Senin, 11 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (22): Sejarah Masjid di Yogyakarta; Masjid Syuhada Indonesia, 1950 dan Masjid Kauman Jogjakarta, 1779


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Ada dua masjid besar di Yogyakarta yang memiliki nilai sejarah penting, yaitu Masjid Kauman dan Masjid Syuhada. Masjid Kauman dibangun tahun 1779 ketika pedagang-pedagang Islam (Arab) bermukim dan semakin banyak di Jogjakarta. Pemukiman pedagang-pedagang Arab (muhajirin) tersebut disebut kauman. Sedangkan Masjid Syuhada dibangun tahun 1950 ketika orang-orang Belanda semakin hilang dan kembali ke Belanda pasca pengakuan kedaulatan Indonesia. Nama masjid disebut untuk menghormati para syuhada Indonesia yang gugur dalam melawan Belanda dalam perang kemerdekaan Indonesia.

Masjid Kaoeman di Jogjakarta, 1874
Pendirian Masjid Kauman digagas oleh Soeltan Hamengkoeboewono I untuk menghormati para pedagang-pedagang Arab yang tidak hanya datang untuk berdagang tetapi juga memperkuat pemahaman (syiar) agama Islam di Jogjakarta. Masjid Kauman menjadi lambang persatuan di era VOC/Belanda. Pendirian Masjid Syuhada digagas oleh Wakil Perdana Menteri RI Abdoel Hakim Harahap untuk menghormati para pejuang yang telah gugur dalam perang melawan Belanda. Abdoel Hakim Harahap adalah mantan Residen perang di Tapanoeli. Masjid Istiqlal di Djakarta, Masjid Syuhada di Jogjakarta. Masjid Syuhada juga menjadi lambang kemerdekaan dari penjajah Belanda.

Ada perbedaan waktu selama 171 tahun ketika Masjid Kauman didirikan tahun 1779 dengan Masjid Syuhada didirikan tahun 1950. Selama itu pula banyak peristiwa penting di Jogjakarta dalam kaitannya dengan penjajahan. Satu yang terpenting adalah perang yang dilancarkan oleh para kaum ulama yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830). Bagaimana itu dapat terhubung satu sama lain? Mari kita telusuri.   

Sejarah Yogyakarta (21): Malioboro di Mataram dan Pakuan di Padjadjaran; Fort di Buitenzorg, Fort Vredeburg di Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Menulis sejarah itu ibarat menusuk benang basah ke lobang jarum. Itu semua bermula karena data-data sejarah kita sudah lampau dan sudah lama pula terendam dalam air. Membangkitkan data sejarah ke permukaan dari dalam air lebih sulit dari dalam tanah. Oleh karena menemukan jalan buntu, dan adakalanya kita bosan dengan sejarah yang bersifat ilmiah maka terbuka peluang bagi kita untuk membebaskan diri dan mencoba pengalaman baru dengan sejarah yang bersifat non ilmiah. Kalau kita tidak menemukan, paling tidak kita dapat terhibur. Situasi ini dapat disajikan dalam bentuk pantun (puisi) sejarah atau roman (novel) sejarah. Tetapi jelas itu tidak memiliki nilai sejarah.

Analisis sejarah tidak sepenuhnya bersifat vertikal (indepth). Analisis sejarah juga tidak sepenuhnya bersifat horizontal (comparative). Analisis sejarah haruslah dikombinasikan antara yang bersifat vertikal dengan yang bersifat horizontal.

Dalam dunia ilmiah, hal yang sangat kompleks dapat disederhanakan dalam dua dimensi saja yang secara diagramatik menghubungkan nilai-nilai pada sumbu vertikal dengan nilai-nilai pada sumbu horizontal. Dalam bahasa matematis y=f(t) yang mana t adalah waktu dan y adalah nilai kejadian. Serial waktu dari nilai kejadian ini yang kerap disebut sejarah (time-series). Jika pada waktu yang sama nilai kejadian diperbandingkan maka fungsiya menjadi t=f(y1, y2, y3,..yn). Pendekatan spasial ini dapat disebut sebagai sejarah (comparative). Jika dianalis pada waktu yang berbeda-beda akan didapatkan sebuah panel sejarah yang komprehensif (bersifat kontekstual). Pendekatan panel ini akan menunjukkan nilai kejadian pada waktu yang berbeda relatif dari satu tempat ke tempat lain. Dengan kata lain, sejarah itu sejatinya dipahami tidak hanya secara absolut (vertikal) dan juga tidak hanya secara relatif (horizontal), tetapi secara konstekstual (ruang dan waktu).