Selasa, 17 September 2019

Sejarah Tangerang (40): Sejarah Dramaga dan Landhuis Kampus IPB Bogor; Mengapa Dramaga Masuk Kabupaten Bogor Barat?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Dramaga bukanlah nama baru, Dramaga adalah kota tua. Keberadaan kota Dramaga paling tidak sudah dipublikasikan pada tahun 1772 oleh Josh Rach. Kota pertama yang terbentuk di hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane adalah kota Tjiampea dimana benteng VOC dibangun pada tahun 1710. Dari kota Ciampea kemudian muncul kota-kota baru seperti Dramaga, Leuwiliang, Djasinga dan Tjigoedeg. Dalam hal ini munculnya kota Dramaga sebagai perkembangan lebih lanjut dari keberadaan Kota Ciampea.

Landhuis Dramaga: Old (Oud) en Now (Nieuwe)
Kampus IPB Bogor relokasi dari Kota Bogor ke Kabupaten Bogor di Dramaga. Pada tahun 1989 wisuda tidak lagi dilakukan di Gedung Rektorat IPB Kampus Baranang Siang tetapi dilakukan kali pertama di gedung olahraga (GOR) Kampus IPB Dramaga. Yang diwisuda termasuk saya. Sejak itu, wisuda selalu diadakan di kampus IPB Dramaga hingga ini hari. Saat itu desa Dramaga tengah persiapan untuk pemisahan desa Dramaga dari kecamatan Ciomas dalam pembentukan kecamatan baru (Kecamatan Dramaga). Pembentukan Kecamatan Dramaga sendiri baru terlaksana pada tahun 1997. Kini, Kecamatan Dramaga bersama 13 kecamatan lainnya akan membentuk Kabupaten Bogor Barat, Tiga belas kecamatan lainnya itu adalah Ciampea, Parung Panjang, Tenjolaya, Pamijahan, Cibungbulang, Rumpin, Tenjo, Sukajaya, Jasinga, Nanggung, Cigudeg, Leuwisadeng dan Leuwiliang.

Itulah mengapa Kecamatan Dramaga pada masa ini secara historis sesuai dimasukkan ke dalam rencana pembentukan Kabupaten Bogor Barat. Pertanyaan yang sedikit membingungkan boleh jadi karena sebelum terbentuk Kecamatan Dramaga tahun 1997, desa Dramaga termasuk wilayah Kecamatan Ciomas. Namun sejatinya di masa lampau di era VOC, Dramaga adalah wilayah yang terpisah dari Tjiomas dan wilayah Dramaga justru lebih terintegrasi (menyatu) dengan wilayah Ciampea. Dengan kata lain, masuknya Kecamatan Dramaga dalam Kabupaten Bogor Barat pada dasarnya sudah diperhitungkan sejak era VOC sebagai satu kesatuan wilayah baik secara spasial ekonomi maupun geografis wilayah. Untuk lebih memahami bagaimana sejarah Dramaga berlangsung, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Dramaga di Kabupaten Bogor Barat
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Landhuis Dramaga dan Landhuis Struiswijk: Dari Dramaga ke Salemba

Sejarah masa lampau adakalanya tidak terduga pada masa kini. Itu hanya soal pemahaman dan keterbatasan data yang ada. Siapa sangka di dalam kampus baru IPB di Dramaga pada masa ini masih tampak tanda-tanda jaman lampau: Landhuis Dramaga. Semakin tersedianya data historis dengan sendirinya meningkatkan pemahaman kita pada objek tertentu pada masa ini. Adanya eks landhuis di tengah kampus IPB Dramaga sedikit banyak telah memicu kita untuk melihat kembali (melacak) sejarah Dramaga pada masa lampau. Landhuis di Dramaga tempo doeloe tersebut kini telah bertransformasi menjadi Wisma Tamu IPB Landhuis.

Landhuis Dramaga dan landhuis Struiswijk
Jejak landhuis tidak hanya ada di kampus IPB di Dramaga (landhuis Land Dramaga), tetapi juga ada jejak landhuis di tengah kampus UI di Salemba (landhuis Land Struiswijk). Anehnya belum lama ini baru saya sadari landhuis Struiswijk dulu pernah menjadi kantor tempat saya bekerja. Pada tahun 1991 bangunan utama landhuis Struiswijk sudah tersungkur di tanah dan hanya puing-puing yang terlihat (berada di halaman belakang RSCM). Tetapi (saat itu) bangunan lain dari landhuis itu (yang masuk area FEUI)  masih digunakan sebagai ruang kelas dan perkantoran FEUI (kini diubah total menjadi gedung Lembaga Manajemen FEB-UI). Untuk lebih lengkapnya lihat artikel di dalam blog ini:Sejarah Jakarta (36): Sejarah Salemba, Struiswijk, Pabrik Opium dan STOVIA; Kini Jalan Salemba Raya No. 4 Jakarta. Sementara itu, landhuis Dramaga kini diubah menjadi bangunan Wisma Tamu IPB. Pada tahun 1989 saya juga bertanya-tanya mengapa ada bangunan kuno yang terkesan berbeda di tengah kampus (baru) Dramaga. Untuk sekadar nostalgia, sepulang dari rumah dosen pembimbing skripsi di perumahan dosen kampus IPB Dramaga saya beberapa kali melihat-lihat lingkungan sekitar yang masih banyak hutan. Saat itulah bangunan kuno itu saya lihat keberadaannya sebagai bagian dari Fateta. Topik skripsi saya adalah tentang perilaku menabung keluarga petani tanaman terubuk di kecamatan Cigudeg (kecamatan ini kini ditetapkan sebagai ibu kota kabupaten Bogor Barat).

Landhuis adalah bangunan utama yang menjadi rumah dan sekaligus kantor pemilik land (landheer). Lokasi land biasanya berada di tempat paling strategis di dalam land. Landhuis menjadi semacam ibu kota di dalam land, Land-land besar umumnya mendirikan pasar yang menyebabkan area sekitar landhuis tumbuh dan berkembang menjadi kota (town). Banyak kota-kota pada masa ini bermula dari area sekitar land (town) seperti kota Leuwiliang, kota Cigudeg, kota Parung, kota Depok dan kota Jasinga. Kota Bogor sekarang awalnya adalah sebuah land (land Bloeboer) yang dibeli oleh pemerintah Hindia Belanda dari pemilik land di era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) untuk dijadikan kota (stad) pemerintah. Land (tanah partikelir) pada masa lampau semacam negara dalam negara.

Fort Tjiampea, kini menjadi nama kampong Benteng
Land Dramaga dibentuk oleh pemerintah VOC pada tahun 1778. Batas land Dramaga ini antara sungai Tjiomas di timur (di Sindang Barang yang sekarang) dan sungai Tjiapoes di barat (batas sebelah barat kampus IPB yang sekarang). Dengan kata lain Land Dramaga ini di timur berbatasan dengan land Tjiomas dan sementara di barat berbatasan dengan land Tjiampea; sedangkan di sisi utara berbatasan langsung dengan sungai Tjiasadane. Pada tahun 1808 land Dramaga ini diketahui telah dimiliki oleh GWC van Motman. Setelah kematian GWC van Motman tahun 1821 sempat dijual oleh sang istri untuk membesarkan empat anak di Batavia, tetapi oleh anak-anaknya setelah dewasa membeli kembali land Dramaga pada tahun 1846. Pada saat pembelian kembali land Dramaga ini landhuis baru dibangun di lokasi yang baru (yang kini menjadi Wisma Tamu IPB di tengah kampus IPB Dramaga). Landhuis yang lama berada di sisi barat sungai Tjihiedeung (lokasinya kini di dekat jembatan jalan raya Bogor-Dramaga, simpang ke arah desa Petir). Pembangunan baru landhuis di land Dramaga diduga terkait dengan pemilik land Dramaga (keluarga van Motman) telah memperluas usaha (pertanian) dengan menyewa land Tjiampea, land Tjiboengboelang dan land Sading/land Panjawoengan (di sisi selatan sungai Tjianten/singai Tjikaniki.

Benteng (Fort) Tjiampea (1713)

Untuk mengetahui sejarah awal Dramaga, dimana kampus IPB berada sekarang, mulailah dari benteng (fort) Tjiampea. Benteng Tjiampea dibangun pada tahun 1710 sebagai perluasan pertahanan setelah sebelumnya benteng Sampoera (benteng Serpong) dibangun. Benteng dijaga oleh pasukan pribumi yang direkrut dari pulau lain yang dipimpin oleh seorang sersan Eropa/Belanda. Fungsi benteng adalah untuk menjaga keamanan dan memberi perlindungan kepada para pedagang VOC dalam melakukan transaksi dagang dengan penduduk pribumi. Benteng Tjiampea menjadi simpul perdagangan yang pertama VOC di hulu sungai Tangerang (sungai Tjisadane).

Pada tahun 1667 (pasca perang Gowa) kebijakan VOC bergeser dari perdagangan yang longgar di (kota-kota) pantai menjadi kebijakan yang mana penduduk dijadikan sebagai subjek. Para pedagang VOC segera memulai membuka lahan pertanian untuk mengusahakan perkebunan. Usaha ini dimulai di seputar Batavia. Pada tahun 1674, seorang pedagang VOC, Cornelis Snock membuka lahan pertanian di sisi barat sungai Tangerang dengan mendatangkan pekerja dari berbagai tempat. Untuk menjaga keamanan sendiri Cornelis Snock membangun palisade dari bambu dan kayu. Pada tahun 1682 terjadi perang saudara di kesultanan Banten (terjadi kudeta). Situasi menjadi tidak aman di sisi barat sungai Tangerang. Pemerintah VOC meningkatkan palisade dengan membangun benteng (benteng Tangerang). Cornelis van Mook yang meneruskan usaha Cornelis Snock meningkatkan kanal irigasi di dekat benteng dengan membangun kanal pelayaran dari benteng Tangerang ke benteng Angke (Batavia). Kanal yang selesai dibangun tahun 1687 ini kemudian disebut kanal Mookervaart sesuai nama si pembuat (kini sungai yang berada di sisi jalan Daan Mogot antara Tangeang dan Pesing). Benteng Tangerang ini menjadi cikal bakal Kota Tangerang yang sekarang.

Sejak adanya kanal Mookervaart, lalu lintas (air) semakin lancar antara Batavia dan Tangerang. Para pedagang VOC secara perlahan-lahan semakin banyak yang mengikuti langkah Cornelis van Mook untuk membangun pertanian. Pada masa-masa inilah terbentuknya tanah-tanah partikelir (land). Land pertama yang dibentuk di daerah aliran sungai Tangerang adalah Land Tangerang, kemudian menyusul Land Babakan dan Land Tjikokal. Lambat laun jumlah land semakin banyak dan semakin meluas hingga ke Serpong. Pemerintah VOC kemudian membangun benteng di Serpong (Fort Sampoera). Segera setelah dibangun benteng di Serpong, pemerintah VOC pada tahun 1710 membangun benteng di Tjiampea. Fungsi benteng di Tjiampea lebih pada jangkar pertahanan ketika para militer melakukan eksplorasi ke wilayah barat mengikuti sungai Tjianten, sungai Tjiaruteun dan sungai Tjikaniki. Fungsi benteng juga untuk melindungi para pedagang VOC yang melakukan transaksi hingga ke hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane (perkembangan land baru, eksploitasi lahan sebatas benteng Tangerang dan benteng Sampoera (di Serpong).

Pada tahun 1713 benteng Ciampea diperkuat dengan memperluas pertahanan dengan membangun benteng baru di Panjawoengan. Hal ini setelah beberapa kali dilakukan ekspedisi ke daerah hulu sungai Tjikaniki. Benteng Panjawoengan ini kini lokasinya berada di selatan sungai Tjikaniki di kampong Panjaungan, desa Kalong, kecamatan Leuwisadeng. Sementara para militer melakukan eksplorasi wilayah ke arah pedalaman (hingga Djasinga), pusat perdagangan di Tjiampea terus tumbuh. Pasar Tjiampea menjadi pusat transaksi perdagangan utama di hulu sungai Tangerang (dari Sindang Barang di arah timur dan dari Panjawoeangan/Sading di arah barat).

Pada tahun 1687 pemerintah VOC mengirim tim ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh sersan Scipio. Berbeda dengan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan di daerah aliran sungai Tangerang yang selalu dimulai dari benteng Tangerang, ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong justru dimulai dari daerah muara dan menyusuri aliran sungai Tjimandiri (kini Pelabuhan Ratu). Seperti biasanya ekspedisi yang dipimpin militer juga disertakan para ahli seperti ahli geologi ahli botani, ahli geografi sosial (untuk pemetaan) dan juga ahli lingusitik (sosial, budaya dan bahasa). Tim ekspedisi Scipio dari selatan Jawa mencapai gunung Salak dan membangun benteng di antara titik singgung terdekat sungai Tjiliwog dengan sungai Tjisadane. Benteng ini disebut benteng (fort) Padjadjaran (lokasinya kini tepat berada di halaman belakang Istana Bogor). Ekspedisi Scipio ini kemudian menyusuri sisi timur daerah aliran sungai Tjiliwong dari (kampong) Tjiloear, ke Batavia (Kasteel Batavia) via Tjibinong, Tandjoeng (kini Pasar Rebo), dan Meester Cornelis (kini Jatinegara).

Pada tahun 1703 dari Batavia dilakukan ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh Mr. Abraham van Riebeck. Ekspedisi ini dari Tjililitan melalui sisi barat sungai Tjiliwong melalui Tandjoeng, Sering Sing, Pondok Tjina, Depok, Pondok Terong, Bodjong Manggis (Bj Gede), Tjilibeut, Parong Angsana . Ekspedisi ini juga mencapai Tjisaroea dan Preanger (Tjiandjoer). Pada tahun-tahun ini juga dilakukan ekspedisi yang lain dari pantai utara ke arah pedalaman melalui daerah aliran sungai Bekasi/sungai Tjilengsi dan sungai Karawang/sungai Tjitaroem. Secara keseluruhan ekspedisi-ekspedisi ini, satu hal yang tergambar adalah bahwa pengembangan wilayah (eksplorasi dan eksploitasi) tidak terhubung antara wilayah daerah aliran sungai Tangerang/sungai Tjisadane dengan daerah aliran sungai Tjiliwong. Pengembangan wilayah daerah aliran sungai Tjisadane/sungai Tangerang berkembang ke arah barat hingga Djasinga menuju Banten; sedangkan pengembangan wilayah daerah aliran sungai Tjiliwong berkembang ke arah timur hingga Megamendoeng menuju Preanger.

Pembentukan Land Tjiampea dan Land Dramaga (1778)

Setelah sejumlah benteng dibangun di hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane (benteng Serpong, benteng Tjiampea dan benteng Panjawoengan) mulai terjadi perdagangan yang intens di pedalaman. Namun pengembangan land baru terjadi hingga wilayah Serpong. Sebelum pembentukan land meluas ke hulu sungai Tjisadane di Tjiampea situasi telah menjadi tidak kondusif. Terjadi lagi ketegangan antara VOC/Belanda dengan (kesultanan) Banten.

Pada tahun 1750 an terjadi serangan dari kesultanan Banten di wilayah pedalaman. Situasi dan kondisi di daerah hulu aliran sungai Tjisadane tidak kondusif. Para militer terus berupaya untuk mempertahankan wilayah.

Setelah ketegangan mereda di daerah hulu sungai Tjisadane, pengembangan wilayah kembali diteruskan. Pada tahun 1778 pemerintah VOC/Belanda membentuk sejumlah land di hulu sungai Tangerang. Beberapa land yang dibentuk adalah land Dramaga dan land Tjiampea. Lalu kemudian land Tjiomas, land Tjiboengboelan dan land Panjawoengan (kelak disebut daerah Leuwiliang). Pada tahun 1799 VOC bankrut dan kemudian diakuisisi kerajaan Belanda dengan membentuk pemerintah Hindia Belanda.

Pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) pemerintahan Hindia Belanda membeli sejumlah land untuk dijadikan sebagai ibu kota pemerintahan, termasuk untuk membangun kota Batavia, kota Buitenzorg dan kota Tangerang. Namun sebaliknya pemerintah juga menjual sejumlah lahan di daerah aliran sungai Tjitaroem dan daerah di sebelah barat sungai Tangerang. Lahan-lahan yang dijual ini dalam bentuk land. Land-land yang baru dibentuk di daerah hulu sungai Tangerang adalah land Tjoeroek Bitoeng (kelak disebut Nanggung), land Sadeng Djamboe (kini kecamatan Leuwisadeng), Pembentukan land ini juga mencapai sungai Tjidoerian yakni terbentuknya land Bolang (kini kecamatan Cigudeg) dan land Janlappa (Djasinga).

Wilayah barat Buitenzorg lambat laun semakin berkembang dan kemudia pada tahun 1826 dibentuk pemerintahan district dengan ibu kota di Djasinga (land Djasinga hasil pemekaran dari land Janlappa). Pada tahun 1829 jalan poros Buitenzorg-Rangkas Bitoeng dibangun melalui Tjiampea, Panjawoengan, Sading Djamboe, land Bolang dan land Djasinga.

Land Dramaga dan Keluarga van Motman (1808-1949)

Pada tahun 1799 VOC/Belanda dibubarkan lalu diakuisisi oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintahan Hindia Belanda. Meski demikian hal kepemilikan land masih berada di tangan swasta. Land-land masih eksis.

Pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) seorang perwira militer Gerrit Willem Casimir (GWC) van Motman ditempatkan di Buitenzorg. Namun tidak lama kemudian kekuasaan beralih dari Belanda ke Inggris (pemerintahan pendudukan Inggris di bawah Letnan Gubernur Jenderal Raffles). Orang-orang Belanda ada yang kembali ke Belanda dan sebagian besar masih bertahan di Hindia meski rezimnya sudah berbeda. Banyak mutasi kepemilikan land. Pada era pendudukan Inggris inilah kemudian GWC van Motman membeli land Dramaga tahun 1812 dan mengusahakannya. Setelah berakhir era pendudukan Inggris yang digantikan kembali oleh pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1817 GWC van Motman diangkat sebagai Residen pertama Preanger Regentschappen (yang berkedudukan di Buitenzorg dan kemudian ibu kota di geser ke Tjiandjoer).

Setelah kekuasaan beralih kembali ke tangan Belanda pada tahun 1816 land-land juga diteruskan oleh pada pemilik. Land Dramaga tetap diusahakan oleh GWC van Motman. Pada tahun 1821 GWC van Motman meninggal dunia. Land Dramaga diteruskan oleh istrinya. Namun karena anak-anak alm. GWC van Motman masih kecil-kecil lalu land Dramaga dijual untuk membesarkan anak-anak di Batavia. Setelah dewasa anak-anak alm GWC van Motman kembali membeli land Dramaga.

Algemeen Indisch dagblad, 20-06-1947
Pada saat pembelian kembali ini keluarga van Motman membangun landhuis baru di lokasi landhuis dimana Wisma Tamu IPB sekarang. Landhuis land Dramaga yang lama sebelumnya berada di sisi sungai Tjihiedeung di jalan raya Buitenzorg dekat jembatan ke arah desa Petir yang sekarang. Pemindahan landhuis ini diduga karena keluarga van Motman telah menyewa land Tjiampea, land Tjiboengboelang dan land Panjawawoengan. Tujuan semua pengusahaan lahan ini (land Dramaga dan tiga land lainnya di sekitar) adalah untuk membangun perkebunan (onderneming).

Land Dramaga terus berkembang karena sangat subur dan bertopografi datar. Banyak sawah-sawah yang dikembangkan. Land Dramaga menjadi penyuplai beras untuk wilayah sekitar termasuk untuk kebutuhan beras di Buitenzorg. Keluarga van Motman juga semakin makmur. Dalam perkembangannya keluarga van Motman membeli land Tjoeroek Bitoeng dan land Sading Djamboe.  Dalam perkembangan lebih lanjut land Bolang juga diakuisisi oleh keluarga van Motman (FHC van Motman).

Pada saat pendudukan militer Jepang semua tanah partikelir (land) dihapus dan semuanya diambil alih oleh pemerintahan militer Jepang dengan cara proklamasi. Untuk wilayah sisi barat sungai Tangerang/sungai Tjisadane proklamasi diadakan di land Gunung Sindoer pada bulan Juni 1942. Pada tanggal 17 Aguistus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Namun tidak lama kemudian Belanda kembali. Pemerintah Hindia Belanda (NICA) mengembalikan status kepemilikan lahan pribadi dan land-land yang sebelum pendudukan Jepang dikembalikan kepada pemilik. Land Dramaga melalui wakil keluarga yang dalam hal ini oleh Pieter Reinier van Motman sebagai administrateur land Dramaga merayakan peresmian kembali land Dramaga yang diadakan di Batavia dengan mengundang tamu dari berbagai kalangan (lihat Algemeen Indisch dagblad, 20-06-1947).

Namun dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda/NICA mengeluarkan kebijakan baru untuk membeli land-land yang ada dengan membentuk panitia pada bulan April 1949. Salah satu land yang termasuk yang diakuisisi oleh pemerintah NICA adalah land Dramaga. Berakhir sudah keberadaan Land Dramaga.

Pada akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia setelah disepakati perjanjian damai melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Hasil perjanjian itu berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan dibentuknya pemerintahan Indonesia (RIS), tuan pemilik lahan Dramaga tidak lagi Pemerintah Belanda, tetapi tuan yang baru, Pemerintah Indonesia.

Akhir Dari Dinasti Keluarga van Motman dan Institut Pertanian Bogor

Setelah pembebasan land Dramaga pada tahun 1949, perusahaan Onderneming Dramaga yang juga mengusahakan lahan di land Dramaga (sejak 1848) masih tetap dimiliki oleh keluarga van Motman, yang dalam hal ini diwakili oleh PR van Motman. Pengusahaan lahan Dramaga ini oleh keluarga van Motman masih terdeteksi hingga tahun 1954 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-10-1954). Namun kisah (eks land) Dramaga menjadi lain ketika PR van Motman diduga terlibat dalam tindakan subversif (melawan Pemerintahan Indonesia/RIS tahun 1950).

Satu kesalahan berat yang dilakukan oleh van Motman di Dramaga ikut memfasilitasi rencana para militer KNIL untuk menggulingkan Pemerintah Indonesia/RIS yang dimotori oleh Kapten Schmidt dan Jungschlager dengan cara melawan TNI. Gudang di land Dramaga (dan di land Serpong) dijadikan tempat penyimpanan senjata. Kejadian yang terjadi pada bulan Maret 1950 diadili pada bulan September 1954 (lihat De waarheid, 23-09-1954). Pengadilan yang berlarut-larut ini pengadilan tinggi Indonesia telah menetapkan Jungschlager bersalah dan mendapat hukuman (lihat Limburgsch dagblad, 30-10-1956).

Dengan dinyatakannya Jungschlager tahun 1956 bersalah, maka Onderneming Dramaga di bawah administrateur van Motman diduga dinyatakan telah ikut bersalah. Besar dugaan setelah kasus ini terbukti di pengadilan, onderneming Dramaga disita untuk negara. Hal ini Onderneming Dramaga telah turut melawan TNI. Dengan kata lain onderneming Dramaga oleh pemilik van Motman telah melibatkan diri dalam hal upaya untuk menjatuhkan pemerintah (negara). Saat proses pengadilan Jungschlager ini, Pieter Reinier van Motman sudah berada di Australia.

Posisi GPS landhuis Dramaga
Land Dramaga sebagai tanah partikelir yang dikuasai oleh keluarga van Motman sejak 1812 harus berakhir pada tahun 1949. Pengusahaan lahan Dramaga oleh keluarga van Motman berakhir sudah pada tahun 1956. Untuk sekadar catatan, land Dramaga dibentuk pada tahun 1778 dan pemiliknya diketahui tahun 1812 adalah Gerrit Willem Casimir (GWC) van Motman (kakek buyut PR van Motman). Serelah GWC van Motman meninggal pada tahun 1821, land Dramaga diteruskan oleh keluarga van Motman. Pada tahun 1956 lahan Dramaga diusahakan oleh generasi keempat (cicit GWC van Motman).

Setelah usaha (perkebunan) Dramaga disita oleh negara pada tahun 1956, lahan perkebunan itu dalam perkembangannya diketahui telah dihibahkan oleh negara untuk Institut Pertanian Bogor. Lahan dari onderneming Dramaga yang dikuasai oleh keluarga van Motman inilah kemudian yang menjadi lahan yang digunakan untuk pembangunan kampus baru Institut Pertanian Bogor. Satu yang masih tersisa di lahan kampus tersebut adalah eks landhuis keluarga van Motman (yang kemudian diubah menjadi Wisma Tamu IPB Landhuis).

Stambuk keluarga van Motman di land Dramaga
Keluarga van Motman: Istri GWC van Motman melahirkan pada tahun 1819 dan dicatat secara sipil tahun 1820 (lihat  Bataviasche courant, 16-09-1820). Putra bungsu GWC van Motman ini diberi nama Jan Casimir van Motman. Namun tidak lama kemudian GWC van Motman dikabarkan meninggal dunia pada usia 49 tahun (lihat Bataviasche courant, 02-06-1821). Setelah menikah semua anak-anaknya, janda GWC van Motman, Reiniera Jacoba Bangeman meninggal di Dramaga tanggal  9 Februari 1860. Land Dramaga diteruskan oleh Jacob Gerrit Theodoor van Motman (anak ketiga GWC van Motman). Diberitakan JGT van Motman meninggal di Dramaga tanggal 20 September 1890 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-09-1890). Kemudian land Dramaga diteruskan oleh Pieter Henrik Cornelis van Motman  lalu diteruskan lagi oleh Pieter van Motman (cicit GWC van Motman) sebagai orang terakhir dari keluarga van Motman yang mengusahakan land Dramaga (lihat stambuk). Untuk sekadar catatan tambahan: GWC van Motman menikah dengan RJ Bangeman pada tanggal 5 Februari 1809 di Batavia (istri yang kedua). Willem Reinier van Motman adalah anak dari istri pertama.

Keluarga van Motman sejak awal sudah menguasai dan menyewa sejumlah lahan di daerah hulu sungai Tangerang. Setelah yang pertama, GWC van Motman mengusahakan land Dramaga, usaha pertanian juga turun kepada anak dan cucu-cucunya. Pada tahun-tahun terakhir land Dramaga diusahakan dalam bentuk onderneming (perusahaan) NV Dramaga (sejak 1875). Pieter Reinier van Motman memimpin onderneming sejak 1897 (untuk menggantikan ayahnya JGT van Motman). Sejak 1911 yang memimpin onderneming NV Dramaga adalah AHC van Motman sebagai administrateur. AHC (Alphonse Constant Henri) van Motman adalah adik Pieter Reinier van Motman. Pada tahun 1923 salah satu pengurus NV Dramaga, CJ van Motman meninggal (paman dari AHC van Motman). Pada tahun 1935 diberitakan AHC van Motman meninggal dalam usia 51 tahun. Perusahaan ini kemudian dilanjutkan (kembali) oleh sang abang, Pieter Reinier van Motman (sebagai orang terakhir di land Dramaga).

Land keluarga van Motman di West Buitenzorg (Bogor Barat)
Keluarga van Motman (pernah) memiliki hampir seluruh lahan di wilayah Bogor Barat yang sekarang. Hanya land Tjiampea, land Tjiboengboelan dan land Panjawoengan atau land Sading yang tidak pernah dimiliki. Namun tiga land pernah disewa oleh tiga bersaudara generasi kedua van Motman. Land-land yang pernah dimiliki tersebut adalah  land Dramaga, Sading Djamboe, Bolang, Tjoeroek Bitoeng, Roempin, Djasinga, Kedong Badak, Tjikandi-ilir, Tjikoleang, Tjikandi-Oedik. Land-land tersebut secara bertahap diakuisisi pemerintah. Land yang pertama diakuisisi adalah land Djasinga dan land yang terakhir diakuisisi adalah land Dramaga (1949).

Seperti telah disebut di atas, Pieter Reinier van Motman melakukan kesalahan dengan berkolaborasi dengan para pemberontak Jungschlager Cs, maka tamat sudah riwayat keluarga van Motman. Padahal riwayat keluarga van Motman sejak kakek moyangnya GWC van Motman sangat dihormati oleh penduduk di wilayah Buitenzorg. Keluarga van Motman sangat terkenal sebagai landheer yang baik yang nyaris tidak tercela dan cukup peduli terhadap penduduk apakah soal pajak, kerja rodi, bencana, kesehatan dan pendidikan penduduk. Di antara para landheer Eropa/Belanda, keluarga van Motman dikenal sangat humanis terhadap penduduk setempat lebih-lebih JGT van Motman di land Dramaga. Namun semua itu harus berakhir di tangan Pieter Reinier van Motman (anak JGT van Motman).

Lontjeng langhuis land Dramaga (Peta 1902)
Selain landhuis di land Dramaga, peninggalan lain dari keluarga van Motman ini adalah bangunan lonceng yang berada tidak jauh dari landhuis di tengah kebun onderneming Dramaga. Pada awal mula pengusahaan setiap land di masa lampau para pemilik land (landheer) membangun dua atau empat tiang tinggi untuk meletakkan lonceng besar. Bangunan lonceng land Dramaga dibangun di sebelah barat landhuis dekat dengan sungai Tjiapoes. Gunanya lonceng ini pada awalnya adalah penanda alarm sewaktu-waktu jika terjadi serangan dari luar dan kemudian bergeser menjadi fungsi penanda waktu tertentu (waktu mulai atau berhenti bekerja bagi para pekerja kebun).

Replikasi bangunan lonceng di depan Wisma Tamu IPB Landhuis
Pada era perang kemerdekaan, terutama pada tahun 1946-1948 wilayah hulu sungai Tangerang adalah area gerilya pejuang RI (Republiken) dimana landhuis land Dramaga sebagai salah satu basecamp para pejuang. Para pejuang ini bermula dari Tangerang dan Serpong lalu bergeser ke arah Tjiampea demikian juga pejuang dari Bogor bergeser ke arah barat ke Tjiampea. Pada saat inilah land Dramaga sebagai salah satu pusat gerilya yang penting di wilayah barat sungai Tangerang/sungai Tjisadane. Namun dalam perkembangannya pusat gerilya bergeser ke land Nanggoeng. Dalam perkembangannya tempat dimana lonecng land Dramaga berada menjadi perkampungan penduduk (pada era keluarga van Motman di area lonceng hanya digunakan sebagai barak para pekerja). Seperti benteng Tjiampea menjadi nama kampong Benteng, besar dugaan nama kampung Tegal Lonceng di desa Ciherang diduga karena adanya lonceng ini. Kini, tugu lonceng yang berada di land Dramaga ini telah dipindahkan ke depan Wisma Tamu IPB Landhuis (sebagai replikasi).

Mengapa Pieter Reinier van Motman melakukan hal berbahaya (subversif) itu sesungguhnya dapat dipahami. Pieter Reinier boleh jadi kecewa dengan pengakuan Kerajaan Belanda terhadap Indonesia, sementara wilayah Buitenzorg telah turut aktif dibangun oleh kakeknya GWC van Motman dan ayahnya JGT van Motman. Sebagai Indo (lahir dan besar di Hindia) tentu sulit melepaskan warisan (sejarah) dan lebih-lebih populasi marga van Motman (keturunan GWC van Motman) terbilang cukup banyak di Hindia. Hal-hal inilah diduga mengapa Pieter Reinier van Motman melakukan tindakan yang heroik dari sisi pandang keluarga van Motman tetapi berlawanan dari arus umum. Tapi celakanya itu menjadi noda dalam keluarga van Motman. Tentu saja itu karena faktor Jungschlager, yang kebetulan berasal dari Limburg seperti keluarga van Motman.

Pemakaman keluarga van Motman di Leuwisadeng
Keluarga van Motman sudah identik dengan daerah hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane. Arwah kakek moyang mereka keluarga van Motman yang berada jauh dari Eropa semua berada di pemakaman land (Sading) Djamboe (kini kecamatan Leuwisadeng). Sang pionir, GWC van Motman dimakamkan di pekuburan keluarga tersebut. Sang nenek moyang juga dimakamkan di pekuburan tersebut. GWC dikuburkan di Sading Djamboe pada tanggal 25 Mei 1821 (lihat Bataviasche courant, 02-06-1821). Istri JCT van Motman dimakamkam di Djamboe (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-10-1855). JCT van Motman dimakamkan di Djamboe (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 27-12-1865). FHC meninggal tanggal 19 dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Djamboe (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-09-1889). JGT van Motman meninggal di Dramaga tanggal 20 dalam usia 74 tahun dan dimakamkan di Djamboe (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-09-1890). CJ van Motman dimakamkan di Djamboe tahun 1923 (lihat De Indische courant, 12-07-1923). ACH dimakamkan di Djamboe (lihat Het nieuws van den dag voir NI, 08-01-1935). Pemakaman (keluarga) van Motman di Djamboe

Demikianlah sejarah panjang (land) Dramaga secara sesingkat-singkatnya. Sejarah Dramaga tampaknya akan terus abadi sepanjang Institut Pertanian Bogor tetap berada di Dramaga. Ke depan, Dramaga akan menjadi pintu gerbang (gate) menuju ibu kota baru kabupaten Bogor Barat di Cigudeg (dari arah timur sisi selatan sungai Tjisadane dari Bogor; dari arah utara dua sisi sungai Tangerang).

Dalam hal ini sudah harus mulai dipikirkan langkah strategis untuk menyelamatkan agar Dramaga tidak macet total tetapi juga memikirkan akses yang lebih lancar agar pertumbuhan dan perkembangan ibu kota baru di Cigudeg kondusif. Secara teoritis, upaya meminimalisasi munculnya permasalahan baru di Dramaga akan sendirinya memaksimalkan perkembangan baru di Cigudeg. Sudahkah terpikirkan itu? IPB yang berada di (land) Dramaga, sebagai pewaris semangat keluarga van Motman harus berperan aktif mewujudkan Dramaga sebagai kota metropolitan yang baru di selatan Kota Tangerang Selatan dan di barat Kota Bogor. Kita tunggu saja.

Last but not least: Artikel ini didedikasikan kepada semua civitas akademika IPB Bogor, yang kebetulan dua anak saya bersamaan satu bulan lalu: yang satu lulus dari program studi teknik sipil, Fateta/IPB dan yang satu lagi diterima di program studi teknik sipil, FT/UI. Sudah barang tentu artikel ini didedikasikan kepada teman-teman yang tempo doeloe pernah studi di TPB-IPB. Lihat artikelnya di blog ini: Sejarah Bogor (26): Sejarah TPB IPB dan Mahasiswa Tingkat Keragaman Tinggi; Lulus, Bagai 'Air Mangalir Sampai Jauh'


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

6 komentar:

  1. catatan sejarah yang luar biasa. terima kasih, saya sangat kagum

    BalasHapus
  2. Terima makasih pak atas informasinya,.

    BalasHapus
  3. Pak Matua, apakah saat ini ada landhuis lain yg masih tersisa/terawat di Bogor? Selain landhuis Dramaga.

    BalasHapus
  4. Lengkap sekali mas sejarahnya. Yuk lihat juga universitas swasta di tangerang disitus kami.

    BalasHapus