Minggu, 07 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (219): Pahlawan Nasional Berusia Muda, Sersan Osman dan Kopral Harun; Politik Luar Negeri Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pahlawan Nasional adalah pahlawan semua umur, tua dan muda. Tentu saja laki-laki dan perempuan. Pahlawan Nasional dari golongan muda tentulah menarik untuk diperhatikan. Dua diantara Pahlawan Nasional yang tergolong muda adalah Sersan II KKO Janatin alias Osman dan Kopral KKO Harun. Mereka berdua dihubungkan dengan peristiwa politik luar negeri. Sersan II Osman Janatin 25 tahun (18-03-1943-17-10-1968) dan Kopral II Harun Tohir 21 tahun (04-04-1947-17-10- 1968). Berdua wafat pada hari yang sama di Singapura dan pada hari yang sama ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dengan surat keputusan yang sama (050/TK/1968). Mengapa bisa begitu?

 

Pada tahun 2014 nama Pahlawan Nasional Osman dan Harun ditabalkan sebagai nama kapal perang Republik Indonesia (KRI). Pemerintah Singapura melakukan protes. Penmerintah Singapura beralasan hanya kan mengorek kembali luka lama warga Singapura, terutama keluarga para korban dalam peristiwa 10 Maret 1965, pukul 15.07 dimana bom berkekuatan besar meledak di Gedung McDonald House di Orchard Road, Singapura. Tiga hari setelah kejadian mereka ditangkap. Beberapa bulan kemudian pada tanggal 20 Oktober 1965, Usman dan Harun divonis bersalah. Kasasi mereka ditolak Pengadilan Federal Malaysia pada 5 Oktober 1966. Permintaan terbuka Presiden RI untuk memberikan keringanan hukuman juga ditolak. Akhirnya mereka berdua dieksekusi gantung di penjara Changi tanggal 17 Oktober 1968. Pemerintah Indonesia hanya pasarah dan hanya bisa memberikan langsung gelar Pahlawan Nasional dengan SK Presiden No.050/TK/1968. Jenazah dibawa ke Jakarta, dan dimakamkan di  Taman Makam Pahlawan Kalibata (Tempo).

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional berusia muda Osmaan dan Harun? Seperti disebut di atas, keduanya dieksekusi dalam kasus politik luar negeri di Singapura pada tanggal 17 Oktober 1968? Lantas bagaimana itu semua terjadi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (218): Pahlawan Nasional Diasingkan Dalam Negeri, Siapa Saja? Mengapa Diasingkan Pulau Berbeda?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada Pahlawan Nasional diasingkan ke luar negeri. Tentu saja lebih banyak Pahlawan Nasional yang diasingkan di dalam negeri. Umumnya di dalam negeri diasingkan di pulau yang berbeda. Mengapa harus diasingkan? Apakah tidak cukup di dalam penjara di dalam kota atau pulau yang sama? Nah, itulah perbedaannya dengan perihal pengadilan masa kini dengan masa lampau (era kolonial).

Pada masa kolonial, proses pengadilan yang telah menjatuhkan hukuman ke dalam berbagai kategori (seperti sekarang): perdata, pidana (kriminal) dan politik. Soal perdata dapat dalam bentuk kurungan dan atau denda. Untuk pidana dapat dibagi lagi ke dalam hukuman ringan, sedang dan berat. Sementara, hukuman berat tidak cukup dengan kurungan? Nah, itu dia. Banyak para terpidana dengan hukuman berat harus menjalani hukuman rantai dan dipekerjakan di tempat (pulau beebeda) dan jenis kegiatan dengan risiko tinggi, seperti membuat terowongan, membangun jalan rintisan (mereka ini banyak tidak selamat). Mereka ini dari sisi pemerintah dihukum tapi dapat dimanfaatkan (eksplitasi). Sedangkan yang dihukum terkait politik juga dapat dibagi kedalam lama hukuman. Untuk pelanggaran berat dan seumur hidup yang dianggap membahayakan pemerintahan diasingkan (dibuang).

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional diasingkan di dalam negeri? Seperti disebut di atas, pengasingan bagi tahanan politik ditempatkan di pulau yang berbeda. Beberapa diantaranya Pangeran Diponegoro (Jawa) dan Tuanku Imam Bonjol (Sumatra) ke Sulawesi. Ir Soekarno ke Flores (dan Bengkulu) dan Mohamad Hatta ke Digoel (dan Banda). Pada era pendudukan Jepang tidak mengenal pengasingan, tetapi bagi yang terkait hukuman politi terberat dijebloskan ke penjara terketat diawasi militer di Malang (salah satu yang ditahan adalah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap). Bagaimana semua itu berbeda-beda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.