Sabtu, 01 Desember 2018

Sejarah Kota Depok (51): Sejarah Lenteng Agung dan Asal Usul; Melacak Posisi ‘GPS’ Klenteng Agoeng di Land Tanah Agong


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Lenteng Agung adalah suatu nama terkenal di selatan Jakarta berbatasan dengan Depok. Nama Lenteng Agung sendiri sudah terkenal sejak dulu. Namun namanya baru populer setelah tahun 1873. Ini sehubungan dengan selesainya pembangunan jalur rel kereta api Batavia-Buitenzorg, yang mana salah satu halte/stasion disebut Lenteng Agung.

Peta Lenteng Agung, 1901
Lenteng Agung, adalah suatu kelurahan yang termasuk wilayah Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Tetangga terdekatnya adalah Kelurahan Serengseng Sawah, yang juga termasuk Kecamatan Jagakarsa. Jika nama Lenteng Agung baru populer sejak 1873, nama Serengseng Sawah dengan nama penanda navigasi kuno ‘Sering Sing’ sudah teridentifikasi sejak tahun 1706. Memahami Lenteng Agung di masa lampau haruslah dikaitkan dengan Sering Sing dan Depok. Hanya dengan begitu dimungkinkan untuk mengetahui sejarah masa lampau di Lenteng Agung. Oleh karenanya, meski Lenteng Agung kemudian masuk wilayah Meester Cornelis (dan pada masa ini wilayah DKI Jakarta), tetapi secara historis, sejarah Lenteng Agung harus dilihat dari sudut Depok (Buitenzorg).

Nama Lenteng Agung bukanlah berasal dari suatu klenteng (lenteng) yang besar (agung). Namun nama Lenteng Agung berasal dari suatu proses (transfomasi) ‘klenteng di Tanah Agong’. Klenteng yang dimaksud terdapat di Tanah Agong. Dengan kata lain wilayah Lenteng Agung dulu namanya Tanah Agong. Yang sering menjadi pertanyaan pada masa ini dimana posisi GPS klenteng yang dulu pernah ada di Tanah Agong (kini Lenteng Agung). Tentu saja, kita tidak bisa melacaknya pada masa kini. Situsnya pada masa ini sudah tidak berbekas. Untuk keperluan pengetahuan masa kini, mari kita lacak dimana posisi ‘gps’ klenteng tersebut di masa lampau.

Perlu diketahui bahwa sebelum muncul nama Lenteng Agoeng, jauh sebelumnya sudah eksis nama wilayah dengan nama Klenteng Agong. Wilayah tersebut berada di Bidara Tjina. Wilayah Klenteng Agong ini berada diantara sisi barat sungai Tjiliwong di timur dan kampong Pantjoran di sisi barat. Wilayah Klenteng Agong dalam perkembangannya berubah nama menjadi Tjawang.

Land Baru, Land Kecil: Asal Usul Lenteng Agong

Popularitas Lenteng Agung baru muncul tahun 1873, saat dimulainya pengoperasian kereta api Batavia-Buitenzorg dimana para penumpang bisa turun dan naik di halte/stasion Lenteng Agung. Hari pertama operasi dimulai tanggal 31 Januari 1873 (lihat Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873).

Jalur kereta api Batavia-Buitenzorg terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama ruas Batavia-Meester Cornelis sudah beroperasi sejak tahun 1869. Tahap kedua ruas Meester Cornelis-Buitenzorg yang operasi dimulai tahun 1873. Jarak Meester Cornelis ke halte/stasion Pasar Minggoe sejauh 8.9 Km; kemudian ke Lenteng Agong 5.4 Km; ke Pondok Tjina 4.4. Km, ke Depok 4.3 Km; ke Tjitajam 5.1 Km; ke Bodjong Gede 5.3 Km; ke Tjiliboet 4.3 Km; dan terakhir ke Buitenzorg 7.7 Km (lihat ‘De Eerste Javasche Spoorwegen’, Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1873).

Jalur kereta api ruas Meester Cornelis-Buitenzorg ini sejatinya mengikuti jalur jalan kuno Pakuan-Sunda Kelapa. Jalur jalan kuno ini dapat dibandingkan dengan jalur kereta api yang baru di sekitar Serengseng Sawah dan Lenteng Agung yang sekarang.

Bayangkan jalan kuno ini pada masa lampau dari Depok. Gerobak dan kereta kuda melaju kencang dari Depok melewati Pondok Tjina dan kampong Bodjong (kira-kira Gang Kober sekarang). Setelah itu mengikuti jalan sisi kiri di bawah fly-over UI yang sekarang dan kemudian memotong rel hingga menujui halte UI, turunan.tanjakan lalu belok kiri sampai ketemu persimpangan Jalan Serengseng Sawah. Lalu lurus memotong rel kembali. Jika lurus menuju Jalan Gardu dan belok kiri ke arah markas militer dan lanjut ke stasion Lenteng Agoeng. Selepas stasion Lenteng Agong kembali memotong rel menuju IISIP dan kemudian lewat sisi kiri (Simpang Jalan Joe) dan terus ke stasion Tandjong Barat dan kemudian memotong rel lagi di bawah fly-over menuju Poltangan. Lalu kemudian memotong rel kembali sebelum stasion Pasar Minggo (dst).   

Jalur menuju Jalan Gardu di Serengseng terus ke arah sungai Tjiliwong adalah lokasi Landhuis dari Land Serengseng (tempat dimana baheula Cornelis Chastelein memulai pertanian). Jalur jalan kuno yang menuju stasion Lenteng Agoeng, pada sisi kanan sebelum memotong rel menuju IISIP adalah pusat (landhuis) dari Land Lenteng Agoeng. Antara halte/stasion Lenteng Agong dan persimpangan (jalan kuno vs rel kereta api sekitar IISIP) inilah batas-batas di selatan dan di utara Land Lenteng Agong. Sementara di sisi timur langsung berbatasan sungai Tjiliwong. Sedangkan di sisi barat sekitar Pasar Lenteng Agung yang sekarang.

Land Lenteng Agung sangat kecil dan dapat dikatakan land terkecil yang pernah ada di era Hindia Belanda. Lantas kapan land Lenteng Agong terbentuk? Itu yang menjadi pertanyaan utamanya.

Dalam Statistik 1867 nama Lenteng Agong belum teridentifikasi. Dalam Statistik 1867 Batavia terdiri dari empat Afdeeling: Batavia (Stad); Meester Cornelis, Buitenzorg dan Tangerang. Afdeeling Meester Cornelis terdiri dari empat district: Meester Cornelis, Kebajoran, Bekasi dan Tjabangboengin. District Meester Cornelis terdiri dari 65 Landerien, salah satu diantaranya Land Tandjong West. Land Tandjong West ini terdiri dari 13 kampong yang dihuni oleh satu orang Eropa, 3.345 jiwa pribumi dan sebanyak 70 jiwa Tionghoa dan Arab tiga jiwa.

Land Tandjong West sendiri sudah terbentuk sejak era VOC. Landhuis berada di ujung Jalan Poltangan dekat dengan sungai Tjiliwong. Tidak ada akses antara Tandjong Oost (Pasar Rebo yang sekarang) dengan Tandjong West. Landhuis Tandjong West diakses dari jalan kuno sisi barat sungai Tiliwong, jalan dari Pakuan ke Sunda Kelapa. Land Tandjong West pada era VOC adalah land yang mengusahakan peternakan. Hingga tahun 1863 Tandjong West masih menjadi penghasil susu (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-07-1863).

Pada era Pemerintahan Hindia Belanda, Land Tandjong West ditingkatkan menjadi lahan pertanian yang dikaitkan dengan pembangunan irigasi. Pada tahun 1830 dibangun setu Babakan di kampong Kalibata dan airnya dialirkan dengan membuat kanal dari setu menuju Land Tadjong West. Kanal ini melewati sisi barat (di bawah) stasion Lenteng Agong yang sekarang.

Pembangunan setu dan kanal irigasi telah mengubah wajah Land Tandjong West secara drastis, dari lahan-lahan yang kering (sulit air) menjadi lahan-lahan yang subur (berpengairan sepanjang tahun). Dampaknya, satu hal yang penting terbentuknya pasar di suatu tempat yang kemudian disebut Pasar Minggo. Pada Almanak tahun 1838 pasar ini masih disebut Pasar Tandjong West

Sejak adanya kanal, lahan antara Land Serengseng dan Land Tandjong West semakin produktif. Lahan tersebut terdiri dari dua bidang lahan yang topografinya berbeda. Sisi barat jalan kuno adalah lahan miring yang subur. Dengan adanya kanal, lahan miring tersebut lahan memiliki pengairan yang teratur (irigasi dari kanal). Kanal ini diteruskan ke utara di Tandjong West. Sisi timur jalan kuno, lahan datar yang sebelumnya lahan kering yang sulit air karena air berada di bawah (sungai Tjiliwong), dengan adanya kanal lahan ditingkatkan menjadi lahan subur yang berpengairan irigasi tetap. Irigasi ini dibangun dengan membuat kanal ke arah selatan dari kanal yang berada di sekitar IISIP yang sekarang. Kanal ini dialirkan terus ke halte/stasion yang sekarang dan terus dialirkan ke lahan di Serengseng. Kanal ini pada prinsipnya adalah kanal mundur dimana titik baliknya berada di depan IISIP yang sekarang. Hal serupa ini juga pernah dilakukan sebelumnya di Depok. Inilah salah satu bentuk revolusi kanal.

Land Sereng Seng lebih tua dari Land Tandjong West. Land Sereng Seng (Sering Sing) sudah diusahakan sejak 1690an oleh Cornelis Chastelein. Land Tandjong West baru terbentuk pada 1750an, suatu land baru yang diusahakan sebagai lahan peternakan oleh Jan Andries Duurkoop. Dengan dibangunnya bendungan setu Babakan pada tahun 1830 dan pembuatan kanal melalui Lenteng Agoeng, maka lahan (Land) Sereng Seng tempat dimana doeloe Cornelis Chastelein membangun pertanian baru memiliki pengairan yang tetap (irigasi), Di era Cornelis Chastelein, land Sereng Seng sisi timur jalan kuno ke arah sungai Tjiliwong adalah lahan tadah hujan (lahan basah di musim hujan, lahan kering di musim kemarau).

Land Tanah Agong No. 329 dan No. 241 Verp. No.5774
Sejak lahan Lenteng Agoeng memiliki ppengairan (irigasi) yang tetap, lahan diusahakan oleh suatu perusahaan patungan. Para pemiliki saham adalah Aboe Bakar Aydiet, Metqer, Smith dan Kruymel. Perusahaan ini terus berkesinambungan yang kemudian diteruskan anak-anak mereka. Lahan tersebut disebut lahan (land) Tanah Agong.

Lahan yang diusahakan ini berada di Residentie Batavia, Afdeeling Meester-Cornelis, blok M, deel 3, No. 239 dan No 241, area wijk Tanah Agong, verponding No. 5774. Lahan ini terbagi dua bagian. Bagian A: di sebelah utara land Tandjong West, di sebelah selatan satu persil lahan verponding, di sebelah timur Grooten Heerenweg (jalan kuno), dan sebelah barat lahan Kalibata. Bagian B: sebelah utara persil lahan, selatan persil lahan, sebelah timur  sungai Tjiliwong, dan sebelah barat jalan besar Grooten Heerenweg. Informasi ini menunjukkan lahan berada di Tanah Agong yang kelak disebut Land Lenteng Agoeng,

Javasche courant, 16-04-1836
Lahan tersebut awalnya dimiliki oleh Aydiet dan Djaenal. Lahan mereka berdua tidak hanya di blok M tetapi juga di blok O yang secara keseluruhan jumlahnya empat persil. Informasi ini diumumkan oleh pemerintah di surat kabar (lihat  Javasche courant, 16-04-1836). Dari informasi ini Aydiet dan Djaenal adalah pemilik tanah hampir  seluruh lahan di Tanah Agong, alias Tuan Tanah di Tanah Agong. Dua persil tanah yakni verponding No. 239 dan No 241 kemudian dikerjasamakan dengan rekan-tekan bisnis Aydiet.

Dalam berita kepemilikan lahan di Tanah Agong ini juga terindikasi adanya klenting dimana alamat lahan wanita pribumi Naisa di Gang Klenteng. Klenting ini diduga kuat berada di sisi jalan raya (yang menjadi pananda navigasi untuk Gang Klenteng).  Klenteng yang berada di lahan (land) Tanah Agong ini jelas pemiliknya adalah orang Tionghoa atau klenteng yang dibangun oleh komunitas Tionghoa. Kapan klenteng dibangun di Tanah Agong tidak diketahui secara pasti. Bagaimana klenteng dibangun di Tanah Agong juga tidak diketahui secara jelas. Sebab, faktanya, land Tanah Agong bukanlah dimiliki oleh seorang Tionghoa. Land kepemilikan Tionghoa adalah Land Pondok Tjina, Land Tjimanggis dan Land Tjiniere.

Kita kembali ke masa sebelumnya. Keberadaan jalan kuno (jauh sebelum adanya rel kereta api). Kampong Sereng Seng (Land Sering Sing) dan kampong Pondok Tjina adalah dua titik lokasi strategis antara Depok dan Tandjong West yang menjadi jalur penyeberangan sungai Tjiliwong. Penyeberangan sungai di Pondok Tjina dengan menggunakan getek menghubungkan Land Pondok Tjina dan Land Tjimanggis (yang berada di Gtooteweg Trans-Java Daendels Batavia-Buitenzorg). Penyeberangan sungai di Sereng Seng adalah penyeberangan dengan jembatan gantung yang terbuat dari kabel telegraf. Jembatan ini menghubungkan sisi dari Tjiniere dan Parong menuju pasar besar di Tandjong Oost (kini Pasar Rebo). Karena Land Tanah Agong adalah titik simpul dari segala arah, maka komunitas Tionghoa memilih Tanah Agong sebagai lokasi klenteng. Klenteng di Tanah Agong boleh jadi sudah ada sejak era VOC.

Pada tahun 1860, Pemerintah Meester Cornelis akan meningkatkan budidaya padi (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-02-1860). Hal ini karena pemerintah Buitenzorg telah berhasil di Kedong Badak, Tjileboet, Bodjong Gede, Tjitajam, Depok dan Pondok Tjina. Pemerintah Meester Cornelis juga akan berencana meningkatkan budidaya padi di Tandjong West, Kalibata, Kemang, Klenteng Agong dan Kampong Melayoe

Nama Land Klenteng Agong bukanlah pemekaran dari Land Tandjong West. Pemekaran Land Tandjong West adalah Land Tanah Agong. Meski demikian, Land Tanah Agong tidak begitu dikenal, karena secara umum nama Land Tandjong West lebih mengemuka. Nama Land Klenteng Agong sejatinya adalah nama land dari pemekaran Land Bidara Tjina. Sebagaimana diketahui dua klenteng yang sudah ada sejak lama (sejak era VOC) adalah klenteng di Tangerang dan klenteng di Bidara Tjina. Klenteng di Bidara Tjina tersebut kini berada di land pemekaran di Land Klenteng Agoeng. Land Klenteng Agong berada antara sungai Tjiliwong dan Pantjoran. Land Klenteng Agong diduga situs kuno. Di Land Klenteng Agong tidak ditemukan orang Tionghoa lagi meski pemilik land tersebut adalah seorang Tionghoa. Land Klenteng Agong hanya terdiri dari satu desa/kampong yang dihuni orang pribumi sebanyak 633 jiwa (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1869 deel 4, vol. 2, 01-01-1869). Land Klenteng Agong juga ditulis Kalibata Klenteng Agong. Lokasi Klenteng Agong ini tepat berada di Pantjoran (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-01-1889).

Sementara itu, klenteng yang dibangun di Land Tandjong West, tepatnya di Land Tanah Agong umurnya relatif lebih tua jika dibandingkan dengan pembangunan klenteng di Buitenzorg. Klenteng di Land Tandjong West (Land Tanah Agong) diduga merupakan satu-satunya klenteng yang berada di wilayah tengah. Klenteng lainnya yang dibangun lebih awal adalah klenteng di Tangerang dan klenteng di Bidra Tjina. Agong) diduga merupakan satu-satunya klenteng besar yang berada di wilayah tengah.

Klenteng yang terdapat di Land Tandjong West menjadi simpul tempat peribadatan bagi Tionghoa yang terfapat di arah selatan (Pondok Tjina, Depok, Tjitajam), barat (Parong, Sawangan dan Tjinere), di arah timur (Tjimanggis, Tandjong Oost), dan utara (Djagakarsa, Tandjong West dan Pasarminggo).

Pada tahun 1869 jalur kereta api Batavia-Meester Cornelis mulai beroperasi. Setelah itu perencanaan pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg ruas Meester Coenelis-Buitenzorg mulai dilakukan. Saat inilah diduga lahan-lahan baru verponding di Land Tandjong West diformalkan dengan membentuk nama land baru, yakni: Land Tandjong West sendiri; Land Djati Padang (Kali Bata Poelo), Land Ragoenan dan Land Lenteng Agoeng. Meski demikian, aaat itu, Land Lenteng Agong tetap disebut Tanah Agong.

Pada tahun 1869 telah terjadi alih milik lahan di Tanah Agong. Dua persil lahan Ling Ing Lie atau Lie Eng Lie telah dibeli oleh pedagang Said Mohamad bin Aboe Bakar Aijdiet masing-masing verponding  No.5531 seharga f575 dan verponding No 5774 seharga f175 (lihat  Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-11-1869). 

Popularitas klenteng di Land Tanah Agong diduga menjadi sebab munculnya nama baru Land Lenteng Agong (terjadi proses reduksi dari penanda navigasi ‘klenteng di Tanah Agong’.     

Keutamaan lainnya lahan baru di Lenteng Agung (Tanah Agong) adalah terbentuknya pasar. Pasar ini menjadi pasar sekunder dimana jauh sebelumnya sudah terbentuk pasar yang telah menjadi pasar besar, yakni di Tandjong Oost (woensdag, hari Raboe), Parong (vrijdag, hari Jumat), Tjimanggis dan Pasar Minggo (Tandjong West). Pasar Lenteng Agoeng sendiri dapat diakses dari berbagai arah: selain berada di jalur jalan kuno, juga bisa diakses dari Tjinirie/Sawangan melalui sisi setu Babakan/kanal yang merupakan Jalan Kahfi yang sekarang; dan dari Tandjong Oost (Pasar Rebo) melalui jembatan gantung di atas sungai Tjiliwong di Serengseng. Pasar di Land Lenteng Agoeng relatif bersamaan dengan terbentuknya Pasar Tjitajam dan Pasar Kemiri. Untuk sekadar perbandingan: Pada tahun 1862 pasar-pasar besar dikenakan, seperti Pasar Senin (Weltevreden) dengan verponding sebesar f24.000 per tahun; Pasar Tanah Abang f 15.000; Pasar Meester Cornelis f8.000; Pasar Tandjong West (Pasar Minggo) f1.400; Pasar Tandjong Oost (Pasar Rebo) f700; Pasar Simplicitas (Pasar Jumat) f1.000 (lihat Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad, 08-01-1862). Pasar Lenteng Agong adalah pasar kecil yang dibebaskan dari verponding.

Halte/stasion Lenteng Agoeng

Apa yang mendasari pembentukan halte/stasion dalam pembangunan rel kereta api ruas Meester Cornelis-Buitenzorg adalah karena adanya pusat konsentrasi orang Eropa dan pasar. Depok dan Pondok Tjina karena terdapat orang Eropa, sedangkan Tjitajam dan Lenteng Agoeng karena adanya pasar. Pasar Lenteng Agoeng ini diduga telah muncul sejak lama oleh adanya aktivitas orang Tionghoa di Tana Agong.

Land Tanah Agong pada dasar dapat dikatakan pemekaran Tandjong West, tetapi juga dapat dikatakan sebagai land tersendiri antara land Tandjong west dan land Sereng Seng. Oleh karena itu adakalanya Land Tanah Agong dan Land Serengseng disatukan ke dalam satu wilayah adnministratif yang disebut Land Tandjong West (lihat Bijdragen tot de taal- land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1869 deel 4, vol. 2, 01-01-1869). Namun lahan-lahan yang termasuk Land Tanah Agong juga berdampingan dengan Land Mampang. Lahan-lahan yang berdampingan tersebut disatukan dalam satu administratif yang disebut Land Mampang dan Tana Agong yang terdiri dari enam kampong yang dihuni seluruhnya orang pribumi sebanyak 477 jiwa. Dulu secara administratif Land Tanah Agong disebut Tandjong West en Tana Agong (lihat  Javasche courant, 07-09-1836), selanjutnya disebut Mampang en Tana Agong. Lalu dalam perkembangannya hanya disebut Land Lenteng Agoeng.

Dalam perencanaan jalur kereta api secara teknis mempertimbangkan jarak tempuh yang dibagi ke dalam beberapa halte/stasion. Pertimbangan menentukan posisi halte.stasion tentu saja didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Faktor ekonomi yang kuat adalah adanya pasar yang menjadi simpul perekonomian di sekitar. Hal inilah yang menyebabkan di Pasar Lenteng Agoeng di Tanah Agong dibangun halte/stasion. Dalam pembangunan halte/stasion di Land Tanah Agong, nama halte/stasion bukan Tanah Agong, tetapi halte/stasion Lenteng Agong. Mengapa demikian? Sulit dipahami. Namun diduga hanya karena faktor popularitas, seperti halte/stasion Pasar Minggo, Pondok Tjina, Depok dan Tjitajam adalah nama-nama yang kadung sudah dikenal luas. Pondok Tjina, Depok dan Tjitajam adalah nama-nama land, sedangkan Lenteng Agong dan Pasar Minggo adalah nama-nama pasar. Namun tidak lama setelah jalur kereta api beroperasi dan nama halte di Tanah Agong disebut halte/stasion Lenteng Agoeng muncul perkara diantara para pewaris Land Tanah Agong.

Pada tahun 1881 terjadi sengketa atas kepemilikan sahan Land Tanah Agong yang mengusahakan pertanian. Yang bersengketa ini adalah para anak-anak pendiri: Said Hoessin bin Mohamad bin Aboe Bakar Aydiet din Pecojan, Batavia dan saudara-saudaranya; Conrad Herman Metger di Duitschland (Jerman); Ralph Edwin Smith di Batavia; dan Carel Martinus Wilhelmus Kruymel di Semarang. Setelah melalui proses pengadilan, atas nama Konings (Radja), Raad van Justitie te Batavia (Eerste Kamer) memutuskan bahwa usaha di Land Tanah Agong dinyatakan pailit (lihat Nederlandsche staatscourant, 08-12-1881).

Bataviaasch handelsblad, 19-07-1884
Land Tanah Agong (Land Lenteng Agoeng) lalu kemudian dijual ke publik melalui kantor lelang pemerintah. Disebutkan yang menjual lahan tersebut atas nama Mr. RE Smith Cs. Dalam hal ini besar kemungkinan RE Smith mewakili keluarga-keluarga yang bersengketa (keluarga Aydiet, keluarga Smith, keluarga Metqer dan keluarga Kruymel). Penjualan ini atas perintahpengadilan agar lebih mudah dalam pembagian (warisannya). Berita penjualan ini diumumkan di surat kabar (lihat Bataviaasch handelsblad, 19-07-1884).

Yang membeli lahan Tanah Agong (land Lenteng Agoeng) adalah seorang Tionghoa kaya, Tidak diketahui siapa namanya. Sebelumnya pemilik lahan-lahan di Land Pondok Tjina, Land Tjimanggis dan Land Tjiniere adalah pengusaha-pengusaha Tionghoa.

Pada tahun 1891 terjadi peristiwa besar di Lenteng Agoeng. Pemilik Land Lenteng Agoeng, seorang Tionghoa meninggal karena pembunuhan (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 08-09-1891). Landheer terbunuh oleh mandornya sendiri karena sebab diberhentikan (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 28-09-1891).  

Landhuis dan barak pekerja di Land Lenteng Agoeng (1902)
Namun yang menjadi tetap pertanyaan adalah dimana posisi GPS klenteng yang menjadi sebab musabab nama lahan Land Tanah Agong menjadi Land Lenteng Agoeng? Tidak ada keterangan verbal yang melukiskannya dimana klenteng berada. Satu-satu sumber yang mengindikasikan lokasi klenteng di Land Lenteng Agoeng adalah Peta 1902.  

Peta Lenteng Agoeng baru terbit setelah adanya pembangunan rel kereta api. Peta tertua Land Lenteng Agoeng adalah peta yang terbit tahun 1902. Peta Land Lenteng Agong mengindikasikan luasnya hanya sebatas stasion Lenteng Agoeng di selatan dan IISIP di utara, Di sebelah timur berbatasan sungai Tjiliwong. Di sebelah barat hanya beberapa ratus meter di sisi barat stasion Lenteng Agong. Batas-batas dalam Peta 1902 persis sama dengan keterangan yang terdapat dalam dokumen Afdeeling Meester-Cornelis, blok M, deel 3, No. 239 dan No 241, area wijk Tanah Agong, verponding No. 5774 sebagaimana yang juga telah disengketakan di pengadilan oleh para pewaris.

Pasar dan Klenteng di Land Lenteng Agoeng (1902)
Dalam Peta 1902 ini teridentifikasi Land Lenteng Agoeng (Land Tanah Agong) suatu wilayah (wijk) yang padat penduduk, hanya di beberapa tempat terlihat kebun (tanaman keras, seperti kelapa). Land Lenteng Agoeng kini secara umum terkesan bersifat urban daripada rural. Namun lahan-lahan perkebunan terlihat terpencar-pencar. Lokasi dimana landhuis (rumah pemilik land) berada tampak berada di sebelah utara kebun di sebelah timur jalan. Ini ditunjukkan bangunan yang lebih besar (kira-kira Jalan Langga Raya; seberang IISIP  yang sekarang). Sementara bangunan-bangunan lain berada di selatan kebun untuk fungsi seperti gudang dan tempat tinggal para pekerja (kira-kira Jalan Agung Raya yang sekarang. Lantas dimana letak klenteng? Letak klenteng tidak berada di sekitar landhuis, tetapi berada di dekat halte/stasion. Klenteng ini sudah ada sejak lama, sebelum Land Lenteng Agoeng dimiliki pengusaha Tionghoa, bahkan klenteng ini sudah ada jauh sebelum adanya halte/stasion kereta api.  

Dengan demikian, nama Lenteng Agong bukanlah nama kuno seperti Pondok Tjina dan Bidara Tjina. Nama Lenteng Agong di Land Tandjong West adalah nama baru, Sebelumnya nama Land Klenteng Agong sudah eksis di Bidara Tjina. Namun pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg menyebabkan nama lahan di Land Tandjong West menjadi populer sebagai Land Lenteng Agoeng untuk menggantikan Land Tanah Agong. Sejak itu, nama Land Klenteng Agong di Bidara Tjina mulai meredup hingga menghilang dan kemudian muncul nama baru yang disebut Land Tjawang.

Peta 1896
Land Tandjong West sendiri sudah terbentuk sejak era VOC. Landhuis Land Tandjong West berada di ujung Jalan Poltangan dekat dengan sungai Tjiliwong. Tidak ada akses antara Tandjong Oost (Pasar Rebo yang sekarang) dengan Tandjong West. Landhuis Tandjong West diakses dari jalan kuno sisi barat sungai Tiliwong, jalan dari Pakuan ke Sunda Kelapa. Pada era Pemerintahan Belanda, Land Tandjong West dimekarkan dengan membentuk land baru, yakni: Land Tandjong West sendiri; Land Djati Padang (Kali Bata Oeloe), Land Ragoenan dan Land Tanah Agong (kemudian menjadi Land Lenteng Agoeng).

Pergeseran nama Klenteng Agong menjadi Lenteng Agong di Land Tandjong West diduga karena proses pelafalan. Semakin memudarnya nama Land Klenteng Agoeng di Bidara Tjina dan semakin populernyanya Land Lenteng Agoeng diduga telah diratifikasi sendiri oleh Pemerintah Meester Cornelis untuk membedakan satu dengan yang lainnya.

Nama Pondok Tjina sejatimya sudah ada sejak era Cornelis Chastelein yang memulai usaha pertanian tahun 1690an di Sering Sing. Sedangkan nama Bidara Tjina baru muncul setelah terjadinya pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. Land Bidara Tjina berada di selatan Kampong Melayu di sisi timur sungai Tjiliwong. Dalam perkembangannya Land Bidara Tjina dimekarkan dengan membentuk Land Klenteng Agong di sisi barat sungai Tjiliwong. Land Klenteng Agong berbatas sungai Tjiliwong hingga ke Tugu Pancoran yang sekarang.

Demikian untuk sekadar untuk meluruskan asal-usul nama Lenteng Agung yang selama ini terkesan simpang siur. Nama Lenteng Agung terus eksis hingga ini hari sebagai nama kelurahan di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Lenteng Agung, dulu namanya Tanah Agong.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

4 komentar:

  1. saya juga di lenteng Agung, mau liat tempat saya at: https://youtu.be/kZGpatCt_3A

    BalasHapus
  2. Kampung halamanku tercinta, yang kini telah berubah, nyaris tak menyisakan apapun dari masa lalu, kecuali kenangan yang terus hadir dalam mimpiku.

    BalasHapus