Sabtu, 23 Mei 2020

Sejarah Bogor (64): Museum Pajajaran di Kampong Sunda; Mengapa Begitu Banyak Versi Narasi Sejarah Buitenzorg dan Bogor?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Beberapa waktu yang lalu Wali Kota Bogor, Bima Arya ingin mendigitalisasi data sejarah Bogor [(lihat Sejarah Bogor (11)]. Kini, Bima Arya mengusulkan pendirian museum Sejarah Bogor dengan nama Museum Pajajaran. Ini tampaknya ingin melengkapi motto Kota Bogor yang terdapat pada Tepas Lawang Salapan Dasakreta: DI NU KIWARI NGANCIK NU BIHARI SEJA AYEUNA SAMPEUREUN JAGA Dimana lokasi museum tersebut ancar-ancarnya di (kampong) Batoetoelis yang sekaligus akan ditabalkan sebagai kampong Sunda. Apa saja isi museum Pajajaran tersebut kita berharap juga dilengkapi digitalisasi data sejarah.

Fakta dan data hanyalah syarat perlu dalam memulai menyusun narasi sejarah. Itu jelas tidak cukup. Diperlukan suatu analisis simultan untuk mengkonstruksi dan membangun arsitektur sejarah. Hasil analisis tidak hanya untuk menyampung antar data yang bolong (belum ditemukan) juga untuk menyajikan gambar besar tentang konstruksi-arsitektur sejarah. Kesalahan analisis dapat meruntuhkan sejarah itu: ingin melukiskan besarnya induk gajah yang tergambar justru anak gajah.

Umumnya di berbagai kota di Indonesia, para pemerhati sejarah yang memiliki usul tentang hal yang terkait sejarah kota. Sangat jarang seorang pemimpin kota menginisiasi dan memelopori pentingnya sejarah kota. Kota Bogor di bawah pimpinan Bima Arya adalah kekecualiaan. Namun akankah itu berlanjut? Seperti di kota lain, pemimpin selanjutnya hanya menganggap gedung museum yang dibangun sebagai monumen saja tanpa pernah memperkayanya dan bahkan abai dalam pelestariannya. Lalu, bagaimana strateginya?