Kamis, 26 November 2020

Sejarah Riau (14): Bangkinang Hulu Sungai Kampar; Dunia Lama Pedalaman Sumatra, Melayu dari Timur Minangkabau dari Barat

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Riau di blog ini Klik Disini

Seperti halnya bandar (banda, banjar) dan kota (koeta, hoeta, kotta), penggunaan nama tempat yang diawali suku kata ‘bang’ juga cukup banyak ditemukan yang berasal dari zaman kuno. Tentu saja selain itu masih ada yang dihubungkan dengan nama-nama (anda) navigasi lainnya seperti ‘poera’, ‘batang’, ‘somgi’, ‘negori’, ‘banjoe’, ‘koewala’, ‘moeara’, ‘batoe’, ‘tandjong’ ‘teloek’, goenoeng’, ‘boekit’, ‘paija’, ‘rawa’, ‘setoe’, dan sebagainya. Lantas, apakah nama Bangkinang dan nama Kampar berasal dari nama lampau? Apakah nama Bangkinang ada kaitannya sengan Bangkalis, Bangkoeloe, Bangkayang, Bangka dan Bangko?

Nama-nama geografi jarang digunakan sebagai sumber sejarah. Padahal nama-nama geografi adalah domain sejarah dan nama yang cenderung tercatat sejak awal, apakah di dalam sketsa, peta atau teks. Keutamaan nama geografi karena diturunkan antar generasi. Pelaut-pelaut Eropa terawal (seperti Portugis) sebagaimana lazaimnya tidak pernah menghapus nama geografi karena nama geografi adalah penanda navigasi terpenting (yang dapat dirujuk satu sama lain dan dapat diperbandingkan). Demikian juga orang-orang Belanda sejak era VOC hingga era Pemerintah Hindia Belanda setiap membangun kota, nama lokal tidak pernah dihapus, bahkan tidak pernah diakuisisi. Seperti di Batavia tetap eksis nama Jacatra (baca: Jakarta); Fort de Kock (Boekittinggi), Fort van der Capellen (Batoesangkar), Fort van den Bosch (Pajakoemboeh), Fort Amerongen (Rao), dan Fort Elout (Panjaboengan).

Wilayah Bangkinang disebut pada era Pemerintah Hindia Belanda pernah menjadi bagian dari wilayah Padangsche Bovenlanden (Minangkabau), namun mengapa dikembalikan ke wilayah Riau. Itu satu hal tentang perubahan wilayah administrasi biasa. Hal yang lebih penting adalah bagaimana hubungan Bangkinang dengan wilayah-wilayah pedalaman (Sumatra) terhubung di zaman kuno. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Bangkinang: Canding Padang Lawas dan Candi Muara Takus

Wilayah Bangkinang (kabupaten Kampar) yang sekarang, meski berada di pedalaman Sumatra (antara pantai barat dan pantai timur) bukanlah dunia baru, tetapi dunia lama. Keberadaan candi Muara Takus di kabupaten Kampar mengindikasikan wilayah ini sudah dikenal dunia luar sejak zaman kuno (era Boedha-Hindoe). Lantas dimana atau kemana penduduk zaman kuno ini?

Pada era Portugis Kerajaan Aroe di daerah aliran sungai Baroemoen (Tapanuli) dan kerajaan Minangkabau eksis dan menjadi tiga kekuatan utama di Sumatra bersama kerajaan Atjeh. Setelah kerajaan Malaka ditaklukkan Portugis, kerajaan Johor di Semenanjung Malaya mulau tumbuh dan berkembang. Tidak diketahui sejak kapan kerajaan Aroe degradasi, juga tidak diketahui sejak kapan kerajaan Deli promosi (dan kemudian degradasai) Seiring dengan meredupnya kerajaan Aroe, diduga menjadi akhir dari dunia lama (percandian Padang Lawas dan Muara Takus).

Yang jelas pada era Belanda (VOC) hanya tiga kerajaan yang masih eksis: kerajaan Atjeh, kerajaan Pagaroejoeng (Minangkabau) dan kerajaan Johor.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bangkinang pada Era Kolonial Belanda

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar