Kamis, 12 April 2018

Sejarah Bogor (25): Sejarah Awal Sekolah Kedokteran Hewan Bogor; Dr. Sorip Tagor, Pribumi Pertama Bergelar Dokter Hewan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disin

VEEARTSEN SCHOOL. Sekolah kedokteran hewan bermula di Buitenzorg (baca: Bogor). Ini dipicu karena kurangnya dokter hewan lulusan Belanda yang bekerja di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia). Untuk membantu dokter-dokter Belanda diperlukan dokter-dokter pribumi dengan melatih sejumlah siswa dalam bentuk kursus (magang) tiga tahun. Dalam perkembangannya, untuk menghasilkan dokter hewan pribumi secara berkesinambungan lalu di Buitenzorg didirikan Sekolah Kedokteran Hewan (Inlandsche Veeartsen School). Tahun pertama perkuliahan sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg dibuka tahun 1907 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1928).

Nederlands-Indische veeartsenschool, Buitenzorg (1930)
Pada tahun 1907 Landbouwschool (Sekolah Pertanian) diberitakan meluluskan siswa diploma tiga tahun dan diploma dua tahun (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 03-06-1907). Dalam berita ini juga diberitakan siswa yang naik dari tahun pertama ke tahun kedua, diantaranya Raden Mas Ario Moebamad dan JA Kaligis. Sekolah pertanian (landbouwschool) ini didirikan tahun 1903 di Buitenzorg. Pada masa ini, bagi sivitas akdemika IPB Bogor, Landbouwschool dan Veeartsen School adalah dua sekolah yang menjadi cikal bakal Institut Pertanian Bogor (IPB). Foto Veeartsen School yang tampak disamping ini masik terlihat jelas pada masa ini sebagai gedung FKH-IPB di Taman Kencana Bogor.   

Pada tahun 1908 surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-09-1908 memberitakan Inlandsche Veeartsen School di Buitenzorg kenaikan kelas (promosi), siswa dari tahun pertama ke tahun kedua. Dari lima siswa dari tahun pertama ke tahun kedua lulus empat siswa yakni: Raden Notosoediro, Raden Mas Nataningrat, Sorip Tagor dan Raden Soetedja (Raden Moehamad Isak Winala Prawira dinyatakan tidak lulus). Juga dalam berita ini disebutkan dua siswa dari tahun kedua naik ke tahun ketiga (hanya dua siswa), yakni Raden Mas Ario Moebamad dan JA Kaligis.

Raden Mas Ario Moebamad dan JA Kaligis pada tahun 1907 Landbouwschool yang baru naik dari tahun pertama ke tahun kedua (tampaknya) ditransfer (langsung) ke tingkat dua Inlandsche Veeartsen School yang baru dibuka. Hanya mereka berdua yang ditransfer dari 13 siswa Landbouwschool yang naik dari tahun pertama ke tahun kedua. Ini mengindikasikan bahwa Raden Mas Ario Moebamad dan JA Kaligis memenuhi syarat untuk langsung ke tingkat dua Inlandsche Veeartsen School. Boleh jadi skema ini diterapkan Inlandsche Veeartsen School lebih cepat menghasilkan lulusan untuk memenuhi kebutuhan dokter hewan yang mendesak. Sejak itu, skema ini tidak pernah diterapkan dan skema yang ada bersifat normal (dimulai dari tahun pertama).

Landbouwschool semacam sekolah menengah pertama (SMP) pada masa ini. Siswa yang diterima di Landbouwschool adalah tamatan sekolah dasar (HIS). Landbouwschool memiliki dua program (level pendidikan). Program (diploma) dua tahun diduga setara MULO (setingkat SMP) dan program diploma tiga tahun setara HBS (setingkat SMA). Besar dugaan Raden Mas Ario Moebamad dan JA Kaligis mendapat akselerasi, ketika mereka naik ke kelas dua Landbouwschool (MULO) disetarakan (akselerasi) dengan tingkat dua Veeartsen School (HBS). Veeartsen School sendiri dianggap sebagai perguruan tinggi. Program Veeartsen School mengikuti dua tahap. Pada tahap pertama yakni dua tahun pertama sebagai kelas persiapan (setingkat SMA) dan dua tahun berikutnya kelas spesialis (setingkat akademi). 

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-09-1909: ‘Inlandsche Veeartsen School. Hasil ujian transisional dari tahun ke-3 hingga ke-4 studi adalah sebagai berikut: Lulus satu-satunya siswa: J. A. Kaligis. Idem dari 2 ke 3 tahun: Dari 4 siswa 2 siswa siswa lulus Notosoediro dan Raden Mas Nataningrat. Dua sisa siswa Sorip Tagor dan Raden Soetedja, karena sakit, ujian kepada mereka akan dilakukan setelah libur poeasa. Idem dari 1 ke tahun 2: Dari 4 siswa 3 siswa lulus, Raden Soedarmo, FK Waworoentoe dan Lowij. Lulusan pertama Inlandsche Veeartsen School tahun 1910. Pada bulan Oktober sebagaimana diberitakan surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 31-10-1910 JA Kaligis dinyatakan lulus ujian akhir. Tidak diketahui apakah Raden Mas Ario Moehamad lulus atau harus mengulang (tinggal kelas). Dengan demikian lulusan pertama diploma dokter hewan Inlandsche Veeartsen School adalah JA Kaligis.

Mahasiswa Veeartsen School Buitenzorg1907-1912
DOKTER HEWAN PERTAMA. Siswa-siswa yang memulai studi dari tingkat pertama saat dibukanya Veeartsen School tahun 1907 baru lulus tahun 1912. Sorip Tagor dinyatakan lulus (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-08-1912). Ini berarti Veeartsen School normalnya berjalan empat tahun. Sebelum lulus, Sorip Tagor diangkat sebagai asisten dosen (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-08-1912).

JA Kaligis kemudian ditugaskan sebagai dokter hewan di Residentie Pasoeroean (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-03-1911). JA Kaligis sebelumnya telah diangkat sebagai asisten pengajar di Veeartsen School (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 01-11-1910). Sorip Tagor menggantikan JA Kaligis sebagai asisten pengajar di Veeartsen School. JA Kaligis kemudian dipindahkan ke Manado (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-08-1912).
  
Pada tahun 1913, Sorip Tagor diangkat lagi sebagai asisten dosen di Sekolah Dokter Hewan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1913). Tidak berapa lama kemudian (akhir tahun 1913), Sorip Tagor berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar dokter hewan penuh (setara dokter hewan Belanda). Bulan Juni 1916, Sorip Tagor lulus ujian kandidat dokter hewan di Rijksveeartsenijschool, Utrecht (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916). Ini menandakan babak baru bagi pribumi untuk memulai studi kedokteran di negeri Belanda. Sorip Tagor menjadi pionir.

Sementara itu JA Kaligis terdeteksi di surat kabar sebagai kandidat anggota dewan kota (gemeenteeraad) Magelang bersama Raden Soetopo, guru sekolah pertanian (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-02-1919). Juga diberitakan JA Kaligis berangkat ke Institut Pasteur di Batavia dalam rangka menguji spesimen anjing yang diduga mengandung penyakit (lihat De Preanger-bode, 19-03-1919). JA Kaligis sebagai dokter hewan di Magelang diperbantukan untuk Residentie Soerabaja yang berkantor di Moedjokerto (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-09-1919).

Pada tahun 1917, Sorip Tagor mempelopori didirikannya Sumatranen Bond. Pada tanggal 1 Januari 1917, Sumatranen Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan tarap hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra (lihat De Sumatra post, 31-07-1919).

