Jumat, 05 Februari 2021

Sejarah Kupang (15): Sejarah Pelabuhan di Nusa Tenggara Sejak Zaman Noussa hingga Zaman Benteng; Moor, Portugis, Belanda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kupang dalam blog ini Klik Disini

Dalam navigasi pelayarann zaman doeloe di nusantara, tujuan setiap kapal di lautan adalah pelabuhan. Yakni pelabuhan yang memiliki transaksi perdagangan. Transaksi perdagangan ini di pelabuhan, kehadiran perahu antar pulau (antara nusa atau nusantara) atau kapal internasional (dari Eropa, Jazirah Arab, India atau Tiongkok). Pertanyaannya: bagaimana pelabuhan-pelabuha di Kepulauan Soenda Ketjil, khususnya di pulau Timor dan sekitar terbentuk.

Pada masa ini di provinsi Nusa Tenggara Timur pelabuhan besar yang sudah lama ada adalah pelabuhan Tenau dan pelabuhan Bolok di Kota Kupang; pelabuhan Waingapu (Sumba Timur); pelabuhan Ende (Bung Karno) dan pelabuhan Ippi (Ende); pelabuhan Atapupu (Belu); pelabuhan Wini (Timor Tengah Utara); pelabuhan Larantuka (Flores Timur) dan pelabuhan Lorosay (Sikka). Dala tahun-tahun terakhir ini pelabuhan baru atau direnovasi yakni pelabuhan Kandidi Reo, pelabuhan Potta, pelabuhan Atapupu, pelabuhan Larantuka, pelabuhan Papele, pelabuhan Lamakera, pelabuhan Waiwerang, pelabuhan Terong, pelabuhan Komodo, pelabuhan Wuring, pelabuhan Palue, pelabuhan Ba’a, pelabuhan Naikliu, pelabuhan Maurole, dan pelabuhan Kolbano.

Bagaimana sejarah pelabuah-pelabuhan di provinsi Nusa Tenggara Timur? Yang pertama dilaporkan adalah di pelabuhan Batoetara (di pulau Komba). Pelabuhan berikutnya adalah pelabuhan Lohayong (pulau Solor) dan pelabuhan Pante Macassar (pulau Timor). Lantas dimana lagi pelabuhan berikutnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk ntuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (46): Alip Ba Ta, Ambassador dan Booming Musik Indonesia; Youtuber Internasional dan Ekonomi Baru

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Satu setengah tahun yang lalu di dalam blog ini (Kamis, 15 Agustus 2019), saya mengapresiasi Alip Ba Ta, seorang pemusik fingerstyle bertalenta sebagai Ambassador (duta besar musik) Indonesia, teori itu kini nyaris sempurna. Dalam hubungan tersebut saya terus mengikuti aransemen musiknya dan juga terus mengamati reaksi terhadap musiknya dari berbagai penjuru dunia. Hasil pengamatan itu mengindikasikan bahwa Alip Ba Ta telah memperoleh haknya sebagai Ambassador Musik Indonesia. Lalu bagaimana teori selanjutnya?

Pada bulan Desember 2019 berita virus Corona di Wuhan (Cina) telah menyita perhatian dunia. Penyebaran virus, yang dimulai di Wuhan, secara masif telah menjadi pandemik (bukan lagi endemik dan juga buka epidemik). Pada bulan Maret 2020 status pandemik di Indonesia dinyatakan berlaku dengan mulai diterapkan lockdown. Pada bulan Desember 2019 status Alip Ba Ta dapat dikatakan sebagai Fenomena Alip Ba Ta. Pada bulan Januari status Alip Ba Ta meningkat lagi menjadi Follower Menjadi Leader dalam musik dunia. Pada bulan Februari 2020 pemusik dunia tidak hanya melihat Fenomena Alip Ba Ta tetapi juga telah menyimak berbagai genre musik Indonesia (pemusik dunia mulai belajar musik dari Indonesia). Pada bulan Maret 2020 status musik Indonesia meningkat lagi yang mana Fenomena Alip Ba Ta naik drastis dimana Invisible Hand (merujuk pada teori ekonomi) tengah bekerja. Pada bulan Mei 2020 di satu sisi Alip Ba Ta sudah menjadi The King of World Music dan di sisi lain Musik Indonesia telah mendapat tempat di arena musik internasional. Saat inilah teori Ambassador Musik Indonesia (Alip Ba Ta) dapat dibuktikan, dari suatu hipotesis menjadi berlaku umum (universal).

Alip Ba Ta Effect kini telah bermetamorfosis menjadi Indonesian Effect. Alip Ba Ta telah membuka jalan, para pemusik dunia menemukan jalan, mereka semakin membuka diri untuk mengenal semua talenta musik Indonesia, diantaranya Abim Finger dan Vanny Vabiola. Pada saat inilah Alip Ba Ta Effect menjadi Inodnesia Effect. Apa efeknya? Booming Musik Indonesia. Alip Ba Ta Effect yang bergerak secara deret aritmatik (fungsi produksi oktaf pertama), kini Indonesian Effect akan bergerak secara deret geometrik (fungsi produksi oktaf kedua) dan mungkin deret eksponesial (fungsi produksi oktaf berikutnya).