Senin, 16 Agustus 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (106):Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (bag-4); Hari-H Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini

Tanggal 17 Agustus 1945, hari Jumat bulan puasa adalah hari-H (D-day) Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pada pukul 10 pagi di jalan Pegangsaan Timur teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir. Soekarno. Ini setelah lebih dahulu bendera Merah Putih dinaikkan. Dalam pembacaan yang dihadari sejumlah orang Indonesia menggunakan pengeras suara, tetapi tidak ada ada siaran langsung radio. Tidak ada orang asing yang hadir (termasuk orang Jepang). Juga tidak ada copy teks karena belum ada foto kopi. Semua hanya didengar dan dicatat oleh sejumlah orang.

 

Meski pemerintah militer Jepang telah menjanjikan kemerdekaan Indonesia yang mana sudah lebih dahulu dibentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) masih bekerja, tetapi ‘persetujuan’ dari pihak Jepang belum ada, proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan. Indonesia Merdeka! Lalu bagaimana reaksi Jepang sendiri? Yang jelas dalam persiapan pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang begitu cepat tidak melibatkan orang Jepang dan juga tidak ada orang Jepang yang hadir pada hari-H dan jam-J pukul 10.00 pagi. Lalu bagaimana pembacaan teks proklmasi kemerdekaan Indonesia ini diketahui di tempat lain? Selepas pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, Adam Malik menyalin teks dan memberikan kepada Mochtar Lubis untuk dibawah dengan kereta api ke radio Bandung yang akan dibacakan oleh Sakti Alamsyah pada pukul 19.00 malam. Teks proklamasi kemerdekaan itu benar-benat dibacakan Sakti Alamsyah Siregar dan kemudian dapat di dengar oleh penduduk Priangan dan juga dapat ditangkap oleh radio Jogjakarta dan radio di Australia.

Lantas apa yang terjadi pada hari-H Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945? Tentu saja upacara pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dan siaran radio Bandung. Namun demikian pada hari-H proklamasi kemerdekaan Indonesia banyak yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri yang terkait dengan Indonesia (terutama orang Jepang yang wait en see). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Makassar (27): Bahasa-Bahasa Asli Sulawesi; Mengapa Banyak Penutur Bahasa Bugis dan Adakah Bahasa Asli Punah?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini 

Sejarah bahasa sudah sejak lama dipelajari oleh para ahli lingustik. Meski demikian, penyelidikan sejarah bahasa masih terus berlangsung. Hal ini karena ada misteri tersendiri dalam sejarah bahasa-bahasa. Diantara para ahli lingusitik sendiri hingga kini masih kerap terjadi perdebatan. Ini mengindikasikan, sekali lagi, terbentuknya dan penyebaran bahasa dianggap masih misteri. Namun boleh jadi itu, karena semata-mata pendekatan dan metodologi yang digunakan berbeda. Sementara itu, dalam penyelidikan sejarah bahasa-bahasa pendekatan perbandingan bahasa lazim digunakan untuk menentukan kedekatan (kekerabatan) satu bahasa dengan bahasa lain. Dari analisis kekerabattan bahasa ini juga adakalanya dihitung dengan metode tertentu untuk menentukan sejak kapan dua bahasa yang diperbandingkan berpisah. Metode serupa ii tentu saja perlu, tetapi jelas tidak cukup.

Pada masa ini kita dapat membaca hasil analisis sejarah bahasa-bahasa di pulau Sulawesi. Bahasa Bugis disebutkan salah satu cabang (anak) bahasa yang tergolong muda. Namun dalam statistik bahasa pada hari ini penutur bahasa Bugis terbilang yang terbanyak di pulau Sulawesi. Mengapa bisa demikian. Dalam silsilah genealogis bahasa-bahasa di pulau Sulawesi disebutkan bahwa kombinasi bahasa Tau (di wilayah barat Sulawesi) dan bahasa Bere’e (di kawasan teluk Tomini) diduga menjadi awal mula terbentuknya bahasa Makassar. Lalu bahasa Makassar (yang terbentuk di wilayah selatan Sulawesi) kemudian menurunkan bahasa Walio (di wilayah timur Sulawesi di Buton). Yang terakhir, dari bahasa Walio ini kemudian terbentuk bahasa Bugis dan bahasa Mandar. Lantas bagaimana dengan bahasa-bahasa di wilayah utara pulau Selawesi seperti bahasa Minahasa (dan bahasa Manado)?

Lantas bagaimana sejarah bahasa-bahasa asli di pulau Sulawesi? Mengapa penutur bahasa Bugis begitu besar, padahal seperti disebut di atas bahasa Bugis tergolong bahasa yang relatif lebih muda? Lalu apakah ada bahasa-bahasa asli di Sulawesi yang punah atau terancam punah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.