Di Batavia juga didirikan Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang berasal dari Sumatra. Sumatra Bond yang disebut Jong Sumatra didirikan pada tanggal 8 Desember 1917. Asosiasi pemuda ini lahir dari suatu pemikiran bahwa intesitas (pembangunan) hanya berada di Jawa dan di Sumatra dan pulau-pulau lainnya terabaikan. Dengan kata lain pemikirannya sama dengan Sumatranen Bond yang berada di Belanda. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini adalah Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918

Pendirian Sumatranen Bond (baik di Belanda dan di Batavia) adalah ekses dari semakin loyonya Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) akibat para anggota Perhimpoenan Hindia yang berasal dari Jawa condong melihat Boedi Oetomo daripada Perhimpoenan Hindia sendiri. Padahal Indische Vereeniging digagas oleh Soetan Casajangan di Leiden pada tanggal 25 Oktober 1908 sebagai respon balik terhadap semakin menguatnya sifat kedaerahan Boedi Oetomo jelang kongres pertama Boedi Oetomo di Djogjakarta pada tanggal 3 dan 4 Oktober 1908. Soetan Casajangan telah merasakan Boedi Oetomo (yang bersifat nasional) yang didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA, Soetomo dkk di Batavia pada tanggal 20 Mei 1908 telah terkooptasi oleh para orangtua (senior) dengan mengubah arah menjadi organisasi yang bersifat kedaerahan (hanya terbatas di Jawa, Madura, Bali dan Lombok: lihat statuta Boedi Oetomo yang ditetapkan pada kongres Djogjakarta, pen).

Tidak hanya itu, ‘anak-anak Sumatra’ di Belanda juga ‘semakin gerah’ melihat euforia Jong Java (yang terlah terbentuk sejak 1915). Jong Java adalah organ pemuda/pelajar dari Boedi Oetomo. Sementara Boedi Oetomo semakin didukung habis oleh pemerintah dan para pengurus Boedi Oetomo semakin tergantung pemerintah. Pemerintah dan Boedi Oetomo mulai lupa dan kurang sensitif melihat telah terjadi perbedaan yang mencolok antara hasil pembangunan di Jawa dan sekitar dengan hasil pembangunan di luar Jawa. Inilah esensi mengapa muncul organisasi pemuda/pelajar Sumatra Sepakat di Belanda yang dipelopori oleh Sorip Tagor dkk (yang kemudian diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra di STOVIA Batavia).

Sorip Tagor pada bulan Desember 1920 lulus ujian akhir (2de helft) di Rijksveeartsenijschool, Utrecht. Sorip Tagor diwisuda dan mendapat gelar dokter hewan (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-01-1921). Secara kronologis studi Sorip Tagor sebagai berikut: Sorip Tagor terdaftar sebagai mahasiswa Rijksveeartsenijschool pada akhir tahun 1913 lalu mengikuti program matrikulasi (penyetaraan). Pada tahun 1915 kuliah tingkat satu (lulus ujian); tahun 1916 kuliah tingkat dua (lulus ujian kandidat dokter hewan); tahun 1917 kuliah tingkat tiga (lulus ujian); tahun 1918 kuliah tingkat empat (lulus ujian propa. dan melakukan riset); pada bulan Juni 1920 lulus ujian pertama atau ist helft. Terakhir pada bulan Desember 1920 lulus ujian 2de helft (eindexamen). Dr. Sorip Tagor meski aktif berorganisasi dan mempelopori gerakan politik mahasiswa di lingkungan organisasi mahasiwa Perhimpoenan Hindia, namun kelancaran studinya tetap berjalan normal. Seperti pernah dikatakannya bahwa 'studi dan politik sama pentingnya'. Setelah mendapat gelar dokter hewan, Sorip Tagor pulang ke tanah air. Di Batavia, Gubernur Jenderal menunjuk Sorip Tagor untuk menjadi dokter hewan di lingkungan istana. Penunjukan dan pengangkatan ini secara resmi berdasarkan surat keputusan menteri koloni no 89 tanggal 26 Mei 1921 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-09-1921).

Setelah lama nama JA Kaligis terdeteksi, muncul namanya dalam manifest kapal Grotius yang akan berangkat tanggal 31 Januari dari Batavia menuju Amsterdam (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Ada apa JA Kaligis ke Belanda? Surat kabar Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 14-10-1920 memberitakan bahwa JA Kaligis salah satu dari mahasiswa yang lulus ujian bagian pertama di Utrecht. JA Kaligis menyelesaikan sebagian yang lain (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-01-1921).

Sejak Sorip Tagor memulai studi di Utrecht, Belanda tahun 1913 hingga lulus dan mendapat gelar dokter hewan berlisensi Eropa tahun 1920, belum ada pribumi yang mengikuti langkah Sorip Tagor. JA Kaligis sebagai pribumi kedua studi kedokteran hewan di Utrecht datang saat Sorip Tagor sudah hampir selesai studi. Sorip Tagor adalah dokter hewan pertama Indonesia dan pelopor pendidikan kedokteran hewan di Indonesia.
  
Een eeuw veeartsenijkundig onderwijs, 1821-1921
Berdasarkan buku Satu Abad Sekolah Kedokteran Hewan Belanda (Een eeuw veeartsenijkundig onderwijs, 1821-1921) dari dua puluh yang lahir di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) hanya satu pribumi yang mendapat gelar dokter hewan din Utrecht yakni Sorip Tagor (selebihnya hanya orang-orang Indo keturunan  Belanda kelahiran Hindia Belanda). Ini memastikan bahwa Sorip Tagor adalah pribumi pertama bergelar dokter hewan alumni negeri Belanda. Dalam buku Satu Abad ini Sorip Tagor disebutkan angkatan 1913-1914 (sebanyak 40 mahasiswa). Nama-nama pribumi lainnya adalah JA Kaligis dan Soetisno, angkatan 1919-1920 (mahasiswa aktif dari 32 mahasiswa); Sedangkan angkatan 1920-1921, terdapat 28 mahasiswa, tiga diantaranya pribumi yakni Raden Soeratmo, JH Soesman dan FK Waworuntu. Dengan demikian hingga tahun 1921 sudah terdapat pribumi di Veeartsenijkundige Hoogeschool, Utrecht sebanyak enam orang: baru satu orang lulus, Sorip Tagor.

DOKTER ASAL PADANG SIDEMPOEAN. Sorip Tagor lahir di desa Huta Imbaru, Padang Sidempuan, 21 Mei 1888. Anak dari pasangan Radja Tagor Harahap dan Dorima Siregar ini memulai pendidikan dasar berbahasa Belanda (ELS) di Padang Sidempuan. Setelah lulus melanjutkan ke HBS di Batavia. Selanjutnya masuk Sekolah Dokter Hewan (Inlandschen Veeartsen School) di Bogor 1907. Sorip Tagor Harahap kelak dikenal sebagai ompung (kakek) dari Risty/Inez Tagor (artis) dan Destri (istri Setya Novanto, Ketua DPR). Bagi warga Bogor pada masa lalu sangat mengenal Radio Kauman Bogor yang beralamat di Gunung Batu, Ciomas Bogor. Radio ini adalah milik dari Haji Agus Tagor Harahap (anak dari Dr. Sorip Tagor).

Lulusan Veeartsenijkundige Hoogeschool, Utrecht yang berasal dari Indonesia tidak banyak. Selain Sorip Tagor dan JA Kaligis juga ditemukan nama Tarip. Memulai studi di Veeartsen School, Buitenzorg tahun 1910. Lulus tahun 1914. Di sela-sela tugasnya memberi layanan pemerintah, Dr. Tarip Siregar melakukan penelitian dan hasilnya dipublikasikan. Hasil penemuannya adalah metode membasmi cacing pita pada kerbau. Setelah beberapa kali pindah tempat bertugas, pada tahun 1922 Dr. Tarip dipindahkan dari Medan ke Padang Sidempuan untuk membantu LVM Lobel (De Sumatra post, 28-08-1922). Kontribusinya dalam dunia riset telah mengundang perhatian pemerintah. Setelah bekerja beberapa tahun praktek, pemerintah mengapresiasi kinerja Dr. Tarip dan memberikannya beasiswa untuk studi lebih lanjut ke Belanda. Setelah bekerja beberapa tahun praktek, pemerintah mengapresiasi kinerja Dr. Tarip dan memberikannya beasiswa untuk studi lebih lanjut ke Belanda. Dr. Tarip berangkat ke Belanda tahun 1927. Tarip lulus ujian akhir dokter hewan tahun 1930 di Veeartsenij Hoogeschool di Utrecht, Belanda (De Sumatra post, 07-10-1930). Setelah lulus tahun 1932, Dr. Tarip kembali ke tanah air dan atas permintaannya sendiri untuk ditempatkan di tanah kelahirannya di Padang Sidempuan (Residentie Tapanoeli). Dr. Tarip sangat terkenal di Tarutung. Demikian juga di Nias. Dr. Tarip telah melakukan penelitian dan telah menyelamatkan populasi babi di Nias dari penyakit. Ternak babi tersebut telah dijamin oleh Dr. Tarip dan dipasarkan ke Medan dan sebagian ke Singapoera. Tarip lahir di Sipirok dan memulai pendidikan dasar di sekolah pribumi (Inlandsche school) 2de klasse di Sipirok. Tarip belajar secara tutorial (les) bahasa Belanda. Pada tahun 1903 Tarip lulus ujian masuk untuk sekolah guru pribumi (kweekschool voor Inlandsche onderwijzers). di Fort de Kock. Setelah lulus Tarip diangkat sebagai guru sekolah negeri di Sibolga. Profesi guru ini hanya dijalaninya hingga tahun 1909. Pada tahun 1910 Tarip melanjutkan studi untuk sekolah kedokteran hewan (Veeartsenschool) di Buitenzorg (lihat De Indische courant, 24-08-1936).

Sorip Tagor
Dokter-dokter hewan asal Padang Sidempoean (Residentie Tapanoeli) di era permulaan sangat banyak dan terkenal. Tidak hanya Dr. Sorip Tagor dan Dr. Tarip Siregar (lulus 1914), juga Dr. Alimoesa Harahap (lulus 1914). Alimoesa Harahap adalah anggota dewan kota (gemeenteraad) Pematang Siantara. Selain itu terdapat nama Dr. Anwar Nasution (lulus 1930). Dr. Anwar Nasution kelak dikenal sebagai ayah dari Prof. Dr. Ir, Andi Hakim Nasution (Rektor IPB dua periode: 1978-1987). Foto Sorip Tagor (https://margaharahap.org)
.
Dalam peringatan ‘Seabad Dokter Hewan Indonesia’ (lihat Kompas.com 07/01/2010) tidak satupun disebut nama dokter hewan yang beerasal dari Padang Sidempuan, bahkan nama Dr. Sorip Tagor Harahap, Dr. Tarip Siregar dan Dr. Anwar Nasution pun tak digubris. Padahal, Dr. Sorip Tagor adalah pelopor kedokteran hewan di Indonesia dan Dr. Tarip Siregar adalah peneliti terbaik di bidang kedokteran hewan di Indonesia. Jasmerah: Sudah waktunya sejarah kedokteran hewan di Indonesia direvisi. Jangan lupa, bahwa sebelum kursus kedokteran hewan dibuka di Buitenzorg tahun 1907 sudah pernah diadakan kursus dan program khusus (program magang) kedokteran hewan. Salah satu alumni kursus/program kedokteran hewan tersebut adalah Radja Proehoeman yang terdeteksi namanya sebagai dokter hewan tahun 1886. Setelah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, pada tahun 1907 dokter hewan Radja Proehoeman ditempatkan di Padang Sidempoean (Bataviaasch nieuwsblad, 07-03-1907). Radja Proehoeman kelahiran Pakantan (Afdeeling Mandailing dan Angkola/Afdeeling Padang Sidempoean) adalah ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, dokter begelar doktor (Ph.D) gernerasi pertama. Sjoeib Proehoeman diterima di sekolah kedokteran STOVIA tahun 1909 dan lulus tahuh 1917. Dr. Sjoeib Proehoeman awalnya ditempatkan di Batavia dan kemudian pada tahun 1919 Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean (De Sumatra post, 26-06-1919). Tidak lama kemudian Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Panjaboengan (Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1919). Selanjutnya Sjoeib Proehoeman diberi kesempatan untuk melanjutkan studi kedokteran ke Belanda (Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1926). Sjoeib Prohoeman lulus mendapat gelar dokter (Dr) tahun 1926. Dr. Sjoeib Proehoeman tidak langsung pulang tetapi langsung melanjutkan ke tingkat doktoral. Dr. Sjoeib Proehoeman berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam dengan desertasi berjudul ‘Studies over de epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan verwante organismen’ (lihat Nieuwsblad van het Noorden, 20-11-1930). Seperti halnya nama Tagor, nama Proehoeman juga menjadi nama generik untuk keluarga keturunan Radja Proehoeman, dokter hewan Indonesia generasi pertama.

Kursus kedokteran hewan di Buitenzorg pada tahun 1907 kemudian diubah statusnya menjadi sekolah Veesrtsen School yang diresmikan pada tahun 1910. Hal ini juga terjadi pada sekolah Landbouwschool ditingkatkan dan namanya diubah menjadi Middelbare Landbouwschool yang diresmikan tahun 1914. JA Kaligis yang terdaftar sebagai peserta kursus tahun 1907 terbilang sebagai lulusan pertama Veeartsen School tahun 1910.  Hal ini juga terjadi pada Abdoel Azi Nasution gelar Soetan Kenaikan yang terdapat sebagai siswa Landbouwschool tahun 1911 terbilang sebagai lulusan pertama Middelbare Landbouwschool tahun 1914. Salah satu adik kelas Soetan Kenaikan adalah Djohan Nasution yang masuk tahun 1919. Setelah lulus Dohan Nasution diangkat sebagai de adjunct landbouwconsulent dan ditempatkan di ressort Oostkust van Sumatra. Setelah beberapa kali pindah Djohan Nasution dipindahkan ke Padang Sidempoean tahun 1930. Djohan Nasution adalah ayah Prof. Dr. Ir. Lutfi Ibrahim Nasution (Ketua Jurusan Ilmu-Ilmu Tanah dan Direktur Lembaga Penelitian IPN dan juga pernah menjabat sebagai Kepala BPN RI pada periode 2001–2005).

Dengan demikian, dokter hewan pertama Indonesia bukan Radja Proehoeman maupun JA Kaligis. Radja Proehoeman hanyalah diploma sekolah kedokteran hewan (setara SMP); JA Kaligis hanyalah diploma sekolah kedokteran hewan (setara SMA). Namun yang jelas, dokter hewan pertama Indoesia yang benar-benar sarjana adalah Dr. Sorip Tagor (setara Universitas) dari Rijksveeartsenij Hoogeschool te Utrecht. Demikian juga insinyur pertanian pertama bukan Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan yang hanya diploma sekolah pertanian (setara SMA). Namun yang jelas insinyur pertanian pertama Indonesia yang benar-benar sarjana adalah Ir. Zainoedin Rasad (setara Universitas). Zainoedin Rasad diterima di Landbouwhoogeschool te Wageningen 1912. Setelah tujuh tahun, seperti halnya Dr. Sorip Tagor, akhirnya Zainoedin Rasad berhasil menjadi insinyur pertanian di Wageningen (lihat Algemeen Handelsblad, 29-09-1919). Di Indonesia, pada tahun 1947 Veeartsen Hoogeschool dan Landbouw Hoogeschool yang menjadi dua fakultas di Universiteit van Indonesie kemudian menjadi Insitut Pertanian Bogor pada tahun 1963.

Dr. Sorip Tagor dalam perebutan kursi anggota Volksraad tahun 1926 menjadi salah satu kandidat, Hanya satu kursi dari dapil Noord Sumatra (Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh). Terdapat empat kandidat dari Tapanoeli yakni Dr. Alimoesa Harahap (domisili Pematang Siantar), Dr. Sorip Tagor (Bandoeng), Soetan Kenaikan (Fort de Kock) dan Mr. Radja Enda Boemi, Ph.D (Buitenzorg).

Hasilnya, terpilih Mr. Alimoesa Harahap, dokter hewan di Pematang Siantar dari dapil Noord Sumatra. Total anggota Volksraads dari pribumi sebanyak 17 orang, Sebelas orang dari Djawa dan enam orang dari luar Djawa yang terdiri dari: dua dari Celebes, satu orang Sumatra’s Westkust dan masing-masing satu orang dari Bali, Noord Sumatra serta Oostkust Sumatra. Untuk wakil dari Oostkust Sumatra terpilih Mr. Alinoedin Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon (De Indische courant, 28-01-1927). Anggota Volksraad menerima gaji 1500 per bulan diluar perumahan dan transportasi (De Sumatra post, 18-03-1927). Anggota Volksraad adalah pribumi penerima gaji terbesar saat itu. Dr. Sorip Tagor terus berkarir sebagai dokter hewan di berbagai tempat. Setelah di Batavia, Dr. Sorip Tagor ditempatkan di Pekalongan dan pada tahun 1925 tugas ini juga diperbantukan ke Tegal. Pada tahun 1927 Dr. Sorip Tagor ditempatkan sebagai Kepala Dinas Sipil Veeartsenjjkundigen di Weltevreden (kini Gambir. Pada tahun 1928 Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Sibolga (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-01-1928). Setelah beberapa tahun di Tapanoeli, Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Muaraboengo, Djambi dan pada tahun 1937 Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Djawa dan menjadi kepala dinas di Provinsi Djawa Barat yang berkedudukan di Bandoeng (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-05-1937). Pada tahun 1928 Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Sibolga (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-01-1928). Setelah beberapa tahun di Tapanoeli, Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Muaraboengo, Djambi dan pada tahun 1937 Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Djawa dan menjadi kepala dinas di Provinsi Djawa Barat yang berkedudukan di Bandoeng (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-05-1937). Selanjutnya pada tahun 1941, dokter kelas satu (pangkat tertinggi pegawai pemerintah) Dr. Sorip Tagor dipindahkan dari Bandoeng ke Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1941). Ketika terjadi pendudukan Jepang, Dr. Sorip Tagor tercatat satu dari empat dokter hewan yang berada di Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 19-02-1942). Dr. Sorip Tagor  membuka praktek di Sawah Besar Batavia/Djakarta (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-10-1948). Pada saat pengakuan kedaulatan Indonesia, Dr. Sorip Tagor diangkat pemerintah RI sebagai kepala di Dinas Kesehatan Hewan di Djakarta (De nieuwsgier, 26-11-1951).

Abdul Azis Nasution gelar Sutan Kenaikan adalah alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool) lulus pada tahun 1914. Sekolah pertanian ini sebelumnya bernama Landbouwschool (didirikan tahun 1903) yang mana pernah diikuti oleh JA Kaligis sebelum pindah ke Veeartsen School). Pada tahun 1913 Landbouwschool diubah statusnya menjadi Middelbare Landbouwschool (sebagaimana nanti tahun 1930 status Veeartsen School diubah menjadi Nederlandsch Indie Veeartsen School). Jika JA Kaligis adalah alumni pertama Veeartsenschool, maka Sutan Kenaikan adalah alumni pertama Middelbare Landbouwschool. Sutan Kenaikan adalah pendiri sekolah pertanian swasta pertama (1928). Sementara itu Mangaradja Soeangkoepon adalah pribumi pertama sekolah hukum ke negeri Belanda (1910). Sedangkan Radja Enda Boemi adalah pribumi ketiga bergelar Doktor (Ph.D) di bidang hukum. Radja Enda Boemi meraih gelar Ph.D di Universiteit Leiden tahun 1925 dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Sejak tahun 1926 Mr. Radja Enda Boemi adalah Kepala Pengadilan (Landraad) di Buitenzorg.

Hingga tahun 1933 jumlah orang Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph.D) baru sebanyak 26 orang dan hanya satu orang perempuan yakni Ida Loemongga. Orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) adalah Husein Djajadiningrat pada tahun 1913. Daftar orang Indonesia peraih gelar doktor (Ph.D) selanjutnya adalah sebagai berikut: (2) Dr. Sarwono (medis, 1919); (3) Mr. Gondokoesoemo (hukum 1922)l (4) RM Koesoema Atmadja (hukum 1922); (5) Dr. Sardjito (medis, 1923); (5) Dr. Mohamad Sjaaf (medis, 1923); (7) R Soegondo (hukum 1923); (8) JA Latumeten (medis, 1924); (9) Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (hukum, 1925); (10) R. Soesilo (medis, 1925); (11) HJD Apituley (medis, 1925); (12) Soebroto (hukum, 1925); (13) Samsi Sastrawidagda (ekonomi, 1925); (14) Poerbataraka (sastra, 1926); (15) Achmad Mochtar (medis, 1927); (16) Soepomo (hukum, 1927); (17) AB Andu (medis, 1928); (18) T Mansoer (medis, 1928); (19) RM Saleh Mangoendihardjo (medis, 1928); (20) MH Soeleiman (medis, 1929); (21) M. Antariksa (medis, 1930); (22) sSjoeib Proehoeman (medis, 1930); (23) Aminoedin Pohan (medis, 1931); (24) Seno Sastroamidjojo (medis, 1930); (25) Ida Loemongga Nasution (medis, 1931); (26) Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sastra dan filsafat, 1933). Catatan: cetak tebal adalah doktor-doktor asal Afdeeling Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli.

HJ Smit Tokoh Reformasi Sekolah Kedokteran Hewan. Tokoh terpenting di belakang Veeartsen Schoool te Buitenzorg adalah HJ Smit. HJ Smit adalah seorang Indo kelahiran Batavia. Lulus kandidat dokter hewan di Veertsen School di Untrech pada tahun 1904 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 01-08-1904). HJ Smit melanjutkan studi ke tingkat doktoral dan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1908. Berdasarkan resolusi Menteri Koloni JAR Avis dan JH Smit diangkat sebagai dokter hewan untuk GG van Nederlandsch Indie (Arnhemsche courant, 15-08-1908). Dr. HJ Smit kemudian ditetapkan sebagai kepala laboratorium kesehatan hewan Departmen van Landbouw di Buitenzorg (Haagsche courant, 17-12-1908).

Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886
Pelatihan dokter hewan pribumi (magang) sudah pernah dilakukan jauh sebelum Veeartsen School di Buitenzorg didirikan. Salah satu dokter hewan pribumi yang teridentifikasi adalah Si Badorang gelar Radja Proehoeman asal Pakantan, Mandailing. Radja Proehoeman berdinas di Kinali (kini di Pasaman Barat) tahun 1886 (Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886). Tahun 1897 Radja Proehoeman berdinas di Paijacoemboeh (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-08-1897). Dokter hewan Radja Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean tahun 1906 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-09-1906). Besar dugaan dokter hewan Radja Proehoeman yang merekomendasikan Sorip Tagor dari Padang Sidempoean untuk melanjutkan studi kedokteran hewan ke Buitenzorg. Radja Proehoeman adalah ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. Sorip Tagor diterima di Veeartsen School Buietenzorg tahun 1907; Sjoeib Prohoeman diterima di sekolah kedokteran STOVIA di Batavia tahun 1909 (lulus 1917, tahun 1926 melanjutkan studi ke Belanda dan meraih Ph.D tahun 1930).

Ketika Dr. HJ Smit ditempatkan di Buitenzorg, Sorip Tagor baru tingkat dua di Veeartsen School te Buitenzorg. Dr. HJ Smit juga adalah chef van het Herbarium te Buitenzorg (lihat De Sumatra post, 21-03-1910). Disebutkan Dr. Hendrik Johannes Smit, Kepala Herbarium di Buitenzorg telah diberi gelar doktor honoris causa dalam bidang Matematika dan Ilmu Alam (Wis- en Natuurkunde). Dr. HJ Smit kemudian diangkat sebagai dosen di Inl. Veeartsen School te Buitenzorg dengan tetap merangkap jabatan di laboratorium (Algemeen Handelsblad, 29-01-1911). Sorip Tagor diangkat sebagai asisten dosen di Inl. Veeartsen School (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-08-1912). Pada saat inilah Sorip Tagor sebagai asisten dari Dr. HJ Smit. Boleh jadi Dr. HJ Smit yang masih muda mendorong Sorip Tagor agar segera melanjutkan studi kedokteran ke Utrecht, tempat dimana HJ Smit pada tahun 1908 mendapat gelar doktor di bidang kedokteran hewan.  Pada akhir tahun 1913 Sorip Tagor berangkat studi ke Belanda.

Dalam perkembangannya pada tahun 1916 Dr. HJ Smit dosen Veeartsen School terpilih sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Buitenzorg (Bataviaasch nieuwsblad, 18-08-1916). Pada tahun ini, Sorip Tagor di Utrecht lulus kandidat dokter hewan (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916). Setelah delapan tahun berdinas, Dr. HJ diberi cuti 10 bulan untuk ke Belanda (De Telegraaf, 07-04-1917). Kesempatan ini tentu Dr. HJ Smit akan mengunjungi juniornya yang boleh jadi sudah menjadi sahabatnya, Sorip Tagor  di Utrecht.

Sorip Tagor di Belanda telah berubah menjadi tokoh sentral di Perhimpoenan Hindia. Sorip Tagor tidak hanya mempelopori Sumatranen Bond (1917) tetapi juga tokoh kritis di dalam Perhimpoenan Hindia. Boleh jadi dalam pertemuan antara Dr. HJ Smit dan mahasiswa Sorip Tagor berdiskusi intens tentang upaya peningkatan pembangunan di Hindia khususnya peningkatan mutu pendidikan terutama pendidikan tinggi. Dr. HJ Smit yang seorang Indo juga aadalah anggota dewan kota di Buitenzorg. HJ Smit dan Sorip Tagor telah terjun ke dunia politik.

Sepulang dari Belanda, HJ Smit di majalah kedokteran hewan Nederlandsch Indische Bladen voor Diergeneeskundige en Dierenthelt Deel XXX sebanyak empat halaman tentang reformasi pendidikan di sekolahnya sangat mendesak (Bataviaasch nieuwsblad, 13-11-1918). Disebutkan pejuang yang tidak kenal lelah untuk perbaikan dokter hewan di Hindia, Dr. H.J. Smit, seorang guru di NIVS telah menulis bagaimana cara mereformasi Veeeartsen School di Buitenzorg. Penulis menunjukkan bahwa reformasi pendidikan di sekolahnya sangat dibutuhkan. Dosen harus diperbanyak dan diperluas. Dengan 35 matakuliah  hanya terdiri dari tiga dosen tetap dan tiga dosen tidak tetap termasuk untuk menangani laboratoeium kesehatan hewan di Buitenzorg. Jika begini kondisinya, pengetahuan mahasiswa tidak akan pernah berkembang, sementara untuk sekolah semacam ini di Belanda dibimbing oleh 11 dosen tetap dan 16 orang asisten. Ini tidak sejalan dengan perbaikan yang sudah dimulai pemerintah untuk meningkatkan mutu sekolah MULO. Ini harus dimulai sekarang, yang mana kondisi yang sekarang terlalu rendah secara rata-rata. Harapan penulis juga berlaku di Middelbare Lambouwschoool. Juga penulis mengusulkan untuk memperpanjang masa studi menjadi enam tahun, Pada waktunya nanti persyarata masuk ijazah AMS. Hanya dengan demikian dapat pelatihan teori dan praktik selama 5 tahun bersama-sama memberikan hasil yang baik. Penulis juga perlu meninjau kembali sistem penggajian. Siapa yang ada di Voiksraad, siapa yang ingin mencatat subjek penting ini?. Demikian HJ Smit dalam tulisannya yang mengkritisi pemerintah dan menantang Volksraad.

Dr. HJ Smit diangkat sebagai Direktur Veeartsen School (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-08-1919). Disebutkan diangkat sebagai hubungan antara Direktur Nederlandsch Indische Veeartsen School. Dr. HJ Smit, sekarang seorang guru, juga seorang direktur sekolah. Dalam majalah kedokteran hewan Nederlandsch Indische Bladen voor Diergeneeskundige en Dierenthelt Deel XXXII (1920) Dr, HJ Smit tercatat sebagai ketua redaksi. Majalah ini adalah satu-satu majalah para dokter hewab di Hindia Belanda (Nederlandsch Indie). Dalam daftar keanggotaan jumlah dokter hewan di Hindia Belanda sebanyak 73 orang yang mana terdapat 18 yang bergelar doktor (Ph.D) termasuk Dr. HJ Smit, Ph.D. Dalam daftar ini juga terlihat hanya empat orang yang berposisi sebagai dosen di NI Verartsen School te Buitenzorg. Dr, HJ Smit masih tercatat sebagai direktur Veeartsen School hingga tahun 1924 (lihat De Indische courant, 11-01-1924). Pada tanggal 30 Juni 1928 sekolah kedokteran yang baru Nederlandsch Indische Veeartsen School (NIVS) dibuka secara resmi di Buitenzorg (De Indische courant, 02-07-1928). Disebutkan sebagai pembicara pertama Dr, HJ Smit, yang bertindak sebagai direktur sekolah yang baru dan memberikan sejarah singkat pendidikan kedokteran hewan di Hindia Belanda (yang diringkas sebagai berikut): ‘mulai dari dua dokter hewan pertama (lulusan Belanda) di Hindia tahun 1851 dan menjadi 10 orang di tahun 1853 (menjadi 73 pada tahun 1920,pen); pribumi pertama kali dilatih mulai tanggal 6 Agustus 1860 sebagai pilot dan hanya lima pribumi yang sesuai (semua dari keluarga biasa, tidak dari aristokrasi dan juga tidak ada anak-anak kepala). Sekolah sangat sederhana dimana manajemen dan pendidikan dipercayakan kepada dokter hewan pemerintah di Soerabaja, Van der Weyde; dalam sembilan tahun sekolah itu hanya menghasilkan dokter hewan pribumi sebanyak delapan orang dan kemudian ditutup tahun 1875. Pada tahun 1880 dirancang kembali program untuk melatih dokter hewan pribumi dari sebanyak sembilan orang pribumi yang ujiannya dilakukan di Poerwakarta hanya menghasilkan delapan dokter hewan pribumi; selanjutnya baru kemudian ditetapkan  pendirian sekolah berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 24 Januari 1907 atas usul Direktur Pertanian, Prof. Melchior Treub. Rancangannya dilakukan dokter hewan [JKF de] Does di Laboratorium Buitenzorg yang dikaitkan dengan permulaan sekolah dengan kursus empat tahun; sekolah dimulai dengan dua murid, keduanya dari Sekolah Pertanian, dimana mereka memiliki ijazah akhir, dan atas dasar itu mereka diterima segera di tahun ketiga Veeartsenijschool; dua sekolah ini dibawah mantan kepala museum zoologi, Dr. Koningsberger; enam bulan kemudian (1908) datang Dr, de Blieck (sebagai kepala laboratorium kesehatan hewan); pada tahun 1909 ditugaskan merangkap lab dan sekolah dan pada tahun 1911 diangkat sebagai direktur sekolah (dengan tetap bekerja di lab); sekolah ini selalu dihubungkan dengan de Blieck dan Treub sebagai pendiri; nama sekolah sebagai Inlandsch Veerartsenschool baru diberikan 1910; dan seterusnya...’.

Pada tahun 1929 karena sudah berdinas selama tujuh tahun Dr. HJ Smit diberi cuti ke Eropa selama sembilan bulan (Haagsche courant, 18-02-1929). Untuk posisi direktur  sekolah adalah Dr. C. Bubberman, dosen di sekolah itu (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-03-1930). Setelah pulang dari Eropa, Dr. HJ Smit diangkat (kembali) sebagai direktur Ned. Ind, Veeartsen School te Buitenzorg (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 16-06-1930). Dr, HJ Smit diberhentikan secara hormat (pensiun) sebagai direktur Nederlandsch Indische Vetartsen School terhitung 18 Desember dengan ucapan terima kasih atas jasa yang diberikan kepada negara (De Sumatra post, 01-12-1932). Tampaknya setelah pensiun, HJ Smit masih terdeteksi di Buitenzorg (Bataviaasch nieuwsblad, 13-05-1935) maupun di Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 23-11-1935). Setelah beberapa tahun kemudian diberitakan Dr. HJ Smit diangkat sebagai directeur van het Bureau voor 's Rijks Geschiedkundige Publicatiën, te 's-Gravenhage (Nederlandsche staatscourant, 09-03-1949).

Pada era Sorip Tagor, Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging) memulai ‘memanaskan mesin’ rezim politik. Selama ini Perhimpunan Hindia masih sebatas memperjuangkan isu-isu pembangunan khususnya pendidikan, pertanian dan ekonomi. Organisasi ini semakin loyo sejak Soetan Casajangan pulang ke tanah air tahun 1913. Pendirian Sumatranen Bond di Belanda oleh Sorip Tagor 1917 menjadi jalan keluar dalam menghadapi persoalan kebangsaan di Perhimpoenan Indonesia.

Lalu pada tahun 1919 Dahlan Abdoellah, sekretaris Sumatranen Bond menjadi ketua Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) yang menjadi awal perubahan haluan di Perhimpoenan Hindia dari incremental ke arah yang lebih radikal. Sorip Tagor di dalam majalah Hindia Poetra, organ Perhimpoenan Hindia pada edisi Januari 1919 menulis artikel yang pada intinya mengatakan bahwa 'studi dan kegiatan politik sejalan dalam organisasi'. Sorip Tagor  kata-kata pedas mengatakan 'jika Perhimpoenan Hindia menghindari politik, organisasi tidak akan mencapai apapun dalam bentuk manfaat bagi penduduk Indonesia, baik hari ini maupun masa datang'. Sorip Tagor juga dalam tulisan mempersalahkan sejumlah mahasiswa asal Jawa dari keluarga ningrat yang tak punya perhatian terhadap situasi umum di Hindia dan keadaan kehidupan wong cilik (lihat Harry A. Poeze  et al: ‘Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950).

ALUMNI KWEEKSCHOOL PADANG SIDEMPOEAN. Dalam Kongres Gabungan (Indonesisch Verbond) yang diadakan di Belanda, Sorip Tagor dan kawan-kawan berpartisipasi (Algemeen Handelsblad, 02-02-1919). Kongres Indonesia ini adalah gabungan organisasi-organisasi mahasiswa orang Belanda (terutama Indo), Tionghoa dan pribumi (Perhimpoenan Indonesia), Ketua komite kongres ini adalah HJ van Mook (kelak sebagai Letnan General NICA). Yang cukup mengemuka dalam kongres ini adalah bahwa Batavia harus membuka jalan bagi Leiden, Wageningen dan Utrecht dan lainnya di Indonesian. Hanya pendidikan tinggi yang dapat mengisi kekosongan yang ada di Hindia. Dan para guru pertama-tama harus datang dari Belanda, untuk secara bertahap dilengkapi oleh guru-guru pribumi. Sekolah kedokteran hewan dan perguruan tinggi pertanian yang pada saat ini sebagai pelatihan harus diubah menjadi hoogesehool. Tan Ping Se mengatakan bahwa universitas bukan hadiah, tetapi kemerdekaan Indonesia. Kami ingin melepaskan diri, tidak hanya di pendidikan tetapi juga di area ekonomi (tepuk tangan). Namun demikian diantara yang hadir dalam forum ada juga yang menentangnya (tidak ingin Hindia mandiri, tetapi selalu tergantung Negeri Belanda).

Jika melihat tulisan Dr. HJ Smit (1918) tentang reformasi pendidikan di Veeartsen School, tampaknya sejalan dengan hal yang mengemuka di dalam Kongres (gabungan mahasiswa) Indonesia tahun 1919. Sorip Tagor dan kawan-kawan dari Perhimpoenan Indonesia di kongres tersebut tampak bertarung habis-habisan untuk kepentingan Indonesia. HJ Smit dan Sorip Tagor jelas barada dalam satu barisan kaum reformis pendidikan di Hindia.

Mangapa Sorip Tagor berapi-api soal nasionalisme? Jawabnya adalah karena Sorip Tagor dan Soetan Casajangan sama-sama memiliki satu pemikiran. Boleh jadi, Sorip Tagor telah banyak mendapat masukan dari Soetan Casajangan. Sejak awal, Soetan Casajangan adalah actor pertama pergerakan di Belanda yang kerap memberikan kritik dan solusi kehidupan di Hindia di berbagai forum yang dihadiri oleh kalangan cendekiawan di Belanda.

Soetan Casajangan, sebelum pulang ke tanah air, pada tahun 1913 menerbitkan buku yang dicetak di Barns oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij. Inilah cara Soetan Casajangan agar orang di Eropa dapat melihat apa yang terjadi di Hindia. Buku itu berjudul: 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi). Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) yang mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (nusantara) dan khususnya pembangunan pertanian di Indonesia. Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi merasakan adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan munculnya berbagai sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh Soetan Casajangan) dan Boedi Oetomo (digagas oleh Soetomo). Buku ini sangat mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Buku ini adalah buku pertama orang pribumi yang diterbitkan pertama kali dan diedarkan di Eropa.

Saat buku ini diberitakan di surat kabar, Dr. Soetomo baru pulang dari tugas di Deli (1911-1914) berpidato di rapat umum yang dilaksanakan di Boedi Oetomo cabang Batavia. Dr. Soetomo mengatakan kontrak kuli (asal Jawa) di Deli tidak adil dan sangat menderita. Dr. Sotomo lebih lanjut mengatakan 'kita tidak bisa (lagi) berjuang sendiri (melihat situasi di Deli). Kita harus berjuang bersama. Orang luar Jawa banyak yang terpelajar terutama dari Tapanoeli'. Sejak inilah Dr. Soetomo (meski sebagai pendiri tetapi terkooptasi oleh senior) melihat Boedi Oetomo telah salah jalan (hanya terbatas dan bersifat kedaerahan di Jawa, Madura, Bali dan Lombok sesuai statuta Boedi Oetomo).

Pada tahun 1919 Dr. Soetomo melanjutkan studi kedokteran ke Belanda dan langsung bergabung dengan Perhimpoenan Hindia. Boleh jadi Dr. Soetomo telah memahami arah haluan politik Perhimpoenan Hindia sudah lebih radikal (sejak kepengurusan Dahlan Abdoellah dan teguran Sorip Tagor). Haluan inilah yang ditemukan Dr. Soetomo ketika menyadari Boedi Oetomo tidak bisa berjuang sendiri. Dr. Soetomo di Belanda semakin intens di Perhimpoenan Hindia dan kemudian menjadi ketua pengurus. Untuk sekadar tambahan: Bahkan hingga pada kongres Boedi Oetomo ke-16 tahun 1925 di Solo masih muncul suara-suara di forum Boedi Oetomo (kedaerahan) yang menyatakan bahwa “Boedi Oetomo menuntut kemerdekaan di Jawa tetapi memberi tolerasi kolonialisasi di luar Jawa’. Suara-suara ini sempat dibalas oleh sebagian orang-orang Boedi Oetomo yang reformis di dalam kongres dengan nada yang menentang suara false tersebut. Para reformis Boedi Oetomo saat kongres tersebut antara lain: Dr. Sardjito, Ph.D (ketua Boedi Oetomo cabang Batavia). Dr. Sardjito, Ph.D sendiri baru pulang studi dari Belanda (anggota Perhimpoenan Hindia di era kepengurusan Dr. Soetomo).  Dr. Sardjito, Ph.D kelak menjadi Rektor Universitas Gadjah Mada (yang pertama).

Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) telah memainkan peran penting di awal pergerakan politik di lingkungan mahasiswa. Sorip Tagor dan Dahlan Abdoellah sebagai pendobrak dalam hal ini. Pada era kepengurusan Dr. Soetomo (1922) Perhimpoenan Hindia diubah namanya menjadi Indonesiasch Vereeniging dan di era kepengurusan Mohamad Hatta dipertegas dengan nama baru yakni Perhimpoenan Indonesia (PI).

Indische Vereeniging digagas oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan yang dirsemikan pada bulan Oktober 1908 di Leiden. Soetan Casajangan menjadi presiden pertama. Soetan Casajangan sendiri tiba di Belanda pad tahun 1905 dan saat itu jumlah mahasiswa Indonesia baru lima orang. Ketika jumlahnya sekitar 20 orang pada tahun 1908 Soetan Casajangan menggagas didirikannya Indisch Vereeniging yang bersifat nasional untuk merespon balik pendirian Boedi Oetomo pada bulan Mei 1908 (yang bersifat kedaerahan). Soetan Casajangan kembali ke tanah air pada tahun 1913. Soetan Casajangan ditempatkan sebagai guru Eropa di Buitenzorg. Saat inilah, sebelum Sorip Tagor berangkat studi ke Belanda kedua tokoh mahasiswa ini intens berdiskusi. Soetan Casajangan dan Sorip Tagor sama-sama kelahiran Padang Sidempoean.

Di dalam Perhimpoenan Indonesia, Soetan Casajangan adalah pelopor (1908-1911). Sorip Tagor dan Dahlan Abdoellah (1919) sebagai pendobrak; lalu Soetomo (1921) dan Mohamad Hatta (1926-1930) sebagai penegak; kemudian Parlindoengan Lubis sebagai penerus (1936-1940). Soetan Casajangan, mantan guru di Padang Sidempoean, alumni Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887 berjuang untuk meningkatkan pendidikan pribumi. Ketika tengah kuliah di negeri Belanda (1905-1911), sepak terjang Soetan Casajangan sudah diketahui umum sebagai tokoh sentral di Indisch Vereeniging, karena itu Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:

‘Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

‘..Saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa (tanah air) tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi)’. 

Boleh jadi statement Soetan Casajangan yang mempertentangkan ‘coklat’ dan ‘putih’ di antara intelektual Indonesia di Belanda adalah yang pertama. Perasaan itu sudah dikemukakannya secara gamblang di depan publik yang mengindikasikan tidak ada lagi ketakutan dan memulai perjuangan (tentu saja pada ssat itu masih pada level ketidakadilan). Statement ini juga terdapat dalam buku karya Soetan Casajangan yang diterbitkan. Statement ini merupakan kesimpulan buku tersebut. Revolusi ala Soetan Casajangan antara coklat dan putih di dalam pendidikan (1911) telah dipertegas Sorip Tagor dengan penyatataan ‘studi dan politik sama pentingnya’ (1919) dan dipertajam Dahlan Abdoellah dalam Kongres Indonesia tahun 1919 dengan menyatakan ‘Wij Indonesier’.

Mungkin anda bertanya-tanya, mengapa tidak terdapat alumni pada tahun-tahun awal keberadaan Veeartsen School te Buitenzorg yang berasal dari Buitenzorg. Masalahnya bukan di situ. Di wilayah West Java, tentu saja di Priangan dan Buitenzorg sudah terdapat dokter-dokter hewan orang Belanda. Akan tetapi di wilayah endemik penyakit hewan yang mana populasi ternak cukup banyak yang terdapat di wilayah yang jauh jangkauan dokter hewan Belanda menjadi terbatas. Untuk itu didatangkan siswa-siswa untuk dilatih di laboratorium-laboratorium kesehatan hewan apakah di Soerabaja atau di Buitenzorg. Namun siapa yang menjadi kandidat untuk dilatih menjadi dokter hewan pribumi? Mereka itu adalah guru-guru atau siswa-siswa yang baru lulus dari sekolah guru (kweekschool).

Dokter hewan Radja Proehoeman (ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D) adalah yang merekomendasikan Sorip Tagor untuk melanjutkan studi ke Veeartsen School yang akan dibuka di Buitenzorg tahun 1907. Radja Proehoeman sebelum mengikuti pelatihan dokter hewan adalah alumni sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean (lulus 1882). Alumni lainnnya dari sekolah ini adalah Dja Endar Moeda, lulus tahun 1884. Adik kelas mereka di Kweekschool Padang Sidempoean salah satu diantaranya Soetan Casajangan (lulus tahun 1887). Guru terkenal di Kweekschool Padang Sidempoean adalah Charles Adrian van Ophuijsen (kelak lebih dikenal sebagai penyusun tatabahasa Melayu dengan ejaan Ophuijsen).

Sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean dibuka pada tahun 1879. Sekolah guru ini adalah sekolah guru yang diproyeksikan sebagai pengganti sekolah guru (kweekschool) Tanobato. Pada tahun 1873 Kweekschool Tanobato ditutup, karena kepala sekolahnya, Willem Iskander pada tahu 1874 berangkat studi kembali untuk mendapatkan akte kepala sekolah di Belanda. Willem Iskander juga membawa tiga guru muda ke Belanda untuk mendapatkan akte guru. Ketiga guru muda tersebut adalah Raden Soerono dari Soeracarta, Raden Adi Sasmita dari Madjalengka (Priangan); dan Banas Lubis dari Tapanoeli. Setelah usai studi kandidat guru Eropa tersebut atas beasiswa wajib kembali ke kampung halaman masing-masing untuk meningkatkan mutu sekolah guru di Magelang (Soerono) dan sekolah guru di Bandoeng (Adi Sasmita). Willem Iskander akan diproyeksikan sebagai kepala sekolah (direktur) dan Banas Lubis sebagai guru di Kweekschool Padang Sidempoean yang akan dibuka tahun 1879. Sebelumnya, Sati Nasution alias Willem Iskander pada tahun 1857 berangkat studi ke Belanda untuk mendapat akte guru. Setelah selesai studi pada tahun 1861 kembali ke kampung halaman di Mandailing dan pada tahun 1862 membuka sekolah guru (kweekschool) Tanobato. Sekolah guru ini tahun 1865 diakusisi pemerintah dijadikan sebagai sekolah guru negeri ketika di Hindia Belanda (yang pertama di Soeracarta, 1851; dan yang kedua di Fort de Kock, 1856; serta yang keempat di Bandoeng, 1866). Catatan: Kweekschool Tanobato (Willem Iskander) dan Kweekschool Padang Sidempoean (Charles Adrian van Ophuijsen, seorang Indo) adalah dua sekolah guru terbaik di Hindia Belanda pada era yang berbeda.

Radja Proehoeman, dokter hewan generasi pertama dalam hal ini menjadi tokoh penting di belakang Dr. Sorip Tagor. Sementara Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah tokoh penting sebagai pelopor dan pendiri organisasi kebangsaan yang pertama yang diberi nama Medan Perdamaian. Organisasi ini didirikan oleh Dja Endar Moeda di Padang pada tahun 1900. Setelah Medan Perdamaian eksis selama tujuh tahu baru kemudian didirikan organisasi kebangsaan kedua yakni Boedi Oetomo (1908). Dalam penetapan statuta Boedi Oetomo dalam kongresnya yang pertama mengacu pada eksistensi Medan Perdamaian. Di dalam kongres Boedi Oetomo yang pertama di Djogjakarta, keberadaan Medan Perdamaian turut dibicarakan. Namun hasil kongres dengan penetapan justru bersifat kedaerahan dan terbatas di Jawa dan sekitar. Padahal Medan Perdamaian bersifat nasional. Pada tahun 1902 Dja Endar Moeda, direktur Medan Perdamaian mengirim bantuan sebesar f14.000 untuk peningkatan pendidikan di Semarang. Sifat kedaerahan Boedi Oetomo (yang disahkan pada tanggal 4 Oktober 1908) inilah yang membuat Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di Belanda meradang dan lalu menginisiasi dan membentuk organisasi mahasiswa yang bersifat nasional Indisch Vereeniging 25 Oktober 1908, Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda dan Radja Proehoeman di Kweekschool Padang Sidempoean. Soerip Tagor kemudian juga meradang di Belanda ketika anggota Indisch Vereeniging mulai condong ke Boedi Oetomo.

Soetan Casajangan lulus Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887. Setelah mengabdi menjadi guru sekolah di Padang Sidempoean selama 17 tahun, Soetan Casajangan berangkat studi ke Belanda tahun 1905 untuk mendapatkan akte kepala sekolah (seperti yang dilakukan Willem Iskander dulu). Jadi boleh dikata Soetan Casajangan di Belanda sudah sangat dewasa dan memiliki pikiran yang matang. Pada saat kedatangannya pribumi yang kuliah di Belanda baru lima orang (termasuk Soetan Casajangan). Pada tahun 1908 ketika jumlah mahasiswa sekitar 20an orang dan bersamaan dengan perubahan orientasi Boedi oetomo, Soetan Casajangan mempelopori didirikannya Indisch Vereeniging. Soetan Casajangan pendiri Indisch Vereeniging adalah adik kelas Dja Endar Moeda pendiri Medan Perdamaian, organisasi kebangsaan pertama. 

Demikianlah kontribusi para guru dari Kweekschool Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda, pendiri organisasi kebangsaan pertama yang mengantarkan Soetan Casajangan untuk mendirikan Indisch Vereeniging (organisasi mahasiswa pertama). Lalu, Radja Proehoeman (dokter hewan generasi pertama) mengantarkan Sorip Tagor yang menjadi dokter hewan Indonesia pertama. Dja Endar Moeda adalah kakek dari Dr. Ida Lomongga, Ph.D (perempuan Indonesia yang meraih gelar Ph.D); Radja Proehoeman adalah ayah dari Dr, Sjoeib Proehoeman, Ph.D (dokter bergelar Ph.D). Soetan Casajangan adalah anak dari Maharadja Soetan (murid langsung Willem Iskander, alumni pertama Kweekschool Tanobato).

Tentu saja jangan dilupakan peran guru-guru yang lain. Dr. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi, Ph.D ahli hukum pertama orang Batak adalah anak dari seorang guru alumni Kweekschool Padang Sidempoenan (1892); Dr. Achmad Mochtar, Ph.D (Direktur Eijkman Institut yang dibunuh Jepang) adalah anak seorang guru dari Mandailing; Dr. Aminoedin Pohan, anak seorang guru alumnik Kweekschool Padang Sidempoean; dan Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D (Menteri Pendidikan RI yang kedua) adalah  anak seorang guru di Padang Sidempoean. Namun sayang sekolah guru Padang Sidempoean harus ditutup tahun 1892 karena defisit pemerintah. Bagi siswa-siswa di Afdeeling Padang Sidempoean diarahkan ke sekolah guru di Fort de Kock. Alumni sekolah guru Fort de Kock yang berasal dari Padang Sidempoean adalah Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan (alumni pertama Middelbare Lambouweschool Buietenzorg tahun 1914). Alumni lainnya Kweekschool Fort de Kock adalah Dahlan Abdoellah sebagaimana diketahui Sorip Tagor dan Dahlan Abdoellah adalah tokoh penting di Indische Vereeniging dan Sumatra Sepakat (Sumantranen Bond) di Belanda.

Kita sebagai penerus yang sekarang, di era informasi ini, kita tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka semua para pionir yang telah berkiprah lebih awal pada satu abad yang lalu. Kita hanyalah sekadar follower.

Ketika harus mengantarkan anak saya mendaftar di Institut Pertanian Bogor beberapa tahun lalu tampak gedung rektorat diberi nama Andi Hakim Nasution, Saya, yang juga pernah kuliah dan alumni ‘kampus hijau’ ini pada era tahun 1980an, hanya bisa menunduk memberi rasa hormat kepada para pionir. Tidak hanya kepada Andi Hakim Nasution tetapi juga kepada koleganya yang lain. Tanpa bermaksud mengabaikan peran tokoh yang lainnya, secara khusus saya harus memberi rasa hormat kepada ayahnya Dr. Anwar Nasution alumni Veeartsen School (1930), kepada Soetan Kenaikan, alumni pertama Middelbare Lambouw School (1914); kepada Dr. Sorip, alumni Veeartsen School (1912) yang menjadi dokter hewan Indonesia pertama (1920), juga kepada dokter hewan generasi pertama Radja Proehoeman. Veeartsen School dan Lambouw School te Buitenzorg adalah cikal bakal Institut Pertanian Bogor. Tentu saja kepada Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan yang telah mempelopori dengan sadar dalam proses awal pembentukan negara ini: Indonesia Raya.

Last but not least: Saya juga salut kepada Sati Nasution, pribumi pertama yang studi ke Eropa/Belanda pada tahun 1857. Ibarat kata tuntutlah ilmu itu walau jauh ke Eropa. Saat itu pelayaran ke Eropa masih via Afrika Selatan (terusan Suez baru dibuka tahun 1869). Sati Nasution adalah adik kelas dari Si Asta di sekolah rakyat di Panjaboengan. Pada tahun 1854 Si Asta dari Mandailing dan Si Angan dari Angkola (Afdeeeling Mandailing en Angkola) diterima di sekolah kedokteran di Batavia. Mereka berdua adalah siswa pertama yang diterima di sekolah kedokteran tersebut yang berasal dari luar Jawa (jumlah siswa setiap tahun sekitar 10 orang). Sekolah kedokteran ini kemudian disebut Docter Djawa School (cikal bakal STOVIA). Posisi GPS sekolah ini kini berada di RSPAD Jakarta. Setelah lulus tahun 1856 Dr Asta ditempatkan di Mandailing (di Panjaboengan) dan Dr Angan di Angkola (di Padang Sidempoean). Pada tahun 1857 Si Sati tidak melanjutkan studi ke Batavia, tetapi berangkat studi ke Belanda untuk sekolah guru. Si Sati dengan nama kerennya Willem Iskander (dari nama Radja Belanda Willem III dan penyair terkenal Rusia di London Iskander Hertzein) lulus dan mendapat akte guru tahun 1860. Pada tahun 1861 Sati Nasution alias Willem Iskaner kembali ke tanah air dan membuka sekolah guru di Tanobato (Mandailing) pada tahun 1862. Salah satu siswa pertama Willem Iskander adalah ayah dari Radjioen Harahap (Soetan Casajangan, pendiri Indisch Vereeniging di Leiden, Belanda). Siswa pertama lainnya dari sekolah guru (kweekschool) Tanobato ini adalah kakek dari Dr Ida Loemongga Nasution, Ph.D (perempuan pribumi pertama bergelar Ph.D). Siapa Willem Iskander  Si Sati yang Willem Iskander? Sati Nasution alias Willem Iskander adalah kakek buyut dari Prof. Ir. Andi Hakim Nasution, Ph.D (rektor IPB Bogor).

Demikianlah sejarah panjang Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor sesingkat-singkatnya. Artikel ini dibuat khusus kepada para pionir. JASMERAH.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar