Sabtu, 18 September 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (119): Breidel Buku Sejarah, Mengapa Harus Dilarang? Sejarah Hanya Preferensi dan Kekuasaan?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Presiden Soekarno pernah melarang penggunaan nama Betawi. Mengapa sampai begitu? Apa yang salah dengan nama Betawi? Lantas apakah Soekarno telah berubah, ingin mengekang berbagai sisi kehidupan rakyat banyak? Nama Betawi adalah nama etnik yang sudah memiliki sejarah. Nama Betawi kurang lebih sama dengan nama Jawa, nama Batak dan nama Sunda? Apakah Soekarno lupa sebelum terbentuk kesadaran nasional, MH Thamrin adalah presiden dari (organisasi kebangsaan) Kaoem Betawi pada tahun 1927? Apakah Soekarno menyadarinya? Pada era Hindia Belanda banyak hal yang dilarang dan dibreidel, termasuk majalah Fikiran Ra’jat yang dipimpin Soekarno sendiri. Bagaimana dengan buku sejarah?

Belum lama ini, buku Tokoh Indonesia yang sempat dipublikasikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapat protes dari berbagai pihak agar ditarik karena isinya mengundang kontroversi. Di dalam buku tersebut disebut tokoh NU dan tokoh sekelas Abdul Haris Nasution tidak dicakup. Lantas mengapa bisa begitu? Di satu sisi mengapa isi buku tidak proporsional dan di sisi lain mengapa pula mayarakat melakukan protes. Inilah masalahnya, dilema yang kerap dialami buku sejarah. Pelarangan buku (breidel sejak era Hindia Belanda) adalah ancaman dalam penerbitan setiap buku, terutama buku sejarah. Pada masa Orde Baru, tentu saja banyak buku yang dilarang terbit (namun beberapa diantaranya kinisudah bisa diterbitkan). Apakah pada masa ini masih ada pelarangan buku sejarah? Itu tadi, buku sejarah tokoh Indonesia sejak 1900 hingga 1950. Tidak dilarang pemerintah, tetapi dilarang masyarakat.

Lantas mengapa ada buku sejarah harus dilarang? Apa yang salah? Boleh jadi bukunya salah seperti disebut di atas, tetapi juga boleh jadi bukunya benar? Buku sejarah yang benar tetapi dilarang, itu berarti persepsi dan preferensi mengintervensi fakta dan data sejarah. Hanya kekuasaan yang bisa melarang buku sejarah. Kekuasaan dalam hal ini tidak selalu pemerintah, tetapi juga masyarakat pendukung anti peredaran buku sejarah tertentu. Lalu mengapa semua itu dapat terjadi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (118): Soetan Casajangan, Kesadaran Berbangsa Penulisan Sejarah Indonesia; Awal Sejarah Nasional

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ketika orang Indonesia (baca: pribumi) mulai menyadari arti penting berbangsa, Indonesia (baca: Hindia Belanda) berada di bawah kekuasaan penjajah (Pemerintah Hindia Belanda). Kesadaran berbangsa ini oleh orang pribumi diwujudkan dalam banyak bidang seperti kesempatan untu mengekspresikan diri, hak meningkatkan tingkat pendidikan, berorganisasi dan penulisan sejarah bangsa. Memang pemberian hak mulai dilonggarkan setelah sekian lama terjajah, tetapi disana sini masih dibatasi bahkan dijaga ketat (alias terus diawasi). Yang terus mendapat pengawasan tetap adalah kebebasan berpolitik (berorganisasi). Untuk penulisan sejarah bangsa sudah mulai muncul, meski tetap diwasapadi tetapi kurang mendapat perhatian dari pemerintah (karena publikasinya masih terbatas).  

 

Seperti disebut pada artikel sebelum ini, penulisan sejarah diantara orang pribumi masih sangat jarang. Buku sejarah pertama yang ditulis orang pribumi dilakukan oleh Dja Endar Moeda tahun 1903 yang berjudul Riwajat Poelau Sumatra, Buku ini hanya sekadar narasi sejarah tidak berisi hal yang berbau politis. Oleh karena itu buku tersebut aman (dan beredar luas). Beberapa dekade sebelumnya sebuah buku yang ditulis oleh Sati Nasution alias Willem Iskander, pernah menjadi perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Buku yang berjudul Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek, bukan buku sejarah, hanya buku kumpulan prosa dan puisi yang diterbiitkan oleh penerbit di Batavia tahun 1871.  Setelah bertahun-tahun beredar, pemerintah menemukan hal yang berbahaya di dalam buku tersebut. Satu bait yang mengusik pemerintah di bawah puisi berjudul Mandailing (halaman 20) adalah: ‘Adong halak roear…Na mian di Panjaboengan….Tiboe ia haroear…Baon ia madoeng boesoengan’, terjemahannya: Ada orang luar (Belanda)…Yang berada di Panjaboengan…Semoga mereka cepat keluar (dari Tanah Mandailing). Karena mereka sudah menghisap habis kekayaan penduduk. Willem Iskander adalah pendiri dan direktur sekolah guru Kweekschool Tanobato (didirikan oleh Willem Iskander tahun 1862). Buku tersebut akhirnya ditarik dari peredaran).

Lantas bagaimana sejarah kesadaran berbangsa selanjutnya? Salah satu nama yang perlu disebut adalah Soetan Casajangan (pendiri Indische Vereeniging di Belanda tahun 1908). Pada tahun 1913 Soetan Casajangan menerbitkan buku yang dicetak di Baarn berjudul Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi). Buku ini adalah suatu monograf (kajian ilmiah) meski bukan buku sejarah tetapi merujuk pada perspektif sejarah yang pada intinya menjadi kritik bagi pemerintah. Namun karena penyajiannya beretika, beredarnya aman. Lalu sejak itu mulai ada yang menulis secara khusus tentang sejarah nasional (Indonesia). Bagaimana semua terkait? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.