Selasa, 02 Juli 2019

Sejarah Bekasi (12): Gedong Tinggi Gedung Joang 45 di Tambun; Tamboen Kongsie dan Khouw Bersaudara Tjeng Tjoan-Tjeng Kee


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Di Tambun tempo doeloe terdapat sebuah gedong tinggi, tertinggi di District Bekasi. Gedong tinggi ini, kini menjadi Gedong Joang 45 Bekasi. Jauh sebelumnya di Tamboen terdapat nama grup yang disebut Tamboen Kongsie. Tanah-tanah di Bekasi Oost, termasuk land Tamboen pernah dimiliki oleh dua bersaudara: Khouw Tjeng Tjoan dan Khou Tjeng Kee. Yakni tanah-tanah yang merupakan warisan ayah mereka,  Khow Tjian Sek. Land Tamboen terakhir dikuasai oleh ‘Maatschappij. Khou Tjeng Kee’ yang dipimpin oleh Khouw Oen Hoej (cucu dari Khow Tjian Sek).

Gedung Joang 45 Tambun (Peta 1903)
Khouw Tjeng Tjoan dan Khou Tjeng Kee adalah dua konglomerat di Residentie Batavia yang mengawali karir sebagai komandan Tionghoa. Di Residentie Oost Sumatra yang berpusat di Medan juga terdapat dua bersaudara yang menjadi konglmerat yakni Tjing A Fie dan Tjong Jong Hian. Yang sekelas dengan dua bersaudara di Batavia dan Medan ini adalah bapak anak di Residentie Semarang senior Oei Tjie Sien dan junior Oei Tiong Ham. Tiga keluarga konglomerat ini bahkan asetnya lebih banyak jika dibandingkan masing-masing pemerintah setempat.

Gedong tinggi di Tamboen mulai dibangun tahun 1906 oleh Maatschappij. Khou Tjeng Kee. Gedong mewah ini tetap eksis hingga ini hari. Gedung tua pada awalnya disita oleh pemerintah pendudukan militer Jepang dan kemudian sempat digunakan oleh para pejuang Republik melawan Sekutu/Inggris dan Belanda/NICA. Lantas bagaimana sejarah lengkap tersebut yang kini disebut Gedung Joang 45? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Bekasi (11): Douwes Dekker van Bekasi; Garis Perjuangan Eduard di Natal, Ernest di Bandoeng dan Camille di Bekasi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Selama ini hanya dikenal dua Douwes Dekker yakni Eduard Douwes Dekker yang pernah di Natal, Lebak dan Ambon dengan bukunya yang terkenal Max Havelaar; dan Ernest Douwes Dekker yang di Bandoeng yang dikenal sebagai Setia Buddhi Tiga Seangkai. Akan tetapi, kenyataannya juga terdapat Douwes Dekker di Bekasi: Camille Hugo Douwes Dekker.

Camille Hugo Douwes Dekker
Di antara Belanda yang rasis, juga terdapat yang humanis; di antara Belanda yang zalim juga ada yang adil; di antara Belanda yang tidak punya hati ternyata juga ada yang punya hati. Tiga Douwes Dekker yang disebut di atas adalah orang-orang Belanda yang memiliki hati yang mulia terhadap orang pribumi. Mereka ini humanis, adil dan berhati mulia. Oleh karena itu, mereka yang peduli terhadap pribumi tidak jarang mereka dikucilkan oleh orang-orang Belanda sendiri.

Camille Hugo Douwes Dekker di Bekasi 1913 berbeda pendangan dengan atasanya Asisten Residen. Camille Hugo Douwes Dekker, Controleur Bekasi cukup akomodir terhadap perkembangan Sarikat Islam di Bekasi. Lalu pers Belanda menghubungkan Camille Hugo Douwes Dekker dengan Controleur di Natal Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Tidak salah memang, Eduard Douwes Dekker adalah kakek buyut Camille Hugo Douwes Dekker. Lantas bagaimana kisah Camille Hugo Douwes Dekker di Bekasi? Itu yang belum ditulis. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.