Kamis, 26 November 2020

Sejarah Riau (15): Dulu Dalu Dalu Sungai Kubu, Kini Pasir Pangaraian Sungai Rokan; Benteng Portibi dan Tuanku Tambusai, 1838

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Riau di blog ini Klik Disini 

Sebelum dikenal nama Pasir Pangaraian, sudah dikenal Dalu Dalu sebagai nama tempat dimana terdapat benteng Tuanku Tambusai dan pengikutnya bertahan (dalam perang melawan Pemerintah Hindia Belanda). Benteng ini berhasil ditaklukkan pada tahun 1838.  Penyerangan ke benteng Dalu Dalu dilakukan setelah benteng Bonjol ditaklukkan pada tahun 1837. Basis penyerangan dpusatkan di benteng Portibi (Padang Lawas).

Dalu Dalu pada masa ini berada di wilayah kabupaten Rokan Hulu. Ibu kota kabupaten berada di Pasir Pangaraian. Jarak dari (benteng) Dalu Dalu ke Pasir Pangaraian sekitar 37 Km. Situs benteng Dalu Dalu pada masa ini berada di desa Tambusai Tengah, kecamatan Tambusai (berbatasan langsung dengan kecamatan Huta Raja Tinggi, kabupaten Padang Lawas, provinsi Sumatera Utara). Ibu kota kabupaten Padang Lawas berada di Sibuhuan.

Lantas apakah nama Dalu Dalu tetap penting? Nama Dalu Dalu kini seakan terlupakan, karena ibu kota kabupaten Rokan Hulu ditetapkan di Pasir Pangaraian. Namun sebagai benteng yang penting di masa lampau. Dalu Dalu akan tetap dianggap penting. Nama Dalu Dalu ( di sungai Kubu) dan Pasir Pangaraian (di sungai Rokan-Kanan) akan terus eksis. Lalu bagaimana sejarah dua nama tempat ini bermula? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Riau (14): Bangkinang Hulu Sungai Kampar; Dunia Lama Pedalaman Sumatra, Melayu dari Timur Minangkabau dari Barat

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Riau di blog ini Klik Disini

Seperti halnya bandar (banda, banjar) dan kota (koeta, hoeta, kotta), penggunaan nama tempat yang diawali suku kata ‘bang’ juga cukup banyak ditemukan yang berasal dari zaman kuno. Tentu saja selain itu masih ada yang dihubungkan dengan nama-nama (anda) navigasi lainnya seperti ‘poera’, ‘batang’, ‘somgi’, ‘negori’, ‘banjoe’, ‘koewala’, ‘moeara’, ‘batoe’, ‘tandjong’ ‘teloek’, goenoeng’, ‘boekit’, ‘paija’, ‘rawa’, ‘setoe’, dan sebagainya. Lantas, apakah nama Bangkinang dan nama Kampar berasal dari nama lampau? Apakah nama Bangkinang ada kaitannya sengan Bangkalis, Bangkoeloe, Bangkayang, Bangka dan Bangko?

Nama-nama geografi jarang digunakan sebagai sumber sejarah. Padahal nama-nama geografi adalah domain sejarah dan nama yang cenderung tercatat sejak awal, apakah di dalam sketsa, peta atau teks. Keutamaan nama geografi karena diturunkan antar generasi. Pelaut-pelaut Eropa terawal (seperti Portugis) sebagaimana lazaimnya tidak pernah menghapus nama geografi karena nama geografi adalah penanda navigasi terpenting (yang dapat dirujuk satu sama lain dan dapat diperbandingkan). Demikian juga orang-orang Belanda sejak era VOC hingga era Pemerintah Hindia Belanda setiap membangun kota, nama lokal tidak pernah dihapus, bahkan tidak pernah diakuisisi. Seperti di Batavia tetap eksis nama Jacatra (baca: Jakarta); Fort de Kock (Boekittinggi), Fort van der Capellen (Batoesangkar), Fort van den Bosch (Pajakoemboeh), Fort Amerongen (Rao), dan Fort Elout (Panjaboengan).

Wilayah Bangkinang disebut pada era Pemerintah Hindia Belanda pernah menjadi bagian dari wilayah Padangsche Bovenlanden (Minangkabau), namun mengapa dikembalikan ke wilayah Riau. Itu satu hal tentang perubahan wilayah administrasi biasa. Hal yang lebih penting adalah bagaimana hubungan Bangkinang dengan wilayah-wilayah pedalaman (Sumatra) terhubung di zaman kuno. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.