Sabtu, 17 November 2018

Sejarah Kota Depok (50): Lukisan Asli Cornelis Chastelein; Corneille le Bruyn Pernah Berkunjung ke Sering Sing, 1706


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini 

Cornelis Chastelein sangat terkenal. Cornelis Chastelein adalah orang Eropa pertama yang membuka lahan di sisi barat sungai Tjiliwong. Lahan pertama yang diusahakan di sisi barat sungai Tjiliwong adalah lahan di Sering Sing (baca: Serengseng). Pada tahun 1706 Corneille le Bruyn pernah berkunjung ke Sering Sing. Lahan dimana Cornelis Chastelein mengusahakan pertanian.

Lukisan asli Cornelis Chastelein di Serengseng (le Bruyn, 1706)
Pada tahun 1696 Cornelis Chastelein membeli lahan baru di Depok dan Mampang. Sebelum meninggal pada tahun 1714, Cornelis Chastelein telah menjual lahan Sering Sing kepada Bupati Tjiandjoer. Sejak penjualan lahan Sering Sing, Cornelis Chastelein mulai intensif mengusahakan lahan di Depok.

Ada dua dokumen kuno yang mengindikasikan keberadaan lahan yang diusahakan Cornelis Chastelein di Sering Sing. Dokumen tersebut adalah peta lokasi Sering Sing dan lukisan lahan pertanian Cornelis Chastelein di Sering Sing. Namun yang menjadi rujukan lukisan Sering Sing yang beredar selama ini bukanlah lukisan yang asli. Replika lukisan tersebut tidak diketahui siapa pembuatnya. Lukisan yang asli dibuat sendiri oleh Corneille le Bruyn, seorang pelancong yang memiliki keahlian melukis.

Francois Castelijn alias Cornelis Chastelein: Orang-Orang Prancis di Hulu Sungai Tjiliwong

Francois Castelijn adalah keturunan Prancis lahir di Amsterdam 10 Agustus 1657. Francois Castelijn (Prancis) kemudian juga disebut sebagai Cornelis Chastelein (Belanda). Nama keluarga Castelijn juga lebih kerap ditulis Chastelein (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-02-1916). Cornelis Chastelein pada usia 17 tahun merantau ke Hindia. Cornelis Chastelein memulai karir dari bawah di organisasi dagang Belanda (VOC) di Batavia.

Sebelum Cornelis Chastelein tiba di Batavia, aktivitas perdagangan Belanda (VOC) telah mengalama peribahan yang cepat (lihat Hendrik Kroeskamp, 1931). Pada saat VOC memulai aktivitas di Batavia tahun 1615 VOC telah mengubah pola perdagangan secara longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas di sekitar pantai menjadi wilayah penduduk asli (pribumi) diperluas menjadi bagian perdagangan VOC. Kebijakan berlangsung hingga tahun 1663. Antara periode 1663 hingga 1666 kebijakan VOC bergeser menjadikan penduduk asli sebagai sekutu. Setelah tahun 1666 kebijakan VOC berubah yang mana penduduk asli dijadikan sebagai subyek VOC. Pada era kebijakan baru inilah Cornelis Chastelein meniti karir di Batavia.

Cornelis Chastelein sangat berbakat di bidang perdagangan dan karirnya cepat naik. Karir tertinggi Cornelis Chastelein menjabat sebagai Direktur General yang mana sebelumnya Cornelis Chastelein pernah menjabat sebagai Direktur Perdagangan. Pada tahun 1680 VOC tidak hanya menjalankan kebijakan penduduk asli dijadikan sebagai subyek tetapi para pejabatnya juga mulai melakukan eksploitasi lahan pertanian di sekitar Batavia (Algemeen Handelsblad, 21-11-1840).

Cornelis Chastelein sangat dekat dengan Joan van Hoorn dan Abraham van Riebeeck. Dua nama ini kemudian menjadi Gubernur Jenderal: Joan van Hoorn (1704-1709) dan Abraham van Riebeeck (1709-1713).

Cornelis Chastelein melakukan terobosan baru dengan membuka lahan di sisi barat sungai Tjiliwong di Sering Sing. Lahan di Sering Sing defacto menjadi lahan pertama yang diusahakan di sisi barat sungai Tjiliwong. Lahan Sering Sing berlokasi antara lahan Tjinere dan lahan Tjitajam. Dalam Peta 1695 teridentifikasi lahan Sering Sing, lahan terjauh di sisi barat hulu sungai Tjiliwong. Sementara lahan terjauh di sisi timur adalah lahan Chililitang (Cililitan).

Peta Serengseng di sungai Tjiliwong, 1695
Sebelum Cornelis Chastelein membuka lahan di Sering Sing, Gubernur Jenderal memberi hadiah lahan paling potensial (subur dan luas) kepada Sersan Mayor Saint Martin di Tjinere dan Tjitajam. Dua lahan ini diberikan kepada Saint Martin sebagai hadiah karena Saint Martin telah berhasil meredakan ketegangan di Banten. Meski demikian, Sant Martin masih fokus mengeksploitasi lahan dan pabrik gula di Bekasi. Saat Cornelis Chastelein memulai eksploitrasi lahan di Sering Sing, lahan-lahan Saint Martin belum diusahakan secara optimal. Tidak diketahui sejak kapan Cornelis Chastelein memulai eksploitasi lahan di Sering Sing. Namun yang jelas pada Peta 1695 sudah teridentifikasi nama lahan di Sering Sing (sisi barat sungai Tjiliwong) dan di Tjililitan (sisi timur sungai Tjiliwong).

Cornelis Chastelein membuka lahan di Sering Sing paling tidak dimulai tahun 1695. Bagaimana situasi dan kondisi di lahan Sering Sing dapat dilihat pada lukisan tahun 1706. Lukisan ini dibuat oleh Coneille le Bruyn, seorang pelukis asal Prancis yang pernah berkunjung ke Sering Sing pada tahun 1706. Dua dokumen (peta dan lukisan) tersebut yang ditampilkan di atas diduga menjadi data/informasi paling tua tentang keberadaan Cornelis Chastelein di hulu sungai Tjiliwong.

Namun sejatinya, De Pionier di hulu sungai Tjiliwong, bukanlah Francois Castelijn alias Cornelis Chastelein, tetapi Isaac de Saint Martin, seorang tentara profesional keturunan Prancis yang memiliki minat yang kuat terhadap bahasa-bahasa penduduk pribumi, Isaac de Saint Martin juga memiliki minat yang kuat terhadap botani.

Saint Martin, De Pionier: Coneille le Bruyn dan Francois Valentjn

Dalam penulisan sejarah awal kota-kota di Indonesia, nama Coneille le Bruyn tidak bisa diabaikan. Demikian juga nama Francois Valentjn tidak bisa dilupakan. Francois Valentjn dan Coneille le Bruyn sama-sama keturunan Prancis. Francois Valentjn bekerja untuk VOC dan Coneille le Bruyn seorang pelancong yang telah mengunjungi berbagai tempat di Eropa, Timur Tengah dan Asia. Dua orang ini termasuk dua orang pertama yang telah memberikan informasi tentang keberadaan Cornelis Chastelein di Sering Sing.

Francois Valentjn yang cukup lama bekerja di Amboina menulis buku terkenal berjudul Oud en nieuw Oost-Indien yang diterbitkan tahun 1724, Buku ini cukup tebal terdiri dari lima volume. Volume 4, part 1. Java. Bantam. Batavia; part 2. Javaansche, Suratte, Groote Mogols, Tsjina, Tayouan of Formosa).

Lukisan Asli vs Lukisan Replika
Laporan perjalanan Coneille le Bruyn telah dibukukan dalam bahasa Belanda dan diterbitkan pertama kali tahun 1714 di bawah judul Cornelis de Bruins: Reizen over Moskovie door Persie en Indie. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis pada tahun 1718 dan mengalami revisi pada tahun 1725. Coneille le Bruyn meninggal dunia tahun 1726. Buku ini kemudian direvisi kembali oleh seorang Prancis Tome Cinquime dan diterbitkan pada tahun 1732 dengan judul Voyages de Corneille le Bruyn: Par la Moscovie en Perse, et Aux Indes Orientales. Laporan perjalanan dalam edisi Prancis ini dibuat lebih lengkap dengan mencantumkan tanggal hari ke hari perjalanan Coneille le Bruyn pada samping teks utama sebagai navigasi. Di dalam buku edisi Prancis inilah ditemukan semua lukisan asli yang dibuat Coneille le Bruyn termasuk lukisan Cornelis Chastelein di Sering Sing.

Cornelis de Bruins (1714)
Lukisan Cornelis Chastelein di Serengseng yang beredar selama ini bersumber dari buku Coneille le Bruyn edisi bahasa Belanda (1711, reprinted 1714). Lukisan pada edisi Belanda ini sebenarnya adalah suatu replika (dilukis kembali). Lukisan yang dibuat sendiri oleh Corneille le Bruyn terdapat dalam edisi Prancis. Semua lukisan dalam edisi Prancis, termasuk Cornelis Chastelein di Sering Sing tampak lebih alami dan proporsional. Perbedaan yang kontras terlihat bayangan payung mengenai kaki Cornelis Chastelein pada edisi Prancis, sedangkan pada edisi Belanda tidak. Lukisan asli pada edisi Prancis cara melukiskan daun kelapa lebih sesuai jika dibandingkan replika pada edisi Belanda. Ini menjelaskan ada perbedaan pelukis yang pernah melihat pohon kelapa dengan pelukis yang tidak pernah melihatnya. Secara keseluruhan lukisan-lukisan yang asli lebih tebal jika dibandingkan dengan yang replika yang cenderung lebih tipis (objek terlihat lebih terang). Silahkan bandingkan lebih lanjut. Catatan: Corneille le Bruyn tampaknya telah meminjamkan kepada penerbit edisi Belanda untuk dibuat replika semua lukisan (1714); Setelah Corneille le Bruyn meninggal tahun 1726, penerbit edisi Prancis menggunakan semua lukisan dalam format asli.

Page 24 Ch. 66 Voyages de Corneille le Bruyn, 1706
Di dalam buku berbahasa Prancis Voyages de Corneille le Bruyn, Chapitre LXVI, Corneille le Bruyn menyebut telah tiba di Batavia tanggal 24 Februari. Lalu berangkat ke Sering Sing pada tanggal 30 Maret 1706 (Petit voyage shur les terres de Mr. Kashtelein, 30 Mars 1706). Corneille le Bruyn berangkat dari Meester Cornelis naik kuda hingga ke Tandjong. Corneille le Bruyn melanjutkan perjalanan dengan kano ke Sering Sing tempat dimana mansion Cornelis Chastelein berada. Di dalam lukisan, mansion Cornelis Chastelein berada di tengah. Corneille le Bruyn menjadi tamu Cornelis Chastelein di Sering Sing hingga akhir bulan April. Disebutkan Cornelis Chastelein sudah membeli lahan di Mampang dan Depok. Corneille le Bruyn bersama Cornelis Chastelein sempat ke Depok dengan naik kuda dimana sudah ditanam dua bidang tanaman lada. Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah dimana posisi ‘gps’ mansion Cornelis Chastelein di Sering Sing sebagaimana tampak dalam lukisan Corneille le Bruyn tahun 1706. Hanya ada satu petunjuk yang dinyatakan Corneille le Bruyn dalam laporannya bahwa di sebelah utara mansion Cornelis Chastelein adalah sungai Tjiliwong. Ini masuk akal bahwa mansion Cornelis Chastelein menghadap ke hamparan lahan di depannya sementara di belakang mansion adalah sungai Tjiliwong (menjadi benteng pertahanan, sebagaimana lokasi gps mansion Cornelis Chastelein berikutnya di Depok). Jika petunjuk ini digunakan untuk menduga posisi gps mansion itu berarti itu berada di sekitar Jalan Gardu yang sekarang (di sekitar dimana terdapat jembatan ala Indiana Jones).

Dua wanita membantu Coneille le Bruyn selama di Sering Sing
Dua lahan yang dibeli oleh Cornelis Chastelein di Mampang dan Depok adalah lahan-lahan ‘kosong’ yang berada diantara lahan Tjinere dan lahan Tjitajam yang telah dimiliki oleh Sersan Majoor Saint Martin. Untuk sekadar diketahui Saint Martin juga adalah keturunan Prancis. Boleh jadi antara Cornelis Chastelein dan Saint Martin sudah ada kedekatan karena sama-sama keturunan Prancis. Pada saat Corneille le Bruyn berkunjung pada tahun 1706 ke Sering Sing, Mampang dan Depok, Sersan Majoor Saint Martin sudah lama meninggal dunia. Saint Martin meninggal pada tahun 1694. Oleh karena Saint Martin tidak penya pewaris, pada tanggal 17 Mei 1696 harta tak bergeraknya dilelang pemerintah VOC. Saint Martin sempat menulis surat wasiat, semua kepemilikannya kepada adiknya yang tinggal di Prancis (tetapi pemerintah tidak mengakui, karena belum ada undang-undang untuk orang asing).

Cornelis Chastelein dalam tugas-tugasnya di pemerintahan adalah urusan perdagangan. Cornelis Chastelein sejatinya adalah seorang yang menyukai perdagangan daripada bidang pertanian. Yang betul-betul pejabat yang menyukai pertanian adalah Sersan Majoor Saint Martin. Meski Saint Martin adalah tentara profesional tetapi dalam prakteknya sangat berminat dalam botani. Saint Martin terbilang adalah botanis pertama di pemerintahan VOC. Karena itulah diduga Saint Martin mendapat hadiah dari pemerintah atas jasanya di Banten dua bidang lahan paling subur di hulu sungai Tjiliwong. Diharapkan Saint Martin dapat mengembangkan bakat botaninya di Tjinere dan Tjitajam. Sebelum mendapat hadiah lahan di Tjinere dan Tjitajam, Saint Martin sudah memiliki perkebunan tebu dan pabrik gula di Bekasi. St Martin juga memiliki rumah di yang disebut rumah.bangunan Mr. Majoor (yang kemudian tempat itu dikenal sebagai Kemajoran).

Bijdragen voor vaderlandsche geschiedenis en oudheidkunde, 1920
Isaac St. Martin adalah ahli bahasa penduduk asli dan ahli botani (lihat Isaac de St, Martin Een Verdienstelijk Compagniesdienaar door S Kalff dalam Bijdragen voor vaderlandsche geschiedenis en oudheidkunde, 1920, 01-01-1920). St. Martin dan Johannes Camphuys sama-sama memulai karir. St. Martin di bidang militer dan Johannes Camphuys di bidang perdagangan. Keduanya keturunan Prancis. St Martin menjadi petinggi militer(menggantikan Majoor Poleman). Saat itu yang menjadi Direktur General adalah Speelman, pahlawan Perang Gowa. Johannes Camphuys kemudian menjadi Gubernur Jenderal (1684-1691). St Martin dan Rumphius (juga seorang keturunan Prancis) sudah sejak lama berminat dalam ilmu pengetahuan di dalam tugas-tugas mereka. St. Martin di Batavia memiliki perpustakaan sendiri yang jumlahnya sebanyak enam lemari. Saint Martin telah banyak mengumpulkan spesimen tanaman dan juga manuskrif-manuskrif penduduk pribumi. Pekerjaan ilmu pengetahuan ala St Martin ini hampir satu abad mendahului sebelum Batavia Society of Arts and Sciences didirikan tahun 1778. Saat St Martin mengundurkan diri dan mulai konsentrasi ilmu pengetahuan dan pengembangan pertanian (di Bekasi), St Martin dipanggil kembali tahun 1680 untuk memimpin ekspedisi ke Banten untuk mengatasi Kapitein Jonker. Setelah inilah pemerintah memberikan hadiah lahan Tjinere dan lahan Tjitajam kepada St. Martin. Dalam perkembangannya St Martin sempat mengusulkan kepada pemerintah agar dibentuk lembaga ilmu pengetahuan, tetapi Gubernur Jenderal tidak menanggapinya (mungkin masalah lain masih prioritas). Baru pada tahun 1686 St Martin diminta Gubernur Jenderal bersama Joan van Hoorn untuk membentuk komite untuk eksploitasi lingkungan penduduk asli di sekitar Batavia dengan menyertakan Rumphius dari Ambon untuk membantu St Martin dalam ;pengembangan tanaman langka. St Martin yang ahli dalam bahasa penduduk asli tidak kesulitan untuk merangkul para pemimpin lokal untuk tujuan eksploitasi (pertanian) tersebut. Pada 1687 St Martin dipromosikan menjadi anggota dewan di Batavia. Rumphius yang tengah menulis buku botani tidak sempat selesai karena meninggal. Usaha ini dilanjutkan oleh asistennya St. Martin. Namun St. Martin juga kemudian meninggal dunia tahun 1694 dan pekerjaan Rumphius dan St Martin tersebut dilanjutkan oleh Cornelis Chastelein. St, Martin adalah figur yang langka, demikian S. Kalff dalam artikelnya.
,
Isaac de Saint Martin adalah de pionier di hulu sungai Tjiliwong. Anggapan salama ini bahwa Cornelis Chastelein adalah pionir ternyata keliru. Dengan memperhatikan risalah Saint Martin baru dapat dipahami mengapa St Martin diberi hadiah lahan yang subur di hulu sungai Tjiliwong di Tjinere dan Tjitajam.

Cornelis Chastelein, 1706
Yang selalu menjadi pertanyaan adalah apakah adakah lukisan wajah Cornelis Chastelein? Sudah pasti ada! Ini mudah diduga. Corneille le Bruyn cukup lama di Sering Sing, hampir satu bulan. Lukisan mansion Cornelis Chastelein dan dua wanita Bali yang menjadi pembantu Corneille le Bruyn selama tinggal di Sering Sing diabadikan di dalam buku Corneille le Bruyn. Sudah barang tentu, sebagai teman, Corneille le Bruyn melukis potret Cornelis Chastelein sebagai dokumen persahabatan. Masalahnya, dimana lukisan potret Cornelis Chastelein itu kini berada? Dugaan kuat berada di museum-museum atau perbupastakaan di Prancis.   

Cornelis Chastelein dalam hal ini adalah pejabat VOC yang mengikuti jejak Saint Martin dalam pengembangan pertanian di hulu sungai Tjiliwong. Isaac de Saint Martin adalah tentara pemberani yang menguasai bahasa pribumi tetapi juga menyukai ilmu pengetahuan dan botani. Sersan Major Saint Martin juga adalah seorang planter.

Peta 1724
Ada perbedaan antara Isaac de Saint Martin dan Cornelis Chastelein. Jelang kematian Isaac de Saint Martin menulis surat wasiat untuk mewariskan semua hartanya kepada adiknya yang tinggal di Prancis. Namun karena belum ada undang-undang yang mengatur pewarisan kepada seseorang yang tinggal di luar Hindia, maka pemerintah harus melelang semua hartanya di Bekasi, Kemajoran, Tjinere dan Tjitajam. Idem dito, Cornelis Chastelein juga sebelum meninggal menulis surat wasiat yang sebagian diwariskan kepada para pekerjanya di Depok dan Mampang. Pada tahun 1854 muncul gugatan dari keluarga/keturunan Cornelis Chastelein dari Belanda tentang lahan warisan di Depok, tetapi pengadilan memenangkan pihak pewaris di Depok. Jika Isaac de Saint Martin mewariskan kepada pekerjanya, maka ceritanya menjadi berbeda.

Peta 1904
Cornelis Chastelein meninggal dunia tahun 1714, tepat pada tahun kapan buku edisi Belanda yang ditulis Corneille le Bruyn. Beberapa tahun sebelum meninggal, Cornelis Chastelein telah menjual lahan Sering Sing kepada Bupati Tjoandjoer. Cornelis Chastelein dan tenaga kerjanya lebih fokus di lahan Depok dan Mampang. Lahan-lahan inilah kemudian yang diwariskan Cornelis Chastelein kepada para pekerjanya.

Setelah lahan Sering Sing dijual, nama daerah tersebut juga memudar, Nama yang melejit adalah nama Depok dan Mampang (lihat Peta 1724). Ada dua nama tempat antara Sering Sing dan Depok tampaknya semakin populer yakni Pondok Tjina dan Kemiri. Juga terlihat di hilir sungai Tjiliwong nama Cililitan menghilang dan nama Tandjong yang sudah disebut Cornelis Chastelein semakin populer. Tidak hanya itu, di Tandjong juga telah didirikan benteng baru.    


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar