IPB yang merupakan alumni IPB adalah dosen-dosen yang pernah dulu merasakan
bagaimana kuliah di TPB IPB. Dengan kata lain, dosen-dosen senior dan para
pejabat IPB yang ada di IPB dalam satu dasawarsa terakhir ini adalah lulusan (produk)
TPB IPB.
Andi Hakim Nasution lahir di Batavia (kini Jakarta) pada tanggal 30 Maret
1932. Ayahnya bernama Anwar Nasution adalah alumni Sekolah Kedokteran Hewan
(Veeartsenschool) di Buitenzorg (kini Bogor) pada tahun 1928 (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 22-05-1928). Lahir di Pidoli, Mandailing, lulusan HIS Padang
Sidempoean. Anwar Nasution masuk Veeartsen School tahun 1922 (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 23-05-1923). Setelah lulus, Drh. Anwar Nasution diangkat menjadi
dokter hewan pemerintah di Batavia (De Indische courant, 04-06-1930). Saat di
Batavia inilah Andi Hakim Nasution lahir. Salah satu kontribusi Dr. Anwar
Nasution adalah membuat pedoman pengawasan daging hewan untuk diterapkan di
seluruh wilayah Hindia Belanda hingga ke desa-desa (lihat De Indische courant,
27-06-1941). Sarjana Kedokteran Hewan pertama Indonesia adalah Sorip Tagor.
Veeartsen School dibuka tahun 1907. Sorip Tagor adalah angkatan pertama dan
lulus tahun 1912. Sorip Tagor diangkat sebagai asisten dosen di Sekolah Dokter
Hewan di Buitenzorg (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1913). Tidak berapa
lama kemudian (akhir tahun 1913), Sorip Tagor berangkat ke Belanda untuk
melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar dokter hewan penuh (setara dokter
hewan Belanda) di Rijksveeartsenijschool, Utrecht. Sorip Tagor lulus pada bulan
Desember 1920 dan mendapat gelar dokter hewan (lihat Het Vaderland: staat- en
letterkundig nieuwsblad, 30-01-1921). Sorip Tagor Harahap lahir di Padang
Sidempuan, 21 Mei 1888 adalah kakek dari Risty/Inez Tagor dan Destri Tagor
(istri Setya Novanto, Ketua DPR).
Sorip Tagor direkomendasikan oleh Radja Proehoeman, seorang dokter hewan. Si Badorang gelar Radja
Proehoeman lahir di Pakantan, Mandailing setelah lulus sekolah guru
(Kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1883 melanjutkan kursus kedokteran hewan
di Jawa. Kweekschool Padang Sidempoean adalah suksesi Kweekschool Tanobato. Setelah
lulus ditempatkan di di Kinali (kini di Pasaman Barat) tahun 1886
(Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886). Tahun 1897 Radja
Proehoeman berdinas di Paijacoemboeh (Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad, 20-08-1897). Dokter hewan Radja Proehoeman dipindahkan ke
Padang Sidempoean tahun 1906 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
28-09-1906). Pada tahun 1907 Radja Proehoeman merekomendasikan dan membawa
Sorip Tagor lulusan sekolah dasar Eropa (ELS) Padang Sidempoean ke Buitenzorg
tempat dimana Veeartsenschool akan dibuka. Radja Proehoeman adalah ayah dari
Dr. Sjoeib Proehoeman, PhD yang meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1930 di
Universiteit Amsterdam. Perempuan Indonesia pertama bergelar PhD adalah Dr. Ida
Loemongga di Universiteit Utrecht tahun 1931 (di bidang kedokteran), Kakek Ida
Loemongga bernama Soetan Abdul Azis Nasution adalah angkatan pertama sekolah
guru (kweekschool) Tanobato, Mandailing. Satu angkatan dengan Soetan Abdul Azis
Nasution adalah Maharadja Soetan.
Sekolah guru ini didirikan dan diasuh oleh Sati
Nasution alias Willem Iskander tahun 1862. Willem Iskander sendiri berangkat
studi ke Belanda tahun 1857 dan lulus mendapat diploma guru di sekolah guru di
Haarlem. Willem Iskander lahir di Pidoli adalah pribumi pertama studi ke
Belanda. Kakak kelas Willem Iskander bernama Si Asta mengikuti studi kedokteran
di Docter Djawa School di Batavia tahun 1854 dan lulus tahun 1856. Dr. Asta
Nasution adalah siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal
dari luar Jawa.
Pada tahun 1874 pemerintah Hindia Belanda memberikan beasiswa kepada Willem Iskander studi lebih lanjut (untuk mendapat gelar sarjana pendidikan) dengan membawa tiga guru muda untuk mendapatkan diploma guru (Banas Lubis dari Tapanuli, Adi Sasmita dari Bandoeng dan Raden Soerono dari Soerakarta). Namun sayang, tiga guru muda ini meninggal di Belanda tahun 1875 dan kemudian tahun 1876 Willem Iskander dikabarkan meninggal di Belanda. Willem Iskander adalah kakek buyut dari Prof. Andi Hakim Nasution.
Willem Iskander tidak berhasil mewujudkan
cita-citanya sebagai sarjana pendidikan pertama dari kalangan pribumi. Baru 30
tahun kemudian cita-cita Willem Iskander ada yang melanjutkannya. Soetan
Casajangan, seorang guru di Padang Sidempoean pada tahun 1905 berangkat studi
ke Belanda untuk meraih gelar sarjana pendidikan. Saat itu di Belanda baru lima
orang pribumi yang kuliah di Belanda. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan
adalah lulusan Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887 yang mana direkturnya
adalah Charles Adriaan van Ophuijsen (penyusun tata bahasa Melayu pertama).
Ayah Soetan Casajangan adalah Maharadja Soetan, murid Willem Iskander di
Kweekschool Tanobato. Pada tahun 1908 ketika jumlah mahasiswa Indonesia di
Belanda sebanyak 20 orang, Soetan Casajangan menggagas perhimpunan mahasiswa
Indonesia yang disebut Indisch Vereeniging. Soetan Casajangan menjadi presiden
pertama. Nama organisasi mahasiswa ini diubah pada tahun 1822 oleh Dr. Soetomo
dkk menjadi Indonesiasche Vereeniging dan pada tahun 1924 Mohamad Hatta dkk
mengubah lagi namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia yang disingkat PI.
Last but not least. Alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare
Landbouwschool) di Buitenzorg adalah Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan
tahun 1914 (dua tahun setelah Dr. Sorip Tagor lulus). Setelah berdinas beberapa
tahun, Soetan Kenaikan mendirikan sekolah pertanian swasta pertama di Lubuk
Sikaping tahun 1925 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1925.
Veeartsenschool dan Middelbare Landbouwschool kelak tahun 1940 digabung menjadi
Landbouw Hogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian) sebagai salah satu fakultas di
Universiteit van Indonesia. Pada tahun 1946 Landbouw Hogeschool yang menjadi
bagian dari Universiteit van Indonesia dipecah menjadi dua fakultas: Fakultas
Kedokteran Hewan (faculteiten der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian
(faculteit van landbouw wetenschap) di Bogot. Pada tahun 1950 Universiteit van
Indonesia diakuisi oleh Indonesia menjadi Universitas Indonesia. Andi Hakim
Nasution masuk tahun 1952 di Fakultas Pertanian dan lulus tahun 1958 dengan
predikat cum laude. Andi Hakim Nasution melanjutkan studi ke Amerika Serikat
dan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1964 di North Carolina State University.
Saat pulang ke tanah air, Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Pertanian
Universitas Indonesia telah dipisahkan dan dibentuk Institut Pertanian Bogor
(IPB) pada tahun 1963. Andi Hakim Nasution diangkat menjadi dosen di IPB tahun
1965. Pada tahun 1966 Andi Hakim Nasution diangkat menjadi Dekan Fakultas
Pertanian dan kemudian pada tahun 1971 diangkat menjadi Direktur Pendidikan
Sarjana IPB. Dua tahun kemudian, 1873 Andi Hakim Nasution menerapkan pola
penerimaan masuk IPB melalui jalur undangan dan setiap mahasiswa harus mengikuti
Program Pendidikan yang disebut TPB IPB.
Oleh karena itulah Andi Hakim Nasution dan TPB IPB tidak bisa
dipisahkan. Andi Hakim Nasution, sebagai Direktur Pendidikan Sarjana IPB sejak
tahun 1971 mulai menerapkan pola (model) penerimaan mahasiswa baru dengan
metode ‘menjemput bola’ dengan cara mengundang siswa-siswa SMA yang berprestasi
di seluruh Indonesia. Mereka yang diterima akan mengikuti program pendidikan
Tingkat Persiapan Bersama (TPB).
Andi Hakim Nasution mendapat gelar guru besar
(profesor) di bidang Statistika dan Genetika Kuantitatif tahun 1972. Pada tahun
1875 Andi Hakim Nasution diangkat menjadi Dekan Sekolah Pasca Sarjana. Pada
tahun 1878 Andi Hakim Nasution diangkat menjadi Rektor. Pada saat menjadi
rektor inilah Prof. Andi Hakim Nasution menggagas program pendidikan yang baru,
yang disebut Program Terminal yakni setiap calon guru besar harus lebih dahulu
lulus program pendidikan doktor atau Ph.D. Sebagaimana model penerimaan
mahasiswa (TPB), program terminal guru besar ini juga kemudian diterapkan
secara nasional. Itulah Andi Hakim Nasution, pelopor pendidikan di Perguruan
Tinggi, sebagaimana kakek buyutnya Willem Iskander sebagai pelopor pendidikan
pribumi pada era Hindia Belanda tahun 1862 (satu abad sebelumnya). Willem
Iskander menyatakan untuk menjadi guru sekolah rakyat harus lulus sekolah guru
(Kweekschool). Andi Hakim Nasution menyatakan untuk menjadi guru besar harus
lulus program doktoral lebih dahulu dan untuk menjadi mahasiswa IPB di tingkat
fakultas harus lulus TPB lebih dahulu. Di sinilah pertemuan gagasan sang kakek
dengan sang cucu dalam dunia pendidikan: Sati Nasution alias Willem Iskander
dan Andi Hakim Nasution (like father, like son).
Demikian, untuk sekadar teringat TPB IPB dan Andi
Hakim Nasution. Saya sendiri tidak kenal betul dengan Pak Andi Hakim Nasution.
Namun dalam beberapa kesempatan yang tidak sengaja (random) pernah bertemu.
Pertemuan pertama ketika saya masih di TPB IPB justru terjadi di dalam bemo. Ketika
saya naik Pak Andi ada di dalam bemo sisi kanan luar. Saya naik lalu duduk dan
diam seribu bahasa. Beberapa penumpang lainnya yang juga mahasiswa juga tidak
berkutik. Semua tidak menyangka. Anehnya, semua penumpang mahasiswa itu tidak
ada yang berani turun duluan meski ada yang seharusnya duluan turun. Ketika Pak
Andi turun di pintu gerbang IPB, baru kami semua ikut turun. Lega rasanya. Tapi
beberapa saat kemudian saya menyadari ada yang terlewatkan. Mengapa tidak saya
atau kami sapa tadi di dalam bemo dan mengajak ngobrol Pak Andi. Yang
terlewatkan membuat diri saya menjadi bersalah. Bukankah itu tadi kesempatan
satu-satunya.
Sering
saya terkenang-kenang pertemuan tidak sengaja itu. Nama Andi Hakim Nasution
sangat dikenal semua mahasiswa IPB. Andi Hakim Nasution tidak hanya Rektor IPB
tetapi juga sudah diketahui umum sebagai penggagas rekrutmen mahasiswa dengan
pola undangan. Beberapa waktu kemudian tiba waktunya bulan puasa. Saya coba
mengirim kartu lebaran ke Pak Andi dengan tujuan alamat rumah. Saya tidak
menyangka, sebelum lebaran ada surat yang saya terima diantar oleh Pak RT ke
tempat kos saya. Saya buka, kartu lebaran dari Andi Hakim Nasution dan
keluarga. Suatu kartu lebaran balasan. Sejak itu tiap tahun saya kirim kartu
lebaran, dan selalu ada kartu lebaran balasan.
Pada suatu pagi di hari Minggu, mungkin anda tidak percaya, karena saya
juga tidak menduga. Sehabis mandi, sekitar jam 9an saya duduk di sebuah bangku
panjang di depan kost persis berada di bawah jendela. Saya lagi ngopi sambil
baca koran Pos Kota yang saya pinjam sebentar dari Pak RT. Saya tidak menduga
Pak Andi lewat di depan saya hanya sekitar satu meter di depan saya. Tempat kos
saya hanya satu meter ke jalan gang di belokan. Tampaknya Pak Andi kelelahan,
ketika sudah melewati saya lima meter, Pak Andi berbalik dan ingin minta duduk
istirahat sejenak. Saya persilahkan duduk, sambil saya menjauh sedikit sambil
berdiri agak dekat pintu. Pak Andi menanyakan saya apakah punya air minum. Ada
Pak. Saya ambil ke dalam lalu saya tuangkan dari teko kecil ke dalam gelas yang
saya taruh di atas bangku di sisi Pak Andi. Silahkan Pak diminum. Setelah minum,
Pak Andi segera berdiri. Lalu Pak Andi hanya bertanya ‘ini tempat kosnya? Iya
Pak. Terimakasih ya, saya telah diberi minum, saya jalan lagi. Baik Pak. Saya
belum berpikir, Pak Andi sudah berlalu tidak terlihat di belokan. Kembali saya
tidak tahu apa-apa. Saya masih kaget, kalimat yang masih terngiang di telinga ‘ini
tempat kosnya’ yang saja jawab ‘Iya, Pak’. Hanya itu. Tidak menanyakan nama
saya dan juga tidak memberi kesempatan kepada saya untuk bertanya. Tapi saya
paham, Pak Andi sedang olahraga jalan pagi dan kebetulan agak lelah dan haus.
Itulah yang membuat kembali pertemuan tidak terduga. Pertemuan sekejap. Padahal
saya sudah punya kartu lebaran balasan dua kali dari beliau. Saya menduga Pak
Andi tidak akan bisa menghubungkan pernah ketemu diam di bemo, kartu lebaran
dan pertemuan yang baru saja terjadi. Persoalan itu tentu terlalu remeh temeh
buat dipikirkan Pak Andi. Tetapi itu bagi saya adalah peristiwa besar. Hanya
Tuhan yang memahaminya.
Kartu lebaran Andi Hakim Nasution dan keluarga |
Saat itu saya adalah ketua organisasi mahasiswa asal Tapanuli Selatan di
Bogor (IMATAPSEL BOGOR). Suatu organisasi semacam OMDA sekarang. IMATAPSEL
Bogor didirikan pada tahun 1963 (seumur dengan IPB). IMATAPSEL adalah
organisasi mahasiswa daerah (OMDA) tertua di Bogor. Menurut dokumen, saat
pendiriannya tahun 1963 IMATAPSEL anggota berjumlah sebanyak 15 mahasiswa. Saya
adalah ketua umum yang ke-14. Pada tahun 1912 jumlah mahasiswa asal Tapanuli
Selatan (dulu disebut Afdeeling Mandailing dan Angkola) di Buitenzorg (kini
Bogor) sebanyak lima orang termasuk Sorip Tagor (angkatan pertama Veeartsen
school dan dokter hewan pertama Indonesia), Abdul Azis Nasution (angkatan
pertama Middelbare Landbouwschool) dan Alimoesa Harahap di Veeartsen school
(tahun 1930 menjadi anggota Volksraad dari dapil Noord Sumatra). Pada tahun
1920 jumlah mahasiswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola sebanyak 10 orang
termasuk Djohan Nasution di Middelbare Landbouwschool (ayah Prof. Lutfi Ibrahim
Nasution). Pada tahun 1928 jumlah mahasiswa asal Afdeeling Mandailing dan
Angkola sebanyak 12 orang termasuk Anwar Nasution di Veeartsen school (ayah
Andi Hakim Nasution). Garis continuum inilah yang menyebabkan lahirnya IMATAPSEL
di Bogor pada tahun 1963. IMATAPSEL Bogor sendiri sudah jauh berkembang, paling
tidak dari sisi jumlah anggota. Jumlah anggota dari tahun ke tahun sejak
pendiriannnya tahun 1963 sudah jauh meningkat, Pada saat saya diterima di
IMATAPSEL jumlah anggota sudah di atas 200 orang. Anggota IMATAPSEL tidak hanya
berasal dari SMA di Tapanuli Selatan saja (kini Tabagsel), tetapi juga dari
Medan, Jakarta, Padang, Surabaya, Bandung, dan provinsi-provinsi lainnya dan
bahkan sekolah kedutaan di luar negeri. Salah satu teman saya satu kelompok di
TPB IPB waktu itu adalah mahasiswa kelahiran Jawa Barat, Iskandar Zulkarnaen
Siregar (kini menjadi guru besar di Fakultas Kehutanan, IPB). Tentu saja ada
senior saya di IMATAPSEL (yang ikut mengospek saya) kelahiran Pekanbaru
(jurusan Statistika) yang kini menjadi guru besar statistika di Fakultas Ilmu
Komputer, Universitas Indonesia (Prof. Dr. Ir. Zainal Arifin Hasibuan).
Saya berangkat dengan keberanian yang siap. Sebab
Pak Andi tidak rektor lagi. Mungkin dulu saya takut karena beliau adalah rektor
saya. Sesampai di rumahnya, saya pencet bel di sisi pintu pagar. Seseorang membuka
pintu dan mempersilahkan saya menunggu di kursi di teras. Tidak lama kemudian
Pak Andi keluar dan saya langsung memperkenalkan diri dan menyebut saya diminta
ketemu Bapak. Silahkan masuk, ayo kita ke dalam.
Andi Hakim Nasution dan Amini (pakaian adat Tabagsel) |
Saya menyusul Pak Andi masuk ke dalam dan kami
duduk di ruang tamu. Namun saya selesai mengela nafas ketika baru mulai duduk,
seseorang gadis datang dari ruang belakang mau keluar dan melewati ruang tamu
dimana Pak Andi dan saya duduk. Saya sedikit menoleh dan gadis itu mengenal
saya. ‘Lho, koq Akhir ada disini’. ‘Iya Win’ saya jawab. Pak Andi menyela. ‘Akhir
kenal Wina?’, Saya jawab ‘Iya Pak’. ‘Wina teman satu kelas di jurusan’. Wina menimpali.
‘Iya Om, Akhir orangnya baik....tapi’ (tanpa memberi kesempatan kepada Pak Andi
untuk bertanya ‘tapi apa’) saya mendahului: ‘Tapi apa Win’. Sambil Wina pamit
kepada kami, bilang: ‘Sering bolos, Om’ (saya tidak tersinggung, karena sudah
lama kenal Wina; itu menunjukkan persahabatan yang baik sesama mahasiswa PKP;
Wina adalah keponakan istri/Pak Andi; Wina lagi berkunjung saat itu).
Dengan seorang teman, yang juga pengurus
IMATAPSEL Bogor, kami bersiap-siap pada hari keberangkatan. Kami ke rumah Pak
Andi menyewa mobil barang untuk mengangkut buku-buku enam kardus Gudang Garam
tersebut menuju loket bis Sampagul di Jalan Otista. Setelah tiba di Padang
Sidempuan, buku-buku itu disimpan di rumah orang tua, dan baru seminggu
kemudian kami menyerahkannya kepada pengurus universitas tersebut, Namanya
Universitas Graha Nusantara disingkat UGN. Selesai sudah menjalankan tugas yang
diberikan Pak Andi. Setelah sebulan di kampung, kembali ke Bogor. Tentu saja
melapor ke Pak Andi.
Buku karya Willem Isknder (1872) dan salah satu puisinya |
Saya tidak menyadari apa sejauh ini dan saya tidak terlalu memikirkan mengapa
Pak Andi bertanya dan antusias tentang Willem Iskander dan merespon saya dengan
jawaban bagus. Saya tidak tahu siapa Willem Iskander, kecuali namanya
dihubungkan dengan buku berjudul Sibulus-bulus, Sirumbuk-rumbuk yang sering
saya baca sejak SMP.
Baru beberapa tahun terakhir ini saya mulai memahami siapa Willem
Iskander, mengapa Pak Andi dulu antusias mensupport saya dengan kata-kata yang
sama: bagus. Saya baru sekarang menyadari jika Andi Hakim Nasution terhubung
dengan Willem Iskander. Ketika Pak Andi menantang saya belajar sejarah, saya tidak
tahu waktu itu jika Pak Andi adalah keturunan (kerabat) dari Willem Iskander. Kini,
saya sedang melakukan finishing buku yang saya tulis tentang sejarah Willem
Iskander. Semoga saja segera selesai. Judulnya: Willem Iskander: Pionir
Pendidikan Modern Indonesia. Buku ini saya dedikasikan kepada jiwa pionir Willem
Iskander di bidang pendidikan.
Demikianlah perkenalan saya dengan Pak Andi. Artikel
ini adalah salah satu wujud yang dapat saya didedikasikan kepada Prof. Andi
Hakim Nasution, mantan Rektor IPB dan penggagas TPB IPB. Karena melalui TPB IPB
saya bisa menulis artikel ini. Karena TPB IPB pula saya mendapat kesempatan memilih
bidang keilmuan dan profesi yang saya suka hingga sekarang.
Satu
yang khas ketika mengikuti perkuliahan di TPB IPB adalah dua mata kualiah ilmu
sosial yakni Ilmu Ekonomi dan Ilmu Sosiologi. Dua mata kuliah ini boleh
dikatakan baru bagi semua mahasiswa TPB IPB. Sebab semua mahasiswa TPB IPB
adalah jurusan IPA di SMA. Satu-satunya mata kuliah yang sulit saya pahami
adalah Ilmu Ekonomi. Saya sulit mengerti arti pergerakan dan pergeseran dalam
fungsi permintaan (demand function) dan fungsi penawaran (supply function). Saya
tidak berhasil memahami di kelas begitu juga di responsi. Apakah karena saya
tidak senang dengan ilmu sosial? Saya tidak tahu, tapi yang jelas waktu itu
saya lebih menyukai matematika dan ilmu kimia—dari kampung ingin jadi insinyur
pertanian. Untuk kedua matakuliah ini saya tidak terlalu kesulitan. Pada jelang
ujian kedua dan ujian ketiga saya berinisiatif ke tempat Bang Hermanto di
Asrama Wisma Raya untuk ‘belajar khusus’ Ilmu Ekonomi. Singkat cerita, pada
‘kuliah khusus’ terakhir di asrama, Bang Hermanto berharap saya bisa lulus. Lalu,
akhirnya saya lulus mata kuliah Ilmu Ekonomi ini dengan nilai B (memuaskan). Saat
saya berkunjung ke asrama dan saya ceritakan saya dapat nilai B untuk ilmu
ekonomi. Dia tidak kaget, malah menganjurkan untuk memilih jurusan sosek
(ilmu-ilmu sosial ekonomi) dan semoga menjadi asisten Ilmu Ekonomi. Dalam hati
saya berpikir: “Ah, apa-apaan abang ini”. Singkat cerita, di hari terakhir
(peminatan) pemilihan fakultas/jurusan bagi mahasiswa TPB IPB, saya agak
bingung jurusan/fakultas apa yang mau
dipilih. Setelah menimbang-nimbang saya memutuskan memilih tiga pilihan
(maksimal boleh mengusulkan tiga pilihan jurusan): pilihan pertama jurusan ilmu
gizi masyarakat, kedua jurusan ilmu statistika pertanian, ketiga jurusan
ilmu-ilmu sosial ekonomi. Tapi, saya keliru membaca formulir sehingga saya
menuliskan pilihan sehingga menjadi ilmu sosial ekonomi di baris pilihan
pertama dan ilmu gizi di baris pilihan ketiga sedangkan ilmu statistika sesuai
di baris pilihan kedua. Karena saya menggunakan tinta basah dan sulit dihapus,
akhirnya setelah dipikir-pikir saya ikhlaskan saja mengembalikan formulir yang
telah diisi tersebut apa adanya tanpa berupaya untuk mengubahnya. Akhirnya
beberapa waktu kemudian diumumkan bahwa
saya ditempatkan panitia dan diterima di jurusan ilmu-ilmu sosial ekonomi. Saya
tidak merasa gembira, karena saya anggap hasil seleksi itu timbul dari
kekeliruan saya mengisi formulir peminatan. Seminggu pertama kuliah di jurusan
ilmu-ilmu sosial ekonomi (semester tiga) saya biasa-biasa saja. Tapi di minggu
kedua mulai ada godaan dan mata saya tertuju pada papan pengumuman. Ada sebuah
maklumat ditempel pada selembar kertas yang intinya: “Dibutuhkan sejumlah
mahasiswa untuk menjadi asisten Ilmu Ekonomi untuk kelas Tingkat Persiapan
Bersama (TPB) dengan syarat memiliki nilai Ilmu Ekonomi minimal B”. Wah, boleh
juga, pikir saya dalam hati. Lantas saya melamar dengan mengisi formulir. Sesaat
setelah saya menyerahkan formulir itu dan mau menutup pintu kantor koordinator matakuliah Ilmu Ekonomi tersebut
Dr. Tjahjadi Sugianto yang telah melihat formulir lamaran saya menahan saya dan
menegor saya dengan setengah marah: “apaan kamu ini, mau asisten, tapi nilainya
cuma B”. Saya kaget dan apa yang salah dengan saya. Lantas saya balik bertanya
dan berdalih: “syarat yang bapak buat kan perlunya hanya minimal B, apa Bapak
keliru?”. Saya jelaskan kepada beliau, saya melamar dengan serius: ‘Jika Bapak
ragu, saya bersedia dites sekarang Pak’. Lalu beliau tampaknya makin kesal
dengan saya sambil nyengir: “ya, udah.
Pengumumannya minggu depan”. Setelah ‘nanya sana sini’ baru saya tahu bahwa
asisten yang diterima selama ini hanya pelamar yang memiliki nilai A, tapi
anehnya dari dulu-dulu syaratnya tetap minimal nilai B. Karena itu, saya menjadi
tidak terlalu berharap untuk diterima menjadi asisten Ilmu Ekonomi setelah tahu
tradisi tersebut. Beberapa hari kemudian, ketika saya sudah melupakannya,
datang seorang teman menemui saya dan memberitahu bahwa saya diterima menjadi asisten ilmu ekonomi
“Ah, masa. Kau ini keliru, salah lihat kali”. Untuk memastikan, saya bergegas
untuk melihatnya. Benar saya diterima menjadi asisten dan nama saya termasuk
diantara 18 nama yang diumumkan. Saya tidak gembira. Saya ingat Pak Tjahjadi
yang membuat saya setengah meradang waktu mendaftar, tapi juga saya ingat pesan
Bang Hermanto yang pernah mendorong saya sebelumnya untuk menggantikannya
menjadi asisten ilmu ekonomi di Imatapsel. Saya juga mulai sadar sisi lain dari
Dr. Tjahjadi. Apakah orang seperti saya juga dia butuhkan, meski nilai bukunya
hanya B tetapi, boleh jadi Pak Tjahjadi mengingat nama saya karena ‘Jika Bapak
ragu, saya bersedia dites sekarang Pak’. Penilaian kuantitatif bergeser ke
penilaian kualitatif. Singkat cerita saya putuskan untuk memulai karir menjadi
asisten dosen: saya menghormati Bang Hermanto dan saya juga menghargai
keputusan Dr. Tjahjadi. Hal yang membuat saya tersenyum sendiri, karena inilah
saatnya sebagai asisten Ilmu Ekonomi di IPB yang berasal dari SMA di kota kecil
di pedalaman Sumatra (Bang Hermanto sendiri sesungguhnya lahir dan besar serta
alumni SMA di kota besar di Medan). Dengan menjadi asisten Ilmu Ekonomi ini
justru terbuka mata saya untuk
memperpanjang daftar karir untuk menjadi asisten matakuliah lainnya. Tercatat
selama mahasiswa di Program Studi Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, saya telah menjadi
asisten untuk empat matakuliah berbeda. Selain Ilmu Ekonomi ini, juga menjadi
asisten dosen untuk Ilmu Kependudukan, Ilmu Ekologi Manusia dan Antropologi
Pertanian (kelas D3). Riwayat inilah yang saya begitu simpatik terhadap abang
yang satu ini. Dia tidak hanya mampu memberi motivasi pada saat yang tepat,
tetapi juga jeli menunjukkan arah yang benar kemana harus dituju. Awalnya,
begitu sulit memahami konsep dan model ekonomi, tapi akhirnya lambat laun saya
bisa juga memahmi sepenuhnya apa itu Ilmu Ekonomi. Sekalipun Hermanto
Siregar—sadar atau tidak sadar—telah turut membelokkan cita-cita yang
sebetulnya saya ingin jadi insinyur pertanian malah menjadi ekonom. Terus
terang kini saya menikmatinya. Bang Hermanto adalah guru pertama saya, seorang
guru yang bisa membuka jalan dan memotivasi. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar
adalah guru besar Ilmu Ekoomi di IPB, pernah menjabat Wakil Rektor IPB periode 2010-2013 dan
periode 2013-2017 (kini menjadi Rektor Perbanas).
Beberapa tahun terakhir ini secara tidak sengaja
saya telah mendalami bidang keilmuan ilmu ekonomi yang tidak lazim, yakni
sejarah ekonomi dan bisnis Indonesia (sejak era VOC). Saat-saat inilah saya
menemukan begitu banyak sumber-sumber Belanda (buku dan surat kabar) yang
terkait dengan Willem Iskander (kakek buyut Andi Hakim Nasution). Apakah pesan
Pak Andi dulu kepada saya: ‘Akhir juga harus belajar sejarah’, telah saya
tunaikan? Semoga.
Mengapa
minat saya bergeser ke peminatan sejarah ekonomi dan bisnis sesungguhnya bagaikan
‘air mengalir sampai jauh’. Sudah jelas saya ingin insinyur pertanian. Namun
selama di TPB IPB, ilmu ekonomi membuat saya tertantang meski awalnya sulit
memahaminya. Bersamaan dengan ini selama
di TPB IPB terbentuk minat khusus: ilmu gizi masyarakat, ilmu statistika
pertanian, dan ilmu ekonomi pertanian. Lalu IPB ‘menuntun’ saya ke pilihan
tunggal yakni (jurusan Ilmu Ekonomi). Karena itu jadilah saya menjadi mahasiswa
jurusan Ilmu Ekonomi di Fakultas Pertanian. Saat semester tiga di jurusan saya
melamar menjadi asisten mata kuliah Ilmu Ekonomi untuk kelas TPB. Habis
semester empat setiap mahasiswa harus menentukan satu dari tiga pilihan
peminatan khusus (program studi), yakni: Ekonomi Perusahaan (Agribisnis); Ekonomi
Sumber Daya, dan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian yang disingkat PKP. Ada satu
pertimbangan yang membuat saya memilih kekhususan tertentu. Selama tingkat dua
saya telah belajar lebih jauh bidang ilmu ekonomi (dapat nilai A masing-masing
untuk mata kuliah Ekonomi Mikro dan Ekonomi Makro), Akan tetapi ada hal lain
yang saya rasakan untuk menjelaskan ilmu ekonomi yakni isu-isu kemasyarakatan. Itu
jelas bersifat sosiologis. Oleh karena di TPB IPB sudah lulus Ilmu Sosiologi,
maka ketika memilih peminatan khusus itu di juruan hanya diampu oleh PKP.
Karena itulah saya pilih program studi PKP, meski kawan-kawan menganggap saya
salah memilih program studi. Boleh jadi karena saya adalah asisten Ilmu Ekonomi
di TPB dan memiliki nilai bagus pada dua mata kuliah inti ekonomi. Akan tetapi
mereka tidak memahami apa yang telah saya pikirkan. Pada semester lima saya
merasakan mata kuliah Ilmu Ekologi Manusia sesuatu yang menarik perhatian saya,
karena itu saya mendalaminya. Ilmu Ekologi Manusia seakan memanggil kembali
minat lama (sarjana pertanian). Ilmu Ekologi Manusia adalah ilmu yang
menjelaskan ilmu alam (ekosistem) dengan ilmu sosial (lingkungan sosial). Ilmu
sosial dalam hal ini membuat saya tertantang harus membuat saya belajar mandiri
ilmu antropoligi, Hal ini karena tidak ada mata kuliah Ilmu Antropologi dalam
daftar mata kuliah. Pada domain (baru) ini, Ilmu Ekonomi menjadi powerfull
untuk ruang lingkup ekonomi Indonesia, yakni usaha-usaha kecil berbasis
pertanian dan konsumen berbasis rumahtangga. Dalam fase inilah studi saya
berakhir, yakni studi Ekonomi Mikro yang dikombinasikan dengan Sosiologi Mikro.
Untuk sekadar catatan: Ilmu Antropologi itu sendiri adalah Ilmu Sosiologi
Mikro. Dalam perjalanannya, meski di pasca sarjana saya kembali ke Ilmu
Ekonomi, tetapi ilmu-ilmu sosial (Mikro Ekonomi dan Mikro Sosiologi) tetap melekat
di hati. Pada umur sudah mulai matang, seperti sekarang ini, ilmu-ilmu yang
saya nikmati dulu (ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu ekonomi) kembali bersemi. Lalu
lahirlah minat baru yakni memahami Sejarah Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Suatu
ruang lingkup yang kurang disentuh pada bidang ilmu ekonomi, juga menjadi bidang
(khusus) yang agak terlantarkan dalam bidang ilmu sosiologis. Sementara dalam
ilmu sejarah, hal yang bersifat ekonomi, kalau boleh dikatakan tidak ada yang
berminat, adalah ruang pemahaman yang sangat jarang diminati. Padahal, ekonomi
dan bisnis Indonesia membutuhkan pemahaman dari aspek sejarahnya. Sebab,
ekonomi dan bisnis Indonesia, sejatinya masih bagian terbesar di dalam piramida
ekonomi dan bisnis Indonesia. Sejarah ekonomi dan bisnis Indonesia yang khas
akan membuat kita memutar jarum jam kembali ke masa lampau (bahkan sejak era
VOC).
Baca juga:
Sejarah Universitas Indonesia (4): Sejarah Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia; Sarjana Lulusan Pertama Drs. Sie Bing Tat*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Jadi inget & Kangen P9.........
BalasHapusKeren tulisannya..baru tahu skrg singkatan RCD...selain recidivisπ
BalasHapusLuar biasa.....terima kasih.....horas.....
BalasHapusMantap Bang
BalasHapuskangen TPB di baranangsian. merinding
BalasHapusTPB...... P9
BalasHapusNama Angkatan 20 TPB adalah GAHARI
BalasHapusNama Angkatan 15 TPB : AMBISSI
BalasHapusTPB oh TPB... fase yg sgt membekas...
BalasHapusAngkatan 17 : ARMADA.
BalasHapusToss aah ! π
HapusTulisan yang informatif, walau banyak konten yang berulang.. Akan lebih bagus lagi kalau tulisan ini diedit ulang supaya lebih terstruktur dan enak dibaca.
BalasHapusAda satu hal yang kurang atau tidak tersentuh yaitu masa kuliah matrikulasi (kuliah selama dua bulan sebelum masuk semester pertama TPB).
Anyway.. Good job, sir.
Jabat erat,
Fauzan Ali (IP 18.0840)
Kelompok 6 (GANAS)
Angkatan 18 (GEMPITA)
Satu lagi belum dimasukkan. Ujian tiap hari Sabtu itu terlalu berat. Kuis kecil sebelum mulai praktikum di lab. Laporan praktikum tiap minggu. Pokoknya stres berat deh ... Aku Ambissi
BalasHapusKoq sy gak pernah merasa stres yaa, malahan sampai "addicted" ersede ππ jadi nambah kawan, plus jadi anggota L-IPB hiking truuuusss hampir setiap weekend...ππ - Alhamdulillah di dunia kerja lumayan "moncer" πͺπ - It's quite impressive to have studied at IPB !
HapusKeren banget ini tulisan.
BalasHapussalam dan salim takzim, AGB 37
BalasHapus