Minggu, 29 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (619): Daratan Sumatra dan Pulau Jawa Pernah Bersatu? Situs Gunung Padang dan Situs Sangiran

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada yang berpikir sebelum ini, suatu masa di masa lampau daratan Sumatra bersatu dengan pulau Jawa? Sejauh ini penjelasannya hanya dihubungkan dengan Teori Sundaland. Namun bukan itu yang dimaksud, tetapi yang hanya terhubung antara Sumatra dan Jawa (tidak terhubung dengan Semenanjung dan Borneo). Dalam hal ini Sumatra disebut daratan, karena pulau Sumatra terhubung dengan daratan Asia. Dalam konteks daratan (Semenanjung) Sumatra inilah pulau Jawa dan pulau Sumatra pernah bersatu di masa lampau.

Faktor-faktor yang dianggap menjadi alasan pulau Sumatra dan pulau Jawa pernah bersatu: (1) Berada di garis cincin api dimana ditemukan gunung aktif; (2) Ditemukan sisa ras negroid di pulau-pulau Andaman dan pulau Jawa; (3) Populasi ras Melayu yang dominan; (4) flora dan fauna yang sama, terutama hewan besar seperti badak, dan banteng, gajah dan harimau sudah punah di Jawa); (5) pengaruh peradaban awal yang merata pada era Hindoe Boedha; (6) Bersentuhan dengan samudra Hindia; (7) aktivitas penduduk yang sangat intens di pedalaman. Dalam hubungan ini, pada masa lampau pulau Jawa terhubung daratan dengan pulau Bali (adanya gajah dan harimau di Bali tempo doeloe).

Lantas bagaimana sejarah daratan Sumatra dan pulau Jawa pernah bersatu? Seperti disebut di atas, banyak faktor yang memiliki pengaruh yang sama diantara dua pulau. Dalam hal ini Sumatra dan Jawa tidak pernah bersatu dengan Semenanjung dan Borneo. Lalu bagaimana sejarah daratan Sumatra dan pulau Jawa pernah bersatu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Daratan Sumatra dan Pulau Jawa Pernah Bersatu? Bagaimana Prosesnya?

Hanya Teori Sundaland yang menyatakan bahwa pulau Jawa dan pulau Sumatra (serta pulau Kalimantan dan Semenanjung) pernah bersatu, Tapi kapan itu terjadi? Ada yang menyebut itu pada 2,6 Juta tahun lampau. Benar atau tidak itu, dalam artikel ini tidak relevan lagi, terlalu jauh untuk memahami jutaan tahun lalu, yang mungkin tidak terhubung dengan situasi dan kondisi (pemikiran) masa kini. Sekarang kita berpikir tentang masa yang masih mungkin dipikirkan.

Pada artikel sebelumnya sudah dideskripsikan bahwa di satu sisi pulau Bangka dan pulau Belitung pernah bersatu dan di sisi lain terhubung sebagai darata dengan Semenanjung Malaya yang membentuk Semenanjung Bangka. Lalu semenanjung yang luas ini terpecah-pecah karena proses abrasi jangka panjang yang menyebabkan terbentuk pulau-pulau seperti Belitung, Bangka, Singkep, Lingga, Batam, Bintan dan Singapoera plus Semeanjung Malaya. Pendapat ini pernah dikemukakan V Obdeijn dalam artikelnya yang dimuat dalam junal yang terbit tahun 1942. Saya juga meyakini itu pernah terjadi seperti yang deskripsikan pada artikel sebelumnya berjudul Semenanjung Bangka.

Lantas bagaimana kita menjelaskan apakah pulau Jawa dan pulau Sumatra pernah bersatu? Dengan mengikuti Teori Semenanjung Bangka, proses terpisahnya pulau Jawa dan pulau Sumatra terjadi karena proses abrasi jangka panjang. Bagaimana bisa terjadi abrasi memecah belah Semenanjung Bangka telah dijelaskan pulau-pulau Bangka dan Belitung, Singkep dan hingga daratan Semenanjung Malaya rterbentuk dari batuan granit, suatu batuan yang dapat berguguran karena adanya terjangan arus laut atau ombak. Dalam hal ini granit adalah batuan berbutir cukup kasar dengan kandungan kuarsa. Lalu bahan apa yang membentuk pulau Sumatra dan Jawa?

Berbeda dengan Semenanjung Bangka, daratan Sumatra terbentuk diantaranya karena proses subduksi tempat bertemunya lempeng samudra Indo-Australia dengan lempeng benua Eurasia. Pulau Sumatra juga menjadi garis cincin api dimana terdapat banyak gunung api vulkanik. Dua hal itu terkait. Jenis batuan bagian atas yang membentuk Sumatra sebelah barat lebih kuat dan sulit berguguran karena abrasi. Sedangkan jenis batuan di bagian selatan terutama di wilayah Lampung merupakan basement yang terdiri dari jenis granit. Sebagian daratan tinggi Sumatra terbentuk dari lava basalt dan lava andesit. Lalu bagaimana dengan batuan yang membentuk pulau Jawa? Kurang lebih sama dengan Sumatra. Permukaan atas ada yang berumur tua yang kini banyak kawasan dijadikan geopark dan ada juga yang terdiri dari batuan andesit dari proses vulkanik. Seperti halnya Sunmatra, secara umum Jawa terbenyuk dari batuan yang kuat.

Kesamaan batuan yang membentuk daratan pulau Sumatra (tengara-barat laut) dan pulau Jawa (barat-timur) diduga awalnya menyatu sama lain. Lalu bagaimana kedua arah daratan yang pernah terbentuk menjadi terpisah dengan terbentuknya Selat Sunda? Satu yang pasti di Selat Sunda terdapat kawasan vilkanik yang mana salah satu gunungnya masih aktif hingga ini hari (gunung Krakatau).

Kawasan Selat Sunda adalah zona transisi antara Jawa dan Sumatra. Sebagai zona transisi, di kawasan terdapat celah dimana berawal terbentuk Selat Sunda. Pada permukaan laut tampak celah ini melebar ke arah barat daya dan menyempit di timur laut (antara Merak dan Bakauheni).

Selat Sunda sebagai celah, suatu celas yang melebar di barat daya dan menyempit di wilayah timur laut. Celah di arah barat data lebih besar mengindikasikan dua hal yakni pengaruh vilkanik di satu pihak dan pengaruh abrasi (Lautan Hindia) di lain pihak. Timbul tenggelamnya gunung Krakatau salah satu contoh bukti adanya pengarug vilkanik di zona transisi ini. Hal itulah mengapa batimetri di zona transisi kawasan Selat Sunda ini beragam.

Batuan yang membentuk dasar laut Selat Sunda sebagai proses subduksi yang kemudian di bagian atas terjadi proses pengendapan vulknik yang semakin dangkal di timur laut antara Anyer dan Bakauheni dengan kedalaman laut antara 20-30 meter dimana juga terdapat palung sekitar 90 meter.

Kedalaman laut yang dangkat di arah timur laut antara Merak dan Bakauheni diduga pernah tertutup karena aktivitas gunung api dan pengendapan sampah dampak vulknik dan endapan pasir yang hanyut dari arah Lautan Hindia di arah barat daya. Pada masa inilah diduga terjadi bertemunya daratan Sumatra dan daratan Jawa di masa lampau. Namun yang membuka kembali daratan ini menjadi perairan (Selat Sunda) diduga juga terjadi karena dampak vulkanik dan abrasi yang arahnya dari barat daya (bagian terlebar Selat Sunda).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Daratan Sumatra dan Pulau Jawa Pernah Bersatu: Situs Gunung Padang dan Situs Sangiran

Salah satu bukti pernah bersatunya pulau Sumatra dan pulau Jawa adalah ditemukannya hewan besar yang sama diantara dua pulau dengan daratan Asia yakni harimau, gajah, badak dan banteng. Sebagaimana dideskripsikan nanti, jenis hewan serupa juga terdapat di Semenanjung Malaya (yang bersatu dengan daratan Asia).

Bagaimana hewan-hewan besar ini sama diantara pulau Jawa dan pulau Sumatra dengan daratan Asia, kita harus pula berpikir bahwa pulau Sumatra pernah bersatu dengan daratan Asia yang menyambung pulau-pulau yang berada di Andaman hingga ke sisi barat Burma. Bagaimana proses daratan itu pernah besatu dan kemudian terpecah kurang lebih sama dengan yang terjadi di wilayah Selat Sunda.  

Bersatunya pulau Jawa dan pulau Sumatra dengan daratan Asia di Burma tidak hanya menjadi jalur pergerakan (migrasi) hewan-hewan besar tetapi menjadi jalur pergerakan (migrasi) manusia di zaman purba. Hal itulah yang menjelaskan mengapa ras negroid ditemukan di Andaman (hingga ini hari) dan di Jawa (masih ditemukan jelas pada era Hindia Belanda), yang tentu saja terdapat juga di Sumatra. Haanya saja ras negroid di Sumatra lebih dahulu punah (mungkin karena percampuran yang sempurna-perkawinan antara ras pendatang baru).

Ras negroid juga ditemukan di Semenanjung Malaya (penduduk asli Semang) dan juga di pulau-pulau Filipna. Tampaknya hewan besar seperti gajah dan harimau hanya sebatas di Semenanjung Malaya. Oleh karena pernah terbentuk Semenanjung Bangka, hewan-hewan besar di pulau-pulau kecil ini telah punah lebih awal (mudah diburu). Lalu bagaimana terdapat ras negroid di pulau-pulau Filipina. Ada dua teori yang menjelaskan. Pertama Semenanjung Bangka pernah bersatu dengan Borneo melalui jalur kepulauan Karimata. Idem dito pada jalur ini terjadi pergerakan (migrasi) hewan besar dari daratan Asia hingga ke Borneo dimana pada masa ini masih ditemukan gajah di Borneo bagian utara, namun ukuran gajah Borneo relatif lebih kecil. Lalu mengapa tidak ditemukan harimau di Borneo?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar