Selasa, 11 Oktober 2022

Sejarah Bangka Belitung (40): Pertanian di Bangka Belitung dan Impor Beras dari Jawa; Pertanian Lada versus Pertambangan Timah


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini  

Provinsi Bangka dan Belitung pada masa ini, tidak lagi soal timah, tetapi juga sudah bisa membicarakan soal pertanian tanaman pangan. Pada masa lampau, diantara pertambangan timah, penduduk pada era Hindia Belanda juga mengusahakan perkebunan lada. Oleh karena di Bangka Belitung kurang dikenal sagu, kebutuhan pangan, terutama beras, sangat tergantung dari impor dari Jawa. Saat permulaan cabang Pemerintah Hindia Belanda di (ulau) Bangka dan (pulau) Belitung soal pertanian kurang terinformasikan. Hanya soal timah. Apakah penduduk di Bangka dan Belitung ada yang mengusahakan pertanian (tanaman) pangan?


Sejauh ini tidak ditemukan narasi sejarah tentang pertanian (tanaman) pangan di (provinsi) Bangka dan Belitung. Apakah tidak ada sejarahnya? Yang jelas (perkebunan) lada yang memiliki sejarahnya sendiri. Seperti dinarasikan Jelajah. Kompas (.com), kebun lada pertama di Bangka diusahakan oleh orang-orang Cina yang ditanam berdekatan dengan kawasan pertambangan timah. Mereka sehari-hari bekerja di tambang timah dan pada waktu senggang menanam dan merawat tanaman ladanya. Inilah awal sejarah lada di Bangka. Pada awal abad ke-20, petani pribumi Melayu mulai tertarik menanam lada. Hal itu tak bisa lepas dari mudahnya mengurus tanaman lada dan cocok diintegrasikan dengan tanaman ladang serta komoditas itu lebih mudah dijual dengan harga tinggi. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda memberikan kemudahan kepada warga pribumi untuk menanam lada sehingga lada menjadi tanaman yang disukai pribumi. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda hanya mengenakan syarat agar lokasi kebun harus paling sedikit berjarak 1,5 kilometer dari tambang timah dan pekebun lada tidak dikenai pajak penanaman lada. Pajak hanya dipungut oleh penguasa lokal 1 persen dari penjualan. Kemudian, lada disebarluaskan ke Pulau Belitung dan Manggar yang tercatat sebagai daerah pertama yang menanam lada. Tahun 1920-an, perkebunan lada di Bangka dan Belitung mencapai masa keemasannya. Tahun 1926, misalnya, jumlah tanaman lada mencapai 7 juta pohon. Setahun kemudian bertambah menjadi 9 juta pohon dan berkembang hampir tiga kali lipat menjadi 20 juta pohon pada 1931. Alhasil, ekspor lada dari Banga Belitung pada tahun 1931 pun tercatat lebih dari 12.000 ton, sementara ekspor lada Hindia Belanda kala itu 14.000 ton. Dunia lada telah bersaing dengan dunia timah. Bagaimana dengan tanaman pangan khususnya padi? Konon, karena beras, penduduk Bangka dan Belitung dipimpin orang berasal dari Jawa.

Lantas bagaimana sejarah pertanian di Bangka dan Belitung dan impor beras dari Jawa? Seperti disebut di atas, dari masa ke masa pulau Bangka dan pulau Belitung lebih dikenal dengan (pertambangan) timah. Namun dalam perkembangannay pertanian lada mulai mendapat perhatian, tanpa tetap meninggalkan pertambangan timah. Namun bagaimana dengan tanaman pangan? Lalu bagaimana sejarah pertanian di Bangka dan Belitung dan impor beras dari Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (801): ‘Kapal Induk’ Bahasa Indonesia; Bahasa Inggris Kapal Induk- Dunia, Bahasa Indonesia- Asia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Beberapa waktu yang lalu, PM Malaysia usul agar bahasa Melayu menjadi bahasa kedua ASEAN. Menteri Pendidikan RI menolak. Menurut para ahli sejarah Indonesia, Bahasa Indonesia harga mati, selain sudah dideklarasikan 1928 oleh para pemuda, juga oleh para senior telah ditetapkan dalam konstitusi (UUD) pada tahun 1945. Para ahli Bahasa Indonesia telah memantapkan Bahasa Indonesia dalam Kongres Bahasa Indoneisia tahun 1938 di Solo dan diteruskan di Medan pada tahun 1954. Hingga kini, Bahasa Indonesia dijaga melalui kongres bahasa secara berkesinambungan.


Pada tahun 1954, penyelenggara Kongres Bahasa Indonesia di Medan, mengundang hadir pegiat dan ahli bahasa Melayu di Federasi Malaya. Sayangnya, para ahli bahasa Melayu di (negara) Singapoera tidak bisa hadir karena alasan sibuk di Universiti Malaya. Sebaliknya, para golongan muda Federasi Malaya, jurnalis dan penyair datang ke Medan menghadiri kongres sebagai peninjau (disebut peninjau mungkin karena bukan merasa ahli bahasa Melayu). Menjelang kemerdekaan Federasi Malaya tahun 1957, ahli bahasa Melayu dan pengajar di Universiti Malaya Singapoera berkunjung ke Jogjakarta untuk mencari guru-guru Bahasa Indonesia yang bisa bersedia mengajar bahasa Melayu di sekolah-sekolah di Federasi Malaya. Tampaknya keberadaan Bahasa Indonesia, dan keseriusan Kongres Bahasa Indonesia di Medan telah mengubah persepsi para ahli bahasa Melayu di Federasi Malaya: ingin membanguna bahasa Melayu di Federasi Malaya (Semenanjung Malaya). Dalam hubungannya usul PM Malaysia menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa ASEAN, seorang guru besar Malaysia mengibaratkan Bahasa Indonesia adalah kapal induk dan bahasa Melayu di Malaysia sebagai kapal pendamping. Menurut ahli bahasa tersebut bahwa kapal induk Bahasa Indonesia tidak akan berjaya jika tidak ada kapal pendamping. Apa, iya? Bukankan Bahasa Indonesia sejak lama sudah menjadi kapal induk yang tidak memerlukan kapal pendamping? Jika kapal pendamping tentulah ia berada disamping, tetapi ‘tangisan’ guru besar Malaysia itu, seakan menyiratkan posisi bahasa Melayu sudah tertinggal dan jauh berada di belakang kapal induk Bahasa Indonesia. Dalam hal ini apakah kapal induk Bahasa Indonesia memerlukan kapal pendamping? Tidak pernah terpikirkan oleh ahli Bahasa Indonesia. Yang justru ada pada masa kini banyak kapal-kapal follower yang datang dari berbagai negara, termasuk negara Australia. 

Lantas bagaimana sejarah ‘Kapal Induk’ Bahasa Indonesia? Seperti disebut di atas, pemimpin Malaysia mengindinkan bahasa Melayu sebagai bahasa ASEAN dan guru besar Malaysia mengibaratkan bahasa Melayu sebagai kapal pendamping dan Bahasa Indonesia sebagai kapal induk. Namun navigasi bahasa di zaman teknologi informasi sekarang, secara algoritma. bahasa Inggris bagaikan Kapal Induk Dunia dan Bahasa Indonesia bagaikan Kapal Induk Asia. Lantas bagaimana sejarah ‘Kapal Induk’ Bahasa Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.