Minggu, 25 November 2018

Sejarah Bogor (26): Sejarah TPB IPB dan Mahasiswa Tingkat Keragaman Tinggi; Lulus, Bagai 'Air Mangalir Sampai Jauh'


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini
**Untuk melihat artikel Sejarah Dramaga dalam blog ini Klik Ini 

Di Institut Pertanian Bogor (IPB) tempo dulu sangat dikenal dengan TPB (Tingkat Persiapan Bersama). Program pendidikan TPB ini sekarang disebut Program Pendidikan Kompetensi Umum (PPKU). Setiap mahasiswa IPB harus memulainya dari TPB, suatu program pendidikan tahun pertama sebagai persiapan untuk memasuki fakultas. Kurikulum pendidikan pada TPB ini bersifat bersama, semua mahasiswa harus mengambil mata kuliah yang seragam. Karena itulah nama program pendidikan IPB tersebut disebut Tingkat Persiapan Bersama, suatu program pendidikan yang dapat dianggap sebagai ‘hub’ antara pendidikan pasca SMA (juruan IPA) dan pendidikan pra-universitas (fakultas).

Kantor TPB-IPB dan mahassiwa (1983)
Program pendidikan TPB adalah pendidikan tahap persiapan dan dilakukan bersama ini dimulai tahun 1973 dan berakhir pada tahun 1993. Program ini dibagi dalam dua semester dengan memikul 12 matakuliah yang secara keseluruhan sebanyak 36 SKS. Untuk bisa lanjut ke fakultas, setiap mahasiswa harus lulus dengan IPK minimal 2.00. Nilai IPK di bawah 2.00 harus mengulang selama satu tahun tetapi mahasiswa yang memiliki IPK kurang dari 1.25 langsung Drop Out (DO). Mahasiswa yang mengulang dan mendapat nilai IPK kurang dari 2.00 juga harus ikhlas DO. Berat memang. Tapi itulah TPB IPB.

Program pendidikan TPB-IPB yang seragam, ternyata mahasiswanya sangat beragam. Mereka diundang setelah seleksi administratif sebagai siswa terbaik di sekolahnya. Mereka datang dari berbagai tempat di seluruh Indonesia, ada yang datang dari dekat tugu Monas di Jakarta ibukota Republik Indonesia, juga ada yang datang dari kota kecil terpencil di pedalaman Sumatra, seperti saya; ada yang lulusan SMA Negeri 8 Jakarta juga ada yang datang dari SMA Negeri 1 Padang Sidempuan, seperti adik kelas saya; ada yang datang dari Sabang dan ada yang datang dari Merauke, serta ada yang datang dari Sekolah Kedutaan di Paris. Tidak hanya itu, keluarga mereka juga sangat beragam, ada anak petani, seperti saya, juga ada anak Menteri dan anak Presiden; tentu saja ada anak seorang guru di pelosok kecamatan dan anak seorang guru besar di IPB. Bhineka tunggal ika di tingkat persiapan bersama. Benar-benar wujud miniatur Indonesia. Saya tahu persis karena saya termasuk di dalamnya dengan nomor identitas diri IP20.0324. Nomor ini menjadi kode navigasi untuk melacak mahasiswa pada angkatan (tahun tertentu) yang berada di Kelompok 2 dan Golongan 6.

Sedang kuliah di Ruang P-1 (daftar absen di pintu belakang)
Satu kelompok sekitar 150 mahasiswa yang dibagi ke dalam tiga golongan (juga didasarkan atas nomor navigasi). Satu angkatan banyaknya 10 kelompok. Itu berarti jumlah mahasiswa setiap angkatan sebanyak sekitar 1500 mahasiswa. Setiap kelompok mengangkat pimpinan sendiri yang disebut Komti (Komisariat Tingkat) yang bertanggungjawab kepada dua dosen yang ditunjuk Direktur TPB IPB sebagai Konselor (semacam wali kelas). Komti juga berkoordinasi dengan Komti dari kelompok lainnya dengan mengangkat pimpinannya yang disebut Ketua Angkatan. Setiap kelompok akan kuliah bersama di satu ruang kelas besar yang disebut Ruang Persiapan yang banyaknya 10 buah (dengan kode P1, P2,..,P10). Pada ruang kelas inilah setiap kelompok mendapat materi kuliah yang sama selama dua semester. Utuk keperluan latihan soal-soal (excercise) dan latihan percobaan (lab) setelah kuliah di kelas yang disebut kelas responsi/lab) setiap kelompok dibagi ke dalam tiga kelas yang lebih kecil (sekitar 50) yang disebut Golongan. Kelas responsi/lab ini dipandu oleh seorang mahasiswa senior. Di dalam golongan, kelompok dalam satu angkatan inilah dapat diamati keragaman mahasiswa seperti kelincahan fisika mahasiswa, kesesuaian kimia mahasiswa dan penampilan biologi mahasiswa, juga tingkat ekonomi mahasiswa dan perkembangan sosiologis mahasiswa. Ada yang aktif ikut memimpin organisi mahasiswa, ada yang tampak ceria dan ada yang tampak serius, ada yang ganteng dan bahkan ada yang sangat cantik tetapi lebih banyak yang sedang-sedang saja seperti saya dan tentu saja hanya beberapa saja yang tergolong kurang ganteng atau kurang cantik (skewness, positif ke kanan). Ada yang kulitnya putih halus dan juga ada yang gelap seperti saya (bekas disengat matahari terik di tengah sawah). Meski demikian, semua berbaur di ruang kelas, di warung atau di kantin tanpa sekat-sekat. Saat kuliah, kebetulan disamping  satu mahasiswa persis duduk mahasiswa lainnya yang cantik (atau sebaliknya mahasiswa ganteng), mahasiswa tidak akan tergoda, karena perhatian semua mahasiswa hanya tertuju ke depan kelas di panggung selama dosen menjelaskan materi di papan tulis hijau. Itu semua akibat tekanan akademik yang tinggi, semua mahasiswa hanya berpikir untuk mendapat nilai bagus dan lulus TPB.

Kurikulum pendidikan TPB terbagi ke dalam tiga kelompok mata kuliah: Kelompok mata kuliah inti, seperti Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi; Kelompok mata kuliah umum, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Agama, Kewiraan dan P4; Kelompok mata kuliah khusus, seperti Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosiologi dan Ilmu Pertanian. Disebut mata kuliah inti karena semua mahasiswa berasal dari SMA jurusan IPA.

Mata kuliah inti ini tingkat kesulitannya satu level di atas mata pelajaran di SMA untuk Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi. Anda bisa bayangkan, bagaimana reaksi mahasiswa yang berasal dari berbagai level SMA di tanah air terhadap mata kuliah inti yang levelnya ditingkatkan setara dengan di luar negeri. Itu adalah satu masalah. Masalah yang lebih penting yang ingin diselesaikan program pendidikan TPB-IPB ini adalah memberi kesempatan untuk semua anak negeri untuk kuliah di fakultas tanpa harus mengurangi mutu. Solusi yang diberikan adalah memberi kesempatan bagi mahasiswa IPK 1.25-1.99 untuk mengulang satu tahun. Program pendidikan TPB IPB ini boleh dikatakan seleksi akademik terlama dan terketat. Saya termasuk kelompok mahasiswa yang mengulang alias RCD (Reducing Crisis and Dropout). RCD menjadi semacam proses tera ulang (kalibrasi) karena perbedaan asal-usul mahasiswa. Proses ini juga menjadi treatment untuk memposisikan mahasiswa pada level mutu yang diinginkan oleh semua fakultas di Institut Pertanian Bogor. Mahasiswa yang lulus TPB dan mulai mengikuti studi di fakultas sudah dalam status siap belajar di fakulteit (keragaman telah dieliminasi). Itulah kejeniusan program pendidikan TPB IPB ini suatu sistem seleksi akademik yang mengkombinasikan seleksi bakat alam (kecerdasan) dan seleksi ketahanan sosial (bersaing mencapai level yang sama dalam satu kelompok umur, cohort yang sama dengan latar belakang mahasiswa yang sungguh sangat beragam). Program pendidikan TPB IPB ini, sadar tidak sadar, sangat sesuai dengan amanat konstitusi negara. TPB-IPB menjadi semacam ‘padepokan’ candradimuka dalam mempersiapkan lebih awal calon sarjana Indonesia sebelum mereka nanti berbakti di tengah masyarakat.

TPB-IPB dapat dikatakan sebagai suatu situs penting dalam dunia akademik untuk menempa mahasiswa sebelum diberi memilih fakultas yang diinginkannya. TPB-IPB menyeleksi anak negeri dengan memberikan tekanan yang tinggi pada suhu ruang yang sama sebelum diproses lebih lanjut di tingkat fakultas (universitas). TPB-IPB telah mengeliminasi keragaman input yang tinggi (kecerdasan, tingkat budaya dan perkembangan sosial yang berbeda-beda) untuk membentuk karakter lulusan yang homogen pada level tinggi di awal perkuliahan di fakultas. Proses eliminasi yang hebat ini, TPB IPB menjadi sebuah ‘hub’ yang menjembatani keragaman asal usul darimana mahasiswa datang (setelah lulus SMA) dan keseragaman input dalam memasuki dunia akademik di tingkat fakultas (Perguruan Tinggi yang sebenarnya). TPB-IPB telah menjadi supra seleksi masuk perguruan tinggi yang jauh melampaui bentuk seleksi lainnya yang melalui ujian tertulis (PP-1, kini disebut SBMPTN). TPB IPB  telah melakukan fungsinya untuk mengkalibrasi kemampuan intelektualitas calon mahasiswa, ketahanan sosialnya dan pembentukan minat sehingga mahasiswa benar-benar siap kuliah di fakultas yang dipilihnya. Karena itulah tahun pertama di IPB disebut Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Suatu sistem pendidikan pasca-SMA dan pra-universitas yang hanya ditemukan di IPB. Disinilah keutamaan TPB IPB ini jika dibandingkan dengan model PMDK (kini SNMPTN) yang mana setiap calon mahasiswa sudah memilih fakultas sebelum datang ke IPB.

TPB IPB telah menyeleksi kemampuan akademik mahasiswa (mengkalibrasi mata kuliah inti ke level yang diinginkan, dengan kesempatan mengulang satu tahun/dua semester), menguji mahasiswa duduk bersama dengan rekan yang beragam asal-usul pada kondisi suhu ruang yang sama untuk membentuk ketahanan sosial mahasiswa. TPB IPB sadar tidak sadar telah mempersiapkan calon mahasiswa yang ‘tahan banting’ yang diharapkan kelak ketika lulus sarjana tidak cengeng dalam meniti karir. Motto IPB yang sekarang ‘Searching and Serving The Best’ sejatinya telah dipraktekkan di IPB pada masa lampau yang disebut TPB.

Dimana Mereka? Lulus Bagai Air Mangalir Sampai Jauh

TPB IPB telah banyak dikenang oleh para alumninya. TPB IPB dipandang sebagai program pendidikan yang unik. Suatu program pendidikan dengan proses pembelajaran dengan tekanan tinggi. Akibatnya antar satu sama lain mahasiswa tidak lagi melihat siapa saya, siapa kamu dan siapa dia, tetapi setiap mahasiswa hanya larut untuk berjuang untuk diri sendiri agar nilainya bagus dan terhindar dari dropout. Kebersamaan misi inilah yang membuat mahasiswa menjadi akrab ketika jelang berakhir semester dengan berlibur bersama, apakah ke Istana Bogor, ke puncak atau melakukan kunjungan sosial ke panti sosial. Untuk menutup kebersamaan selama satu tahun kuliah di TPB IPB mereka yang satu kelompok kelas mengabadikan nama mereka dengan membuat buku kenangan yang dibagi pada saat kelulusan,

TPB-IPB dapat dikatakan sebagai suatu situs penting dalam dunia akademik untuk menempa mahasiswa sebelum diberi memilih fakultas yang diinginkannya. TPB-IPB menyeleksi anak negeri dengan memberikan tekanan yang tinggi pada suhu ruang yang sama sebelum diproses lebih lanjut di tingkat fakultas (universitas). TPB-IPB telah mengeliminasi keragaman input yang tinggi (kecerdasan, tingkat budaya dan perkembangan sosial yang berbeda-beda) untuk membentuk karakter lulusan yang homogen pada level tinggi di awal perkuliahan di fakultas. Proses eliminasi yang hebat ini, TPB IPB menjadi sebuah ‘hub’ yang menjembatani keragaman asal usul darimana mahasiswa datang (setelah lulus SMA) dan keseragaman input dalam memasuki dunia akademik di tingkat fakultas (Perguruan Tinggi yang sebenarnya). TPB-IPB telah menjadi supra seleksi masuk perguruan tinggi yang jauh melampaui bentuk seleksi lainnya yang melalui ujian tertulis (PP-1, kini disebut SBMPTN). TPB IPB  telah melakukan fungsinya untuk mengkalibrasi kemampuan intelektualitas calon mahasiswa, ketahanan sosialnya dan pembentukan minat sehingga mahasiswa benar-benar siap kuliah di fakultas yang dipilihnya. Karena itulah tahun pertama di IPB disebut Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Suatu sistem pendidikan pasca-SMA dan pra-universitas yang hanya ditemukan di IPB. Disinilah keutamaan TPB IPB ini jika dibandingkan dengan model PMDK (kini SNMPTN) yang mana setiap calon mahasiswa sudah memilih fakultas sebelum datang ke IPB.

Setelah dua atau tiga dasawarsa kehilangan kontak, mahasiswa eks TPB IPB dikumpulkan kembali dalam bentuk Reuni. Sebuah komite dibentuk untuk mempersiapkan kegiatan reuni TPB IPB. Komite mulai melacak kelompok dalam satu angkatan, Komite ini tampaknya sangat antusias mengumpulkan kembali group semacam suatu ‘pasukan’ yang dulu eksis namanya Kelompok...Angkatan ...TPB IPB yang lulusannya kini terpencar bagaikan daun-daun berserakan (mengambil nama judul buku yang dikarang oleh Prof. Andi Hakim Nasution). Eks pasukan itu, dengan berbasis ‘buku kenangan’ semua ‘anggota pasukan’ dilacak melalui komunikasi Word of Mouth (WOM), networking dan searching via internet. Semua eks pasukan tampaknya harus ditemukan: Dead or Alive.

Beberapa tahun belakang ini, terutama setelah dipicu oleh adanya ‘medsos’ muncul keinginan untuk melakukan reuni, seperti reuni SD, reuni SMP, reuni SMA dan reuni fakultas atau universitas. Animo reuni itu juga ternyata terjadi pada suatu kelompok ‘calon mahasiswa’ fakultas yang disebut TPB IPB. Uniknya, reuni TPB IPB ini tidak hanya melacak mahasiswa yang lulus TPB IPB saja yang melanjutkan studi di fakultas di IPB, juga kawan-kawan yang satu kelompok tetapi mereka DO. Mereka yang DO harus dibedakan yang datang dari kampung dengan yang datang dari kota besar. Yang datang dari kampung umumnya karena level pemahamannya masih kurang karena kualitas SMAnya, tetapi yang dari kota besar yang asal SMA berkualitas, mereka DO karena ketidaksesuaian peminatan. Tetapi mereka yang DO di tahun pertama atau DO setelah mengulang umumnya melanjutkan studi ke universitas lain yang sesuai minatnya. Mereka ini bahkan banyak yang sukses kuliah di ITB dan dan UI. Jadi, seleksi akademik di TPB IPB tidak hanya seleksi kecerdasan (level pemahaman mahasiswa) tetapi juga ketahanan sosialnya (apakah psikologis dan bidang minatnya sesuai dengan ilmu-ilmu pertanian).

Dari semua bentuk-bentuk reuni pada masa ini, apa yang menarik dari Reuni TPB IPB jika dibandingkan dengan reuni-reuni yang lain? Reuni TPB IPB adalah suatu reuni yang unik. Jika reuni SD, SMP, SMA dan Fakultas melakukan reuni karena mereka pernah bersama beberapa tahun di masa lampau. Tetapi TPB IPB hanya bersama kurang dari satu tahun alias dua semester). Inilah yang menyebabkan reuni TPB IPB, baik berdasarkan kelompok atau berdasarkan angkatan setelah sekian dekade menjadi sangat khas.

Komite reuni tampaknya telah bekerja keras untuk mempersiapkan reuni dan juga berusaha untuk melacak dan menemukan kawan-kawan lama seperjuangan di TPB IPB. Modal anggota komite untuk melacak adalah buku kenangan, buku yang berisi nama, alamat dan asal SMA plus foto ditambah sedikit pesan dan kesan yang ditutup oleh sebuah komentar singkat yang dibuat para anggota editor buku. Buku kenangan yang berfungsi sebagai file memori kolektif yang digunakan sebagai modal awal pelacakan juga memiliki informasi masa lalu yang mengindikasikan mereka berasal darimana. Reuni menjadi suatu kegiatan retrospektif ke masa lalu, buku kenangan dalam hal ini menjadi kotak pandora, suatu file yang berisi informasi yang dapat diperbandingkan dengan informasi pada saat reuni. Hasilnya sangat mencengangkan: mereka kini terdistribui kembali di seluruh Indonesia dengan profesi yang sangat beragam. TPB IPB dalam hal ini terkesan menjadi semacam titik simpul (bottleneck): dari keragaman lama ke keragaman yang baru. Perbedaan keragaman ini mengindikasikan terdapat perbedaan signifikan antara origin (asal, tempat masa lalu) dan tempat tujuan (tempat tinggal masa kini). TPB IPB telah menjadi bandara/terminal transit. Asal Jawa Barat ke Sumatra Barat, asal Jawa Timur ke Jakarta, asal dari desa ke luar negeri dan sebagainya. Yang juga tidak terduga, hanya minoritas yang tetap setia pada bidangnya, di bidang pertanian. Semua datang ingin jadi Insinyur Pertanian, tetapi kenyataannya hanya sedikit yang benar-benar berprofesi sebagai Insinyur Pertanian. Mereka setelah lulus TPB IPB bagaikan air mengalir sampai jauh. Faktor ini pula yang diduga menjadi penyebab penting mengapa reuni diadakan meski sejatinya hanya pernah duduk besama dalam satu tahun saja. Frase dalam William Shakespeare ‘apalah arti sebuah nama’ berlanjut ke farse Forrest Gump ‘pertemuan di halte bis yang sekejab adakalanya lebih berkesan daripada suatu pasangan di dalam perkawinan yang masing-masing menaruh cintanya tidak dalam satu piring’     

Mereka yang bereuni eks TPB IPB baik pada tingkat kelompok apalagi pada tingkat angkatan, sesungguhnya tidak saling mengenal secara mendalam. Mereka hanya mengenal karena pernah satu SMA, pernah satu fakultas, pernah berdekatan atau satu kost atau pernah satu pekerjaan atau bertetangga setelah sarjana. Namun apa yang menyebabkan mereka bersemangat untuk bereuni, bahkan lebih bersemangat daripada reuni-reuni eks satu fakultas atau eks satu SMA. Itulah yang menjadi pangkal perkara sehingga dapat dikatakan reuni yang khas. Namun jika kembali ke masa lampau, jawaban itu dapat ditemukan. Mereka pernah duduk bersama, meski hanya dalam rentang waktu dua semester, tetapi mendapatkan pengalaman bergaul dengan teman-teman baru (yang heterogen) dalam suasana akademik dengan menu yang seragam. Mereka datang ke kelas atau lab seakan gaya sentrifugal yang muncul (saling membantu), tetapi jika sudah habis kuliah/praktikum gaya sentripetal yang ada (lekas ke kost untuk belajar mandiri). Jadi, faktor satu-satunya mereka saling kenal betul hanya ketika kelas dan praktikum berlangsung, Suasana yang cenderung akademis inilah yang membuat kesan sesama begitu mendalam: saling merasakan arti kebersamaan dalam mempersiapkan diri masing-masing untuk UTS maupun UAS dan lulus dari TPB. Ibarat kerumunan menunggu di halte bis AKAP untuk mengantarkan mereka ke tujuan masing-masing. Romantisme yang bersifat akademik inilah yang menjadikan perasaan kuat untuk reuni. Suatu romantisme yang muncul sekejab yang hanya terjadi singkat, selama dua semester di TPB IPB.

Jadi intinya bukan di reuni tetapi justru di TPB IPB itu sendiri, di suatu tempat yang khusus di masa lampau. Reuni dalam hal ini hanya sekadar menjadi titik simpul baru, titik kumpul baru, datang dari berbagai tempat, lalu habis itu berpencar kembali. Reuni dapat terjadi lagi (ada angkatan atau kelompok sudah melakukan dua kali reuni dengan interval tiga atau lima tahun). TPB IPB menjadi situs penting di masa lalu. Suatu situs pembelajaran yang dilakukan model treatment menguji daya intelektualitas dan ketahanan sosial mahasiswa.

Andi Hakim Nasution dan TPB IPB

Penerapan Program Pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) tidak hanya di IPB, tetapi juga di ITB. Yang membedakannya TPB IPB dengan TPB ITB adalah tingkat keberagaman mahasiswanya. TPB IPB seperti telah dideskripsikan di atas, TPB ITB mahasiswanya lebih seragam, cenderung datang dari kota-kota besar dengan tingkat sosial keluarga yang relatif homogen jika dibandingkan dengan TPB IPB. Program pendidikan TPB IPB mengikuti pola ‘jemput bola’ sedangkan TPB ITB ‘menunggu bola’. Pola ‘jemput bola’ memiliki proporsi yang besar untuk mahasiswa undangan yang disebut PP-2 (semacam PMDK atau SNMPTN pada masa ini), sedangkan pola ‘menunggu bola’ proporsi terbesar mahasiswa yang telah lolos seleksi ujian tulis nasional (PP-1, kini UNPTN atau SBMPTN). Perbedaan karakteristik mahasiswa inilah yang membedakan TPB IPB dan TPB ITB. Perbedaan metode seleksi masuk PTN inilah yang membuat ada perbedaan besar antara komposisi mahasiswa TPB IPB dan TPB ITB.

Pola seleksi TPB IPB ini dimulai tahun 1973 oleh Prof. Andi Hakim Nasution dan koleganya. Saat itu, Andi Hakim Nasution adalah Direktur Pendidikan Sarjana IPB. Sebagai seorang Statistikawan, Andi Hakim Nasution sudah barang tentu paham ‘distribusi normal’ mahasiswa yang diterima di PTN dengan ‘distribusi normal’ lulusan SMA di seluruh Indonesia. Ada perbedaan yang besar. Untuk memenuhi tuntutan amanat konstitusi bahwa pendidikan untuk semua, maka gagasan sistem penerimaan masuk untuk PTN harus ditinjau ulang. Andi Hakim Nasution bersama kolega momodifikasi ‘distribusi normal’ dengan gagasan baru sistem penerimaan siswa baru dengan treatment ala TPB IPB yakni dengan mengundung semua siswa SMA berprestasi (paling tidak nilai rapor selama lima semester di SMA bersifat linier atau konstan) tetapi dijaga ketat, tidak hanya seleksi akademiki administratif tetapi seleksi akademik khusus yang itu tadi kita sebut kuliah persiapan bersama TPB IPB selama dua semester. Ada risikonya, tetapi lebih banyak memberi dampak pada manfaat, selain memenuhi amanat konstitusi, juga memberi kesempatan untuk para lulusan SMA yang berasal dari tingkat keragaman yang tinggi dalam soal mutu. Treatment ini diperlonggar sedikit, tidak hanya treatment TPB IPB satu tahun (dua semester) tetapi juga dimungkinkan untuk mengulang (satu tahun lagi) untuk mengurangi jumlah mahasiswa yang mengalami Crisis dan Dropout (RCD). Hasil program pendidikan TPB IPB tambahan ini (RCD) digabung dengan lulusan TPB IPB tahun berjalan untuk membentuk distribusi normal baru. Oleh karena itu ‘distribusi normal’ yang digunakan TPB IPB berbeda dengan ‘distribusi normal’ TPB ITB. Distribusi normal TPB IPB sejatinya bukan distribusi normal tunggal (unik) tetapi pada dasarnya seakan mirip penggunaan ‘distribusi normal ganda’. Lulus TPB IPB apakah lulus satu tahun atau lulus dua tahun dianggap sama untuk persyaratan masuk fakultas (perguruan tinggi). Karena itu, jika tidak lulus TPB IPB memang tidak layak melanjutkan ke fakultas (perguruan tinggi). Disinilah perbedaan hasil seleksi masuk PTN (fakultas) di ITB dengan hasil masuk masuk fakultas (PTN) di IPB.

Seleksi masuk PTN ala IPB melalui Program Pendidikan TPB ini sangat terkesan bagi lulusan IPB. Para lulusan yang terkesan tidak hanya mereka yang berasal dari wilayah-wilayah terpencil, tetapi juga yang berasal dari kota besar. Sebab pada dasarnya, mahasiswa yang berasal dari SMA yang rendah mutunya, seperti SMA di pedalaman ada juga yang lulus setahun TPB IPB dengan nilai IPK tinggi, sebaliknya mahasiswa yang berasal dari SMA yang tinggi mutunya dari kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan ada juga yang harus mengulang (RCD). Dalam hal ini Program Pendidikan TPB IPB telah menjalankan fungisnya secara tepat sebagai fungsi pengaman (mengkalibrasi kemampuan mahasiswa) sebelum mahasiswa benar-benar mengikuti program pendidikan selanjutnya di tingkat fakultas (perguruan tinggi) apakah pada sisi intelektualitas atau sisi ketahanan sosial. TPB IPB menjadi ‘kawah candradimuka’ untuk setiap siswa di seluruh Indonesia, karena telah menawarkan (mengakomodir) program pendidikan yang lebih humanis dan berkeadilan (menyadari Indonesia itu tidak homogen). Keragaman itu telah dieliminasi dengan baik oleh program pendidikan di TPB IPB.

Program pendidikan di TPB IPB, tidak hanya menyeleksi untuk memenuhi persyaratan memasuki PTN (persyaratan akademik dan ketahanan sosial) tetapi juga menjadi situs penting untuk mereview minat dan cita-cita yang muncul ketika di SMA dengan proyeksi bidang pekerjaan yang diambil di masa depan melalui pemilihan fakultas yang sesuai. Bakat dan cita-cita terasah dengan sendirinya selama TPB IPB. Setiap mahasiswa mulai menilai diri sendiri path atau passionnya berada di jalur/bidang apa. Sebab selama dua semester di TPB IPB setiap mahasiswa sudah bisa memprediksi program pendidikan di berbagai fakultas. Pengukuran kapabilitas diri dengan pemilihan program/fakultas menjadi fungsi tambahan dalam mengikuti Program Pendidikan TPB IPB. Pengembangan bakat dan pembentukan minat dipertemukan. TPB IPB menjadi faktor koreksi pada cita-cita. Mahasiswa yang sebelumnya ingin menjadi ahli agronomi berubah menjadi ingin menjadi ahli perikanan; yang sebelumnya ingin ahli peternakan bergeser dengan minat baru menjadi dokter hewan; yang berminat kehutanan beralih ke teknologi pertanian; dan sebagainya. Tentu saja ada yang tadinya ingin ahli statistika pertanian seperti Prof. Andi Hakim Nasution menjadi ahli ekonomi pertanian, yang sebelumnya ingin menjadi ahli pakan ternak menjadi ahli gizi manusia. Saya tidak membayangkan ahli ekonomi karena saya dan semua mahasiswa TPB IPB berasal dari jurusan IPA di SMA. Suatu jurusan di SMA yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan mata pelajaran (ilmu) ekonomi. Tapi, TPB IPB telah memberi penawaran baru dan membuka minat mahasiswa untuk menjadi ahli ekonomi.         

TPB IPB telah memoles setiap lulusan SMA menjadi calon mahasiswa untuk siap memasuki fakultas (perguruan tinggi) sesuai ‘passing grade’ yang distandarkan, memperkuat ketahanan sosial mahasiswa dan juga meluruskan cita-cita mahasiswa. Itulah hakikat TPB IPB. Suatu program pendidikan yang khas, suatu program pendidikan yang digagas oleh Andi Hakim Nasuation dan kolega. Karena itu Andi Hakim Nasution dikenang oleh semua lulusan IPB.

Program Pendidikan TPB dimulai tahun 1973 dan berakhir pada tahun 1993. Program ini bertahan selama dua puluh tahun. Dengan asumsi bahwa batas usia pensiun 70 tahun untuk dosen senior (guru besar), maka semua dosen-dosen senior yang ada di IPB yang merupakan alumni IPB adalah dosen-dosen yang pernah dulu merasakan bagaimana kuliah di TPB IPB. Dengan kata lain, dosen-dosen senior dan para pejabat IPB yang ada di IPB dalam satu dasawarsa terakhir ini adalah lulusan (produk) TPB IPB.   

Nama Andi Hakim Nasution kemudian oleh para lulusan IPB yang kini menjadi pejabat di IPB menabalkan nama Andi Hakim Nasution sebagai gedung rektorat di IPB. Keputusan itu diduga karena faktor TPB IPB, bukan karena Andi Hakim Nasution pernah menjadi rektor IPB. Andi Hakim Nasution sendiri pernah menjadi rektor IPB selama dua periode (1978-1987). Akan tetapi, gagasan Andi Hakim Nasution yang selalu brilian yang menjadi alasan untuk dikenang oleh para mahasiswanya.

Andi Hakim Nasution lahir di Batavia (kini Jakarta) pada tanggal 30 Maret 1932. Ayahnya bernama Anwar Nasution adalah alumni Sekolah Kedokteran Hewan (Veeartsenschool) di Buitenzorg (kini Bogor) pada tahun 1928 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-05-1928). Lahir di Pidoli, Mandailing, lulusan HIS Padang Sidempoean. Anwar Nasution masuk Veeartsen School tahun 1922 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-05-1923). Setelah lulus, Drh. Anwar Nasution diangkat menjadi dokter hewan pemerintah di Batavia (De Indische courant, 04-06-1930). Saat di Batavia inilah Andi Hakim Nasution lahir. Salah satu kontribusi Dr. Anwar Nasution adalah membuat pedoman pengawasan daging hewan untuk diterapkan di seluruh wilayah Hindia Belanda hingga ke desa-desa (lihat De Indische courant, 27-06-1941). Sarjana Kedokteran Hewan pertama Indonesia adalah Sorip Tagor. Veeartsen School dibuka tahun 1907. Sorip Tagor adalah angkatan pertama dan lulus tahun 1912. Sorip Tagor diangkat sebagai asisten dosen di Sekolah Dokter Hewan di Buitenzorg (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1913). Tidak berapa lama kemudian (akhir tahun 1913), Sorip Tagor berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar dokter hewan penuh (setara dokter hewan Belanda) di Rijksveeartsenijschool, Utrecht. Sorip Tagor lulus pada bulan Desember 1920 dan mendapat gelar dokter hewan (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-01-1921). Sorip Tagor Harahap lahir di Padang Sidempuan, 21 Mei 1888 adalah kakek dari Risty/Inez Tagor dan Destri Tagor (istri Setya Novanto, Ketua DPR).

Sorip Tagor direkomendasikan oleh Radja Proehoeman, seorang  dokter hewan. Si Badorang gelar Radja Proehoeman lahir di Pakantan, Mandailing setelah lulus sekolah guru (Kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1883 melanjutkan kursus kedokteran hewan di Jawa. Kweekschool Padang Sidempoean adalah suksesi Kweekschool Tanobato. Setelah lulus ditempatkan di di Kinali (kini di Pasaman Barat) tahun 1886 (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886). Tahun 1897 Radja Proehoeman berdinas di Paijacoemboeh (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-08-1897). Dokter hewan Radja Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean tahun 1906 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-09-1906). Pada tahun 1907 Radja Proehoeman merekomendasikan dan membawa Sorip Tagor lulusan sekolah dasar Eropa (ELS) Padang Sidempoean ke Buitenzorg tempat dimana Veeartsenschool akan dibuka. Radja Proehoeman adalah ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, PhD yang meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1930 di Universiteit Amsterdam. Perempuan Indonesia pertama bergelar PhD adalah Dr. Ida Loemongga di Universiteit Utrecht tahun 1931 (di bidang kedokteran), Kakek Ida Loemongga bernama Soetan Abdul Azis Nasution adalah angkatan pertama sekolah guru (kweekschool) Tanobato, Mandailing. Satu angkatan dengan Soetan Abdul Azis Nasution adalah Maharadja Soetan.

Sekolah guru ini didirikan dan diasuh oleh Sati Nasution alias Willem Iskander tahun 1862. Willem Iskander sendiri berangkat studi ke Belanda tahun 1857 dan lulus mendapat diploma guru di sekolah guru di Haarlem. Willem Iskander lahir di Pidoli adalah pribumi pertama studi ke Belanda. Kakak kelas Willem Iskander bernama Si Asta mengikuti studi kedokteran di Docter Djawa School di Batavia tahun 1854 dan lulus tahun 1856. Dr. Asta Nasution adalah siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa.

Pada tahun 1874 pemerintah Hindia Belanda memberikan beasiswa kepada Willem Iskander studi lebih lanjut (untuk mendapat gelar sarjana pendidikan) dengan membawa tiga guru muda untuk mendapatkan diploma guru (Banas Lubis dari Tapanuli, Adi Sasmita dari Bandoeng dan Raden Soerono dari Soerakarta). Namun sayang, tiga guru muda ini meninggal di Belanda tahun 1875 dan kemudian tahun 1876 Willem Iskander dikabarkan meninggal di Belanda. Willem Iskander adalah kakek buyut dari Prof. Andi Hakim Nasution.

Willem Iskander tidak berhasil mewujudkan cita-citanya sebagai sarjana pendidikan pertama dari kalangan pribumi. Baru 30 tahun kemudian cita-cita Willem Iskander ada yang melanjutkannya. Soetan Casajangan, seorang guru di Padang Sidempoean pada tahun 1905 berangkat studi ke Belanda untuk meraih gelar sarjana pendidikan. Saat itu di Belanda baru lima orang pribumi yang kuliah di Belanda. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah lulusan Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887 yang mana direkturnya adalah Charles Adriaan van Ophuijsen (penyusun tata bahasa Melayu pertama). Ayah Soetan Casajangan adalah Maharadja Soetan, murid Willem Iskander di Kweekschool Tanobato. Pada tahun 1908 ketika jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda sebanyak 20 orang, Soetan Casajangan menggagas perhimpunan mahasiswa Indonesia yang disebut Indisch Vereeniging. Soetan Casajangan menjadi presiden pertama. Nama organisasi mahasiswa ini diubah pada tahun 1822 oleh Dr. Soetomo dkk menjadi Indonesiasche Vereeniging dan pada tahun 1924 Mohamad Hatta dkk mengubah lagi namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia yang disingkat PI.

Pada tahhun 1910 seorang pemuda belia lulusan ELS Padang Sidempoean namanya Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia mengikuti jejak Soetan Casajangan. Pada tahun 1911 Soetan Casajangan meraih gelar sarjana pendidikan, sarjana pendidikan pribumi pertama. Suatu gelar pendidikan yang dulu ingin diraih Willem Isaknder dan telah diwujudkan oleh Soetan Casajangan. Pada tahun 1913 Soetan Casajangan pulang ke tanah air dan menjadi guru. Jabatan terakhir Soetan Casajangan adalah Direktur sekolah guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Soetan Goenoeng Moelia setelah mendapat gelar sarjana kembali ke tanah air tahun 1918 tetapi di dalam perkembangannya Soetan Goenoeng Moelia beralih profesi menjadi guru (antara lain di Sipirok da Kotanopan). Soetan Goenoeng Moelia dipindahkan ke Normaal School di Meester Cornelis sebagai wakil direktur untuk membantu Soetan Casajangan. Soetan Goenoeng Moelia juga merangkap anggota Komisi Pendidikan HIS di Batavia. Pada tahun 1930 Soetan Goenoeng Moelia berangkat studi tingkat doktoral ke Belanda dan lulus tahun 1933 dengan gelar doktor (Ph.D) di bidang filsafat dan pendidikan. Soetan Goenoeng Moelia adalah guru pertama pribumi bergelar doktor. Soetan Goenoeng Moelia adalah anak Mangaradja Hamonangan, pensiunan guru di Padang Sidempoean, yang juga alumni Kweekschool Padang Sidempoean. Soetan Goenoeng Moelia kelak menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua tahun 1946 (setelah Ki Hadjar Dewantara). Soetan Goenoeng Moelia adalah saudara sepupu Amir Sjarifoeddin (Perdana Menteri RI kedua).

Last but not least. Alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool) di Buitenzorg adalah Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan tahun 1914 (dua tahun setelah Dr. Sorip Tagor lulus). Setelah berdinas beberapa tahun, Soetan Kenaikan mendirikan sekolah pertanian swasta pertama di Lubuk Sikaping tahun 1925 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1925. Veeartsenschool dan Middelbare Landbouwschool kelak tahun 1940 digabung menjadi Landbouw Hogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian) sebagai salah satu fakultas di Universiteit van Indonesia. Pada tahun 1946 Landbouw Hogeschool yang menjadi bagian dari Universiteit van Indonesia dipecah menjadi dua fakultas: Fakultas Kedokteran Hewan (faculteiten der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian (faculteit van landbouw wetenschap) di Bogot. Pada tahun 1950 Universiteit van Indonesia diakuisi oleh Indonesia menjadi Universitas Indonesia. Andi Hakim Nasution masuk tahun 1952 di Fakultas Pertanian dan lulus tahun 1958 dengan predikat cum laude. Andi Hakim Nasution melanjutkan studi ke Amerika Serikat dan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1964 di North Carolina State University. Saat pulang ke tanah air, Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia telah dipisahkan dan dibentuk Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1963. Andi Hakim Nasution diangkat menjadi dosen di IPB tahun 1965. Pada tahun 1966 Andi Hakim Nasution diangkat menjadi Dekan Fakultas Pertanian dan kemudian pada tahun 1971 diangkat menjadi Direktur Pendidikan Sarjana IPB. Dua tahun kemudian, 1873 Andi Hakim Nasution menerapkan pola penerimaan masuk IPB melalui jalur undangan dan setiap mahasiswa harus mengikuti Program Pendidikan yang disebut TPB IPB.
  
Oleh karena itulah Andi Hakim Nasution dan TPB IPB tidak bisa dipisahkan. Andi Hakim Nasution, sebagai Direktur Pendidikan Sarjana IPB sejak tahun 1971 mulai menerapkan pola (model) penerimaan mahasiswa baru dengan metode ‘menjemput bola’ dengan cara mengundang siswa-siswa SMA yang berprestasi di seluruh Indonesia. Mereka yang diterima akan mengikuti program pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB).

Andi Hakim Nasution mendapat gelar guru besar (profesor) di bidang Statistika dan Genetika Kuantitatif tahun 1972. Pada tahun 1875 Andi Hakim Nasution diangkat menjadi Dekan Sekolah Pasca Sarjana. Pada tahun 1878 Andi Hakim Nasution diangkat menjadi Rektor. Pada saat menjadi rektor inilah Prof. Andi Hakim Nasution menggagas program pendidikan yang baru, yang disebut Program Terminal yakni setiap calon guru besar harus lebih dahulu lulus program pendidikan doktor atau Ph.D. Sebagaimana model penerimaan mahasiswa (TPB), program terminal guru besar ini juga kemudian diterapkan secara nasional. Itulah Andi Hakim Nasution, pelopor pendidikan di Perguruan Tinggi, sebagaimana kakek buyutnya Willem Iskander sebagai pelopor pendidikan pribumi pada era Hindia Belanda tahun 1862 (satu abad sebelumnya). Willem Iskander menyatakan untuk menjadi guru sekolah rakyat harus lulus sekolah guru (Kweekschool). Andi Hakim Nasution menyatakan untuk menjadi guru besar harus lulus program doktoral lebih dahulu dan untuk menjadi mahasiswa IPB di tingkat fakultas harus lulus TPB lebih dahulu. Di sinilah pertemuan gagasan sang kakek dengan sang cucu dalam dunia pendidikan: Sati Nasution alias Willem Iskander dan Andi Hakim Nasution (like father, like son).

Hingga tahun 1933 jumlah orang Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph.D) dan semuanya dari luar negeri baru sebanyak 26 orang dan hanya satu orang perempuan yakni Ida Loemongga Nasution. Orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) adalah Husein Djajadiningrat pada tahun 1913. Daftar orang Indonesia peraih gelar doktor (Ph.D) selanjutnya adalah sebagai berikut: (2) Dr. Sarwono (medis, 1919); (3) Mr. Gondokoesoemo (hukum 1922); (4) RM Koesoema Atmadja (hukum 1922); (5) Dr. Sardjito (medis, 1923); (5) Dr. Mohamad Sjaaf (medis, 1923); (7) R Soegondo (hukum 1923); (8) JA Latumeten (medis, 1924); (9) Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (hukum, 1925); (10) R. Soesilo (medis, 1925); (11) HJD Apituley (medis, 1925); (12) Soebroto (hukum, 1925); (13) Samsi Sastrawidagda (ekonomi, 1925); (14) Poerbatjaraka (sastra, 1926); (15) Achmad Mochtar (medis, 1927); (16) Soepomo (hukum, 1927); (17) AB Andu (medis, 1928); (18) T Mansoer (medis, 1928); (19) RM Saleh Mangoendihardjo (medis, 1928); (20) MH Soeleiman (medis, 1929); (21) M. Antariksa (medis, 1930); (22) Sjoeib Proehoeman (medis, 1930); (23) Aminoedin Pohan (medis, 1931); (24) Seno Sastroamidjojo (medis, 1930); (25) Ida Loemongga Nasution (medis, 1931); (26) Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sastra dan filsafat, 1933). Jumlah doktor terbanyak berasal dari (pulau) Djawa, yang kedua berasal dari Residentie Tapanoeli. Cetak tebal adalah doktor-doktor asal Afdeeling Mandailing dan Angkola (kini Tapanuli Bagian Selatan).

Demikian, untuk sekadar teringat TPB IPB dan Andi Hakim Nasution. Saya sendiri tidak kenal betul dengan Pak Andi Hakim Nasution. Namun dalam beberapa kesempatan yang tidak sengaja (random) pernah bertemu. Pertemuan pertama ketika saya masih di TPB IPB justru terjadi di dalam bemo. Ketika saya naik Pak Andi ada di dalam bemo sisi kanan luar. Saya naik lalu duduk dan diam seribu bahasa. Beberapa penumpang lainnya yang juga mahasiswa juga tidak berkutik. Semua tidak menyangka. Anehnya, semua penumpang mahasiswa itu tidak ada yang berani turun duluan meski ada yang seharusnya duluan turun. Ketika Pak Andi turun di pintu gerbang IPB, baru kami semua ikut turun. Lega rasanya. Tapi beberapa saat kemudian saya menyadari ada yang terlewatkan. Mengapa tidak saya atau kami sapa tadi di dalam bemo dan mengajak ngobrol Pak Andi. Yang terlewatkan membuat diri saya menjadi bersalah. Bukankah itu tadi kesempatan satu-satunya.

Sering saya terkenang-kenang pertemuan tidak sengaja itu. Nama Andi Hakim Nasution sangat dikenal semua mahasiswa IPB. Andi Hakim Nasution tidak hanya Rektor IPB tetapi juga sudah diketahui umum sebagai penggagas rekrutmen mahasiswa dengan pola undangan. Beberapa waktu kemudian tiba waktunya bulan puasa. Saya coba mengirim kartu lebaran ke Pak Andi dengan tujuan alamat rumah. Saya tidak menyangka, sebelum lebaran ada surat yang saya terima diantar oleh Pak RT ke tempat kos saya. Saya buka, kartu lebaran dari Andi Hakim Nasution dan keluarga. Suatu kartu lebaran balasan. Sejak itu tiap tahun saya kirim kartu lebaran, dan selalu ada kartu lebaran balasan.

Beberapa kali saya lihat Pak Andi melewati jalan gang di depan tempat kost saya, sebuah pavilium (bagian dari) rumah. Andi Hakim Nasution tampak suka jalan pagi pada hari Minggu. Saya menduga Pak Andi jalan pagi dengan memilih track yang sesuai kebutuhannya yakni dengan memutar dari rumahnya di Bogor Baru melawati Jalan Tegal Lega (Jalan Raya Bagor Baru) kemudian melalui jalan Malabar Ujung dan berbelok disamping SLB kemudian menuruni track tiga kelok ke bawah, setelah jembatan lalu naik tangga lurus ke atas mengikuti sepanjang gang Tegal Manggah. Pada ujung gang berbelok dua kali dimana tempat kos saya. Suatu jalan pintas menuju Perumahan Bogor Baru di Jalan Tegal Lega A VI/4 (alamat ini saya catat dari kartu lebaran yang masih tersimpan di lemari kerja saya di kantot).

Pada suatu pagi di hari Minggu, mungkin anda tidak percaya, karena saya juga tidak menduga. Sehabis mandi, sekitar jam 9an saya duduk di sebuah bangku panjang di depan kost persis berada di bawah jendela. Saya lagi ngopi sambil baca koran Pos Kota yang saya pinjam sebentar dari Pak RT. Saya tidak menduga Pak Andi lewat di depan saya hanya sekitar satu meter di depan saya. Tempat kos saya hanya satu meter ke jalan gang di belokan. Tampaknya Pak Andi kelelahan, ketika sudah melewati saya lima meter, Pak Andi berbalik dan ingin minta duduk istirahat sejenak. Saya persilahkan duduk, sambil saya menjauh sedikit sambil berdiri agak dekat pintu. Pak Andi menanyakan saya apakah punya air minum. Ada Pak. Saya ambil ke dalam lalu saya tuangkan dari teko kecil ke dalam gelas yang saya taruh di atas bangku di sisi Pak Andi. Silahkan Pak diminum. Setelah minum, Pak Andi segera berdiri. Lalu Pak Andi hanya bertanya ‘ini tempat kosnya? Iya Pak. Terimakasih ya, saya telah diberi minum, saya jalan lagi. Baik Pak. Saya belum berpikir, Pak Andi sudah berlalu tidak terlihat di belokan. Kembali saya tidak tahu apa-apa. Saya masih kaget, kalimat yang masih terngiang di telinga ‘ini tempat kosnya’ yang saja jawab ‘Iya, Pak’. Hanya itu. Tidak menanyakan nama saya dan juga tidak memberi kesempatan kepada saya untuk bertanya. Tapi saya paham, Pak Andi sedang olahraga jalan pagi dan kebetulan agak lelah dan haus. Itulah yang membuat kembali pertemuan tidak terduga. Pertemuan sekejap. Padahal saya sudah punya kartu lebaran balasan dua kali dari beliau. Saya menduga Pak Andi tidak akan bisa menghubungkan pernah ketemu diam di bemo, kartu lebaran dan pertemuan yang baru saja terjadi. Persoalan itu tentu terlalu remeh temeh buat dipikirkan Pak Andi. Tetapi itu bagi saya adalah peristiwa besar. Hanya Tuhan yang memahaminya.
   
Kartu lebaran Andi Hakim Nasution dan keluarga
Saya masih mengirim kartu lebaran jika waktunya tiba. Setelah sekian lama pada akhir tahun 1987 seseorang menyampaikan kabar kepada saya, bahwa saya diminta menghubungi Pak Andi Hakim di rumahnya di Bogor Baru. Sekali lagi saya kaget. Pak Andi saat itu saya tahu sudah tidak lagi menjadi rektor telah digantikan oleh Prof. Sitanala Arsjad. Tapi ada apa? Apakah karena saya tiap tahun mengirim kartu lebaran? Saya kan belum saling kenal. Hanya ada dua kejadian pertemuan yang tidak disengaja dan hanya sekilas. Itu juga sudah lama. Besoknya saya bersiap, seperti waktu yang diminta, dari tempat kost saya ke rumah belia, jalan kaki. Tidak sulit bagi saya menuju ke sana. Setiap mahasiswa sudah mengetahui dimana Pak Andi tinggal di Bogor Baru.

Saat itu saya adalah ketua organisasi mahasiswa asal Tapanuli Selatan di Bogor (IMATAPSEL BOGOR). Suatu organisasi semacam OMDA sekarang. IMATAPSEL Bogor didirikan pada tahun 1963 (seumur dengan IPB). IMATAPSEL adalah organisasi mahasiswa daerah (OMDA) tertua di Bogor. Menurut dokumen, saat pendiriannya tahun 1963 IMATAPSEL anggota berjumlah sebanyak 15 mahasiswa. Saya adalah ketua umum yang ke-14. Pada tahun 1912 jumlah mahasiswa asal Tapanuli Selatan (dulu disebut Afdeeling Mandailing dan Angkola) di Buitenzorg (kini Bogor) sebanyak lima orang termasuk Sorip Tagor (angkatan pertama Veeartsen school dan dokter hewan pertama Indonesia), Abdul Azis Nasution (angkatan pertama Middelbare Landbouwschool) dan Alimoesa Harahap di Veeartsen school (tahun 1930 menjadi anggota Volksraad dari dapil Noord Sumatra). Pada tahun 1920 jumlah mahasiswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola sebanyak 10 orang termasuk Djohan Nasution di Middelbare Landbouwschool (ayah Prof. Lutfi Ibrahim Nasution). Pada tahun 1928 jumlah mahasiswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola sebanyak 12 orang termasuk Anwar Nasution di Veeartsen school (ayah Andi Hakim Nasution). Garis continuum inilah yang menyebabkan lahirnya IMATAPSEL di Bogor pada tahun 1963. IMATAPSEL Bogor sendiri sudah jauh berkembang, paling tidak dari sisi jumlah anggota. Jumlah anggota dari tahun ke tahun sejak pendiriannnya tahun 1963 sudah jauh meningkat, Pada saat saya diterima di IMATAPSEL jumlah anggota sudah di atas 200 orang. Anggota IMATAPSEL tidak hanya berasal dari SMA di Tapanuli Selatan saja (kini Tabagsel), tetapi juga dari Medan, Jakarta, Padang, Surabaya, Bandung, dan provinsi-provinsi lainnya dan bahkan sekolah kedutaan di luar negeri. Salah satu teman saya satu kelompok di TPB IPB waktu itu adalah mahasiswa kelahiran Jawa Barat, Iskandar Zulkarnaen Siregar (kini menjadi guru besar di Fakultas Kehutanan, IPB). Tentu saja ada senior saya di IMATAPSEL (yang ikut mengospek saya) kelahiran Pekanbaru (jurusan Statistika) yang kini menjadi guru besar statistika di Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia (Prof. Dr. Ir. Zainal Arifin Hasibuan).

Saya berangkat dengan keberanian yang siap. Sebab Pak Andi tidak rektor lagi. Mungkin dulu saya takut karena beliau adalah rektor saya. Sesampai di rumahnya, saya pencet bel di sisi pintu pagar. Seseorang membuka pintu dan mempersilahkan saya menunggu di kursi di teras. Tidak lama kemudian Pak Andi keluar dan saya langsung memperkenalkan diri dan menyebut saya diminta ketemu Bapak. Silahkan masuk, ayo kita ke dalam.

Andi Hakim Nasution dan Amini (pakaian adat Tabagsel)
Saya menyusul Pak Andi masuk ke dalam dan kami duduk di ruang tamu. Namun saya selesai mengela nafas ketika baru mulai duduk, seseorang gadis datang dari ruang belakang mau keluar dan melewati ruang tamu dimana Pak Andi dan saya duduk. Saya sedikit menoleh dan gadis itu mengenal saya. ‘Lho, koq Akhir ada disini’. ‘Iya Win’ saya jawab. Pak Andi menyela. ‘Akhir kenal Wina?’, Saya jawab ‘Iya Pak’. ‘Wina teman satu kelas di jurusan’. Wina menimpali. ‘Iya Om, Akhir orangnya baik....tapi’ (tanpa memberi kesempatan kepada Pak Andi untuk bertanya ‘tapi apa’) saya mendahului: ‘Tapi apa Win’. Sambil Wina pamit kepada kami, bilang: ‘Sering bolos, Om’ (saya tidak tersinggung, karena sudah lama kenal Wina; itu menunjukkan persahabatan yang baik sesama mahasiswa PKP; Wina adalah keponakan istri/Pak Andi; Wina lagi berkunjung saat itu).

Tanpa menghiraukan dialog sepintas saya dengan Wina, Pak Andi memulai pembicaraan. ‘Apakah Akhir yang menjadi ketua IMATAPSEL sekarang?’. Iya Pak. Ingin melanjutkan pembicaraan, tiba-tiba Pak Andi menatap saya dengan sedikit mengingat-ngingat. ‘Bukankah Akhir yang memberi minum saya beberapa waktu yang lalu di Tegal Manggah’. Saya jawab enteng. Iya, Pak, betul Pak. ‘Oalah...masih disitu tinggal? Iya Pak, masih. ‘Bagaimana kuliahnya?’. Lancar-lancar saja Pak. ‘Bagus. Dimana kampungnya?’. Di Padang Sidempuan Pak. Selanjutnya Pak Andi bertanya. ‘Apakah Akhir pulang kampung libur panjang ini atau siapa yang pulang kampung?’. Saya pulang kampung Pak, sudah dua tahun tidak pulang kampung. ‘Begini...Beberapa waktu yang lalu di Padang Sidempuan didirikan universitas’. Iya Pak, saya juga sudah dengar dari kawan-kawan. ‘Tapi mereka masih sangat minim fasilitas dan buku-buku. Ini ada buku-buku yang telah terkumpul dari teman-teman dan masyarakat Tapanuli Selatan seJabotabek, koleksi buku saya juga saya sertakan di situ. Apakah Akhir bisa bantu membawanya ke sana?’ Siap, Pak. ‘Ini ada jumlahnya enam kardus’.

Dengan seorang teman, yang juga pengurus IMATAPSEL Bogor, kami bersiap-siap pada hari keberangkatan. Kami ke rumah Pak Andi menyewa mobil barang untuk mengangkut buku-buku enam kardus Gudang Garam tersebut menuju loket bis Sampagul di Jalan Otista. Setelah tiba di Padang Sidempuan, buku-buku itu disimpan di rumah orang tua, dan baru seminggu kemudian kami menyerahkannya kepada pengurus universitas tersebut, Namanya Universitas Graha Nusantara disingkat UGN. Selesai sudah menjalankan tugas yang diberikan Pak Andi. Setelah sebulan di kampung, kembali ke Bogor. Tentu saja melapor ke Pak Andi.

Buku karya Willem Isknder (1872) dan salah satu puisinya
Di rumah Pak Andi baru saya dapat kesempatan ngobrol sedikit dan sedikit rileks. Kami lebih banyak membicarakan situasi dan kondisi terkini di Tapanuli Selatan. Pak Andi tampaknya tidak terlalu memahami Tapanuli Selatan, Pak Andi lebih banyak bertanya dan saya yang menjelaskan. Dalam bagian akhir obrolan itu, Pak Andi sempat bertanya apakah saya tahu Willem Iskander. Saya tahu Pak, Saya sering baca buku karangannya berjudul Sibulus-bulus, Sirumbuk-rumbuk yang terbit tahun 1872. ‘Bagus’. Saya ada salah satu puisinya yang paling berkesan bagi saya, Pak. ‘Apa itu’. Adjar Ni Amang Na Di Anak Na, Na Kehe Toe Sikola. 'Bagus'. Puisi ini nanti dalam skripsi saya akan saya kutip sebagai halaman pertama. ‘Bagus itu’. Willem Iskander adalah orang hebat, begitu komentar Pak Andi setelah semua responnya terhadap saya: bagus. ‘Akhir juga harus belajar sejarah. Pak Basyral Hamidy Harahap sudah melakukan penelitian Willem Iskander’. Sejak itu tidak ada kesempatan lagi saya bertemu dengan Pak Andi. Hanya kejadian yang tidak terduga yang bersifat random itu semata yang mempertemukan saya dengan Pak Andi. Pertemuan random adalah pertemuan yang diatur Tuhan.

Saya tidak menyadari apa sejauh ini dan saya tidak terlalu memikirkan mengapa Pak Andi bertanya dan antusias tentang Willem Iskander dan merespon saya dengan jawaban bagus. Saya tidak tahu siapa Willem Iskander, kecuali namanya dihubungkan dengan buku berjudul Sibulus-bulus, Sirumbuk-rumbuk yang sering saya baca sejak SMP.

Baru beberapa tahun terakhir ini saya mulai memahami siapa Willem Iskander, mengapa Pak Andi dulu antusias mensupport saya dengan kata-kata yang sama: bagus. Saya baru sekarang menyadari jika Andi Hakim Nasution terhubung dengan Willem Iskander. Ketika Pak Andi menantang saya belajar sejarah, saya tidak tahu waktu itu jika Pak Andi adalah keturunan (kerabat) dari Willem Iskander. Kini, saya sedang melakukan finishing buku yang saya tulis tentang sejarah Willem Iskander. Semoga saja segera selesai. Judulnya: Willem Iskander: Pionir Pendidikan Modern Indonesia. Buku ini saya dedikasikan kepada jiwa pionir Willem Iskander di bidang pendidikan.

Demikianlah perkenalan saya dengan Pak Andi. Artikel ini adalah salah satu wujud yang dapat saya didedikasikan kepada Prof. Andi Hakim Nasution, mantan Rektor IPB dan penggagas TPB IPB. Karena melalui TPB IPB saya bisa menulis artikel ini. Karena TPB IPB pula saya mendapat kesempatan memilih bidang keilmuan dan profesi yang saya suka hingga sekarang.

Satu yang khas ketika mengikuti perkuliahan di TPB IPB adalah dua mata kualiah ilmu sosial yakni Ilmu Ekonomi dan Ilmu Sosiologi. Dua mata kuliah ini boleh dikatakan baru bagi semua mahasiswa TPB IPB. Sebab semua mahasiswa TPB IPB adalah jurusan IPA di SMA. Satu-satunya mata kuliah yang sulit saya pahami adalah Ilmu Ekonomi. Saya sulit mengerti arti pergerakan dan pergeseran dalam fungsi permintaan (demand function) dan fungsi penawaran (supply function). Saya tidak berhasil memahami di kelas begitu juga di responsi. Apakah karena saya tidak senang dengan ilmu sosial? Saya tidak tahu, tapi yang jelas waktu itu saya lebih menyukai matematika dan ilmu kimia—dari kampung ingin jadi insinyur pertanian. Untuk kedua matakuliah ini saya tidak terlalu kesulitan. Pada jelang ujian kedua dan ujian ketiga saya berinisiatif ke tempat Bang Hermanto di Asrama Wisma Raya untuk ‘belajar khusus’ Ilmu Ekonomi. Singkat cerita, pada ‘kuliah khusus’ terakhir di asrama, Bang Hermanto berharap saya bisa lulus. Lalu, akhirnya saya lulus mata kuliah Ilmu Ekonomi ini dengan nilai B (memuaskan). Saat saya berkunjung ke asrama dan saya ceritakan saya dapat nilai B untuk ilmu ekonomi. Dia tidak kaget, malah menganjurkan untuk memilih jurusan sosek (ilmu-ilmu sosial ekonomi) dan semoga menjadi asisten Ilmu Ekonomi. Dalam hati saya berpikir: “Ah, apa-apaan abang ini”. Singkat cerita, di hari terakhir (peminatan) pemilihan fakultas/jurusan bagi mahasiswa TPB IPB, saya agak bingung jurusan/fakultas  apa yang mau dipilih. Setelah menimbang-nimbang saya memutuskan memilih tiga pilihan (maksimal boleh mengusulkan tiga pilihan jurusan): pilihan pertama jurusan ilmu gizi masyarakat, kedua jurusan ilmu statistika pertanian, ketiga jurusan ilmu-ilmu sosial ekonomi. Tapi, saya keliru membaca formulir sehingga saya menuliskan pilihan sehingga menjadi ilmu sosial ekonomi di baris pilihan pertama dan ilmu gizi di baris pilihan ketiga sedangkan ilmu statistika sesuai di baris pilihan kedua. Karena saya menggunakan tinta basah dan sulit dihapus, akhirnya setelah dipikir-pikir saya ikhlaskan saja mengembalikan formulir yang telah diisi tersebut apa adanya tanpa berupaya untuk mengubahnya. Akhirnya beberapa waktu  kemudian diumumkan bahwa saya ditempatkan panitia dan diterima di jurusan ilmu-ilmu sosial ekonomi. Saya tidak merasa gembira, karena saya anggap hasil seleksi itu timbul dari kekeliruan saya mengisi formulir peminatan. Seminggu pertama kuliah di jurusan ilmu-ilmu sosial ekonomi (semester tiga) saya biasa-biasa saja. Tapi di minggu kedua mulai ada godaan dan mata saya tertuju pada papan pengumuman. Ada sebuah maklumat ditempel pada selembar kertas yang intinya: “Dibutuhkan sejumlah mahasiswa untuk menjadi asisten Ilmu Ekonomi untuk kelas Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dengan syarat memiliki nilai Ilmu Ekonomi minimal B”. Wah, boleh juga, pikir saya dalam hati. Lantas saya melamar dengan mengisi formulir. Sesaat setelah saya menyerahkan formulir itu dan mau menutup pintu kantor  koordinator matakuliah Ilmu Ekonomi tersebut Dr. Tjahjadi Sugianto yang telah melihat formulir lamaran saya menahan saya dan menegor saya dengan setengah marah: “apaan kamu ini, mau asisten, tapi nilainya cuma B”. Saya kaget dan apa yang salah dengan saya. Lantas saya balik bertanya dan berdalih: “syarat yang bapak buat kan perlunya hanya minimal B, apa Bapak keliru?”. Saya jelaskan kepada beliau, saya melamar dengan serius: ‘Jika Bapak ragu, saya bersedia dites sekarang Pak’. Lalu beliau tampaknya makin kesal dengan saya  sambil nyengir: “ya, udah. Pengumumannya minggu depan”. Setelah ‘nanya sana sini’ baru saya tahu bahwa asisten yang diterima selama ini hanya pelamar yang memiliki nilai A, tapi anehnya dari dulu-dulu syaratnya tetap minimal nilai B. Karena itu, saya menjadi tidak terlalu berharap untuk diterima menjadi asisten Ilmu Ekonomi setelah tahu tradisi tersebut. Beberapa hari kemudian, ketika saya sudah melupakannya, datang seorang teman menemui saya dan memberitahu bahwa  saya diterima menjadi asisten ilmu ekonomi “Ah, masa. Kau ini keliru, salah lihat kali”. Untuk memastikan, saya bergegas untuk melihatnya. Benar saya diterima menjadi asisten dan nama saya termasuk diantara 18 nama yang diumumkan. Saya tidak gembira. Saya ingat Pak Tjahjadi yang membuat saya setengah meradang waktu mendaftar, tapi juga saya ingat pesan Bang Hermanto yang pernah mendorong saya sebelumnya untuk menggantikannya menjadi asisten ilmu ekonomi di Imatapsel. Saya juga mulai sadar sisi lain dari Dr. Tjahjadi. Apakah orang seperti saya juga dia butuhkan, meski nilai bukunya hanya B tetapi, boleh jadi Pak Tjahjadi mengingat nama saya karena ‘Jika Bapak ragu, saya bersedia dites sekarang Pak’. Penilaian kuantitatif bergeser ke penilaian kualitatif. Singkat cerita saya putuskan untuk memulai karir menjadi asisten dosen: saya menghormati Bang Hermanto dan saya juga menghargai keputusan Dr. Tjahjadi. Hal yang membuat saya tersenyum sendiri, karena inilah saatnya sebagai asisten Ilmu Ekonomi di IPB yang berasal dari SMA di kota kecil di pedalaman Sumatra (Bang Hermanto sendiri sesungguhnya lahir dan besar serta alumni SMA di kota besar di Medan). Dengan menjadi asisten Ilmu Ekonomi ini justru terbuka mata  saya untuk memperpanjang daftar karir untuk menjadi asisten matakuliah lainnya. Tercatat selama mahasiswa di Program Studi Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, saya telah menjadi asisten untuk empat matakuliah berbeda. Selain Ilmu Ekonomi ini, juga menjadi asisten dosen untuk Ilmu Kependudukan, Ilmu Ekologi Manusia dan Antropologi Pertanian (kelas D3). Riwayat inilah yang saya begitu simpatik terhadap abang yang satu ini. Dia tidak hanya mampu memberi motivasi pada saat yang tepat, tetapi juga jeli menunjukkan arah yang benar kemana harus dituju. Awalnya, begitu sulit memahami konsep dan model ekonomi, tapi akhirnya lambat laun saya bisa juga memahmi sepenuhnya apa itu Ilmu Ekonomi. Sekalipun Hermanto Siregar—sadar atau tidak sadar—telah turut membelokkan cita-cita yang sebetulnya saya ingin jadi insinyur pertanian malah menjadi ekonom. Terus terang kini saya menikmatinya. Bang Hermanto adalah guru pertama saya, seorang guru yang bisa membuka jalan dan memotivasi. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar adalah guru besar Ilmu Ekoomi di IPB, pernah menjabat Wakil Rektor IPB periode 2010-2013 dan periode 2013-2017 (kini menjadi Rektor Perbanas).

Beberapa tahun terakhir ini secara tidak sengaja saya telah mendalami bidang keilmuan ilmu ekonomi yang tidak lazim, yakni sejarah ekonomi dan bisnis Indonesia (sejak era VOC). Saat-saat inilah saya menemukan begitu banyak sumber-sumber Belanda (buku dan surat kabar) yang terkait dengan Willem Iskander (kakek buyut Andi Hakim Nasution). Apakah pesan Pak Andi dulu kepada saya: ‘Akhir juga harus belajar sejarah’, telah saya tunaikan? Semoga.

Mengapa minat saya bergeser ke peminatan sejarah ekonomi dan bisnis sesungguhnya bagaikan ‘air mengalir sampai jauh’. Sudah jelas saya ingin insinyur pertanian. Namun selama di TPB IPB, ilmu ekonomi membuat saya tertantang meski awalnya sulit memahaminya.  Bersamaan dengan ini selama di TPB IPB terbentuk minat khusus: ilmu gizi masyarakat, ilmu statistika pertanian, dan ilmu ekonomi pertanian. Lalu IPB ‘menuntun’ saya ke pilihan tunggal yakni (jurusan Ilmu Ekonomi). Karena itu jadilah saya menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi di Fakultas Pertanian. Saat semester tiga di jurusan saya melamar menjadi asisten mata kuliah Ilmu Ekonomi untuk kelas TPB. Habis semester empat setiap mahasiswa harus menentukan satu dari tiga pilihan peminatan khusus (program studi), yakni:  Ekonomi Perusahaan (Agribisnis); Ekonomi Sumber Daya, dan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian yang disingkat PKP. Ada satu pertimbangan yang membuat saya memilih kekhususan tertentu. Selama tingkat dua saya telah belajar lebih jauh bidang ilmu ekonomi (dapat nilai A masing-masing untuk mata kuliah Ekonomi Mikro dan Ekonomi Makro), Akan tetapi ada hal lain yang saya rasakan untuk menjelaskan ilmu ekonomi yakni isu-isu kemasyarakatan. Itu jelas bersifat sosiologis. Oleh karena di TPB IPB sudah lulus Ilmu Sosiologi, maka ketika memilih peminatan khusus itu di juruan hanya diampu oleh PKP. Karena itulah saya pilih program studi PKP, meski kawan-kawan menganggap saya salah memilih program studi. Boleh jadi karena saya adalah asisten Ilmu Ekonomi di TPB dan memiliki nilai bagus pada dua mata kuliah inti ekonomi. Akan tetapi mereka tidak memahami apa yang telah saya pikirkan. Pada semester lima saya merasakan mata kuliah Ilmu Ekologi Manusia sesuatu yang menarik perhatian saya, karena itu saya mendalaminya. Ilmu Ekologi Manusia seakan memanggil kembali minat lama (sarjana pertanian). Ilmu Ekologi Manusia adalah ilmu yang menjelaskan ilmu alam (ekosistem) dengan ilmu sosial (lingkungan sosial). Ilmu sosial dalam hal ini membuat saya tertantang harus membuat saya belajar mandiri ilmu antropoligi, Hal ini karena tidak ada mata kuliah Ilmu Antropologi dalam daftar mata kuliah. Pada domain (baru) ini, Ilmu Ekonomi menjadi powerfull untuk ruang lingkup ekonomi Indonesia, yakni usaha-usaha kecil berbasis pertanian dan konsumen berbasis rumahtangga. Dalam fase inilah studi saya berakhir, yakni studi Ekonomi Mikro yang dikombinasikan dengan Sosiologi Mikro. Untuk sekadar catatan: Ilmu Antropologi itu sendiri adalah Ilmu Sosiologi Mikro. Dalam perjalanannya, meski di pasca sarjana saya kembali ke Ilmu Ekonomi, tetapi ilmu-ilmu sosial (Mikro Ekonomi dan Mikro Sosiologi) tetap melekat di hati. Pada umur sudah mulai matang, seperti sekarang ini, ilmu-ilmu yang saya nikmati dulu (ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu ekonomi) kembali bersemi. Lalu lahirlah minat baru yakni memahami Sejarah Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Suatu ruang lingkup yang kurang disentuh pada bidang ilmu ekonomi, juga menjadi bidang (khusus) yang agak terlantarkan dalam bidang ilmu sosiologis. Sementara dalam ilmu sejarah, hal yang bersifat ekonomi, kalau boleh dikatakan tidak ada yang berminat, adalah ruang pemahaman yang sangat jarang diminati. Padahal, ekonomi dan bisnis Indonesia membutuhkan pemahaman dari aspek sejarahnya. Sebab, ekonomi dan bisnis Indonesia, sejatinya masih bagian terbesar di dalam piramida ekonomi dan bisnis Indonesia. Sejarah ekonomi dan bisnis Indonesia yang khas akan membuat kita memutar jarum jam kembali ke masa lampau (bahkan sejak era VOC).        

Vergeet nooit geschiedenis.

Baca juga:
Sejarah Universitas Indonesia (4): Sejarah Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia; Sarjana Lulusan Pertama Drs. Sie Bing Tat


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

6 komentar: