Jumat, 13 Juli 2018

Sejarah Universitas Indonesia (3): Sejarah Panjang Universitas Indonesia; Prof. Mr. Soepomo, Ph.D Doktor Hukum Cum Laude


*Semua artikel Sejarah Universitas Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Inilah sejarah Universitas Indonesia yang sebenarnya. Satu fase terpenting dalam sejarah Universitas Indonesia adalah masa peralihan dari Universiteit van Indonesie menjadi Universitas Indonesia. Tokoh yang terbilang berperan penting dalam fase peralihan ini adalah Prof. Mr. Soepomo, Ph.D. Sementara itu, universitas negeri Universitas Gadjah Mada sudah terbentuk di Djogjakarta. Dalam proses membentuk universitas nasional (Universitas Indonesia), pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) menginginkan Universitas Gadjah Mada digabung (dilebur) ke Universitas Indonesia. Namun itu tidak terjadi karena ada penolakan termasuk Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta Abdul Hakim Harahap. Alasannya hanya satu: Universitas Gadjah Mada yang didirikan RI di Djogjakarta 1949 adalah situs penting perjuangan para Republiken. Boleh jadi alasan Abdul Hakim Harahap karena pendirian Universitas Gadjah Mada digagas oleh seniornya Prof. Mr, Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D (Menteri Pendidikan RI kedua).

Prof. Soepomo (De Telegraaf, 09-01-1950)
Pada awal tahun 1950, Presiden Ir. Soekarno dan Menteri Pendidikan Dr. Aboe Hanifah menghadiri Kongres Mahasiswa Indonesia (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-01-1950). Presiden mengatakan ‘tujuan kami adalah negara nasional (nationale staat) dan itu belum tercapai’. Sementara Menteri Pendidikan mangatakan ‘niat pemerintah sesegera mungkin untuk membangun Universitas Nasional (Nationale Universiteit). Inilah gagasan awal pembentukan Universitas Indonesia.

Sejarah Universitas Indonesia sendiri adalah sejarah yang sangat panjang. Embrionya bermula ketika sekolah tinggi kedokteran didirikan pada tahun 1851 di Weltevreden (kini Gambir). Proses peralihan Universiteit van Indonesie ke Universitas Indonesia tahun 1951 hanya satu fase di dalam perjalanan panjang sejarah Universitas Indonesia. Dengan kata lain butuh waktu 100 tahun sejak lahir (1851) hingga Universitas Indonesia benar-benar milik pemerintah Indonesia (1951). Tahap berikutnya dalam perkembangan Universitas Indonesia sebagaimana wujud yang sekarang sesungguhnya baru selesai pada tahun 1963 setelah Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan dimekarkan menjadi Institut Pertania Bogor.

Di satu sisi Universitas Indonesia kemudian dimekarkan. Yang pertama dimekarkan dan terbentuk adalah Universitas Airlangga di Soerabaja (1954); Universitas Hasanoedin di Makassar (1956); Universitas Padjadjaran di Bandoeng (1957); Institut Teknologi Bandoeng (1959); dan baru kemudian Institut Pertanian Bogor (1963). Sementara di sisi lain universitas negeri yang pertama didirikan adalah Universitas Gadjah Mada (1949) dan baru menyusul yang kedua Universitas Indonesia (1951); yang ketiga Universitas Airlangga (1954); yang keempat Universitas Andalas (1955); yang kelima Universitas Hasanoedin (1956); yang keenam Universitas Padjadjaran (1957); dan yang ketujuh Universitas Sumatera Utara (1957).  

Bagaimana itu semua berproses, tentu saja menarik untuk ditelusuri mulai dari awal (1851). Sejarah Universitas Indonesia hanya ditulis parsial dan terkesan ditulis oleh orang-orang tertentu saja. Mereka ini telah memainkan penanya dengan dua sisi: satu sisi membesar-besarkan satu figur atau satu kejadian tertentu dan satu sisi yang lain juga mengerdilkan satu figur dan kejadian tertentu. Sejauh ini sejarah Universitas Indonesia belum pernah ditulis secara komprehensif (lengkap dan akurat). Padahal sejarah Universitas Indonesia tidak terpisahkan dari perkembangan pendidikan, perkembangan bangsa, perkembangan pengetahuan, dan perkembangan politik sejak era kolonial Belanda hingga kemerdekaan Indonesia. Kini di era informasi, semua data masa lampau dapat diakses oleh siapapun yang bersedia memanfaatkannya . Mari kita mulai dari fase peralihan Universiteit van Indonesie ke Universitas Indonesia yang mana pada fase ini nama Prof. Mr. Soepomo, Ph.D yang cukup berperan penting.

Artikel ini dibuat panjang lebar secara kontekstual supaya memudahkan mendapatkan uraian yang komprehensif bagaimana proses pembentukan Universitas Indonesia dan peran sentral Prof. Soepomo mengawali kiprahnya dan bagaimana akhir perjalanannya di dalam empat era yang berbeda: era kolonial Belanda, era pendudukan Jepang, era proklamasi dan perang kemerdekaan serta era pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Dengan pendekatan kontekstual dimungkinkan untuk melihat relasi Universitas Indonesia dengan bentuk-bentuk perguruan tinggi yang sudah ada jauh sebelumnya dan bagaimana kelangsungan Univesitas Indonesia sebagai univeritas nasional. Dengan pendekatan kontekstual juga dimungkinkan untuk melihat relasi Mr. Soepomo, Ph.D sebagai tokoh pendidikan nasional memulai pendidikan dan bagaimana kelanjutan karirnya. Untuk studi sejarah nasional, pengujian terhadap relasi itu lebih penting dari hanya sekadar mendeskripsikan event atau figur yang terpisah-pisah (sehingga terkesan melupakan yang lain). Dengan pendekatan analisis kontekstual (relasi) dengan sendirinya setiap event atau figur menjadi dapat dipahami (terjelaskan) posisinya dalam sejarah nasional Indonesia. Dalam hubungan ini, secara khusus, sebagai bagian dari upaya pejuangan nasional (persatuan dan kemerdekaan), sosok Mr. Soepomo, Ph,D akan sendirinya tampak menjadi bagian tidak terpisahkan dari barisan tokoh-tokoh nasional yang terdapat di berbagai tempat di Indonesia. Seperti kata pepatah: Semua tidak lahir secara tiba-tiba, tidak ada yang hadir sendiri. Untuk menyusun (kembali) sejarah Universitas Indonesia dan sejarah Mr. Soepomo, Ph.D, sebagaimana artikel-artikel lainnya di dalam blog ini, sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman. Sumber buku dan majalah hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena buku dan majalah pada dasarnya juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari ‘sumber primer’. Adakalanya informasi yang terdapat dalam buku dan majalah sudah ‘masuk angin’. Dalam hal ini tidak semua sumber primer disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel yang lain dalam blog ini. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.  

Universitas Indonesia Republik Indonesia: Prof. Mr. Soepomo, Ph.D

Secara dejure pada tanggal 20 Desember 1949 diresmikan pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan Perdana Menteri Mohammad Hatta yang beribukota di Djakarta. Pemerintahan baru ini dibentuk sebagai wujud dari hasil konferensi KMB yang mana diumumkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Namun secara defacto Belanda masih ‘berdaulat’ di Indonesia terhadap bidang-bidang yang penting seperti industri dan perguruan tinggi.

Indonesia pasca KMB 1949 sejatinya terbelah-belah bagaikan buah belimbing: antara negara-negara federal dan daerah otonom di satu pihak dan wilayah-wilayah republik (RI) di pihak lain. Negara-negara federal pada dasarnya adalah negara ‘setengah Belanda’ alias negara-negara boneka bentukan Belanda seperti Negara Sumatra Timur, Negara Jawa Timur, Negara Pasoendan, Negara Sumatra Selatan, Negara Indonesia Timur dan lainnya. Sementara negara-negara otonomi diantaranya ditemukan di pulau Kalimantan. Sedangkan wilayah RI hanya tinggal secuil dan wilayah RI yang seteril hanya tinggal wilayah Djogjakarta (dan sekitarnya) dan wilayah Tapanoeli. Saat ini wilayah Indonesia disebut negara RIS, singkatan dari Republik Indonesia Serikat.  Meski namanya berlabel Republik Indonesia tetapi sesungguhnya hanya sebagian kecil yang masih Republik Indonesia. Sebagian besar adalah wilayah yang menjadi negara-negara federal (dimana Belanda masih memiliki pengaruh kuat). Satu wilayah negara federal dimana orang-orang Republiken cukup dominan adalah Negara Sumatra Timur (NST).

Namun tidak semua orang Indonesia mengakui hasil KMB dan juga tidak semua orang Indonesia sepakat dengan Kabinet Mohammad Hatta meski yang menjadi presiden adalah Ir. Soekarno. Resistensi ini di ibukota RI Djogjakarta secara sadar dibentuk pemerintahan RI yang secara definitif memerintah pada tanggal 21 Januari 1950 dengan presiden Mr. Assaat, Perdana Menteri Abdoel Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdoel Hakim Harahap. Kabinet Halim terdiri dari 13 menteri.

Sebelum terbentuknya Pemerintah RIS 20 Desember 1949, di Djogjakarta pada tanggal 19 Desember 1949 telah dibentuk universitas Republik Indonesia. Universitas republik ini merupakan kolaborasi Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia dengan universitas swasta Universitas Gadjah Mada yang namanya ditetapkan sebagai Universitas (Negeri) Gadjah Mada. Presiden Universitas Gadjah Mada diangkat Dr. Sardjito, Ph.D. Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia sendiri dibentuk pada tanggal 19 Agustus 1945 sedangkan Universitas Gadjah Mada dibentuk segera setelah ibukota RI pindah ke Djogjakarta pada tanggal 3 Maret 1946 atas inisiatif Menteri Pendidikan RI Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia.

Pemerintah RIS di Djakarta dalam perkembangannya mendirikan Universiteit van Indonesie dengan mengangkat dewan kurator dan presiden (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 02-02-1950). Disebutkan bahwa dewan kurator (Raad van Curatoren van de Universiteit van de RIS) sebagai ketua adalah Mr. Wonsonegoro. Anggota dewan adalah Dr. Soekiman, Mr. Soejono Hadinoto, Wisaksono Wirohardjo, Soetan Sjahrir, Margono Djojohadikoesoemo, C. Katoppo, Tengkoe Kaliamsjah Sinaga dan Mr. Tengkoe Moh. Hassan. Sedangkan presiden universitas telah diangkat Ir. Soerachman.

Pemerintah pada  tanggal  30 Djanuari  1950  mengeluarkan Undang-Undang  Darurat  No. 7 yang mengatur pendidikan tinggi di Indonesia dan Undang-undang ini memberi kekuasaan kepada Menteri Pendidikan untuk mengambil langkah-langkah bagi pembinaan Perguruan Tinggi di Indonesia. Undang-Undang ini dengan sendirinya menggantikan Hoger  Onderwijs  Ordonnantie  (1946). Undang-Undang ini kemudian menjadi landasan bagi Menteri Pendidikan dan juga bagi Presiden Universiteit Indonesia yang sudah ditetapkan.

Penunjukan Ir. Soerachman diumumkan pada bulan Januari 1950 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-01-1950). Disebutkan Ir. Soerachman telah ditunjuk sebagai Presiden Universitas Indonesia. Presiden universitas yang baru ini adalah salah satu menteri dalam Kabinet Sjahrir yang pertama (Kabinaet Sjahrir-I). Sementara itu sebelumnya, sehubungan dengan adanya niat pemerintah RIS untuk membentuk universitas nasional, di Djogjakarta Menteri Pendidikan RI mengatakan bahwa semua fakultas/akademi tetap harus tetap di Universitas Gadjah Mada, kecuali Akademi Polisi dan Akademi Politik yang dapat ditransfer ke Djakarta (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-01-1950). Menteri menyatakan lebih lanjut bahwa Universitas Republiken harus menjadi pendahulu dari universitas nasional, sedangkan Universitas RIS harus beradaptasi dengan universitas republik yang sudah memiliki basis nasional.

Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (27 Desember 1949) di bawah RIS, semua bidang ditansfer (kecuali Irian Barat). Dalam bidang pendidikan, dalam hal ini,  di satu pihak  Universiteit van Indonesie yang sudah terbentuk di Djakarta dan cabang-cabangnya di sejumlah kota (sejak 1946) dan di sisi lain Balai Pergoroean Tinggi yang sudah dibentuk di ‘pengungsian’ di Solo, Djogjakarta dan Klaten digabungkan dengan membentuk Balai Pergoeroean Tinggi RIS (De vrije pers: ochtendbulletin, 30-01-1950). Nama ini di wilayah RI disebut Balai Pergoeroean Tinggi RI. Dalam struktur Balai Pergoeroean Tinggi RIS, para profesor Indonesia mulai ditempatkan. Para profesoer ini adalah mereka yang telah mengajar dalam beberapa tahun terakhir di Balai Pergoeroean Tinggi RI di Solo, Djogjakarta dan Klaten. Sebagian besar profesor ini sudah dialihkan lebih dulu ke Universitas Gadjah Mada yang diresmikan pada tanggal 19 Desember 1949. Sebagian yang lain berafiliasi dengan Balai Pergoeroean Tinggi RIS. Sementara di Balai Pergoeroean Tinggi RIS yang dalam hal ini eks Universiteit van Indonesie masih terdapat profesor (asing) dari Belanda (dan sebagian yang lain sudah pulang ke Eropa). Kelangkaan profesor terjadi Balai Pergoeroean Tinggi RIS alias Universiteit Indonesie (meski sebenarnya juga terjadi di Balai Pergoeroean Tinggi RI Universitas Gadjah Mada). Untuk sementara, profesor Belanda masih dibutuhkan dan bahkan ditambah di Universiteit Indonesie. Bukan tidak mungkin dalam waktu dekat Balai Pergoeroean Tinggi RI Universitas Gadjah Mada juga memerlukan profesor asing. Di dua balai perguruan tinggi ini akan muncul permasalahan pembiayaan terutama gaji profesor asing yang mungkin mengalami perubahan. Profesor-profesor yang sangat diperlukan dalam hal ini terutama di bidang khusus seperti kedokteran dan teknik.  

Langkah pertama yang dilakukan universitas RIS adalah Presiden Balai Pergoeroean Tinggi RIS (Universiteit van Indonesie) Ir. Soerachman dan ketua dewan kurator Mr. Wonsonegoro bertemu dengan Menteri Pendidikan RI, Sarmisi Mangunsarkoro di Djogjakarta karena ada keinginan untuk memindahkan AIP (Akademi Politik) dari Djogjakarta ke Djakarta (De vrije pers: ochtendbulletin, 10-02-1950). Dalam pertemuan ini tidak ada hasil. Namun demikian jika Akademi Politik tidak bersedia dipindah akan dibentuk perguruan tinggi yang sama di Djakarta. Ternyata tidak hanya Akademi Politik, tetapi juga Universitas Gadjah Mada juga diminta untuk bergabung dengan Djakarta (Universiteit van Indonesie). Dalam perkembangannya, permintaan Djakarta tersebut ditolak. Senat Universitas Gadjah Mada melakukan rapat di ruang pertemuan Fakultas Kedokteran (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 25-05-1950). Disebutkan Prof. Dr. Sardjito mewakuli senat setelah rapat menyatakan bahwa universitas (Gadjah Mada) harus tetap di Djogja, sebab itu penting karena Djogjakarta adalah pusat perjuangan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kabinet Halim) S. Mangunsarkoro mengamini hasil keputusan rapat senat Gadjah Mada. Presiden Mr. Assaat juga melontarkan pendapat bahwa tidak pada tempatnya untuk memindahkan Universitas Gadjah Mada. Selamatlah Universitas Gadjah Mada hingga hari ini tetap eksis di Jogyakarta.

Nieuwe courant, 20-03-1946
Universita Gadjah Mada sendiri didirikan di Djogjakarta pada tahun 1946 (lihat Nieuwe courant, 20-03-1946). Disebutkan pada tanggal 3 Maret, di gedung Komite Nasionaal Indonesia di Djogjakarta dalam tempat yang besar dan jumlah minat yang tinggi pembukaan secara resmi Universitas Nasional (Balai Pergoeroean Tinggi) Gadja Mada. Peresmian ini selain Presiden dan Wakil Presiden, Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta, juga beberapa menteri, panglima tertinggi TRI dan Soeltan serta Pakoe Alam hadir. Ki Hadjar Dewantara, tokoh terkemuka yang terkenal di bidang pendidikan di Indonesia menyatakan bahwa untuk saat ini hanya akan ada dua fakultas, yaitu. Sastra dan Hukum yang akan dipimpin oleh Dr. MR Prijono dan Soenario Sastrowardoyo yang lama studi masing-masing selama empat tahun. Agar pemoeda tidak terhalang dalam perjuangan dan untuk melakukan aksi, kuliah akan dilakukan hanya pada sore dan malam hari diberikan. Ilmu militer juga akan diajarkan. Biaya kuliah akan mencapai 120 per tahun. Kuliah akan dimulai pada 13 Maret 1946’.

Dalam perkembangannya para Republiken di berbagai wilayah mulai gerah karena terjadi dua (kepemimpinan) pemerintahan yang mana kepemimimpinan pemerintahan RI dalam posisi yang tidak menguntungkan. Lalu, mulai ada gerakan yang menghubungkan RI di Djogjakarta (Abdoel Hakim Harahap) dan Republiken di Medan (NST) yang dipimpin oleh Dr. Djabangoen Harahap (adik kelas Dr. Sardjito dulu di STOVIA). Gerakan ini memunculkan protes keras (semacam pemberontakan) ke pusat RIS di Batavia. Dr. Djabangoen Harahap, Soegondo, GB Joshua Batubara dan lainnya menyelenggarakan Kongres Rakyat di NST.

Gerakan RI dan Kongres Rakyat ini sangat dikhawatirkan oleh PM (RIS) Mohamad Hatta dan para pentolan NST kasak-kusuk ke Batavia/Djakarta menemui Mohamad Hatta untuk menghambat kongres tersebut. Namun gerakan RI dan Kongres Rakyat yang diselenggarakan pada tanggal 25 April 1950 hasilnya yang pada intinya adalah ‘Bubarkan NST’ dan ‘Bentuk NKRI’. Hasil ini ternyata kemudian membuat Presiden Ir. Soekarno menjadi paham dan lalu memberikan dukungan terhadap hasil Kongres Rakyat di Medan dan mulai memikirkan kembali negara kesatuan RI.

Pada fase gerakan NKRI di Sumatra Timur yang telah menjalar ke pusat (Djakarta) Menteri Pendidikan Aboe Hanifah dan Presiden Universiteit van Indonesie Ir. Soerachman tengah berkunjung ke Belanda untuk berdiskusi dengan Menteri Pendidikan Prof. Entten. Dua hari berikutnya Menteri Hanifah yang didampingi oleh Menteri Entten diterima oleh Dewan Ilmu Pengetahuan dan juga Menteri Hanifah diterima oleh Ratu Juliana (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 19-06-1950). Salah satu hal pokok tujuan kunjungan Menteri Pendidikan dan Presiden Universitas Indonesia ini adalah untuk mendatangkan para profesor Belanda untuk mengajar di Universiteit van Indonesie (lihat Het Parool, 13-10-1950). Sementara univesitas republiken Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta sudah menarik orang-orang Indonesia yang bergelar doktor untuk jadi dosen. Situasi ini seakan mengambarkan dinamika politik tingkat pemerintah dengan yang terjadi di level (bidang) pendidikan tinggi, RIS beribukota di Djakarta cooperative dengan Belanda, sementara RI (para republiken) yang beribukota di Djogjakarta mengusung RI 100 Persen.

Akhirnya gelombang perubahan terjadi. Proses perubahan RIS menjadi NKRI Sumatra Timur yang berpusat di Medan mencapai puncak pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada tanggal 17 Agustus 1950 ini di Medan lalu diperingati hari kemedekaan dengan inspektur upacara Mr. GB Josua Batubara (pemilik sekolah Joshua Instituut). Dalam upacara ini untuk kali pertama dinyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raja di Medan. Dengan berkumandangnya lagu Indonesia Raya di Medan dan sekitarnya maka para Republiken benar-benar merasakan kemerdekaan sejati.

Di tingkat pusat NKRI baru terlaksana pada tanggal 6 September 1950 yang mana PM Mohammad Hatta harus mengundurkan diri dan kabinetnya dibubarkan yang lalu kemudian ditunjuk M. Natsir sebagai Perdana Menteri yang baru dalam konteks NKRI. Yang mana sebagai Presiden tetap Soekarno dan Mohammad Hatta kembali menjadi Wakil Presiden. Negara-negara federal lainnya lalu kemudian turut dibubarkan. Dan dengan demikian, tentu saja pemerintahan RI di Djogjakarta lega dan legowo membubarkan diri Kabinet Halim.

Djogjakarta sebagai pusat perjuangan sebagai salah satu alasan Universita Gadjah Mada tetap berada di Djogjakarta juga terungkap ketika RIS beribukota di Djakarta, di Djogjakarta Wakil Perdana Menteri RI Abdoel Hakim Harahap memimpin langsung pemindahan semua pahlawan yang gugur dalam berjuang melawan Belanda untuk disatukan di dalam satu tempat pemakaman yang kemudian disebut Taman Makam Pahlawan. Terkait dengan taman makam pahlawan Djogjakarta ini Presiden Assaat menginisiasi pembangunan masjid raya baru yang disebut Masjid Syuhada (masjid para pejuang). Taman Makam Pahlawan Djogjakarta adalah yang pertama di Indonesia. Boleh jadi Abdoel Hakim Harahap merasakan arti perjuangan dan bagaimana cara menghormati para pejuang yang telah gugur karena Abdoel Hakim Harahap sendiri pada era Agresi Militer Belanda II (dimulai 19 Desember 1948) adalah Residen Tapanoeli yang ikut bergerilya dan berperang melawan militer Belanda di seputar Afdeeling Padang Sidempoean.

Selanjutnya, mantan Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta Abdoel Hakim Harahap diangkat Presiden Soekarno menjadi Gubernur Sumatra Utara pada tanggal 25 Januari 1951. Province Sumatra Utara sendiri adalah gabungan dari tiga Residentie: Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur. Inilah kemenangan RI terhadap RIS yang dimulai di Medan.

Dr. Djabangoen Harahap dkk telah mendudukkan kembali Ir. Soekarno menjadi Presiden NK(RI) dan juga mengantarkan Abdoel Hakim Harahap menjadi Gubernur Sumatra Utara. Abdoel Hakim Harahap adalah pejabat ekonomi di Djawa di era Belanda yang ditunjuk militer Jepang menjadi ketua dewan di Tapanoeli. Pada era perang kemerdekaan Indonesia, Abdoel Hakim Harahap menjadi Residen Tapanoeli. Dalam delegasi RI ke konferensi KMB di Den Haag, Abdoel Hakim Harahap yang menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis) bertindak sebagai penasehat ekonomi. Namun hasil sidang KMB tidak menguntungkan RI yang mana RIS yang berbau Belanda tidak disetujui oleh Abdoel Hakim Harahap yang lalu kemudian sepulang dari KMB di Den Haag langsung hijrah ke Djogjakarta untuk bergabung dengan para Republiken (100 % RI).     

RIS dibubarkan oleh Presiden Soekarno dan terbentuk (NK)RI. Sekali lagi ini adalah kemenangan Djodjakarta (RI) terhadap Djakarta (federalis RIS). Lalu seiring dengan  kembali Indonesia ke (NK)RI, Universitas Gadjah Mada, universitas para Republiken (100% RI) dengan cepat tumbuh dan berkembang. Peran Dr. Sardjito, Ph.D dalam hal ini mulai menonjol di Djogjakarta.

Sementara di pihak lain (Republiken) di Djakarta, mendapat angin segar karena Pemerintah (RI) telah menunjuk Prof. Mr. Dr. Soepomo sebagai Presiden Universitas Indonesia (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 27-03-1951). Disebutkan bahwa Pemerintah telah mengangkat Prof. Mr. Dr. Soepomo sebagai Presiden Universitas Indonesia. Sementara itu, Presiden Universitas Indonesia, Ir. Soerachman Tjokrohadisoerjo mengundurkan diri atas permintaan sendiri dihormatii. Lalu dalam perkembangannya dibentuk Jajasan Universitas Indonesia  (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 26-07-1951). Jajasan ini adalah badan penyelenggara Universitas Indonesia. Sebagai ketua yayasan (yang merangkap sebagai Presiden Universitas Indonesia) adalah Prof. Dr. Mr. Soepomo. Akta pendirian Univeristas Indonesia dibuat oleh notaris Mr. Soewandi (notaris Indonesia pertama).

Ini dengan sendirinya dewan kurator dan presiden Universiteit van Indonesie RIS dengan sendirinya dibubarkan. Inilah kemenangan RI terhadap RIS, dan juga ini kemenangan Djogjakarta terhadap Djakarta, dan juga ini menunjukkan peralihan dari fase Universiteit van Indonesie (RIS) ke Universitas Indonesia (RI). Saat inilah posisi dua presiden universitas RI mulai beriringan dalam mengembangkan Perguruan Tinggi Nasional (PTN). Dr. Sardjito, Ph.D di Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta sejak 19 Desember 1949 dan Mr. Soepomo, Ph.D di Universitas Indonesia sejak 25 Juli 1951 (sejak Jajasan Universitas Indonesia dilegalkan oleh notaris). Oleh karenanya secara depacto dan dejure univeristas negeri (100 persen RI) baru dimulai di Djogjakarta 19 Desember 1949 di Djogjakarta dan tanggal 25 Juli 1951 di Djakarta. Kebetulan dua presiden universitas RI ini Dr. Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D sama-sama termasuk generasi Indonesia pertama peraih gelar doktor (Ph.D). Dr. Sardjito meraih Ph.D di bidang kedokteran tahun 1923; Mr. Soepomo meraih Ph.D di bidang hukum tahun 1927.

Para senat Universitas Gadjah Mada tampaknya lega setelah Ir. Soekarno mendukung penuh NKRI. Ir. Soekarno yang sempat ‘mengingkari’ RI dan membelakangi Djogjakarta kemudian direspon baik oleh senat Universitas Gadjah Mada. Untuk mengikat komitmen Ir. Soekarno terus berjuang demi NKRI. Senat Universitas Gadjah Mada kemudian menilai dan memberikan gelar doktor honaris causa kepada Ir, Soekarno (lihat Nieuwe courant, 20-09-1951). Promosi gelar tersebut dilakukan di auditorium Universitas Gadjah Mada. Presiden Universitas, Profesor Sardjito membuka sidang dan kemudian membacakan isi penganugerahan itu lalu diserahkan kepada Presiden Soekarno. Presiden Soekarno kemudian menyampaikan pidato. Dalam sidang pemberian gelar doktor ini turut hadir Presiden Universitas Indonesia Prof. Mr. Soepomo, Ph.D. Sayang sekali dalam gelar ini Dr. Soetomo tidak bisa lagi hadir karena telah meninggal dunia tahun 1938. Dr. Soetomo, Ir, Soekarno, Dr. Sardjito dan Mr. Soepomo, sebagaimana kita lihat segera, adalah empar tokoh penting yang mengubah organisasi kebangsaan Boedi Oetomo yang bersifat kedaerahan menjadi organisasi yang bersifat nasional, organisasi yang sebelumnya (sejak 1908) ‘hanya mendukung kemajuan di Jawa’ dan sekitarnya menjadi organisasi yang ikut memperjuangkan ‘seluruh rakyat Indonesia’ (1931).

Ir. RM Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo: Sarjana Teknik Kimia Indonesia Pertama

Ir, Soerachman hanya menjabat sebagai Presiden Universiteit van Indonesia selama kurang lebih 1.5 tahun (Februari 1950 hingga Juli 1951). Sementara Prof. Mr. Soepomo, Ph,D sebagai Presiden Universitas Indonesia sejak Juli 1951 baru berakhir pada bulan Maret 1954. Ini berarti Prof. Soepomo praktis hanya menjabat satu periode saja yang lalu kemudian digantikan oleh Prof. dr. Bahder Djohan, mantan Menteri Pendidikan Kabinet Pertama NKRI (6 September 1950 hingga 20 Maret 1951).

Setelah Soerachman digantikan posisinya oleh Prof. Soepomo tidak terdengar kabar beritanya lagi hingga muncul kabar telah meninggal dunia. Raden Mas Soerachman Tjokroadisoerjo meninggal dunia di Belanda pada bulan November 1952 pada usian 38 tahun (De Telegraaf, 17-11-1952). Ir. Soerachman pernah menerima bintang jasa Orde van Oranje Nassau (Nieuwsblad van het Noorden, 17-11-1952).

Selanjutnya Soerachman berangkat studi ke Belanda. Dengan kapal Rembrandt pada tanggal 15 September 1915 dari Batavia menuju Amsterdam (De Maasbode, 16-09-1915). Dalam manifes kapak namanya dicatat sebagao Raden Mas Pandji Soerachman. Di kota Delf Raden Mas Pandji Soerachman terdaftar sebagai warga kota, status student yang beralamat di Voorstraat 85B asal Weltevreden (Delftsche courant, 23-10-1915). Pada tahun 1917 RM Pandji Soerachman termasuk salah satu yang lulus ujian propaedeuetische untuk bidang kimia di Delft Technische Hoogeschool (Algemeen Handelsblad, 10-10-1917).

Jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda pada tahun 1917 sudah ada sekitar 50 orang. Jumlah ini sudah sangat meningkat jika dibanding pada tahun 1905 yang masih lima orang termasuk Soetan Casajangan. Pada tahun 1908 jumlah mahasiswa menjadi 20 orang yang mana Soetan Casajangan menggagas dan mendirikan perhimpoenan mahasiswa Indonesia yang disebut Indisch Vereeniging. Soetan Casajangan adalah Presiden pertama Indisch Vereeniging dengan sekretaris Husein Djajadiningrat. Seiring dengan semakin banyaknya mahasiswa asal Sumatra, pada tanggal 1 Januari 1917 Sorip Tagor menggagas didirikannya organisasi mahasiswa Sumatra yang diberi nama Sumatra Sepakat yang mana sebagai ketua adalah Sorip Tagor, sekretaris Dahlan Abdoellah dan bendahara Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda pada tahun 1920 sebanyak 70 orang. Soematra Sepakat kemudian menjadi Jong Sumatranen Bond dan Indisxh Vereeniging menjadi Perhimpoenan Indonesia. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan dan Sorip Tagor Harahap sama-sama kelahiran Padang Sidempoean.

RMP Soerachman Tjokroadisoerjo lulus ujian candidaat untuk insinyur kimia (De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 19-06-1919). Akhirnya RM Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo lulus ujian ingènieursexamen scheikundig ingenieur (insinyur kimia) pada tahun 1920 (Algemeen Handelsblad, 18-06-1920), Pada waktu yang relatif bersamaan Sorip Tagor lulus dari Rijksveeartsenijschool, Utrecht dan mendapat gelar dokter hewan (Dr) pada tahun 1920 (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1920).

RM Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo adalah orang Indonesia pertama sarjana Teknik Kimia. Sementara Sarip Tagor adalah orang Indonesia pertama dokter hewan. Irsinyur Teknik Kimia orang Indonesia kedua lulusan Universiteit Delf adalah AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan. Dalam perang kemerdekaan MO Parlindoengan berjuang di Soerabaja dan sekitarnya dengan pangkat Overste (Letkol). Setelah pengakuan kedaulatan RI, Overste MO Parlindoengan diangkat sebagai Kepala Perusahaan Sendjata dan Mesiu (PSM) yang kelak berubah menjadi PT PNDAD. Salah satu putri Ir. Soerachman menikah dengan salah satu putra dari Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (Menteri Pendidikan RI yang kedua pada Kabinet Sjahrir-I). Ir, Soerachman sendiri pernah menjadi Menteri Keuangan, juga pada Kabinet Sjahrir-I. Sorip Tagor kelak dikenal sebagai kakek dari Inez Tagor, Risty Tagor dan Deisti Astriani Tagor (istri Setya Novanto, ketua DPR). Sorip Tagor memulai pendidikan tinggi di Sekolah Kedokteran Hewan (Inlandschen Veeartsen School) di Buitenzorg (kini Bogor) 1907. Sekolah Kedokteran Hewan ini dibuka tahun 1907 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1928). Sorip Tagor lulus tahun 1912 dan langsung diangkat sebagai asisten dosen (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-08-1912). Pada tahun 1912 Sorip Tagor dinyatakan lulus dan bergelar Dokter Hewan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-08-1912). Pada bulan Oktober 1913 Sorip Tagor berangkat melanjutkan studi kedokteran ke Belanda di Rijksveeartsenijschool, Utrecht.

Ir Soerachman tidak langsung pulang ke tanah air. Akan tetapi masih berada di Belanda di Delft sebagai asisten di departemen pertanian, industri dan perdagangan (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 18-12-1920). Ir. Soerachman baru kemudian pulang setelah beberapa bulan dengan kapal Goentoer berangkat tanggal 21 Mei 1921 (Bataviaasch nieuwsblad, 16-06-1921).

Tidak lama setelah tiba di tanah air Ir. Soerachman diangkat sebagai asisten kimia di departmen perindustrian (De Preanger-bode, 30-06-1921). Dr. Sarip Tagor ditempatkan sebagai dokter hewan di lingkungan istana Gubernur General di Batavia. Ir. Soerachman kemudian dipindahkan sebagai pejabat di Departemen Perindustrian di Bandoeng (De Preanger-bode, 05-01-1922). Ir, Soerachman diberitakan telah menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Bandoeng (De Preanger-bode, 27-02-1923).     Sebagai anggota fewan kota, Ir. Soertachman dijalankon sebagai kandidat untuk anggota dewan pusat Volksraad (Bataviaasch nieuwsblad, 21-11-1923). Namun tidak berhasil dan tetap sebagai anggota dewan kota. Ir. Soerachman sebagai asisten kimia telah dipindahkan dari Bandoeng ke (departemen industri) Buitenzorg (De Preanger-bode, 25-09-1924). Dalam kongres Inlansch Economisch Congres di Soerabaja, Ir, Soerachman turut menyampaikan presentase berjudul Olie-industrie en klappercultuur (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 11-11-1924). Di Buitenzorg, Ir. Soerachman juga menjadi anggota dewan kota (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-10-1925). Ir. Soerachman dari departemen industri di Buitenorg melakukan penelitian industri batik di Midden Java sehubungan dengan banyaknya usaha batik skala kecil rontok yang diduga karena masuknya perusahaan batik berskala besar. Penelitian ini dimulai sejak bulan Juni 1926 dan laporannya diumumkan pada bulan Desember 1927 (De Indische courant, 07-12-1927). Untuk meningkatka produksi batik di Djogjakarta diadakan pameran dan lomba batik dimana salah satu juri adalah Ir. Soerachman (De Indische courant, 26-07-1928). Hasil penelitian ini telah direspon para stakeholder di Solo dan Djogja untuk mendirikan stasion pengujian batik di salah satu kota tersebut sebagai salah satu wujud desentralisasi yang mana hal yang berada di bidang pertanian dipusatkan di Buitenzorg (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 28-11-1928). Pada tahun 1929 Ir. Soerachman diangkat sebagai konsultan industri kelas satu oleh Departement v. Landbouw (De Indische courant, 06-05-1929). Akhirnya stasion uji batik di Djogjakarta didirikan. Dengan keputusan direktur pertanian, industri dan perdagangan Ir. Soerachman dari Buitenzorg ditunjuk untuk mengepalai stasiun uji batik tersebut (Soerabaijasch handelsblad, 27-07-1929).

Pada awal pendudukan Jepang (1942), terjadi perubahan besar, yakni peralihan orang-orang Belanda ke orang-orang Indonesia. Orang-orang Belanda diinternir oleh militer Jepang, sedangkan orang-orang Indonesia dirangkul militer Jepang untuk kerjasama. Ir. Soeacgman termasuk orang Indonesia yang memiliki portofolio tinggi. Ir. Soerachman tidak hanya orang Indonesia pertama yang meraih gelar sarjana Teknik Kimia, Ir. Soerachman juga di era pemerintahan kolonial Belanda telah mempunyai puncak karir yang tinggi bagi seorang pribumi.

Orang Indonesia kedua yang mengambil Teknik Kimia di Delf adalah AFP Siregar. Setelah menyelesaikan HBS di Medan pada tahun 1937 AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan dari Batavia, yang terdaftar di dalam manifest M.O. Parlindoengan dengan menumpang kapal Indrapoera berangkat dari Tandjong Priok tanggal 28 Juli 1937 menuju Marseile (Prancis). Dari kota pelabuhan ini, MO Parlindoengan melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Delf. MO Parlindoengan menyelesaikan studi dengan mendapat gelar Insinyur Teknik Kimia. Pada tahun 1943 pada masa pendudukan Jepang MO Parlindoengan langsung pulang kembali ke tanah air. MO Parlindoengan kemudian dipekerjakan militer Jepang di inudustri senjata di Bandoeng. Saat Ir. Soerachman menajdi pejabat industri di Djakarta/Batavia, Ir. MO Parlindoengan baru memulai karir di Bandoeng. MO Parlindoengan adalah anak Soetan Martoewa Radja, kepala sekolah Normaal School dan anggota dewan kota (gemeenteraad) Pematang Siantar, alumni sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean 1892.

Di luar pertahanan dan keamanan, salah satu institusi penting yang didirikan oleh pemerintah militer Jepang adalah Kantor Urusan Ekonomi. Menurut surat kabar Asia Raja yang dikutip Soerabaijasch handelsblad, 15-05-1942 pada tanggal 1 Mei Kantor Urusan Ekonomi telah dibuka. Lokasi kantor tersebut adalah bangunan bekas Departement van Economische Zaken di West Molenvliet 8. Disebutkan ada delapan posisi yang dijabat oleh orang Indonesia. Salah satu posisi tersebut adalah Kogyo Tyuo Dyimusyo atau Hoofdkantoor voor de Nijverheid (Kepala Kantor Perdagangan). Posisi ini dijabat oleh Ir. Soerachman.

Untuk posisi Kepala Kantor Ekonomi cabang di Indonesia Timoer yang berkedudukan di Makassar adalah Abdoel Hakim Harahap. Kantor Ir. Soerachman dan Abdoel Hakim Harahap pada era kolonial Belanda persis sama dengan yang sekarang, hanya posisi mereka yang dinaikkan untuk menggantikan posisi yang sebelummya dijabat oleh orang Belanda. Pada akhir tahun 1942 ayah Abdoel Hakim Harahap dikabarkan meninggal dunia di Padang Sidempoean. Lalu keluarga Abdoel Hakim Harahap dari Makassar berangkat dengan kapal perang Jepang ke Soerabaja. Kemudian diteruskan dengan kereta api ke Djakarta dan dilanjutkan naik bis ke Merak dan kemudian menyeberang ke Pelabuhan Pandjang di Lampoeng. Dari Lampoeng secara estafet perjalanan darat hingga tiba di Padang Sidempoean. Perjalanan membutuhkan waktu dua minggu. Namun Abdoel Hakim Harahap tidak kembali ke Makassar. Pemerintah militer Jepang di Tapanoeli yang berkedudukan di Taroetoeng memanggil Abdoel Hakim Harahap untuk membentuk Dewan Tapanoeli (yang sekaligus menjadi ketuanya).

Pemerintah militer Jepang sebelumnya telah mengangkat Ir. Soekarno sebagai ketua dan Mohamad Hatta sebagai wakil ketua Dewan Pusat yang berkedudukan di Djakarta. Sejumlah dewan yang lebih rendah juga dibentuk di Jawa dan Sumatra. Di Sumatra, dewan yang teridentifikasi telah dibentuk adalah di Tapanoeli (ketua Abdoel Hakim Harahap) dan dewan di Midden Sumatra yang berkedudukan di Bukittinggi yang diketuai oleh Adinegoro..

Untuk level pemerintahan hanya dibentuk di dua kota yakni di Kota Djakarta dan Kota Soerabaja. Dua kota ini adalah kota besar dimana terdapat pusat konsentrasi pemerintah militer Jepang bagian darat/udara di Dajakarta dan bagian laut di Soerabaja. Di Djakarta diangkat wali kota yang dijabat oleh Dahlan Abdoellah (alumni Universiteit Leiden, sekretaris Sumatra Sepakat di Belanda). Untuk di Soerabaja diangkat sebagai wali kota adalah Dr. Radjamin Nasution (alumni STOVIA tahun 1912 dan anggota senior dewan kota Soerabaja). Untuk bidang pendukung (media/propaganda) pemerintah militer Jepang mengangkat Parada Harahap sebagai ketua komite yang membawahi bidang radio, media cetak dan kebudayaan. Untuk membantunya, Parada Harahap merekrut sejumlah pemuda. Untuk bidang media yang diposisikan untuk surat kabar Asia Raja merektur BM Diah (kelak mendirikan surat kabar Merdeka). Untuk bidang radio Parada Harahap merekrut Adam Malik (eks pemimpin kantor berita Antara), Mochtar Lubis (kelak mendirikan surat kabar Indonesia Raja) dan Sakti Alamsjah Siregar (kelak mendirikan surat kabar Pikiran Rakjat di Bandoeng). Untuk bidang kebudayaan (termasuk kesusastraan) direkrut sastrawan terkenal Armijn Pane (adik Sanoesi Pane dan abang Lafran Pane, pendiri HMI). Parada Harahap sendiri pada tahun 1917-1918 terkenal dengan investigasi untuk membongkar kasus penyiksaan kuli asal Djawa di perkebunan di Deli (peonalie sanctie) dan ivestigasi praktik prostitusi wanita-wanita asal Jepang di Medan yang dikelola oleh para mucikari di Siengapoera. Ketika Parada Harahap sebagai editor, surat kabar Benih Merdeka di Medan dibreidel lalu pulang kampung ke Padang Sidempoean untuk mendirikan surat kabar Sinar Merdeka (1919). Pada kongres Jong Sumatranen Bondi di Padang tahun 1919 dan 1921, Parada Harahap sebagai ketua region Tapanoeli memimpin delegasi ke kongres tersebut. Saat inilah Parada Harahap mengenal dan berteman dekat dengan Mohamad Hatta. Oleh karena Sinar Merdeka dibreidel, pada tahun 1922 Parada Harahap hijrah ke Batavia menjadi wartawan. Pada tahun 1923 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Hindia, lalu pada tahun 1925 mendirikan kantor berita pribumi pertama Alpena (merekrut WR Soepratman sebagai editornya). Pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar yang lebih radikal (seperti Sinar Merdeka) yang diberi nama Bintang Timoer (langsung melejit dengan tirat tertinggi di Batavia). Saat inilah Ir. Soekarno yang baru lulus THS yang juga aktif di Studieclub Bandoeng kerap mengirim tulisan ke surat kabar Bintang Timoer. Interaksi ini membuat Parada Harahap dan Soekarno yang sama-sama revolusioner menjadi akrab. Parada Harahap meminta Soekarno untuk mendirikan partai politik, namun itu tidak mudah karena partai politik Indisch Partij yang didirikan oleh Dr. Tjipto dkk belum lama dilarang pemerintah. Lalu solusinya adalah Soekarno dkk dari Studieclub Bandoeng mendirikan organisasi kebangsaan yang disebut Perserikatan Nasional Indonesia (Algemeen Handelsblad, 24-06-1927). Tidak lama kemudian Parada Harahap sebagai sekretaris Sumatranen Bond mengundang para pemimpin organisasi-organisasi kebangsaan di rumah Husein Djajadiningrat di Weltevreden (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927). Hasil pertemuan adalah diputuskan untuk mendirikan organisasi yang terdiri dari para pemimpin dari berbagai serikat pribumi yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia yang disingkat PPPKI, dengan ketua komite adalah MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. Serikat yang hadir adalah Boedi Oetomo (diwakili oleh Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito), Pasoendan, Kaoem Betawi (MH Thamrin sendiri), Sumatranen Bond (Parada Harahap sendiri), Persatoean Minahasa, Sarekat Amboncher dan NIB (Perserikatan Nasional Indonesia) yang diwakili oleh Soekarno dan kawan-kawan dari Bandoeng. Dalam pertemuan ini turut hadir Soetan Casajangan, direktur sekolah guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Mangaradja Soangkoepon (anggota Volksraad dari dapil Oostkust Sumatra). Agenda pertama PPPKI adalah mendirikan kantor/gedung PPPKI di Gang Kenari (gedung ini masih eksis hingga ini hari). Sebagai kepala kantor. Parada Harahap memajang tiga potret di ruang rapat yakni Diponegoro, Soekarno (ketua PNI di Bandoeng) dan Mohamad Hatta (ketua PI Belanda). Agenda kedua yang terbesar adalah mempersiapkan kongres PPPKI pada bulan September 1928 yang diintegrasikan dengan kongres pemuda pada bulan Oktober 1928. Untuk hajatan besar itu diangkat Dr. Soetomo sebagai ketua kongres PPPKI dan untuk komite kongres pemuda diangkat Soegondo (ketua PPPI, organ pemuda PPPKI) sebagai ketua, Mohamad Jamin (ketua Jong Sumatranen Bond) sebagai sekretaris dan Amir Sjarifoeddin Harahap (ketua Jong Bataksch Bond) sebagai bendahara. Parada Harahap sebagai sekretaris Sumatranen Bond juga adalah mantan ketua Bataksch Bond. Ketiga pengurus inti komite Kongres Pemuda ini adalah sama-sama mahasiswa Rechts Hoogeschool yang mana sebagai sebagai dosen senior mereka di sekolah tinggi hukum tersebut adalah Prof. Mr. Husein Djajadiningrat. Sebagai sponsor dua kongres ini Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) adalah para pengusaha pribumi Batavia yang terhimpun dalam perhimpoenan pengusaha pribumi Batavia (semacam Kadin pada masa ini) yang mana sebagai ketua pengusaha adalah Parada Harahap dan termasuk pengusaha MH Thamrin sebagai anggota. Sekadar catatan: pada tahun 1908 ketika Indisch Vereeniging didirikan yang menjadi Presiden pertama adalah Soetan Casajangan dan sekretaris Husein Djajadiningrat. Salah satu anggota Indisch Vereeniging adalah Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon. Indisch Vereeniging kemudian berubah nama menjadi lebih radikal yang disebut Perhimpoenan Indonesai (PI). Dahlan Abdoellah dan Dr. Soetomo pernah menjadi ketua PI yang mana sekarang (sejak 1926) dijabat oleh Mohamad Hatta. Sepulang dari Belanda tahun 1923 Dr. Soetomo mendirikan stduiclub di Soerabaja tahun 1924 dan dua tahun kemudian (1926) di Bandoeng oleh Soekarno dan kawan-kawan. Para pengurus dan anggota studieclub Bandoeng kemudian mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia. Menjelang kongres PPPKI, Perserikatan Nasional Indonesia berubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Dalam kongres PPPKI ini hadir Soekarno untuk berpidato, sementara Mohamad Hatta yang sejatinya masuk kongres pemuda (junior) diundang Parada Harahap untuk berpidato namun berhalangan hadir dan mengutus Ali Sastroamidjojo. Hasil keputusan kongres PPPKI adalah mengupayakan transpormasi organisasi-organisasi kebangsaan menjadi organisasi politik. Keputusan lainnya yang juga penting adalah DR. Soetomo terpilih sebagai ketua PPPKI yang baru dan agenda lain kongres berikutnya di Solo tahun 1929. Sementara hasil kongres pemuda adalah dihasilkannya sebuah putusan yang berisi ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, Indonesia. Hal yang penting juga dalam kongres pemuda ini adalah diperdengarkan lagu kebangsaan yakni Indonesia Raja yang digubah dan diperdengarkan oleh WR Soepratman (anak buah Parada Harahap). Selanjutnya sehabis kongres PPPKI di Solo Desember 1929, para pemimpin Partai Nasional Indonesia ditangkap termasuk Soekarno dan kemudian diadili di Bandoeng. Selama Soekarno dipenjara, Mr. Sartono membubarkan PNI dan kemudian mendirikan partai baru yang disebut Partai Indonesia (Partindo). Di Soerabaja Dr. Soetomo dari studieclub dan Dr. Radjamin Nasution pemimpin organisasi pekerja pelabuhan mendirikan Partai Bangsa Indonesia (PBI). Anggota  eks PNI tidak semua bergabung dengan Partindo yang kemudian mebentuk partai baru yang disebut Pendidikan Nasional Indonesia dengan ketua Soekiman. Salah satu mahasiswa yang baru pulang dari Belanda 1931, Soetan Sajhrir bergabung dengan Partai Nasional Indonesia. Lalu kemudian masa tahanan Soekarno dipercepat dan keluar dari penjara lebih memilih Partindo. Ketua Partindo cabang Batavia adalah Amir Sjarifoeddin dan ketua cabang Partindo Soerabaja adalah Mohamad Jamin. Setelah Mohamad Hatta selesai studi dan pulang ke tanah air tahun 1932 lalu ikut bergabung dengan Soetan Sjahrir di Pendidikan Nasional Indonesia (lalu menjadi ketuanya). Beberapa waktu kemudian Soekarno kembali ditangkap tahun 1933. Dalam daftar yang ditangkap juga termasuk Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin. Tidak hanya itu sejumlah pers pribumi majalah dan surat kabar dibreidel termasuk Bintang Timoer milik Parada Harahap, Daulat Rakjat (organ Pendidikan Nasional Indonesia) dan Soeloeh Indonesia (organ Partai Indonesia) serta Pewarta Deli di Medan (pimpinan Abdoellah Lubis dan editor Adinegoro). Dajamaloedin alias Adingeoro adalah abang Mohamad Jamin. Sebelum pindah ke Pewarta Deli di Medan, Adinegoro adalah editor Bintang Timoer di Batavia. Parada Harahap marah besar apalagi Soekarno, Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin (yang belum selesai kuliahnya) beredar kabar akan diasingkan ke Digoel. Parada Harahap yang tidak punya hutang kepada Belanda berinisiatif mejalin hubungan kerjasama dengan negara lain. Dalam hal ini negara Jepang. Parada Harahap selama ini boleh jadi sangat dekat dengan konsulat Jepang karena Jepang punya hutang kepada Parada Harahap dalam kasus pembongkaran prostitusi wanita Jepang di Medan tahun 1918. Pada akhir November 1933 Parada Harahap memimpin tujuh revolusioner ke Jepang yang berangkat dari Tandjong Priok dengan kapal Jepang Panama Maru. Diantara tujuh revolusioner ini adalah Abdoellah Lubis dari Pewarta Deli Medan, Dr, Samsi Sastrawidagda, Ph.D guru di Bandoeng anggota studieclub dan PNI dan Mohammad Hatta (ketua partai Pendidikan Nasional Indonesia). Total rombongan ini selama sebulan di Jepang termasuk perjalanan pergi-pulang. Pada tanggal 13 Januari 1934 rombongan tiba kembali di tanah air, tidak langsung ke Batavia tetapi turun di Soerabaja, karena lebih aman karena ada Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution dari partai PBI dan juga untuk memonitor keadaan di Batavia. Pada saat rombongan tiba di darat, diperoleh kabar Ir. Soekarno diberangkatkan dari Batavia ke pengasingan di Flores.Mohamad Jamin dan Amir Sajarifoeddin dapat dihalangi karena terbilang masih muda dan kuliah akibat tekanan Volksraad dan para dosen pribumi di Rechts Hoogeschool. Setelah seminggi di Soerabaja, anggota rombongan yang pulang dari Jepang kemudian pulang ke rumah masing-masing. Beberapa minggu kemudian Parada Harahap dan Mohamad Hatta ditangkap di Batavia. Namun mereka lolos di pengadilan karena kesaksian konsulat Jepang di pengadilan. Akan tetapi beberapa hari kemudian Mohamad Hatta dan para pengurus pusat partai Pendidikan Nasional Indonesia ditangkap termasuk Soetan Sajahrir. Tuduhan karena tulisan yang terdapat di Daulat Rakjat beberapa bulan yang lalu (sebelum adanya pembreidelan). Akhirnya para pmimpin Pendidikan Nasional Indonesia pada akhir tahun 1934 diasingkan ke Digoel termasuk Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir. Para revolusioner penganut sikap non-cooperative telah dibungkam, tetapi Parada Harahap masih bebas di luar dan juga para revolusioner yang menganut sikap cooperative dan non cooperatve (satu hal cooperatie dengan Belanda dan hal lain non cooperative) diantaranya MH Thamrin dan Mangaradja Soeangkoepon di Batavia (anggota Volksraad), para pengurus PBI di Soerabaja seperti Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution, Dr. Abdoel Hakim di Padang, Dr. Sardjito dan Dahlan Abdoellah anggota dewan kota di Batavia. Para revolusioner inilah dan para jurnalis revolusioner yang tetap menjaga semangat revolusioner masih hidup dan bergelora. Mereka ini semua yang terus memperjuangkan keringan hukuman bagi Soekarno, Mohamad Hatta dan Sjahrir. Keringanan yang diberikan pemerintah Belanda (Guibernur Jenderal) setelah MH Thamrin dan Mangaradja Soeangkoepon dari Volksraad menekan pemerintah lalu hukuman Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir dipindahkan dari tempat pengasingan maut di Digoel ke (pulau) Banda dan Soekarno dari Flores ke Bengkoelen. Lantas apakah semua relasi, hubungan yang terkait ini bersifat random?  Itu sangat naif. Lalu apakah skenario pemindahan tiga revoluisoner di pengasingan tersebut tanpa strategi dan rencana? Itu juga sangat naif. Faktanya, tiga revolusioner ini ingin dipindahkan ke Sumatra, tetapi hanya Soekarno yang dikabulkan karena alasan Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir berasal dari Sumatra. Faktanya, sebelum Soekarno ditangkap dan diasingkan ke Flores sudah kerap muncul gagasan bekerjasama dengan Jepang, bahkan Soekarno dalam suatu rapat besar mengatakan perlu memikirkan kerjasama dengan negara lain. Bagaimana ide itu muncul? Hanya satu orang revolusioner, Parada Harahap yang terhubung dengan (konsulat) Jepang sejak lama di Medan, Batavia dan Soerabaja. Faktanya Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin justru membuka firma hukum di Soekaboemi daripada di Batavia. Seperti halnya di Bandoeng, di Soekaboemi sudah sejak lama banyak berdiam para intelektual Indonesia seperti Sorip Tagor. Sementara di Padang paling tidak terdapat satu pengacara revolusioner yakni Mr. Egon Hakim (anak Dr, Abdoel Hakim, teman dekat Dr. Tjipto di dalam Indisch Pertij sesama alumni Docter Djawa School) dan di Lampoeng terdapat paling tidak dua pengacara revolusioner Mr. Gele Haroen (anak Dr, Haroen Al Rasjid, teman dekat Dr. Tjipto di Indisch Partij sesama alumni Docter Djawa School) dan Mr. Abadoel Abbas. Tiga pengacara inilah yang diduga kerap mengunjungi Soekarno di pengasingan di Bengkoelen. Secara alamiah jika terjadi pendudukan Jepang, maka Belanda akan memusat ke tiga titik terpenting yang memungkinkan mudah melakukan evakuasi ke Australia, yakni Padang (untuk wilayah Sumatra di pnatai barat di pelabuhan Telok Bajoer) dan Bandoeng dan Soekaboemi (untuk wilayah Jawa di laut selatan di Pangandaran dan Pelabuhan Ratoe). Ke titik-titik evakuasi inilah tiga revulisoner akan dibawa Belanda jika terjadi pendudukan Jepang. Singkat kata: saat awal pendudukan, Belanda dalam situasi panik, Belanda bergegas ke Padang dari seluruh Sumatra termasuk dari Bengkoelen tempat dimana Soekarno; yang di Jawa dan pulau-ulau lain bergegas ke Bandoeng atau Soekaboemi yang mana Mahammad Hatta dan Soetan Sjahrir dievakuasi dari Banda. Ketika Soekarno dievakuasi di Padang, Mr. Egon Hakim yang ‘menculik’ Soekarno dan keluarga dan lalu membawanya ke Bukittinggi dimana pemimpin militer Jepang bermarkas. Sementara di Soekabomi sudah ada Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin yang memungkinkan berinteraksi ketika Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir dievakuasi ke Soekaboemi. Pada masa ini, Dr. Soetomo telah tiada, meninggal tahun 1938 dan MH Thamrin meninggal tahun 1940. Hanya tinggal Parada Harahap, Dahlan Abdoellah dan kawan-kawan di Batavia. Kontak Parada Harahap dan kawan-kawan di Djakarta dengan Mohammad Hatta di Soekaboemi yang memunculkan pembentukan struktur pemimpin Indonesia di dalam pemeirntahan awal militer Jepang di Indonesia. Namun dua revolusioner menolak cooperative dengan Jepang yakni Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin. Lalu, Parada Harahap, Mohammad Hatta dan Dahlan Abdoellah dari Batavia (wilayah aman dari Belanda) melakukan kontak intens dengan Soekarno dan Egon Hakim plus Adinegoro di Bukittinggi. Inilah lika liku jalan yang kelihatan rumit tetapi bisa dipahami mengapa terkesan sejumlah tokoh revolusioner yang telah lama terhubung menjadi plar penting pemimpin Indonesia di dalam struktur pemerintahan militer Jepang di Indonesia sebagai berikut: Ir. Sokarno (ketua dewan pusat); Mohammad Hatta (wakil ketua dewan pusat); Parada Harahap (ketua komite media); Dahlan Abdoellah (wali kota Djakarta/Batavia); Dr. Radjamin Nasution (wali kota Soerabaja). Lalu perluasan struktur kepemimpinan Indonesia ini dapat dilihat di Tapanoeli (Abdoel Hakim Harahap) dan di Midden Sumatra yang berpusat di Bukittinggi (Adinegoro). Last but not least: di Batavia Ir, Soerachman; di Bandoeng Dr. Samsi Sastrawidagda (teman kuliah dan teman kerja Dahlan Abdoellah di Belanda di Universiteir Leiden). Hanya satu penghubung dan perekat dari semua tokoh-tokoh ini, yakni Parada Harahap, pemimpin pertama tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang.      
   
Ir. Soerachman pada era pendudukan Jepang termasuk dalam barisan orang Indonesia yang cooperative dengan Jepang. Berbeda dengan Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin yang non cooperative. Penolakan yang keras Amir Sjarifoeddin menyebabkan dirinya harus ditangkap dan dipenjara. Ketika  hukuman mati dijatuhkan kepada Amir Sjarifoeddin, Soekarno sebagai ketua dewan pusat membela habis-habisan, sebagaimana dulu Soekarno dibela habis-habisan oleh MH Thamrin dan Parada Harahap. Hukuman Amir Sjarifoeddin akhirnya dikurangi dengan hanya hukuman penjara seumur hidup (di penjara Malang, Jawa Timur).

Dalam persiapan kemerdekaan, orang Indonesia yang cooperative dengan Jepang dilabtkan secara langsung baik dalam BPUPKI maupun dalam PPKI. Dalam BPUPKI terdapat nama-nama Ir. Soekarno, Drs. Mohamaad Hatta, Parada Harahap, Dr. Samsi Sastrawidagda, Ir. Soerachman, Prof, Husein Djajadiningrat, Mohmad Jamin serta Mr. Soepomo. Untuk anggota PPKI jumlahnya semakin mengerucut kepada sejumlah orang yang memiliki keahlian tertentu.

Belum sempat Kerajaan Jepang memberikan tanggal yang tepat kapan Indonesia Merdeka, kota Hirosima dan Nagasaki hancur karena bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat. Ketika kerajaan Jepang mengumumkan pernyataan takluk terhadap sekutu tanpa pemberitahuan listrik padam di seluruh Jawa selama tiga jam. Namun pernyataan takluk itu masih bisa didengar lewat radio oleh pelaut-pelaut di Tandjog Priok yang kemudian berita itu cepat menyebar ke darat.

Para pemuda revolusioner antara lain Chaeroel Saleh, Adam Malik dan kawan-kawan mendesak Soekarno dan Mohammad Hatta memperoklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sejatinya revolusioner dengan portofolio tertinggi saat itu adalah Amir Sjarifoeddin, namun situasi yang mendesak sulit menghubungi Amir Sjarifoeddin karena berada di dalam penjara Jepang dengan penjagaan yang ketat. Hal itulah yang menyebabkan para pemuda mengarahkan kepada Soekarno dan Mohammad Hatta. Terbukti kedua tokoh revolusioner Soekarno dan Mohamad Hatta yang cooperative dengan Jepang enggan tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan pihak Jepang. Para pemuda revolusioner tidak memerlukan izin dari Jepang dan terus mendesak hingga menculik Soekarno dan Mohamad Hatta dan kemudian proklamasi dilakukan di Pegangsaan Timur. Selanjutnya teks proklamasi tersebut diteruskan Adam Malik ke Mochtar Lubis dan kemudian membawanya ke Sakti Alamsjah di Radio Bandoeng. Pada malam hari Sakti Alamsjah melalui radio membacakan teks proklamsi tersebut sehingga dapat didengar seluruh penduduk Priangan. Siaran proklamasi RI itu juga tertangkap di Djogjakarta dan Australia.
 
Provinciale Drentsche en Asser courant edisi 13-10-1945
Setelah kemerdekaan RI yang menjadi Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta. Untuk soal siapa yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden sulit memahami pikiran Soekarno dan Mohamad Hatta karena kenyataannya pihak luar (misalnya sekutu) merasa ragu sebab Soekarno dan Mohamad Hatta cooperative dengan Jepang. Untuk mengimbangi rasa skeptis pihak luar maka figur Amir Sjarifoeddin diperlukan karena tidak hanya non cooperative dengan Belanda juga non cooperative dengan Jepang. Dalam pembentukan kabinet itu dilakukan upaya untuk menjemput Amir Sjarifoedin di penjara Malang. Sekali lagi Soekarno mempengaruhi Jepang jika Amir Sjarifoeddin tidak dilepas maka akan timbul huru hara (taktik ini juga yang digunakan Soekarno ketika meminta Jepang untuk mengurunkan niat untuk menghukum mati Amir Sjarifoeddin. Posisi ideal saat itu untuk Amir Sjarifoeddin adalah Menteri Penerangan untuk memberi kesan bagi pihak luar dan kalangan domestik bahwa kemerdekaan Indonesia memiliki nilai yang tinggi. Jabatan Menteri Penernagan ini cocok bagi Amir Sjarifoeddin yang memang piawai berpidato dan memberi keterangan. Jadilah Amir Sjarifoeddin melengkapi susunan kabinet yang telah dibentuk oleh Soekarno dan Mohamad Hatta. Susunan kabinet yang telah diumumkan tersebut dapat dibaca pada surat kabar Provinciale Drentsche en Asser courant edisi 13-10-1945.

Kabinet Presidensial ternyata kemudian menimbulkan masalah. Sebab konfigurasi perjuangan Indonesia berifat parlementer dengan basis partai-partai. Dialektika ini mudah dipahami karena Soekarno sudah sejak awal (era PPPKI) telah mengedepankan pentingnya partai. Toh juga Soekarno dan Mohamad Hatta sama-sama pernah menjadin pemimpin partai. Lalu Presiden Soekarno mendukung kabinet parlementer dan membubarkan kabinetnya (kabinet presidensial). Soekarno menunjuk Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin untuk menyusun kabinet baru yang mana kemudian diumumkan Soetan Sjahrir sebagai Perdana Manteri dan Amir Sjarifoeddin sebagai Menteri Keamanan Rakyat (yang memang saat itu perlawanan terhadap Belanda terdapat dimana-mana). Dalam susunan Kabinet Sjahrir posisi Ir. Soerachman digeser menjadi Menteri Keuangan dan Prof Soepomo tetap sebagai Menteri Kehakiman. Untuk Menteri Pendidikan diisi oleh Dr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Daftar Kabinet Sjahrir ini dapat dibaca pada buletin Keesings historisch archief: geïllustreerd dagboek van het hedendaagsch wereldgebeuren met voortdurend bijgewerkten alphabetischen index, edisi 11-17 November 1945.

Kabinet Sjahrir berada dalam situasi dan kondisi yang semakin memanas antara Inggris/Sekutu dan Belanda yang terus menguntit di satu pihak dan berbagai paksi di internal Indonesia di pihak lain. Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin sebagai pemimpin di depan menghadapi Inggris/Sekutu dan Belanda juga menghadapi faksi-faksi lain di pihak Indonesia yang meragukan kepemimpinan Soetan Sjahrir. Upaya-upaya diplomasi yang berujung pada Perjanjian Linggarjati dianggap telah gagal kabinet Sjahrir. Akibatnya Soetan Sjahrir mengundurkan diri dan Kabinet Sjahrir dibubarkan.

Presiden Soekarno kemudian menunjuk Amir Sjarifoeddin sebagai perdana menteri. Setali tiga uang juga berujung pada Perjanjian Renville yang menyebabkan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin juga harus mengundurkan diri. Belanda yang terus merangsek menyebabkan republik semakin terdesak. Awalnya pemerintah RI terusir dari Djakarta dan mengungsi ke Djogjakarta, lalu kemudian garis (demarkasi) van Mook semakin menyulitkan Republik Indonesia.     

Ir. Soerachman tampaknya menyadari bahwa bergabung dengan Republik Indonesia sudah tidak menguntungkan. Republik Indonesia sudah terdesak jauh ke ‘pinggiran’ dengan ibukota di Djogjakarta. Kekuatan RI memang bukan semakin menguat, sebaliknya justru Belanda semakin menguat. Faktor inilah yang diduga mengapa Ir. Soerachman, ketika para Republiken berjuang di bidang diplomasi dan bertempur di medan perang, lebih memilih ‘membelot’ ke pihak Belanda dan mengingkari Republik Indonesia.

Setelah Ir. Soerachman tidak lagi duduk di kabinet dan tidak memiliki jabatan lagi boleh jadi Ir. Soerachman mencari peruntungan di pihak Belanda di Batavia. Dalam pembentukan pemerintahan Belanda di Batavia, Ir. Soerachman diberikan posisi sebagai Hoofd van de Onderafdeling nij Verheidsvoorlichting van de Afdeling Nijverheid van het Dep. E.Z (Kepala Subbagian Departemen Perindustrian di Departemen E.Z). Namun entah mengapa jabatan itu kemudian tidak diinginkannya apakah karena terlalu rendah? Yang jelas, Ir. Soerachman meminta mengundurukan diri dan lalu diberi status pengunduran diri secara hormat (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 10-11-1947).

Setelah beberapa waktu Ir. Soerachman kembali lagi (balik kucing) ke pihak RI. Jelang konferensi Renville, di Djogjakarta dibentuk delegasi RI. Yang bertindak sebagai ketua adalah Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, wakil ketua Ali Sastroamidjojo. Anggota terdiri dari Dr. Tjoa Sik lon, Soetan Sjahrir, HA. Salim dan Mr. Nasroen dengan anggota cadangan Ir. Djoeanda dan Drs. Setijadjit. Penasehat terdapat sebanyak 32 orang termasuk Mr AK Pringgodigdo, Prof. Dr. Mr. Soenario Kolopaking dan  Ir. Soerachman (Amigoe di Curacao : weekblad voor de Curacaosche eilanden, 08-12-1947).

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang diadakan di atas kapal Amerika Serikat  USS Renville. Perjanjian ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Dalam pertemuan tersebut ditengahi oleh Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian ini dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook. Hasil perjanjian ini tidak menguntungkan RI bahkan menjadi menyulitkan RI. Faksi yang menginginkan 100 persen RI tidak sepakat dengan hasil perjanjian ini. Akibatnya Kabinet Amir Sjarifoeddin tertekan. Akhirnya Amir Sjarifoeddin Harahap meletakkan jabatan dan kabinet Amir Sjarifoeddin dibubarkan. Sebagai tikdak lanjutnyanya diangkat Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri dan menyusun kabinet,

Perserlisihan antara RI dan Belanda pasca perjanjian Renville terus meningkat. Suhu politik terus memanas dan perang terjadi dimana-mana dan semakin meluas. Pihak Belanda melakukan langkah radikal dengan ‘mengusir’ semua individu Republik yang memiliki pengaru untuk keluar dari wilayah Belanda. Menurut catatan pemerintah Belanda terdapat 32 orang pejabat atau kepala keluarganya yang sudah di Djogja untuk meninggalkan Batavia dalam waktu dua minggu (De nieuwsgier, 20-09-1948). Perwakilan RI di Batavia harus dikosongkan dan hanya diberikan akses saja. Di dalam daftar yang harus diusir tersebut termasuk Ir. Soerachman, H. Agoes Salim, Mr. Pringgodigdo, Dr, Leimana dan Mr, Maramis.

Pada bulan Maret 1946 pejabat dan pegawai pemerintah RI mengungsi ke Djogjakarta. Rombongan terakhir adalah kementerian dalam negeri dan kementerian penerangan. Rombongan pejabat dan pegawai RI ini dipimpin oleh Mr. Arifin Harahap.    

Setelah semua orang Republiken dievakuasi ke Djogja ternyata sejumlah pihak masih ada keperluan ke Batavia. Namun dalam keterangan pihak Belanda kereta api yang datang dari Djogjakarta yang hanya diizinkan dua orang penumpang di dalam kereta yakni Ir. Soerachman dan Herawati Diah (istri pemimpin Harian Merdeka) (De nieuwsgier, 23-09-1948). Pemberian dispensasi kepada dua orang yang disebut tidak begitu jelas.

Ir, Soerachman ditunjuk pemerintah RI di Djogjakarta untuk menyelidiki situasi kilang minyak Tjepoe (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-10-1948). Hasil penyelidikan Ir. Soerachman bahwa kilang minyak Tjepoe masih utuh setelah terjadinya pendudukan oleh RI. Disebutkan bahwa Ir, Soerachman telah mengerim laporan kepada Mohamad Hatta kilang minyak Tjepo segera beroperasi. Dr. Soerachman yang telah kembali ke Djokja mengatakan stok terbesar di Tjepoe masih aman dan tidak diapa-apakan. Dalam perkembangannya, sebuah komite yang terdiri daro Menteri Dalam Negeri, Soeltan Djogja dan Ir. Soerachman akan melakukan pengumpulan dana dengan cara pinjaman dari orang-orang kaya di berbagai kota di wilayah republik (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-10-1948). Kota-kota tersebut antara lain Madioen, Toeloengagoeng, Ponorogo, dan Solo..

Seperti di era pemerintahan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin Harahap perselisihan RI dan Belanda untuk mengatasi ketegangan dengan gencatan senjata dan menuju ke perundingan (Renville), pada era pemerintahan Perdana Menteri Mohamad Hatta juga perselisihan diredakan dengan gencatan senjata menuju konferensi KMB di Den Haag (23 Agustus-2 November 1949). Delegasi ke KMB dipimpin oleh Mohamad Hatta.

Delegasi ke KMB di Den Haag ditentukan berapa banyak dan komposisinya yang terdiri dari pihak Repulik, negara-negara federal (bentukan Belanda) seperti Negara Sumatra Timur. Abdoel Hakim Harahap, residen Tapanoeli bertindak sebagai penasehat ekonomi delegasi.

Dalam delegasi ke KMB tidak termasuk Ir. Soerachman. Namun Ir. Soerachman berpartisipasi hadir sebagai atas nama pribadi. Ir. Soerachman dengan maskapai KLM tiba di Schiphol untuk melanjutkan perjalanan ke konferensi KMB (De vrije pers : ochtendbulletin, 25-08-1949). Tidak diketahui secara jelas mengapa Ir. Soerachman mengapa berangkat ke KMB dengan atas nama pribadi.

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Sebagaimana hasil Perjanjian Linggarjati (1947) dan Perjanjian Renville (1948) yang ditolak oleh sebagian Republiken, setali tiga uang, hasil KMB juga ditolak oleh sebagian para Republiken.    

Satu yang terpenting dari hasil KMB adalah penyerahan kedaualatan RI oleh Belanda yang dijadwalkan pada tanggal 27 Desember 1949. Pada periode waktu 2 Nover-27 Desember 1949 satu yang terpenting adalah pendirian universitas republik di Djogjakarta yang diberi nama Universitas Gadjah Mada.

Pihak-pihak yang pro KMB dan mematuhi isi perjanjian KMB yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta kemudian membentuk pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat). Pihak Republik yang pro KMB tidak kembali ke Djogjakarta dan mulai menata pemerintahan RIS di Djakarta. Sebaliknya yang kontra KMB berhijrah ke Djogjakarta dan kemudian membentuk pemerintahan sendiri (Pemerintah RI). Ir. Soerachman yang pro KMB tidak kembali ke Djogjakarta. Abdoel Hakim Harahap yang kontra KMB hijrah ke Djogjakarta. Abdoel Hakim Harahap ikut membentuk pemerintahan RI di Djogjakarta sebagai Wakil Perdana Menteri.

Sebagaimana para republiken terpecah (RIS vs RI), eksistensi Badan Perguruan Tinggi Republik Indonesia (BPTRI) juga terpecah (RIS vs RI). Ir. Soerachman diangkat untuk mempersiapkan perguruan tinggi di Djakarta. Perguruan tinggi ini merupakan gabungan BPTRI dengan Universiteit van Indonesie yang kemudian diberi nama Universiteit Indonesia. Ir. Soerachman kemudian menjadi Presiden Universiteit Indonesia yang mulai melakukan kegiatannya pada tanggal 2 Februari 1950.

Ir. Soerachman orang Indonesia pertama sebagai insinyur (sarjana) teknik kimia lulus tahun 1920an. Sarjana teknik kimia orang Indonesia kedua lulus tahun 1940an bernama AFP Siregar gelar MO Parlindoengan. Berangkat studi ke Belanda dan memulai kuliah di Delf 1937 (lihat (lihat Delftsche courant, 11-09-1937). Setelah lulus dan meraih insinyur teknik kimia di Delf, MO Parlindoengan kembali ke tanah air di era pendudukan Jepang dan ditempatkan di industri persenjataan di Bandoeng). Ir. Soerachman dan Ir. MO Parlndoengan yang sama-sama lulusan Teknik Kimia di Delf adalah dua insinyur teknik kimia Indonesia yang ada. Saat ini ketika Ir. Soerachman menjadi Presiden Universiteit Indonesia, MO Parlindoengan yang berpangkat Overste (Letkol) yang menguasi teknologi bom produk Jepang, sepulang bergerilya bertahun-tahun dalam perang kemerdekaan di Soerabaja dan Oost Java MO Parlindoengan diangkat sebagai direktur Perusahaan Sendjata dan Mesioe di Bandoeng (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 21-07-1950).  MO Parlindoengan bukan orang baru, ketika sekutu/Inggris berseberangan dengan TRI di Bandoeng (awal tahun 1946), Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap meminta Ir. AFP Siregar untuk bergabung dengan TRI di divisi Siliwangi di bawah komando Kolonel Abdoel Haris Nasution. Keahliannya dibutuhkan RI untuk menangani bom produk Jepang (MO Parlindoengan kelak lebih dikenal sebagai penulis buku kontroversi Tuanku Rao). Perusahaan strategis ini menjadi cikal bakal PT PINDAD yang sekarang. Sejak pasca pengakuan kedaulatan RI inilah dua insinyur teknik kimia beda generasi ini menginisiasi pembentukan Departemen Teknik Kimia di Fakultas Teknik, Universiteit Indonesia di Bandoeng. Di era RIS, Ir. Soerachman di Djakarta dan Overste Ir. MO Parlindoengan mendatangkan profesor dari Belanda yang diduga guru mereka dulu di Delf yakni Prof. Dr. Ir. JPW Houtman. Lalu Prof. Houtman diresmikan sebagai guru besar pertama teknik kimia di Universiteit Indonesia. Setelah lebih dari lima tahun membangun departemen teknik kimia, pada tahun 1955 Prof. Dr. Ir. JPW Houtman kembali ke Belanda (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 22-10-1955). Disebutkan dalam perpisahan yang diselenggarakan asosiasi Himatek himpunan mahasiswa di Teknologi Kimia di ruang besar di Teknik Kimia hadir dosen, asisten dan mahasiswa di salah satu ruang besar di Fakultas Teknik. Pidato pertama disampaikan oleh Simandjuntak dan Sunjoto yang masing-masing ketua panitia dan ketua Himatek, lalu diikuti oleh Prof. dr. Soetomo Wongsotjitro, sekretaris Senat Fakultas yang juga mewakili atas nama dekan fakultas Prof. dr. Soetedjo (yang berhalangan). Kemudian berpidato Ketua Departemen Teknologi Kimia Prof. dr. Dr. CO Schaeffer yang mengingatkan kembali ketika memulai pekerjaannya tahun 1950 dengan merancang laboratorium di bagian dari gedung Teknik Kesehatan, Departemen Kesehatan Masyarakat. Dikatakan Prof. Schaeffer bahwa pembangunan laboratorium itu dilakukan oleh Prof. Houtman sebagai bagian yang paling sulit dalam sejarah departemen ini sebagai bagian tidak terpisahkan dalam proses pengajaran bagi insinyur kimia Indonesia pertama. Prof. Schaeffer mengatakan bahwa Prof. dr. Houtman di dalam fase kehadirannnya di departemen/fakultas tidak egois. pekerja keras dan tangguh serta ahli kimia yang cemerlang, Juga berbicara Ir. JA. Bruin dan Ir. Tjiok Tiauw Kien, dosen di Teknik Kimia. Akhinya Prof. Dr. Ir. JPW Houtman mengucapkan terimakasih kepada yang telah hadir. Catatan: Sjarif Anwar gelar Soetan Goenoeng Toea, seorang Djaksa di Padang Sidempoean (1885) memiliki dua anak laki-laki dan anak perempuan: (1) Djamin Harahap gelar Baginda Soripada, seorang Djaksa di Sibolga adalah ayah dari Mr. Amir Sjarifoeddin gelar Soetan Goenoeng Soaloon; (2) Hoemala Harahap gelar Mangaraja Hamonangan, seorang guru di Padang Sidempoean adalah ayah dari Mr. Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D; (3). Salah satu anak perempuan Soetan Goenoeng Toea menikah dengan Soetan Martoewa Radja, seorang guru di Sipirok alumni Kweekschool Padang Sidempoean (1890). Soetan Martoewa Radja adalah ayah dari Ir. MO Parlindoengan. Kelak, Amir Sjarifoeddin adalah Menteri Pertahanan dan kemudian Perdana Menteri; Soetan Goenoeng Moelia adalah Menteri Pendidikan RI yang kedua (setelah Ki Hadjar Dewantara); Last but not least: Salah satu anak Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D menikah dengan putri dari Presiden Universiteit Indonesia, Ir. Soerachman. Dua insinyur teknik kimia pertama Indonesia ini kemudian menjadi berkerabat melalui Soetan Goenoeng Moelia.

Mr. Soepomo dan Boedi Oetomo: Generasi Pertama Peraih Gelar Doktor (Ph.D)

Pada dasarnya pendirian Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada memiliki jalur yang berbeda. Universitas Indonesia yang berada di Djakarta, sejarahnya dapat ditelusuri hingga jauh ke masa lampau. Universitas Indonesia adalah sebuah garis continuum dari suatu kebutuhan pemerintah kolonial Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Dengan kata lain Universitas Indonesia yang sekarang dapat ditelusuri hingga ke origin pada saat pendirian Dokter Djawa School pada tahun 1851.

Sejarah Universitas Gadjah Mada baru muncul setelah era kemerdekaan Indonesia. Pendirian Universitas Gadjah Mada adalah respon terhadap kebutuhan perguruan tinggi bagi Republik Indonesia yang secara defacto ibukota RI telah dipindahkan ke Djogjakarta. Sedangkan Universitas Gadjah Mada hanya dapat ditelusuri sejak tahun 1946 ketika didirikan perguruan tinggi Gadjah Mada. Memang sekolah guru sudah berdiri di Soerakarta tahun 1850 tetapi tidak pernah terhubung dengan Djogjakarta. Bahkan hingga tahun 1945 di Djogjakarta belum pernah ada perguruan tinggi.   

Dari sudut pandang masa kini pendirian Universitas Gadjah Mada pada tanggal 19 Desember 1949 dan pendirian Jajasan Universitas Indonesia pada bulan Juli 1951 adalah titik awal perguruan tinggi Republik Indonesia atau tepatnya titik awal Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sebab sejak itulah terjadi penataan dua perguruan tinggi tersebut dilakukan secara terencana dan sistematis. Kebetulan Presiden Universitas Gadjah Mada Dr. Sardjito, Ph.D dan Presiden Universitas Indonesia Mr. Soepomo, Ph,D memiliki kapasitas yang mumpuni untuk memimpin sebuah universitas; sama-sama generasi pertama sarjana Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph.D).

Orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) adalah Husein Djajadiningrat pada tahun 1913 di Universiteit Leiden pada Mei 1913 di bidang sastra (De Telegraaf, 31-12-1934). Desertasi Djajadiningrat berjudul ‘Critische beschouwingen van di Sadjarah Banten’. Gelar doktor kedua diraih oleh Dr. Sarwono di bidang kedokteran pada tahun 1919, lalu yang ketiga dan keempat adalah Mr. Gondokoesoemo dan RM Koesoema Atmadja sama-sama di bidang hukum pada tahun 1922. Lalu yang kelima dan keenam adalah Dr. Sardjito dan Dr. Mohamad Sjaaf sama-sama di bidang medis tahun 1923. Yang ketujuh adalah R Soegondo (hukum 1923).

Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931
Mr. Soepomo, Ph,D lahir di Solo, meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum di Universiteit Leiden tahun 1927 dengan judul desertasi ‘De reorganisatie van 't agrarisch stelsel in het Gewest Soerakarta’ (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 09-07-1927). Yang bertindak sebagai promotor adalah Prof. Carpentier Alting. Hingga tahun 1933 sudah terdapat sebanyak 26 orang Indonesia yang berhasil meraih gelar tertinggi pendidikan (Ph.D). Namun diantara mereka hanya satu orang perempuan yakni Ida Loemongga meraih doktor (Ph.D) Iniversiteit Leiden pada bidang kedokteran dengan desertasi berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’ (Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931). Ida Loemongga, anak dari Dr. Harun Al Rasjid di Padang Sidempoean (Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931).

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota
Daftar orang Indonesia peraih gelar doktor (Ph.D) selanjutnya adalah sebagai berikut: (8) JA Latumeten (medis, 1924); (9) Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (hukum, 1925); (10) R. Soesilo (medis, 1925); (11) HJD Apituley (medis, 1925); (12) Soebroto (hukum, 1925); (13) Samsi Sastrawidagda (ekonomi, 1925); (14) Poerbataraka (sastra, 1926); (15) Achmad Mochtar (medis, 1927); (16) Soepomo (hukum, 1927); (17) AB Andu (medis, 1928); (18) T Mansoer (medis, 1928); (19) RM Saleh Mangoendihardjo (medis, 1928); (20) MH Soeleiman (medis, 1929); (21) M. Antariksa (medis, 1930); (22) Sjoeib Proehoemans (medis, 1930); (23) Aminoedin Pohan (medis, 1931); (24) Seno Sastroamidjojo (medis, 1930); (25) Ida Loemongga (medis, 1931); (26) Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sastra dan filsafat, 1933). Catatan: cetak tebal adalah doktor-doktor asal Afdeeling Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli.  

Keutamaan Dr. Soepomo, Ph.D adalah orang Indonesia kedua peraih gelar Ph.D dengan predikat Cum Laude. Ini suatu prestasi sendiri pada masa itu. Meski bukan doktor Indonesia yang pertama, tetapi prestasi Cum Laude tersebut telah mengangkat nama Dr. Soepomo, Ph.D sebagai figur yang kerap diberitakan. Doktor Indonesia pertama adalah Husein Djajadinigrat yang meraih gelar doktor tahun 1913 (bidang sastra) dengan predikat Cum Laude. Doktor kedua adalah Dr. Sarwono meraih gelar doktor di bidang medis pada tahun 1919. Doktor ketiga dan keempat adalah dua sarjana hukum Gondokoesoemo dan Koesoema Atmadja yang sama-sama meraih gelar doktor tahun 1922. Mr. Soepomo merupakan orang Indonesia ke-16 yang meraih gelar doktor dan orang Indonesia ke-6 di bidang hukum.

Mr. Soepomo meraih gelar doktor di bidang hukum tahun 1927 di Universiteit Leiden relatif bersamaan waktunya dengan Dr. Achmad Mochtar di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam dengan desertasi berjudul ‘Onderzoekingen omtrent eenige leptosptrenstammen’. Dr. Achmad Mochtar, Ph.D mengawali karir sebagai dokter dalam penelitian penyakit malaria bersama Dr. Schuffner di afdeeling Padang Sidempoean sebelum melanjutkan studi ke Belanda. Di era pendudukan Jepang Dr. Achmad Mochtar, Ph.D menjadi Direktur Eijkman Instituut.

Setelah selesai studi di Belanda, Mr. Soepomo, Ph.D langsung pulang ke tanah air. Mr. Soepomo, Ph.D kemudian diangkat pemerintah sebagai panitera di kantor pengadilan Landraad Djogjakarta (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,   07-10-1927). Sebelum berangkat studi ke Belanda tahun 1924, Soepomo, lulusan Rechts School Batavia ditempatkan di pengadilan Landraad di Sragen (Residentie Soerakarta).

Soepomo memulai pendidikan tinggi di Recgts School di Batavia. Pada tahun 1922 Soepomo naik dari kelas dua ke kelas tiga (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-05-1922), Pada tahun 1923 Soepomo lulus ujian akhir dan berhak mendapat gelar ahli hukum (Bataviaasch nieuwsblad, 23-06-1923). Lalu kemudian diangkat pemerintah ditempatkan di pengadilan Landraad Sragen. Setahun kemudian muncul berita bahwa Soepomo akan melanjutkan studi ke Belanda (De Indische courant, 30-07-1924). Soepomo berangkat tanggal 27 Agustus dari Batavia menuju Amsterdam dengan kapal Princess Juliana (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-08-1924). Kapal yang ditumpangi Soepomo berlabuh di pelabuhan Amsterdam tanggal 28 September 1924 (Algemeen Handelsblad, 24-09-1924). Selama di Belanda tidak pernah muncul nama Soepomo di publik. Boleh jadi Soepom sangat intens belajar. Tiba-tiba muncul nama Soepomo tahun 1927 lulus doktor di bidang hukum di Universiteit Leiden dengan prestasi Cum Laude (Algemeen Handelsblad, 15-06-1927). Ini suatu prestasi sendiri karena Soepomo meraih gelar sarjana hukum (MR) dan gelar doktor (Ph.D) dalam tenmpo singkat, kurang dari tiga tahun, Mr. Soepomo, Ph,D tidak lama kemudian pulang ke tanah air dengan kapal Jan P. Coen pada tanggal 30 Agustus 1927 dari pelabuhan Amsterdam menuju Batavia (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-08-1927). Di dalam manifes kapal namanya tercatat sebagai Mr. Dr. Soepomo (baca: Mr. Soepomo, Ph.D).

Di Djogjakarta, Mr. Soepomo, Ph.D langsung bekerja. Diantara waktunya, Mr. Soepomo, Ph.D diberitakan mengisi kekosongan sekretaris administrasi pusat asosiasi Boedi Oetomo, yang fungsinya sebelumnya diisi oleh Adipoetranto (De Indische courant, 13-12-1927). Sebagai akademisi yang berprestasi Mr. Soepomo, Ph.D mendapat hadiah Gadjamadaprijs dari Java Instituut (Algemeen Handelsblad, 15-02-1928). Berapa besar nilai hadiah tersebut tidak disebutkan. Namun hadiah tersebut dapat dianggap sebagai penghargaan yang tinggi bagi seorang pribumi yang diberikan oleh kalangan orang-orang Belanda. Sarjana-sarjana Belanda yang bekerja di Hindia Belanda, disamping tugasnya seperti di pemerintahan mereka juga mendirikan lembaga-lembaga kajian karena memiliki minat yang sama untuk mengumpulkan data, menganalisis dan mendessiminasi untuk wilayah tertentu. Selain Java Instituut juga diketahui keberadaan lembaga Batak Instituut, Minangkabaoe Instituut dan Oostkust Sumatra Instituut.

Organisasi Boedi Oetomo didirikan tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Dalam kongres yang pertama bulan Oktober 1908 terpilih ketua baru dan administrasi kantor pusat berkedudukan di Djogjakarta. Kantor pusat Boedi Oetomo berpindah-pindah sesuai dengan dimana ketua terpilih berdomisili atau bertugas tetap. Pada tahun 1927 kantor pusat berada di Djogjakarta.

Kehadiran Mr. Soepomo, Ph.D di Beodi Oetomo dianggap penting karena Mr. Soepomo, Ph.D diharapkan dapat memberikan perubahan besar di dalam organisasi besar Boedi Oetomo. Organisasi Boedi Oetomo selama ini kerap diejek sebagai organisasi kedaerahan, eksklusif, pro Belanda dan banyak mendapat dukungan dari pemerintah. Organisasi Boedi Oetomo sebagai organisasi besar yang merasa tidak perlu untuk mendukung organisasi nasional (baca: Indonesia) untuk mencapai cita-cita kemerdekaan bersama. Bahkan di dalam kongres Boedi Oetomo ke-16 tahun 1925 di Solo muncul suara-suara di forum ‘Boedi Oetomo tersebut yanga menyatakan bahwa Boedi Oetomo menuntut kemerdekaan di Jawa tetapi memberi tolerasi kolonialisasi di luar Jawa’. Suara-suara ini sempat dibalas oleh sebagian orang-orang Boedi Oetomo di dalam kongres dengan nada yang menentang suara false tersebut. Mr. Soepomo, Ph.D adalah tonggak perubahan di Boedi Oetomo.

De locomotief: Samarangsch handels-blad, 21-08-1902
Organisasi Boedi Oetomo didirikan oleh orang-orang muda mahasiswa STOVIA yang dipimpin oleh Soetomo dkk tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Dalam kongres Boedi Oetomo yang pertama di Djogkalarta tanggal 3 Oktober 1908, organisasi Boedi Oetomo terkooptasi oleh para senior (para junior mulai tersingkir) dan mulai mengarah ke sifat yang eksklusif (bersifat kedaerahan). Ketua Boedi Oetomo terpilih adalah Tirtokesoemo. Kudeta para senior ini, Boedi Oetomo seakan ingin menyaingi organisasi kebangsaan Medan Perdamaian (yang bersifat nasional). Sebelumnya telah terjadi debat dan perselisihan antara Dr. Tjipto yang menginginkan orang muda dengan Dr. Radjiman yang disokong oleh Dr. Wahidin (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-10-1908), Namun kudeta tetaplah kudeta. Soetan Casajangan, mahasiswa di Belanda merespon balik (struktur kepemimpinan yang tua dan visi kebangsaan yang mengerdil di Boedi Oetomo) dengan menggagas dan mendirikan organisasi mahasiswa yang bersifat nasional di Belanda yang diproklamirkan pada tanggal 25 Oktober 1908 dengan nama Indisch Vereeniging (persatuan mahasiswa nasional Indonesia). Greget Soetan Casajangan ini boleh jadi telah mengetahui telah didirikan organisasi kebangsaan yang bersifat nasional di Padang pada tahun 1900 oleh Dja Endar Moeda yang diberi nama Medan Perdamaian. Organisasi kebangsaan di Padang ini bahkan pada tahun 1902 semasih Dja Endar Moeda menjadi presiden Medan Perdamaian telah mengirimkan bantuan sebesar f14.000 untuk membantu peningkatan pendidikan di Semarang (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-08-1902). Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah kakak kelas Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean. Catatan: Platform oraganisasi Boedi Oetomo mirip (copy paste) dengan oraganisasi Medan perdamaain (lihat Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908). Yang membedakan adalah Medan Perdamaian bersifat nasional, sedangkan Boedi Oetomo bersifat kedaerahan terbatas di Jawa dan sekitarnya.

Pada tahun 1911 Soetomo lulus STOVIA dan ditempatkan di Loeboek Pakam, Deli. Soetomo melihat penderitaan kuli asal Jawa yang terikat kontrak yang sangat merugikan kuli. Setelah selesai bertugas di Deli, Dr. Soetomo dipindahkan kembali ke Jawa. Di Batavia, Dr. Soetomo melakukan orasi di Boedi Oetomo cabang Batavia yang dipimpin oleh Dr. Sardjito dengan topik poenalie sanctie kuli kontrak di Deli. Dr. Soetomo dalam orasi tersebut menggarisbawahi bahwa orang Jawa tidak (baca: Boedi Oetomo) tidak bisa sendiri mengatasi persoalan kuli asal Jawa di Deli. Orang-orang di luar Jawa terutama Batak dan Minahasa/Manado juga banyak yang terpelajar. Orasi Dr. Soetomo, yang hampir empat tahun berada di Deli’ seakan di depan anggota Boedi Oetomo ingin mengingatkan mengapa Soetan Casajangan pada tahun 1908 (beberapa bulan setelah pendirian Boedi Oetomo) berisiatif mendidirikan Indisch Vereeniging (Organisasi mahasiswa bersifat nasional, sementara Soetan Casajangan hanya sendiri orang Batak sementara anggota Indisch Vereeniging yang jumlahnya sekitar 20 mahasiswa yang sebagian besar berasal dari Jawa).

Pada tahun 1917 Parada Harahap, seorang krani (karyawan admibnistrasi) di perkebunan Deli yang masih berumur 18 tahun melakukan investigasi penyiksaan kuli di perkebunan dan lalu menulis laporan dan mengirimkan ke surat kabar Benih Mardeka yang terbit di Medan. Laporan itu awalnya tidak menarik bagi editor, dan baru tahun 1918 laporan itu disarikan dan ditulis ke dalam sejumlah artikel dan dimuat pada beberapa edisi. Berita itu ternyata tidak menjadi perhatian di Medan, dianggap angin lalu karena di Medan orang sudah sejak lama mendengar kabar burung adanya perlakukan para planter terhadap para kuli yang tidak manusiawi. Surat kabar Soeara Djawa beberapa bulan kemudian malansir artikel-artikel tersebut. Lalu setelah artikel itu muncul di Jawa baru terjadi heboh. Atas hal itu, akhirnya Parada Harahap dipecat sebagai krani. Lalu Parada Harahap hijrah ke Medan dan melamar sebagai wartawan di Benih Mardeka tetapi justru posisi editor yang ditawarkan kepadanya. Namun beberapa bulan sebagai editor, surat kabar Benih Mrdeka dibreidel. Parada Harahap lalu pulang kampung di Padang Sidempoean mendirikan surat kabar yang diberi nama Sinar Merdeka. Pada kongres Sumatranen Bond di Padang tahun 1919 dan 1921 Parada Harahap adalah pimpinan delegasi dari Tapanoeli. Di sinilah Parada Harahap bertemu Mohamad Hatta.

Parada Harahap hijrah ke Batavia tahun 1922 setelah Sinar Merdeka dibreidel. Sebelumnya tahun 1921 Mohamad Hatta berangkat studi ke Belanda. Pada tahun 1923 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Hindia, kemudian pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi pertama yang diberi nama Alpena dengan merekrut WR Supratman sebagai editor. Pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar yang lebih radikal yang diberi nama Bintang Timoer. Dalam tempo singkat Bintang Timoer melejit sendiri dengan tiras paling tinggi. Pada saat inilah Ir. Soekarno yang baru lulus THS dan menjadi anggota studiclub kerap mengirimkan tulisan ke Bintang Timoer. Parada Harahap dan Soekarno yang sama-sama revolusioner menjadi akrab dan saling mendukung. Lewat Parada Harahap, Soekarno kemudian lebih mengenal Mohamad Hatta.

Pada tahun 1927 Parada Harahap, sekretaris pusat Sumatranen Bond mengundang para pemimpin organisasi kebangsaan untuk berkumpul di rumah Husein Djajadiningrat. Dalam petemuan ini disepakati dibentuk organisasi para pemimpin organisasi kebangsaan yang disebut Permoefakatan Perjimpoenan-Perjimpoenan Kebangsaan Indonesia disingkat PPPKI. Rapat tersebut memutuskan MH Thamrin sebagai ketua dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Langkah pertama adalah mendirikan kantor/gedung di gang Kenari (masih eksis hingga sekarang). Program pertama adalah menyelenggarakan Kongres PPPKI (senior) pada bulan September 1928 yang akan diintegrasikan dengan Kongres Pemuda (junior). Dalam rapat pembentukan organisasi pemimpin ini turut hadir Soetan Casajangan, Direktur Normaal School di Meester Cornelis. Organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain selain Sumatranen Bond yang diwakili Parada Harahap adalah Kaoem Betawi (diwakili MH Thamrin), Pasoendan, Boedi Oetomo yang diwakili oleh Dr. Soetomo dan Perserikatan Nasional Indonesia yang diwakili oleh Soekarno. Jelang konres PPPKI diangkat Dr. Soetomo sebagai ketua panitia kongres. Selanjutnya dalam kongres PPPKI yang pertama ini (27-9-1927) diputuskan bahwa organisasi kebangsaan diarahkan bertransformasi menjadi organisasi politik. Keputusan kongres yang lain adalah Dr. Soetomo terpilih sebagai ketua PPPKI yang baru. Kongres berikutnya akan dilaksanakan tahun 1929 di Solo. Dr. Soetomo sendiri setelah cukup lama berdinas, dikirim pemerintah studi ke Belanda tahun 1919 bersama Dr. Sardjito dan Dr. Mohamad Sjaaf. Setelah berakhir kepengurusan Dahlan Abdoellah, Dr, Sotomo yang dipilih menjadi ketua Indisch Vereeniging. Sejak itu nama Indisch Vereeniging diubah lebih radikal dengan nama Indonesiasch Vereniging dan kemudian disempurnakan pada kepengurusan Mohamad Hatta dengan nama Perhimpoenan Indonesia. Pada tahun 1923 Dr. Soetomo kembali ke tanah air dan lalu kemudian mendirikan studieclub yang pada tahun 1924 namanya disebut Indonesisch Studieclub. Pada tahun 1926 Soekarno dkk mendirikan klub studi yang meirip di Bandoeng.

Dalam pertemuan pembentukan PPPKI dan kongres-kongres, Dr. Soetomo sejatinya bukan mewakili secara resmi dari Boedi Oetomo, melainkan label yang diberikan kepadanya sebagai seorang nasional yang berasal dari Boedi Oetomo. Dalam pertemuan ini Dr. Soetomo ditemani oleh kawan-kawannya dari Boedi Oetomo cabang Batavia (yang lebih nasionalis) pimpinan Dr. Sardjito (rekan Dr. Soetomo yang baru pulang setelah meraih gelar Ph.D di Belanda). Pada akhir tahun 1927 bahkan Soekarno, ketua Perserikanan Nasional Indonesia meminta Boedi Oetomo untuk ikut berjuang dalam kesatuan bangsa. Hal ini karena di dalam Boedi Oetomo masih banyak paksi yang bersifat kedaerahan dan lebih cooperative dengan Belanda. Pada awal tahun 1928 organisasi kebangsaan Perserikatan Nasional Indonesia pimpinan Soekarno diubah menjadi organisasi politik Partai Nasional Indonesia. Dalam perkembangannya pada tahun 1930 Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution di Soerabaja mendirikan organisasi politik yang baru yang diberi nama Partai Bangsa Indonesia.

Setelah kehadiran Mr. Soepomo, Ph,D di dalam dewan pusat Boedi Oetomo, gaung nasionalis mulai muncul. Paling tidak di dalam kongres Boedi Oetomo tahun 1928, salah satu keputusan yang boleh dianggap penting yang ditempatkan pada butir pertama: ‘bergabung PPPKI, serikat nasionalis (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15-02-1928). Hasil keputusan Kongres Boedi Oetomo ini secara resmi mengindikasi bahwa Boedi Oetomo bergabung dengan PPPKI dalam pesatuan bangsa. Dengan kata lain, Boedi Oetomo telah mengoreksi kembali visi misinya yang dianggap telah melenceng selama hampir dua dasawarsa.

Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15-02-1928
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15-02-1928: ‘Boedi Oetomo. Keputusan kongres. Untuk kelengkapan, kami memberikan Anda keputusan singkat tentang keputusan pada kongres terakhir Boedi Oetomo: (a) Bergabung dengan PPPKI (sebagai perhimpuan nasionalis). (b) Pembentukan komite untuk revisi pasal-pasal asosiasi sehubungan dengan ide Indonesia. (c). Penolakan orang Eropa disamakan dengan organisasi. (d) pengangkatan Dr Soepomo sebagai wakil ketua (e) Diputuskan bahwa kongres yang akan datang akan diadakan di Solo pada bulan April.

Kapasitas Mr. Soepomo, Ph.D sebagai ahli hukum Cum Laude  mulai dimaksimalkan oleh Boedi Oetomo. Ini terlihat dari kemauan manajemen pusat yang telah membentuk sebuah komite yang bertugas untuk fungsi redaksi sebagai organ Boedi Oetomo (De Indische courant, 07-03-1928) Komite ini terdiri dari tiga anggota: Mr. R. Soepomo, R. Soepadmo dan RT Nitinegoro. Boleh jadi komite itu dipandang strategis karena hasil keputusan kongres memutuskan adanya perubahan pasal-pasal dalam statuta organisasi Boedi Oetomo.

De Indische courant, 11-04-1928
De Indische courant, 11-04-1928: ‘...Pada hari Sabtu pagi rapat tertutup berlangsung, di mana antara lain, amandemen Anggaran Dasar dibahas. Keputusan utama yang diambil adalah pengurangan Pasal-2 yang selama ini menyatakan: ‘Boedi Oetomo berusaha untuk pembangunan yang harmonis  dari negara dan masyarakat Jawa, Madura, Bali dan Lombok’. Pasal ini kemudian diubah menjadi: ‘Tujuan Boedi Oetomo bekerja melakukan pengembangan harmonis negara dan orang-orang dari Jawa, Madura, Bali dan Lombok untuk mewujudkan persatuan Indonesia....

Pada tanggal 9 April 1928 Boedi Oetomo melakukan rapat umum di Solo. Sebelum rapat umum digelar, telah dilakukan perubahan pasal-pasal pada Anggaran Dasar Boedi Oetomo (De Indische courant, 11-04-1928). Yang terpenting dalam perubahan pasal itu adalah tujuan Boedi Oetomo untuk mewujudkan persatuan Indonesia, bukan lagi hanya sebatas persatuan di Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Penggunaan nama Indonesia sudah dimasukkan dalam statuta. Perubahan pasal-pasal ini tentu saja diumumkan pada ramat umum tersebut. Dalam rapat umum di Solo ini juga hadir perwakilan dari Soerabaja Studieclub, PNI dan PSI. Pada hari kedua kemudian dilakukan pemilihan dewan pusat. Ketua terpilih adalah incumbent Koesoemo Oetojo. Posisi Mr. Soepomo, Ph.D adalah komisaris. Disebutkan Mr. Soepomo, Ph.D sebagai Ketua Pengadilan Landraad di Djogjakarta. Untuk kantor pusat berkedudukan di Solo.

Tiga Revolusione Indonesiar
Perubahan visi dan misi Boedi Oetomo yang baru yang telah mengindonesia, kenyataan tidak diterima secara bulat. Masih ada yang menolak dan bahkan akan membentuk organisasi baru. Informasi ini terungkap dalam tulisan Mr. Soepomo, Ph.D yang juga menyatakan bahwa di dalam tubuh anggota dewan pusat terdapat perselisihan tentang ‘persatuan nasional’ (Bataviaasch nieuwsblad, 19-06-1928).

Mr. Soepomo, Ph.D diantara perjalanan karirnya sebagai ahli hukum dan di dalam aktvitasnya di bidang politik, akhirnya melepas masa lajangnya.  Mr. Soepomo, Ph.D, ketua pengadilan Landraad Djogjakarta menikah dengan putri Pangeran Ario Mataram yang bernama RA Koes Hartati (Soerabaijasch handelsblad, 22-01-1929). Acara pernikahan dilakukan dengan adat Djawa kuno.

Mr. Soepomo, Ph.D mulai terendus oleh pihak Belanda sebagai seseorang yang memiliki karakter yang cenderung non cooperative. Mr. Soepomo, Ph.D diduga figur yang memiliki kedekatan dengan PNI. Mr. Soepomo, Ph.D yang cenderung berjiwa nasionalis (Soerabaijasch handelsblad, 06-11-1929). Anggapan yang muncul ini dapat dikaitkan ketika Mr. Soepomo, Ph.D memberikan kuliah pada kursus yang diselenggarakan Perkoempoelan Poetri Indonesia, organisasi kaum perempuan PNI (De Indische courant, 08-05-1928). Disebutkan kursus itu diberikan dalam bahasa Melayu, karena bahasa resmi PNI adalah bahasa Melayu (baca: bahasa Indonesia).   

Pada akhir tahun 1929 dilakukan Kongres PPPKI di Solo (De Sumatra post, 04-01-1930). Kongres ini diintegrasikan dengan Kongres Boedi Oetomo (ke-20). Situasi ini mirip dengan tahun 1928 yang mana Kongres PPPKI diintegrasikan dengan Kongres Pemuda. Hal ini dimungkinkan karena Boedi Oetomo telah bergabung dengan PPPKI (lihat kembali Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15-02-1928).

Pada tahun 1928 ketua panitia Kongres PPPKI di Batavia adalah Dr. Soetomo di bawah kepengurusan Ketua MH Thamrin dan Sekretaris Parada Harahap. Pada kongres kedua PPPKI di Solo, ketua PPPKI adalah Dr. Soetomo dan sekretaris Ir. Anwari. Dua kongres dilakukan sangat berdekatan: tiga hari pertama Kongres Boedi Oetomo dan tiga hari kedua Kongres PPPKI. Oleh karenanya ada peserta yang hadir untuk kedua kongres ini dan juga ada yang hadir untuk salah satu kongres saja. Pada hari kedua Kongres Boedi Oetomo turut hadi MH Thamrin dan Parada Harahap (Bintang Timoer). Pembicara utama di dalam Kongres Boedi Oetomo adalah Dr, Radjiman dan Mr. Soepomo, Ph.D. Dari 38 buah cabang Boedi Oetomo, 12 cabang tidak hadir. Mr. Soepomo, Ph.D memaparkan reformasi manajemen Boedi Oetomo dan perihal desentralisasi dan hubungan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hari kedua berbicara Dr. Radjiman yang meminta izin dengan bahasa Jawa. Dr. Radjiman berbicara tentang hal material dan spiritual orang Jawa dan perbabndingan Timur dan Barat. Sebagai sumber umum disebutnya Bintang Timoer, Indisch Courant dan Volkslectuur. Dalam forum debat Poerbatjaraka juga ikut mendukung Dr. Radjiman yang menyatakan bahwa Boedi Oetomo bekerja dengan hati-hati dan sabar, dan akan tiba waktunya..untuk bersatu. Selanjutnya, dalam Kongres PPPKI terkesan lebih radikal. Pembicara utama adalah Ir. Soekarno. Peserta sangat banyak bahkan ketua panitia meminta maaf karena banyak yang tidak tertampung di dalam. Pembicara pertama adalah Ketua Dr. Soetomo yang memulai pembahasan mengenai para pejabat kurang berani mandiri seperti di masa lalu. Para pejabat juga perlu memperhatikan pihak lain pada tingkat yang lebih besar.Dr. Soetomo juga memaparkan tentang perdagangan sangat menyedihkan sementara investasi asing makin besar. Dr. Soetomo mengutip Multatuli dan perlunya perlindungan bagi para pekerja kecil. Pembicara kedua adalah MH Thamrin. Juga surat-surat dan telegram dibacakan oleh sekretaris Anwari. Pembicara berikutnya adalag Ir. Soekarno yang mengatakan lebih banyak tentang kondisi di Indonesia. (Tepuk tangan.). Ir. Sukarno memulai dengan mengungkapkan harapan bahwa kaum tani, yang sekarang dipersatukan dalam persatuan Tani (organisasi petani), akan segera memiliki kekuatan di tangan mereka untuk menghancurkan kapitalisme secara menyeluruh. Tani, yang sebelumnya berada dalam kondisi yang menyedihkan, kini semakin memburuk oleh pertumbuhan modal asing yang melanjutkan eksploitasi dengan mengorbankan petani di negara yang sama. kritik terhadap industri gula yang memenuhi syarat sebagai racun berat bagi petani. mengajak semua orang yang dapat membantu membuat serikat tani, dan tentu saja dengan harapan bahwa Indonesia merdeka, 'Indonesia Merdika akan segera datang'. (Tepuk tangan).

Beberapa waktu setelah Kongres Boedi Oetomo di Solo, Mr. Soepomo, Ph.D berangkat ke Belanda (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-04-1930). Mr. Soepomo, Ph.D berangkat dari Batavia tanggal 23 April dengan kapal Sibajak. Di dalam manifes kapal Mr. Soepomo, Ph.D bersama istri. Tidak diketahui secara jelas tujuan keberangkatan Mr. Soepomo, Ph.D ke Belanda apakah cuti bulan madu atau kunjungan kerja sebagai ahli hukum atau pegawai pemerintah sebagai ketua pengadilan Landraad di Djogjakarta. Sementara Mr. Soepomo, Ph.D ke Belanda, di tanah air nama Mr. Soepomo, Ph.D muncul sebagai kandidat di Midden Java dan Oost Java untuk Volksraad (Bataviaasch nieuwsblad, 28-05-1930).

Sepulang dari Belanda, Mr. Soepomo, Ph.D diangkat pemerintah Departmen Kehakiman terhitung mulai berlaku 10 Nov. 1930 untuk tugas untuk penelitian hukum hak-hak penduduk pribumi (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 01-10-1930). Tugas semacam ini pernah diberikan kepada Mr. Husein Djajadinigrat, Ph.D dalam penyelidikan bahasa dan adat istiadat pribumi. Terkait dengan topik ini, Mr. Soepomo, Ph.D pernah mengajukan pertanyaan kepada salah satu pembicara dalam Kongres Kehakiman tahun sebelumnya.

Mr. Soepomo, Ph.D kemudian menarik pencalonannya untuk kandidat Volksraad sehubungan dengan tugas baru ini (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-01-1931). Mr. Soepomo, Ph.D dari ketua pengadilan Landraad Djogjakarta ditugaskan untuk kegiatan yang bersifat akademik ini dan menolak untuk peluang menjadi anggota Volksraad. Mr. Soepomo, Ph.D diberitakan telah mengucapkan terimakasih atas pencalonannya sehubungan dengan penugasan Pemerintah untuk pemeriksaan hukum adat (De Sumatra post, 02-01-1931). Disebutkan bahwa Mr. Dr. Soepomo menempati urutan ketiga dalam daftar calon Boedi Oetomo untuk Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Sementara itu Mr. Soepomo, Ph.D diberitakan kembali dari Belanda ke tanah air. Ini terindikasi dari daftar manifes kapal Christiaan Huygens dari Amsterdam tanggal 10 Februari 1931 (De Sumatra post, 09-03-1931). Disebutkan R. Soepomo dan istri. Ini dengan sendirinya menjawab bahwa Mr. Soepomo, Ph.D berangkat ke Belanda dalam rangka tugas penelitian hukum tersebut.

Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1931 kembali hadir Mr. Soepomo, Ph.D sebagai bagian dari dewan pusat yang berbasis di Djogjakarta. Namun, tempat kongres dilakukan bukan di Jawa tetapi di Batavia. Ini boleh dibilang kongres partama Boedi Oetomo di luar wilayah Jawa. Kongres pertama diadakan di Djogjakarta pada tahun 1908. Kongres ke-21 yang berlangsung tiga hari (Jumat sd Minggu) diadakan di Gedung Permoefakatan (PPPKI) di Gang Kenari. Salemba (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-04-1931). Dua keputusan yang penting dalam rapat tertutup adalah usulan Boedi Oetomo cabang (afdeeling) Jacatra (baca: Batavia) untuk mengubah statuta dalam arti bahwa dalam lebih lanjut bahwa Boedi Oetomo untuk seluruh rakyat Indonesia diterima oleh mayoritas besar, sedangkan usulan dari Afdeeling Sragen agar Boedi Oetomo merger dengan partai politik lainnya juga diadopsi.

Mengapa Afdeeling Batavia mengusulkan vsi Boedi Oetomo harus untuk seluruh rakyat Indonesia dan Afdeeling Sragen menginginkan Boedi Oetomo merger dengan partai politik lain? Boleh jadi itu karena faktor Dr. Sardjito dan Mr. Soepomo. Ini dapat dikaitkan setelah lulus tahun 1923 Soepomo di Rechts School Batavia kemudian diangkat pemerintah ditempatkan di pengadilan Landraad Sragen. Setahun kemudian Soepomo melanjutkan studi ke Belanda dan berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum tahun 1927 dan kembali ke tanah air sebagai ketua pengadilan Landraad di Djogjokarta. Sementara itu, Dr. Sardjito setelah lulus STOVIA bersama Dr. Soetomo tahun 1919 melanjutkan studi kedokteran ke Belanda. Pada tahun 1923 Dr. Soetomo pulang ke tanah air dan ditempatkan di rumah sakit Soerabaja; sedangkan Dr. Sardjito, Ph.D juga pulang ke tanah air dan ditempatkan di rumah sakit Batavia. Pada tahun 1924 Dr. Soetomo mendirikan studieclub Indonesiasch di Soerabaja dan pada tahun 1925 Dr. Sardjito, Ph.D menjadi ketua Boedi Oetomo Afdeeling Batavia dan juga terpilih menjadi anggiota dewan kota (gemeenteraad) Batavia. Tiga tokoh inilah yang telah memberi pengaruh besar dalam perubahan mindset anggota Boedi Oetomo di berbagai kota (Soerabaja, Batavia dan Djogjakarta). Jauh sebelumnya di Padang, pada tahun 1900 oleh Dja Endar Moeda telah mendirikan  organisasi nasional Medan Perdamaian.  Organ Medan Perdamaian adalah surat kabar Pertja Barat (milik Dja Endar Moeda). Motto surat kabar Pertja Barat adalah ‘Ontoek Segala Bangsa’ (artinya untuk seluruh suku bangsa Indonesia). Pada tahun 1909 Dja Endar Moeda juga mendirikan surat kabar Pewarta Deli di Medan. Mottonya persis sama dengan Pertja Barat yakni “Oentok Seegala Bangsa’. Hal yang sama di Belanda, Indisch Vereeniging didirikan oleh Soetan Casajangan tahun 1908 dengan motto persatuan nasional. Radjieon Harahap gelar Soetan Casajangan adalah adik kelas Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean. Lalu pada tahun 1927 Parada Harahap menggagas persatuan nasional melalui pembentukan organisasi gabungan organisasi kebangsaan yang kemudian dikenal PPPKI. Serba kebetulan: Dja Endar Moeda, Soetan Casajangan dan Parada Harahap sama-sama kelahiran Padang Sidempoean. Satu marga pula: Harahap.

Ini suatu kemajuan baru. Dalam kongres yang diadakan tahun 1928 di Djogja keputusan yang penting adalah Boedi Oetomo bergabung dengan PPPKI (sebagai federasi perhimpuan nasionalis). Lalu kemudian pada rapat umum masih tahun 1928 pasal-2 telah diubah menjadi ‘Tujuan Boedi Oetomo bekerja melakukan pengembangan harmonis negara dan orang-orang dari Jawa, Madura, Bali dan Lombok untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Dalam pasal ini hanya mengindikasikan untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Usulan Batavia yang sekarang (1931) adalah agar tujuan itu dinyatakan mencakup seluruh rakyat Indonesia—bukan lagi rakyat di Jawa, Madura, Bali dan Lombok tetapi juga termasuk rakyat di Oostkust Sumatra dan Tapanoeli.

Di Tapanoeli sudah sejak lama ada kantong-kantong komunitas Jawa, eks tentara yang tidak kembali lagi ke Jawa (seusai Perang Bondjo, 1837 dan Perang Pertibie, 1838). Komunitas Jawa semakin banyak di Tapanoeli yang selain eks tentara juga para migran baru sehubungan dengan pengembangan perkebunan di Residentie Tapanoeli apakah yang langsung didatangkan dari Jawa atau eks pekerja perkebunan yang pindah dari Oostkust Sumatra. Hal yang mirip poenalie sacntie juga terjadi di perkebunan-perkebunan asing di Tapanoeli. Parada Harahap telah melihat itu lebih awal sehingga muncul gagasan Parada Harahap umtuk lebih mempersatukan seluruh Indonesia melalui organisasi-organisasi kebangsaan yang kemudian terbentuk PPPKI. Beberapa tahun sebelumnya, Dr. Soetomo ketika ditugaskan sebagai dokter di Tandjong Morawa Deli (1911-1914) sudah melihat dampak negatif dari kontrak-kontrak kuli asal Jawa di perkebunan Deli. Ketika Dr. Soetomo kembali ke Jawa pada tahun 1914 sempat memberikan pidato umum di Boedi Oetomo Afdeeling Batavia tentang pengalaman dan soal kontrak kuli di Deli. Dalam rapat umum itu Dr. Soetomo mengatakan orang Jawa tidak bisa sendiri mengatasi persoalannnya sendiri, orang luas Jawa terutama orang Batak juga sudah banyak yang terpelajar (baca: berpendidikan tinggi). Sepulang dari Deli inilah jiwa nasionalis Dr. Soetomo tumbuh. Lalu kemudian terbukti benar ucapan Dr. Soetomo itu, karena pada tahun 1917-1918 Parada Harahap seorang krani (karyawan administrasi) di perkebunan di Deli membongkar kasus penyiksaan kuli di perkebunan dan mengirimkan laporan tersebut ke surat kabar yang terbit di Medan. Artikel-artikel yang dimuat di Benih Mardeka dilansir surat kabar Soeara Djawa di Soerabaja. Lalu heboh di Jawa.     

Pada rapat umum yang diadakan Sabtu di Gedoeng Permoefakatan cukup banyak yang hadir dari luar Boedi Oetomo. Yang turut hadir antara lain anggota Volksraad, MH Thamrin, sejumlah anggota dewan kota Batavia (tentu saja Dr. Sardjito diantaranya), dan dua anggota dewan kota Soerabaja Mr. Lengkong dan Dr. Radjamin Nasution. Dua tokoh yang terakhir ini bukan mewakili organisasi kebangsaan tetapi (tampaknya mewakili partai Partai Bangsa Indonesia). Dr. Radjamin Nasution, sejauh ini, tidak pernah terdeteksi sebagai anggota Sumatranen Bond maupun Bataksch  Bond.

Dr. Radjamin Nasution  lulus STOVIA tahun 1912 (setahun setelah Dr. Soetomo). Dr. Radjamin Nasution juga pernah bertugas di Medan (1920an) sebagaimana Dr. Soetomo di Loebok Pakam pada tahun 1911-1914. Dr. Radjamin Nasution terbilang sahabat dekat sejak kuliah dengan Dr. Soetomo. Dr. Radjamin Nasution yang kembali bertugas di Batavia diminta Parada Harahap untuk merangkul Dr. Soetomo dari studiclub Soerabaja (bukan mewakili Boedi Oetomo) untuk ikut bergabung dalam pembentukan PPPKI tahun 1927.  Lalu kemudian pada tahun 1929 Dr. Radjamin Nasution (pejabat Bea dan Cukai bidang kesehatan) dipindahkan ke Soerabaja. Setahun kemudian Mr. Lengkong dan Dr. Radjamin Nasution membentuk sarikat kerja pelabuhan (Tandjong Perak). Pada tahun 1930 Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution dkk mendirikan partai Partai Bangsa Indonesia. Dalam pemilihan anggota dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja Dr. Radjamin Nasution yang diusulkan oleh Dr. Soetomo. Akhirnya Dr. Radjamin Nasution menjadi anggota dewan kota Soerabaja.

Pada rapat umum yang diadakan Minggu di Gedoeng Permoefakatan beberapa pembicara naik ke panggung. Perwakilan mahasiswa dari PI Belanda pada intinya mengingatkan agar Boedi Oetomo tidak membawa perjuangan untuk Status Dominion (Belanda) dalam programnya. Perwakilan PPPI (Persatoean Peladjar-Peladjar Indonesia) di Batavia pada initinya menyatakan untuk kemerdekaan penuh dan tidak ada Status Dominion (suara gemuruh bersorak di dalam ruangan). Tidak hanya itu, juga Sanoesi Pane tampil di panggung sebagai pembicara utama. Sanusi Pane berbicara di podium tiga jam. Topik yang dibawakan tentang ‘British India’. Sanusi Pane cukup lama di India, yang menjadi wilayah jajahan Inggris. Topik ini menjadi perbandingan dengan yang dialami rakyat Indonesia yang dijajah Belanda. Para hadirin terus mengikutinya dengan beberapa kali tepuk tangan. Sanusi Pane mengatakan ‘Pemerintah juga tidak akan (terus) berusaha menghambat gerakan dengan segala macam artikel hukum’ yang lalu disambut tepuk tangan.

Boedi Oetomo yang melakukan kongres di Batavia tampak ‘babak belur’ diserang oleh pihak-pihak lain (PI, PPPI). Sanusi Pane tampak lebih sopan dengan hanya memberikan suatu perbandingan apa yang di India (Inggris) dan apa yang di Indonesia (Belanda). Sanusi Pane ingin memicu dan memacu kesadaran para anggota Boedi Oetomo yang mana sebagian besar anggota Boedi Oetomo menginginkan status dominion (bukan kemerdekaan penuh). Lalu pembicara terakhir naik panggung Hadji Agoes Salim menekankan bahwa prinsip-prinsip Boedi Oetomo dihormati. Namun, Status Dominion tidak masuk akal untuk negara ini (baca: Indonesia), karena Status Dominion hanya diberikan kepada ras kulit putih. Hal ini dapat dilihat di Kanada, Australia dan Afrika Selatan, dimana mereka memberi status Domion, bukan penduduk asli, sehingga ‘orang kulit berwarna’ itu bagian daerah, padahal mereka hanya ‘minoritas’ yang merupakan ‘ras kulit putih’. Kaum non-cooperative telah belajar di India bahwa bahkan Inggris yang berkuasa kini telah meminta Gandhi untuk berpartisipasi dalam konferensi meja bundar. Ini adalah hasil dari gerakan yang kuat secara non-cooperative. Hadjie Salim kembali menegaskan apa pun dari ‘setengah kebebasan’ sebagai Status Dominion, orang-orang di sini (baca: Indonesia) menuntut kebebasan penuh (tepuk tangan bergemuru).   

Dalam kongres Boedi Oetomo ini yang kali pertama diadakan di Batavia ini terkesan diskenariokan oleh tokoh-tokoh Boedi Oetomo yang nasionalis. Jika diingat kembali ketika Dr. Soetomo keluar dari Boedi Oetomo tahun 1924 dan Ir. Soekarno pada akhir tahun 1927 menyarankan agar Boedi Oetomo untuk ikut dalam barisan perjuangan Indonesia itu ternyata tidak cukup (hingga tahun 1931 ini). Para nasionalis Boedi Oetomo, seperti Dr. Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D diduga berada di balik skenario ini. Mereka yang nasionalis ini sengaja mengadakan kongres Boedi Oetomo di Batavia dan mengundang berbagai pihak untuk bicara. Dengan demikian, anggota Boedi Oetomo yang cooperative (dengan Belanda) dan menginginkan Status Dominion akan mendapat pelajaran dari para ‘tetangga’ yang sengaja diundang untuk berbicara dalam ‘hajatan’ Boedi Oetomo. Dengan kata lain Dr. Soetomo, Ir. Soekarno saja tidak cukup menyadarkan sebagian anggota Boedi Oetomo yang kukuh dengan prinsipnya, apalagi Dr. Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D. Karena itu, perlu diundang tetangga, seperti PI, PPPI, Bataksch Bond (Sanoesi Pane) dan SI (Hadji Agoes Salim). Skenario ini tampaknya berhasil.

Setelah sesi debat, akhirnya kongres ditutup pada pukul 1 siang, Ketua Boedi Oetomo Koesoemo Oetoyo menutup yang menyimpulkan bahwa Boedi Oetomo tidak menyatakan dirinya mendukung Status Dominion. Ini akan diuji oleh Dewan Eksekutif yang baru. Kongres telah memilih dewan baru Boedi Oetomo. Dewan baru ini hampir semua anggota bekas dewan pusat dipilih kembali, sehingga dewan yang sekarang adalah sebagai berikut: Ketua RMA. Koesoemo Oetoyo (anggota Volksraad), Wakil Ketua RM Woerjaningrat; Sekretaris-1 RP Singgih, Sekretaris-2 RM.Soetedjo; Bendahara Pinandjojo dan Komisaris terdiri dari: Wongsonegoro, Mr. Sastromoeljono, Soekardjo dan RM Margono. Kongres Boedi Oetomo berikutnya akan diadakan di Semarang.

Dalam kepengurusan Boedi Oetomo yang baru ini tidak ada nama Mr. Soepomo, Ph,D lagi. Boleh jadi Mr. Soepomo, Ph,D tidak bersedia dicalonkan karena kesibukan. Saat ini Mr. Soepomo, Ph,D tengah menyelesaikan penelitiannya tentang hukum pribumi. Penelitian ini tidak kalah penting dibandingkan dengan misi perjuangan yang baru Boedi Oetomo berjuang untuk rakyat Indonesia. Penelitian Mr. Soepomo, Ph,D ini merupakan hal yang esensial dalam hak-hak rakyat Indonesia. Tidak hanya menolak aktif di Boedi Oetomo, Mr. Soepomo, Ph,D juga menolak untuk kandidat nomor jadi untuk Volksraad. Penelitian Mr. Soepomo, Ph,D adalah taruhan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mr. Soepomo, Ph,D  akhirnya menjadi ayah. Anaknya telah lahir yang diberi nama RA Siti Naidini yang diumumkan lewat iklan (Bataviaasch nieuwsblad. 04-05-1931). Di dalam iklan tersebut disebutkan Raden Mr. Soepomo en Raden Ajoe beralamat Batavia Centrum kelahiran putri yang diberi nama Raden Ajoe Siti Naidini. Mr. Soepomo, Ph.D sendiri menikah dengan putri Pangeran Ario Mataram yang bernama RA Koes Hartati (lihat Soerabaijasch handelsblad, 22-01-1929). Mr. Soepomo, Ph,D dari kunjungan bersama istri ke Belanda tiba kembali di tanah air awal Maret 1931 (lihat De Sumatra post, 09-03-1931). Ini berarti istri Mr. Soepomo, Ph,D  selama di kapal (yang lamanya sebulan) dalam kondisi hamil.

Mr. Soepomo, Ph,D dalam penelitiannya diberitakan juga dilakukan pengumpulan data di Soekaboemi (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie. 07-08-1931). Pengumpulan data dilakukan di Soekaradja dan Plaboehan Ratoe. Dalam pengumpulan data hukum adat ini disebutkan Mr. Soepomo, Ph,D dan Mr. Tirta dari Rechts Hoogeschool di Batavia Centrum. Dari berita ini tidak diketahui secara jelas apakah Mr. Soepomo, Ph,D telah menjadi dosen di Rechts Hoogeschool dan Mr. Tirta adalah asisten dosen.

Rechts School didirikan pada tahun 1907. Masa perkuliahan awalnya tiga tahun kemudian enjadi lima tahun. Mr. Soepomo, Ph,D adalah salah satu alumni Rechts School lima tahun, masuk 1918 dan lulus 1923. Soepomo tahun 1924 melanjutkan studi ke Belanda dan kemudian meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1927. Pada tahun 1924 Rechts School ditingkatkan menjadi Rechts Hoogeschool (siswa diterima yang semula lulusan Mulo menjadi lulusan HBS/AMS. Beberapa mahasiswa terkenal di Rechts Hoogeschool adalah Soegorndo, Mohamad Jamin dan Amir Sajrifoeddin Harahap yang menjadi pilar komite Kongres Pemuda 1928. Mahasiswa termuda adalah Amir Sjarifoeddin yang masuk tahun 1927 (menyelesaikan pendidikan sekolah menengah, setingkat SMP dan SMA di Harleem, Belanda). Pada tahun ini (1931) Amir Sjarifoeddin belum lulus. Dosen terkenal di sekolah hukum ini adalah Prof. Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1913 di Belanda. Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D diangkat menjadi profeseor (dosen) di sekolah hukum ini tahun 1924 dan kemudian Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D sejak 1929 diangkat menjadi dekan (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 13-08-1929). Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D adalah profesor pertama Indonesia dan dekan pertama Indonesia.      

Mr. Soepomo, Ph,D kembali bepartisipasi dalam Kongres Boedi Oetomo tahun 1932 di Solo (Soerabaijasch handelsblad, 18-05-1932). Penyelenggaraan di Solo tidak seperti yang telah diputuskan dalam Kongres Boedi Oetomo tahun 1931. Hasil yang penting dari kongres ini adalah untuk mencari merger Boedi Oetomo dengan serikat lain. Untuk itu telah dibentuk komite, yang terdiri dari Mr. Wongsonegoro, Mr. Dr. Soepomo dan Mr. Abdoel Rachman.

Hasil penelitian tentang hukum adat oleh Mr. Soepomo, Ph,D akhirnya diumumkan (De Sumatra post, 24-05-1932). Kesimpulan utama adalah bahwa hukum adat masih berlakuk di wilayah West Java. Hasil penelitian Hukum Adat di West Java ini akan disatukan dengan seluruh Hindia Belanda sebagai panduan untuk masalah adat untuk kepentingan pengadilan yang selama ini belum tersedia. Sementara itu, dengan pemahaman soal hukum adat telah menjadi topik yang kerap dibicarakan oleh Mr. Soepomo, Ph,D. Ini terlihat dalam suatu kongres Perserikatan Perkoempoelan Istri Indonesia ke-4 di Djogjakarta, Mr. Soepomo, Ph,D hadir sebagai pembicara dengan tema Perempuan di dalam Hukum Adat (de vrouw In het adatrecht) (Bataviaasch nieuwsblad, 05-05-1933). Laporan Hukum Adat di West Java hasil penelitian Mr. Soepomo, Ph,D telah dibukukan dan dicetak oleh Departemen Kehakiman (Bataviaasch nieuwsblad, 04-05-1934)  

Mr. Soepomo, Ph,D kembali dicalonkan untuk kandidat Volksraad (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-06-1934). Yang mencalonkan adalah Boedi Oetomo afdeeling Batavia untuk wilayah pemilihan Midden Java. Pencalonan ini merupakan bagian dari nama-nama yang diusulkan Batavia ke kongres/konferensi Boedi Oetomo. Namun hasil kongres/konferensi  yang diadakan di Solo pada tanggal 25 Juni berkata lain. Mr. Soepomo, Ph.D tidak termasuk yang dicalonkan. Tiga kandidat Boedi Oetomo untuk Volksraad adalah MH Thamrin untuk dapil West Java, untuk dapil Midden Java adalah RMA Koesoemo Oetoyo (ketua Boedi Oetomo) dan untuk dapil Oost Java adalah Soekardjo (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-06-1934).

Satu hal yang penting dari kongres/konferensi ini muncul protes terhadap komposisi delegasi perdagangan Nederland (Nederlandsche handelsdelegatie) dengan Jepang yang tidak sempurna, dan bahwa komposisi itu menurut ketua Boedi Oetomo tidak menawarkan jaminan bagi representasi kepentingan pribumi. Ketua juga menyatakan penyesalannya bahwa tidak ada orang pribumi yang ditunjuk untuk delegasi itu. Padahal para revolusioner Indonesialah yang merintis jalan kerjasama dengan Jepang ketika pada bulan November 1933 Parada Harahap memimpin tujuh orang pertama revolusioner Indonesia ke Jepang (termasuk di dalamnya Drs Mohamad Hatta dan Mr. Samsi Sastrawidagdam Ph.D. Para revolusioner ini berangkat ke Jepang karena kemarahan para revolusioner sudah pada puncaknya terhadap pemerintah Belanda. Itu bermula pembreidelan semua surat kabar yang bersifat radikal (antara lain Bintang Timoer organ tak resmi dari PPPKI, Soeloeh Indonesia organ Partai Nasional Indonesia, Soera Oemoem organ Partai Bangsa Indonesia, Daulat Ra’jat organ Pendidikan Nasional Indonesia). Setelah itu Ir. Soekarno dan kawan-kawan ditangkap. Itulah alasan mengapa Parada Harahap memimpin tujuh revousioner ke Jepang. Pada hari yang sama setiba di tanah air di Soerabaja dari Jepang, Ir. Soekarno diberangkatkan ke pengasingan ke Flores. Tidak hanya itu, tidak lama setelah Parada Harahap dan Mohamad Hatta di Batavia lalu ditangkap. Namun berhasil bebas karena kesaksian konsulat Jepang di pengadilan. Akan tetapi bebera minggu kemudian Mohamad Hatta terkait dengan tulisan di Daulat Ra;jat sebelum ke Jepang kemudian Mohamad Hatta dan kawan-kawan di dewan pusat Pendidikan Nasional Indonesia ditangkap dan kini (saat kongres/konferensi) tenga berada di tahanan. Ada rumor Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir akan segera diasingkan ke Digoel.

Pada tanggal yang bersamaan dengan kongres/konferensi Boedi Oetomo di Solo ini juga terjadi pertemuan terpisah para pemimpin media pribumi. Hasil keputusan pertemuan para pemimpin media ini adalah terbentuknya Sarikat media pribumi  (semacam Sarikat Penerbit Suratkabar/SPS pada masa ini). Dewan terdiri dari Dr. Soetomo dari Soeara Oemoem sebagai ketua, Saeroen dari Pemandangan dan Parada Harahap dari Bintang Timoer sebagai komisaris (Soerabaijasch handelsblad, 26-06-1934).

Dr. Soetomo dan Parada Harahap adalah dua tokoh revolusiner yang sama-sama peduli dengan kasus poenalie sanctie di Deli. Dr. Soetomo pernah bertugas di Deli selama tiga tahun 1911-1914 dan melihat pendirian para kuli asal Jawa. Beberpa tahun kemudian pada tahun 1917 Parada Harahap seorang krani perkebunan melakukan investigasi tentang rumor penyiksaan kuli. Laporannya dikirimkan ke surat kabar Benih Mardeka di Medan. Laporan itu baru dirilis pada tahun 1918 dalam sejumlah artikel. Beberapa bulan kemudian surat kabar Soeara Djawa melansir artikel tersebut dan kemudian menjadi heboh di Djawa. Surat kabar Soera Djawa kemudian diakuisi dan berganti nama menjadi Soeara Oemoem ketika Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution mendirikan Partai Bangsa  Indonesia (PBI). Surat kabar Soeara Oemoem pimpinan Dr. Soetomo adalah organ PBI. Kini (1934) Dr. Soetomo dan Parada Harahap menjadi motor sarikat surat kabar pribumi. Beberapa tahun sebelumnya Parada Harahap dan Dr. Soetomo menjadi motor PPPKI. Saat itu Parada Harahap sebagai sekretaris PPPKI dan pada Kongres PPPKI tahun 1928 yang menjadi ketua panitia adalah Dr. Soetomo. Satu hal lagi jelang Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) pada tahun 1928, Parada Harahap memperluas jaringan surat kabar miliknya, Bintang Timoer dengan membuat edisi Semarang (untuk wilayah Midden Java) dan edisi Soerabaja (untuk wilayah Oost Java). Surat kabar Bintang Timoer edisi Soerabaja inilah yang bergabung dengan surat kabar Soeara Djawa muncul dengan nama baru surat kabar Soeara Oemoem. Surat kabar Sinar Baroe di Semarang milik Parada Harahap diduga kuat embirionya adalah surat kabar Bintang Timoer edisi Semarang.

Pada tahun 1935 realisasi merger Boedi Oetomo dengan sarikat lain akhirnya terwujud (De Indische courant, 28-05-1935). Keputusan merger ini sudah ada pada Kongres tahun 1932 yang mana telah dientuk komite merger tiga orang diantaranya Mr. Soepomo, Ph,D. Merger (fusi) yang dilakukan adalah antara Boedi Oetomo dengan Partai Bangsa Indonesia (PBI). Disebutkan desain fusi yang telah dirancang oleh Mr. Wongsonegoro, Mr. Soepomo dan Soetanto Tirtoprodjo telah diterima dengan persetujuan umum. Diputuskan, merger secara resmi dilakukan pada bulan Desember ini dengan mengusung nama baru Partai Indonesia Raja (disingkat PIR). Meski demikian, anggota dewan untuk dua sarikat bekerja di masing-masing kantor hingga 1937. Gabungan dewan ini akan memilih ketua dari antara anggotanya.

Sementara di satu pihak Boedi Oetomo merger, namun di sisi lain masih ada kekhwatiran dari Boedi Oetomo karena takut bahwa Boedi Oetomo akan kehilangan berbagai subsidi pemerintah untuk sekolah, pesantren, dll. Untuk mengeliminasi keberatan ini disamping Boedi Oetomo telah menjadi PIR muncul gagasan untuk membuat departemen baru yang secara eksklusif akan menangani masalah-masalah sosial yang benar-benar terpisah dari partai baru.

Dalam persiapan merger Boedi Oetomo dan Partai Bangsa Indonesia (PBI) sudah dibentuk komite persiapan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1935). Komiter terdiri dari ketua Soetedjo (Boedi Oetomo), wakil ketua Soerosoekartono (Partai Bangsa Indonesia), Sekretaris-1 Sastrowijanto, Sekretaris-2 Prodjodarsono, Bendahara Partowo. Komisaris terdiri dari Soetopo Wonobojo, Sadyoen, Partoatmodjo, Moehamad Joesoep. Komite dibantu oleh empat subkomite.

Dalam proposal yang sudah disiapkan terindikasi Dewan Pusat Partai Rakyat Indonesia terdiri dari 34 orang yang meliputi wakil-wakil 10 delegasi ditambah 5 dari mantan dewan pusat Boedi Oetomo dan lima dari mantan dewan pusat Partai Bangsa Indonesia. Serikat baru akan membuat bendera baru berwarna ‘putih hijau-merah’ yang merupakan gabungan warna bendera Boedi Oetomo saat ini berwarna ‘merah-putih’ dan Partai Bangsa Indonesia berwarna ‘hijau-merah’. Nama serikat akan disebut Partai Indonesia Raja dan dengan menyingkat ‘Parindra’. Untuk anggaran dasar disusun oleh komite statuta yang teridiri dari Mr. Wongsonagoro, Mr. Soepomo, Ph.D dan Mr. Soebroto, Ph.D.

Akhirmya fusi (merger) antara organisasi kebangsaan Boedi Oetomo dan Partai Bangsa Indonesia menjadi resmi dilakukan (Bataviaasch nieuwsblad, 30-12-1935). Fusi ini dilaksanakan pada Selasa malam pada acara resepsi yang diadakan di Sicieteit Hadiprojo yang dihadiri oleh ratusan peserta konfrerensi/kongres. Juga hadir anggota Volksraad MH Thamrin, Soeroso, Prawoto,  Wlrjopranoto, Kasimo. Pada pukul sembilan Ketua Komite Kongres, Satiman membuka pidato yang pada intinya mengingatkan peran akrif dari Mr. Soepomo, Ph.D,  Mr. RT Wongsonegoro. Mr. R. Soebroto, Ph.D dan Soediman, sebagai pendiri unit (gabungan Boedi Oetomo dan Partai Bangsa Indonesia). Lalu kemudian dilakukan gelar simbolis yang dilakukan oleh pramuka yang menyerahkan bendera Boedi Oetomo dan bendara Partai Bangsa Indonesia kepada dwakil dari Soesoehoenan yang kemudian secara simbolis diputar yang menunjukkan akhir dari yang lama dan lahirnya partai baru, yang disebut Parindra dengan bendera berwarna merah dan putih (roodwitte). Setelah itu, tarian dan lagu-lagu Jawa ditampilkan di hadapan penonton. Pada pukul sebelas resepsi berakhir, Setelah itu rapat tertutup dimulai. Dr Soetomo terpilih sebagai ketua Parindra melalui cara diundi. Janingrat terpilih sebagai Wakil Ketua.

Bintang pada malam merger ini adalah Mr. Soepomo, Ph.D. Seorang doktor di bidang hukum dengan predikat Cum Laude. Mr. Soepomo, Ph.D adalah figur penting di balik perubahan sikap Boedi Oetomo untuk memperjuangkan seluruh rakyat Indonesia (tidak hanya rakyat Jawa).  Mr. Soepomo, Ph.D juga menjadi figur penting di balik transformasi Boedi Oetomo dari organisasi kemasyarakatan menjadi organisasi politik. Sedangkan yang menjadi matahari dalam perubahan Boedi Oetomo sejak 1927 hingga tahun 1935 ini adalah Dr. Soetomo. Pada tahun 1927 Dr. Soetomo ikut dalam pembentukan organisasi nasional PPPKI di rumah Husein Djajadingrat di Weltevreden. Semua itu karena keinginan Parada Harahap melalui Dr. Radjamin Nasution agar Dr. Soetomo bersedia mewakili Boedi Oetomo meski Dr. Soetomo sendiri telah keluar dari Boedi Oetomo tidak lama setelah tiba di tanah air karena perbedaan prinsip dalam perjuangan bangsa. Dr. Soetomo setelah pulang studi dari Belanda, Dr. Soetomo yang pernah menjabat ketua Perhimpoenan Indonesia telah menjadi nasionalis sejati. Indisch Vereeniging yang didirikan tahun 1908 oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan dan namanya telah diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia adalah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang bersifat continuum (berkesinambungan) untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa untuk meratakan jalan menuju kemajuan dan kebebasan bangsa (kemerdekaan Indonesia). Kini (1935) Dr. Soetomo kembali di dalam pangkuan Boedi Oetomo yang telah berubah nama menjadi Partai Rakyat Indonesia, Dr. Soetomo adalah ketua pertama Partai Rakyat Indonesia (suksesi Boedi Oetomo). Dr. Soetomo semasih kuliah di STOVIA pada tahun 1908 adalah motor utama pendirian organisasi Boedi Oetomo. Oleh karenanay tidak salah Dr. Soetomo dapat disebut sebagai matahari Boedi Oetomo baik dari dalam maupun dari luar.

Mr. Soepomo, Ph,D telah memberi kontribusi yang sangat berarti bagi perubahan visi misi Boedi Oetomo. Mr. Soepomo, Ph,D mulai terlibat intens di Boedi Oetomo setelah meraih gelar doktor (Ph.D) di Belanda dan kembali ke tanah air. Ini bermula ketika Mr. Soepomo, Ph,D, ketua pengadilan Landraad di Djogjakarta ditunjuk mengisi kursi kosong Wakil Ketua Dewan pusat Boedi Oetomo tahun 1927. Sejak itu, nama Mr. Soepomo, Ph,D melekat pada Boedi Oetomo dan sejak itu pula Mr. Soepomo, Ph,D memainkan peran dalam perubahan arsitektur organisasi Boedi Oetomo dari organisasi kebangsaan yang bersifat kedaerahan menjadi organisasi kebangsaan yang bersifat nasional. Bahkan ketika Boedi Oetomo bertransformasi menjadi organisasi politik pada tahun 1935, peran Mr. Soepomo, Ph,D cukup signifikan.

Kontribusi Mr. Soepomo, Ph,D di dalam perubahan radikal Boedi Oetomo merupakan bagian tidak terpisahkan dari golongan muda Boedi Oetomo yang melanjutkan studi ke Belanda. Mahasiswa-mahasiswa yang berhasil studi di Belanda dan kembali ke tanah air dan bergabung dengan Boedi Oetomo secara langsung dan tidak langsung telah mempengaruhi anggoat-anggota Boedi Oetomo yang selama ini sangat cooperative dengan pemerintah. Di Belanda sendiri, mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Indisch Vereeniging sudah sejak 1908 mewujudkan persatuan nasional yang lalu kemudian bertransformasi menjadi organisasi yang lebih radikal dengan nama Perhimpoenan Indonesia. Di dalam organisasi inilah tokoh-tokoh Boedi Oetomo mulai merasakan arti penting persatuan dalam mencapai kemerdekaan bangsa dan mentransformasikannya di dalam tubuh Boedi Oetomo. Barisan transformer ini antara lain Dr. Soetomo, Dr. Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D.

Perkembangan Pendidikan dan Pertumbuhan Perguruan Tinggi di Hindia Belanda: Studi ke Negeri Belanda Menjadi Agen Perubahan di Indonesia

Didirikannya Boedi Oetomo sebagai respon terhadap rendahnya mutu pendidikan pribumi dan terbatasnya jumlah sekolah (Bataviaasch nieuwsblad, 20-10-1908). Disamping itu, akses penduduk pribumi usia sekolah untuk bersekolah dan kurangnya lulusan yang melanjutnya pendidikan tinggi ke universitas yang bermutu menjadi pangkal perkara bagi intelektual Jawa. Dr. Wahidin adalah salah satu intelektual Jawa yang telah melakukan monitoring ke seluruh wilayah Jawa dan mendapatkan gambaran yang buruk tentang pendidikan pribumi sehingga Dr. Wahidin memunculkan gagasan pembentukan dana pendidikan di Jawa.

Dr. Wahidin jelas paham situasi dan kondisi yang dilihatnya di sekitar terutama di wilayah Jawa. Dr. Wahidin sudah barang tentu mengetahui keberhasilan Medan Perdamaian di Padang yang berhasil mengorganisir dana sehingga mampu memberikan bantuan pendidikan jauh ke Semarang. Bagi Dr, Wahidin bantuan dari Medan Perdamaian itu sudah jelas positif, tetapi permasalahannya adalah mengapa hal itu tentang pengumpulan dana (untuk pendidikan) tidak pernah ada di Jawa. Gerakan Dr. Wahidin untuk memajukan pendidikan di Jawa melalui dana pendidikan direspon mahasiswa di STOVIA yang dipimpin oleh Soetomo dkk untuk mendirikan organisasi Boedi Oetomo di Batavia pada tahun 1908.

Lantas mengapa ide dana pendidikan itu menjadi penting dan mengapa ide itu timbul lebih awal di Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra)? Dan lalu mengapa ide-ide itu datang dari tokoh-tokoh pendidikan asal Mandailing en Angkola (baca: Padang Sidempoean) di Residentie Tapanoeli, Province Sumatra’s Westkust. Padahal introduksi pendidikan modern (aksara Latin) justru dimulai di Jawa dan juga dua institusi pendidikan yang lebih tinggi juga dimulai dan berada di Jawa yakni sekolah guru Kweekschool di Souracarta (1850) dan sekolah kedokteran Docter Djawa School di Weltevreden (1851).

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya akan terjawab dalam kronologis sejak introduksi pendidikan modern (aksara Latin) di Hindia Belanda (baca: Indonesia), pertumbuhan pendidikan tinggi hingga perkembangan universitas (seperti yang dirasakan hingga kini). Fase Boedi Oetomo (1908-1935) berada di antara garis continuum—saat didirikannya perguruan tinggi kedokteran Docter Djawa School oleh Belanda pada tahun 1851 dan saat tiba waktunya Universitas Indonesia secara resmi menjadi milik orang Indonesia tahun 1951.

Sebelum didirikan Docter Djawa School pada tahun 1851 di Weltevereden (kini Gambir) sudah terlebih dahulu didirikan sekolah guru (kweekschool) di Soeracarta (Solo) tahun 1850. Pendirian dua perguruan tinggi ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan guru banru seiring dengan dibangunnya sekolah-sekolah baru oleh pemerintah di berbagai tempat. Sedangkan pendirian sekolah kedokteran Docter Djawa School dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis di wilayah-wilayah endemik. Guru-guru asal Belanda dan dokter-dokter asal Belanda tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karena itu dua institusi pendidikan tinggi itu dibutuhkan dan kemudian didirikan. Kapan introduksi pendidikan modern bagi penduduk asli (baca: pribumi) dimulai di Hindia Belanda tidak diketahui secara pasti.

Java government gazette, 30-01-1813
Yang jelas sistem pendidikan sudah dimulai sejak pemerintahan VOC dengan nama Cliegie van Curatoren en Schoolarchen over stats Scholen. Di dalam Almanak 1810 (Pemerintah Hindia Belanda), presiden lembaga pendidikan itu dijabat oleh JT Rots (sejak 1809). Para anggota adalah  N. Maas (sejak 1789), A Cantebee (sejak 1792), GH de Witt (1802), H. Ketelaar (1805), JL van Sevenhoven (1806), P Veerts (1808), JW Boewns (1810). Sebagai sekretaris adalah JA Steyn Parve (1807). Namun lembaga pendidikan pemerintah ini bekerja hanya untuk pendidikan orang-orang Eropa/Belanda di Hindia Belanda Lembaga pendidikan ini termasuk untuk sekolah bidang militer dan marine. Pada era pendudukan Inggris (1811-1816) terdapat masing-masing satu orang guru di Jacatra, Semarang, Soerabaja, Souracarta dan Sumanap (lihat Almanak 1816). Namun sekali lagi, guru-guru Eropa/Belanda itu untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak Eropa/Belanda. Meski demikian, orang-orang pribumi sudah sejak lama ada yang baca tulis aksara Latin (yang sudah tentu dipelajari melalui pendidikan non-formal dan pendidikan informal). Pada tahun 1813 seorang pribumi di Semarang teridentifikasi telah mengirim pantun yang dimuat pada surat kabar Java government gazette edisi 30-01-1813 (pada era pendudukan Inggris).  Introduksi pendidikan aksara latin di Sumatra dimulai di Kota Padang. Ini sehubungan dengan pengadaan guru di Kota Padang tahun 1822, dua tahun setelah Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra’s Westkust dimulai (lihat Almanak 1822). Namun introduksi ini tidak berkembang karena situasi dan kondisi diliputi suasana perang. Pengiriman guru terhenti. Setelah usai perang (1837), program pendidikan dimulai lagi. Asisten Residen Agam. Steinmez mulai mendirikan sekolah tahun 1842 (lihat TJ Willer, 1846). Di Mandailing dan Angkola, yang baru memulai pemerintahan sipil pada tahun 1840, TJ Willer (Asisten Residen) menganjurkan perlunya diselenggarakan pendidikan bagi penduduk. Sementara di beberapa tempat di Jawa sudah eksis sekolah bagi penduduk asli (sekolah rendah) yang telah dibangun pemerintah. Lulusan terbaik sekolah-sekolah tersebutlah yang menjadi siswa di sekolah guru Kweekschool Souracarta (1850). Sedangkan sebagian yang lain, lulusan sekolah tersebut dikirim ke sekolah kedokteran di Weltevreden yang menempati ruangan yang ada di rumah sakit militer (kini RSPAD).

Usulan TJ Willer (1846) agar di Afdeeling Mandailing dan Angkola didirikan sekolah tidak diketahui kapan terealisasi. Namun yang jelas, pada tahun 1854 sudah ada dua siswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola yang tiba di Batavia untuk mengikuti studi kedokteran (Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Saat itu yang menjadi Asisten Residen di Afdeeling Mandailing en Angkola adalah AP Godon (sejak 1848). Dua siswa ini merupakan dua siswa pertama yang diterima di sekolah kedokteran tersebut yang berasal dari luar Djawa. Sekolah kedokteran di Batavia ini kemudian dikenal sebagai Docter Djawa School. Sekolah kedokteran Docter Djawa School seniri berdiri sejak 1851. Masa kuliah di sekolah Docter Djawa School ini selama dua tahun. Untuk sekadar menambahkan: Perpustakaan Universitas Indonesia mengakui tahun 1851 ini sebagai rujukannya (lihat di bangunan perpustakan Universitas Indonesia). Bagaimana sekolah kedokteran Docter Djawa ini dimulai dapat dibaca pada surat kabar Opregte Haarlemsche Courant edisi 17-02-1852.

Opregte Haarlemsche Courant, 17-02-1852: ‘Di daerah barat laut Batavia ada beberapa kasus kolera lagi. Di pulau-pulau Bali dan Lombok, dan terutama di yang terakhir, penyakit ini tampaknya berada dalam tingkat yang sangat parah. Pada tahun 1846 sudah diusulkan bahwa untuk orang-orang muda dari keluarga Jawa yang layak, dan lebih disukai mereka yang dapat membaca dan menulis bahasa Melayu dan Jawa, harus diberikan kesempatan untuk memperoleh keterampilan yang diperlukan di rumah sakit militer untuk profesi pengobatan pribumi dan vaksinasi cacar sapi. De Javaasch Courant 17 December memuat laporan yang baik tentang kemajuan yang dihasilkan pendidikan ini di rumah sakit di Weltevreden, dengan indikasi nama dari peserta yang diditerima diklaim telah mengadopsi pelajaran dengan baik dan dengan menyebutkan pengasuhan yang terpuji, dimana petugas kesehatan Bleeker dan Wassink telah mendukung tujuan yang bermanfaat dari Pemerintah Pusat’.

Berita ini pada dasarnya harus diartikan merujuk pada angkatan pertama (1951). Sebab surat kabar Opregte Haarlemsche Courant edisi 17-02-1852 mengacu pada surat kabar De Javaasch Courant edisi 17 Desember (lama pelayaran saat itu antara Batavia dengan Amsterdam sekitar dua bulan). Oleh karena itu, para peserta yang diterima pada angkatan pertama ini telah menunjukkan indikasi keberhasilan sejak memulai studi. Hasil ini kemudian menjadi dasar bahwa studi kedokteran bagi siswa pribumi ini akan terus dilanjutkan untuk angkatan-angkatan selanjutnya. Lalu pada tahun 1854 dua siswa telah tiba di Batavia dari Afdeeling Mandailing dan Angkola bernama Si Asta dan Si Angan yang akan disertakan di pelatihan perguruan tinggi (kweekschool) dokter asli (baca: Docter Djawa School).

Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855: ‘Batavia,  25 November 1854. Satu permintaan oleh kepala Mandheling (Batta-landen) dan didukung oleh Gubernur Sumatra’s Westkust, beberapa bulan yang lalu, ditetapkan oleh pemerintah, bahwa kedua anak kepala suku asli terkemuka, yang telah menerima pendidikan dasar dibawa untuk akun negara ke Batavia dan akan mengikuti kedokteran, bedah dan kebidanan. Para pemuda yang disebut Si Asta dan Si Angan di rumah sakit militer disana pada murid ini baru saja tiba dari Padang disini, dan akan disertakan di pelatihan perguruan tinggi (kweekschool) dokter asli.

Dua siswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola ini kemudian lulus tahun 1856 dan mendapat gelar Dokter Djawa (Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad: algemeen advertentie-blad, 02-04-1857). Dalam berita-berita selanjutnya, disebutkan Dr. Asta berada (ditempatkan) di onderafdeeling Mandailing (diduga alumni sekolah rakyat di Mandailing dan Dr. Angan ditempatkan di onderafdeeling Angkola (diduga alumni sekolah rakyat di Angkola). Mereka berdua inilah boleh disebut sebagai pelopor pendidikan kedokteran di Afdeeling Mandailing en Angkola (namanya kelak diubah menjadi Afdeeling Padang Sidempoean). 

Pada tahun 1856 di Fort de Kock didirikan sekolah guru (kweekschool). Ini berarti sudah ada dua sekolah guru negeri setelah sebelumnya tahun 1850 didirikan di Soeracarta. Salah satu adik kelas Dr. Asta yang bernama Si Sati tidak mengikuti sekolah kedokteran ke Weltevreden/Batavia, dan juga tidak melanjutkan sekolah guru ke Fort de Kock, tetapi pada tahun 1857 berangkat studi ke (negeri) Belanda untuk sekolah guru. Berita keberangkatan Si Sati melanjutkan studi dilaporkan oleh surat kabar yang terbit di Soerabaja: De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad edisi 26-03-1857. Si Sati dikabarkan sudah tiba di Amsterdam dilaporkan oleh surat kabar yang terbit di Rotterdam: Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad edisi 04-09-1857. Dalam manifest kapal yang berangkat dari Padang tercatat nama AP Godon yang notabene adalah Asisten Residen Mandailing en Angkola. Si Sati dan AP Godon sudah barang tentu berangkat bersama-sama. Untuk sekadar tambahan: saat itu pelayaran masih melalui Afrika Selatan (Terusan Suez baru dibuka tahun 1869). Sulit membayangkan seorang pemuda belia dari daerah tropis selama sekitar dua bulan dalam pelayaran menuju Eropa/Belanda yang beriklim dingin.

Dua tahun berikutnya setelah Dr. Asta dan D. Angan lulus di Docter Djawa School, pada tahun 1859 menyusul diterima dua siswa asal Mandailing dan Angkola yang bernama Si Toga gelar Dja Dorie dan Si Napang gelar Dja Bodie (lihat Bataviaasch handelsblad, 17-12-1859). Ini menunjukkan bahwa prestasi Si Asta dan Si Angan selama studi di Batavia dan selama bekerja di Afdeeling Mandailing en Angkola boleh jadi menjadi dasar mengapa dua siswa terbaik asal Mandailing en Angkola ‘diminta’ pimpinan Docter Djawa School untuk dikirim ke Batavia untuk dididik menjadi dokter. Boleh jadi kabar yang sudah lama beredar bahwa Si Sati dari Afdeeling Mandailing en Angkola tengah menjalani studi di Belanda turut memperkuat positioning siswa-siswa asal Mandailing en Angkola untuk jaminan akan berhasil studi di Docter Djawa School.

Nieuwe bijdragen ter bevordering van het onderwijs...1860
Si Sati Willem diketahui telah lulus studi di Belanda tahun 1860. Ini terlihat nama Willem Iskander termasuk salah satu lulusan sekolah guru di Kerajaan Belanda. Di dalam daftar itu disebutkan sebagai berikut: ‘Iskander, Willem, geb. in 1841, geëxam. in Noordholland, kweekeling te Amsterdam’ (lihat majalah Nieuwe bijdragen ter bevordering van het onderwijs en de opvoeding, voornamelijk met betrekking tot de lagere scholen in het Koningrijk der Nederlanden, voor den jare ...., Volume 30, D. du Mortier en zoon, 1860). Dalam berita-berita selanjutnya dikatakan bahwa Si Sati telah mengubah namanya menjadi Willem Iskander (kimbinasi nama Radja Willem III dari Belanda dan penyair terkenal Rusia yang bermukim di Inggris, Iskander Hertz. Si Sati alias Willem Iskander kembali ke tanah air pada tahun 1861. Di dalam manifest kapal Petronella Catharina yang membawanya pulang dari Amsterdam menuju Batavia disebut W. Iskander (Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 27-07-1861). Pada akhir Desember Willem Iskander melalui pelabuhan Padang kembali ke kampung halamannya di Mandailing (Bataviaasch handelsblad, 24-12-1861).

Dr. Asta dan Dr. Angan, dua dokter pertama lulusan Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa dan guru Si Sati (Nasution) alias Willem Iskander sebagai pribumi pertama berangkat studi dan berhasil di Belanda telah menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah di pusat pemerintahan di Batavia. Apalagi baru-baru ini (1962) Willem Iskander telah mendirikan sekolah guru di huta (desa) Tanobato di Afdeeling Mandailing en Angkola. Sekolah guru Kweekschool Tanobato ini mendapat respon yang luar biasa khususnya di Afdeeling Mandailing en Angkola dan umumnya di Residentie Tapanoeli. Sekolah guru Kweekschool Tanobato ini cepat berkembang dan cepat pula direspon positif oleh pemerintah pusat. Tidak tanggung-tanggung, Inspektur Pendidikan di Batavia, JA van Chijs datang sendiri ke Tanobato tahun 1864 untuk membutikan rumor tersebut. Inilah hasil penilaian sendiri JA van Chijs.

Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.  

Seketika berubah semuanya, pandangan orang luar terhadap Tanah Batak, paling tidak Residentie Tapanoeli di Afdeeling Mandailing dan Angkola berubah 360 derajat. Kweekschool Tanobato adalah kontribusi fantastis Willem Iskander di Tapanoeli khususnya di afdeeling Mandailing dan Angkola. ‘Iskander Effect’ sedang terjadi di Afdeeling Mandailing en Angkola. Sekolah Kweekschool Tanobato asuhan guru Willem Iskander lulus 100 persen. Saat wisuda pertma tahun 1965 mangukuisisi sekolah guru ini menjadi sekolah guru pemerintah. Ini berarti sudah terdapat tiga sekolah guru negeri di Nedelandsch Indie. Guru-guru lulusn Kweekschool Tanobato dengan cepat mengisi seluruh sekolah-sekolah yang dibangun swadaya di seluruh desa-desa utama di Afdeeling Mandailing en Angkola. Tidak lama Afdeeling Mandailing telah surplus guru.

Sementara itu ternyata Afdeeling Mandailing en Angkola juga telah surplus dokter. Dr. Dja Dorie dan Dr. Dja Bodie yang lulus Docter Djawa School telah ditempat satu di Oostkust Sumatra dan satu lagi di Padangsch Bovenlanden. Ternyata saat itu Afdeeling Mandailing dan Angkola hanya butuh dua dokter, satu dokter di Mandailing dan satu dokter di Angkola. Pada tahun 1864 Docter Djawa School ditingkatkan dengan lama studi menjadi tiga tahun. Meski demikian, minat siswa-siswa asal Mandailing en Angkola masih tetap tinggi ke Docter Djawa School. Secara periodik dua siswa asal Mandailing diseleksi untuk mengikuti pendidikan kedokteran di Docter Djawa School, Jumlah siswa yang diterima di Docter Djawa School seteiap masa penerimaan hanya sebanyak 10-12 orang saja. Setelah sukses penerimaan siswa asal Mandailing en Angkola kemudian siswa dari Minahasa diterima di Docter Djawa School. Pada tahun 1868 jumlah sekolah negeri di Residentie Tapanoeli berjumlah 10 buah dimana delapan buah terdapat di Afdeeling Mandailing en Angkola. Ini mengindikasikan bahwa di Afdeeling Mandailing setiap penduduk usia sekolah dengan mudah mengakses sekolah yang baik (di luar sekolah-sekolah swadaya yang juga gurunya alumni Kweekschool Tanobato).

Laporan Chijs juga mengindikasikan sekolah guru di Fort de Kock gagal total. Menurut Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak pantas memakai nama sekolah guru. Laporan Chijs juga menggarisbawahi siswa-siswa Tanobato juga belajar tiga bahasa sekaligus. Menurut Chijs di sini (maksudnya Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non Maleijer, di negara non-Melayu dengan sangat baik. Buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah diterjemahkan oleh Willem Iskander ke dalam bahasa Batak Mandailing/Angkola. Sementara di Mandailing Angkola, tidak hanya Willem Iskander yang menulis buku-buku pelajaran, juga guru-guru sekolah dasar (alumni Kweeskschool Tanobato) menulis buku-buku pelajaran. Sebagian dari buku-buku yang ditulis itu dicetak di Padang dan Batavia. Buku pelajaran yang ditulis Willem Iskander bahkan sudah ada yang dicetak di Batavia tahun 1865.

Adanya kemajuan pendidikan tak terduga di Mandailing dan Angkola menyadarkan pemerintah untuk segera membangun sekolah guru di Bandoeng. Tahun 1865 Kweekschool Tanobato diakuisisi pemerintah dan dijadikan sekolah guru negeri. Kweekschool Bandoeng mulai dibuka tahun 1866, Dengan demikian sekolah guru negeri menjadi empat buah: Soerakarta (menjadi negeri 1852), Fort de Kock (1856), Tanobato (1865) dan Bandoeng (1866). Segera akan dibuka sekolah guru di Oengaran.

Pendidikan di Afdeeling Mandailing dan Angkola telah meju pesat. Sekolah guru Kwekschool Tanobato menjadi yang terbaik di Nederlandsch Indie. Faktor penting yang menyebabkan kesuksesan sekolah guru yang ada karena kualitas guru dan minat siswa untuk belajar. Dua faktor ini terdapat di Afdeeling Mandailing en Angkola. Guru Willem Iskander menjadi jaminan mutu sementara siswa di Mandailing en Angkola yang berminat cukup banyak tetapi dengan kapasitas yang terbatas (hanya 20 orang) menyebabkan terjadi seleksi yang ketat. Sementara sekolah guru di Fort de Kock dan di Souracarta selain guru-gurunya tidak berkualitas juga minat siswa untuk menjadi guru dengan melanjutkan studi ke yang lebih tinggi di kweekschool terbilang rendah. Faktor-faktor ini kemudian menjadi faktor penting yang menyebabkan kekurangan guru di Jawa, sebaliknya di Afdeeling Mandailing dan Angkola telah melampaui kebutuhan (surplus). Afdeeling Mandailing en Angkola telah menjadi ‘kiblat’ perubahan, perubahan yang sangat fundamental di Nederlandsch Indie, yakni: Pendidikan.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang mengutip dari surat kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5 November sangat menyentuh: ‘Mari kita mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai Barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs’

Lalu perhatian pendidikan mulai heboh di Jawa. Pembangunan sekolah guru baru di Bandoeng tahun 1866 adalah salah satu solusi. Namun itu ternyata tidak cukup karena populasi pendidik di (wilayah) Jawa sangat banyak yang mana di dalamnya penduduk usia sekolah sangat banyak juga. Ketika ada keinginan untuk mengamandemen ‘undang-undang’ pendidikan ternyata tidak semua orang Belanda mendukung penduduk asli (pribumi) untuk lebih maju dalam pendidikan. Faktor ras (Belanda) juga menjadi faktor penting mengapa seteelah berabad-abad pendidikan pribumi nyaris kurang diperhatikan. Willem Iskander dan Kweekschool Tanobato telah memicu golongan humanis diantara orang-orang Belanda untuk turut memperjuangkan pendidikan pribumi (khususnya di Jawa).

Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘…Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa di Jawa. Anggaran yang dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa… lalu stadblad diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak setuju’. Algemeen Handelsblad, 26-11-1869:‘…kondisi pendidikan pribumi di Java adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.

Langkah pertama yang akan dilakukan di Jawa adalah  untuk melanjutkan pengembangan pendidikan di 15 ibukota kabupaten (afdeeling), dimana tidak ada sekolah berada selama ini. Namun tidak disebutkan nama-nama 15 ibukota afdeeling tersebut. Jika jumlah ibukota tahun 1865 sebanyak 23 maka baru delapan ibukota yang memiliki sekolah. Masih sangat jauh dari yang diharapkan, sementara di afdeeling Mandailing en Ankola bahkan sudah terdapat delapan sekolah negeri saja (belum dihitung sekolah swasta/swadaya).

Surplus guru di Afdeeling Mandailing en Angkola menyebabkan pemerintah pusat mengangkatnya menjadi guru pemerintah dan ditempatkan di luar wilayah Tapanoeli. Guru-guru asal Mandailing en Ankola yang diangkat menjadi guru pemerintah ditempatkan di berbagai wilayah termasuk di Residentie Padangsch Benelanden dan Residentie Padangsch Bovenlanden. Juga ditempatkan di residentie-residentie: Oostkust Sumatra, Atjeh, Rioau, Djambi, dan Bengkoelen. Oleh karena itu, tidak aneh dari guru-guru dan juga dokter-dokter asal Mandailing en Angkola yang berada di perantauan dimana anaknya sukses menjadi guru, pejabat pemerintah, dunia swasta dan dokter dan ahli lainnya. Sebagai contoh (seperti telah disebut di atas), antara lain: Dr. Achmad Mochtar anak seorang guru meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1927 lahir di Bondjol tahun 1892; Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D anak seorang dokter hewan meraih Ph.D tahun 1930 lahir di Pajakoemboeh tahun 1895; Dr. Ida Loemongga, Ph.D anak seorang dokter lulusan Dokter Djawa School meraih Ph.D tahun 1931 lahir di Padang tahun 1905.

Dalam perkembangannya, sekolah kedokteran Docter Djawa School sejak tahun 1875 ditingkatkan kembali dengan lama kuliah selama tujuh tahun. Pembagian masa perkuliahan dibuat menjadi dua tahun untuk tingkat persiapan dan lima tahun untuk tingkat medik. Bahasa pengantar dalam perkuliahan tidak lagi dengan bahasa Melayu tetapi dengan menggunakan bahasa Belanda. Inimengindikasikan bahwa sekolah kedokteran Docter Djawa School telah jauh meningkat jika dibandingkan dengan sekolah guru (kweekschool). Sekolah guru yang ada Kweekschool Soeracarta, Kweekschool Fort de Kock, Kweekschool Tanobato dan Kweekschool Bandoeng tidak mengalami peningkatan yang berarti. Jika sekolah Docter Djawa School pada saat pendiriannya masa studi dua tahun kini tahun 1875 telah meningkat menjadi tujuh tahun, sementara sekolah guru dari awal pendiriannya masa studi dua tahun hanya meningkat menjadi tiga tahun saja. Satu-satunya program pemerintah untuk meningkatkan sekolah guru adalah mengirim guru-guru berprrestasi melajutkan studi ke Belanda (sebagaimana terbukti Willem Iskander telah melakukannya).

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1874: ‘Dengan keputusan tanggal 6 bulan ini, Radja mengambil keputusan yang diperlukan di bawah otorisasi untuk mengirim kepala sekolah di kweekschool untuk guru Inlandsche di Tanah-Bato (Sumatera’s Westkust), Willem Iskander, dan tiga pribumi lainnya, ke Belanda, agar untuk dilatih studi dua tahun lebih lanjut untuk pendidikan inlandsch. yang dirancang untuk menemani Iskandcr, pemuda Batak Si Banas, Soendauees mas Ardi Sasmita, sekarang menjadi guru di sekolah asli Madjalengka (Cirebon) dan Soerono, guru di Soerakarta. Sehubungan dengan keberangkatan Iskander sementara menutup perguruan tinggi untuk Tanah-Batoe’.

Guru-guru muda berprestasi yang akan dikirim ke Belanda adalah Banas Lubis dari Residentie Tapanoeli, Ardi Sasmita dari Residentie Preanger dan Raden Soerono dari Resudentie Soeracrta. Untuk pembimbing ketiga guru muda ini ditunjuk Willem Iskander. Selama di Belanda, Willem Iskander juga berkesempatan dan diberikan beasiswa untuk meningkatkan studinya untuk mendapatkan akte kepala sekolah. Sepulang dari Belanda dengan akte kepala sekolah, Willem Iskander akan diposisikan sebagai Direktur Kweekschool Padang Sidempoean yang akan mulai dibuka pada tahun 1879. Selama Willem Iskander melanjutkan studi dan membimbing guru-guru muda ke Belanda Kweekschool Tanobato ditutup (sambil menunggu dibukanya sekolah guru yang baru di Padang Sidempoean).

Jika Willem Iskander dapat menyelesaikan studinya untuk mendapatkan akte kepala sekolah di Belanda itu berarti Willem Iskander akan setara dengan Diploma. Sebab ketika Willem Iskander lulus akte guru tahun 1860 kira-kira setara dengan lulusan sekolah guru setingkat sekolah menengah atas (atau setingkat SPG beberapa dasawarsa yang lalu). Akta guru (setingkat SPG) inilah yang akan diikuti oleh tiga orang guru tersebut. Sementara lulusan sekolah guru Kwekschool di tiga tempat tersebut adalah lulusan setara sekolah menengah bawah (setingkat SMP pada masa ini). Hal ini karena siswa yang diterima di kweekschool adalah lulusan sekolah dasar. Sementara itu di sekolah kedokteran Docter Djawa School yang juga menerima lulusan sekolah dasar tetapi dengan lama sekolah tujuh tahun itu juga dapat dianggap setara dengan Diploma.

Namun yang menjadi pertanyaan ketika pemerintah mengirim tiga guru muda ke Belanda dari tiga tempat yang berbeda (Banas Lubis dari Kweekschool Tanobatot, Raden Soerono dari Kweekschool Soeracarta dan Ardi Sasminta dari Kweekschool Bandoeng) mengapa tida ada guru dari Kweekschool Fort de Kock (sebagai satu dari empat sekolah guru yang ada saat itu). Perencanaan pengiriman guru ini sudah muncul pada tahun 1871. Apakah ini terkait dengan mutu sekolah guru Fort de Kock yang mana pada tahun 1865 pernah disebutkan oleh JA van Chijs yang mengindikasikan sekolah guru di Fort de Kock gagal total. Menurut Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak pantas memakai nama sekolah guru.

Dikirimnya tiga guru ke Belanda dari empat sekolah guru yang ada telah menimbulkan kegelisan bagi pegiat pendidikan di Padangsche. Ini terindikasi dari keinginan mereka untuk mendatangkan Radja Medan, kapala goeroe di skola Islam di Padang yang dimuat di dalam surat kabar Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 22-02-1873: ‘Permintaan guru Radja Medan ditujukan kepada pemerintah (Direkteur dari Onderwijs Eeredienst en Nijverheid di Batavia) agar Radja Medan, guru swasta di Padang diangkat untuk menjadi guru di Kweekschool Fort de Kock’. Siapa guru Radja Medan? Radja Medan adalah guru yang berpengalaman di Padang telah 13 tahun menjadi guru. Radja Medan dipandang sebagai guru yang dapat mangadjarkan sagala ilmoe dan pangadjaran dalam pakardjaan skola. Kinerja RM selama ini dianggap baik dan tidak kurang dan para mantan murid-muridnya banyak memuji soekoer atas kemampuan RM. Untuk pengganti RM di sekolah Padang, Soetan Salim Hoofd-Djaksa jang soeda baranti, jang sakarang djadi goeroe panolong (hulponderwijzer) dalam skola Islam di Padang. Namun permintaan itu kelak diketahui tidak dipenuhi oleh pemerinta pusat, yang diangkat adalah Baginda Chatib, alumni dari sekolah tersebut (lihat Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1876).

Selain pengiriman guru-guru ke Belanda untuk studi lebih lanjut, pemerintah juga merencanakan akan menambah sekolah guru. Selain empat sekolah guru yang ada, dan juga sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean yang tengah dipersiapkan, juga akan didiirikan sekolah guru di Tondano (Minahasa), Ambon (Maluku), Probolinggi (Oost Java), Bandjarmasing (Borneo) dan Makassar (Celebes). Strategi lain yang akan digunakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sekolah guru adalah mendatangkan guru-guru dari Belanda. Ini dapat dilihat dalam suatu kesempatan, di Batavia, ketika Raja Willem III berkunjung ke Nederlandsch Indie berkesempatan mengunjungi sekolah William III. Dalam kesempatan itu Raja menawarkan guru-guru di Belanda untuk bekerja di Jawa. Raja berkata ketika berada di gimnasium William III di Batavia (Algemeen Handelsblad, 04-05-1874).

Radja Willem III pada dasarnya sangat peduli dengan pendidikan. Yang kurang peduli dengan pendidikan pribumi adalah sebagian pejabat pemerintahan di Nederlandsch Indie. Bahkan diantara para pejabat ini ada yang rasis. Radja Willem III sebagai keluarga kerajaan mewakili kepedulian terhadap pendidikan. Ini dapat dilihat dengan keberadaan sekolah Koning Willem III di Batavia (didirikan tahun 1860). Sekolah ini adalah khusus untuk anak-anak orang Eropa/Belanda. Sedangkan untuk anak-anak pribumi, Radja Willem III mengharapkan kehadiran guru-guru dari Belanda untuk menjadi guru di sekolah-sekolah guru.

Peningkatan mutu sekolah guru tidak hanya dari guru-guru yang dikirim ke Belanda tetapi juga mendatangkan guru-guru dari Belanda. Untuk fasilitas sekolah guru penataan juga telah direncanakan setelah sebelumnya Kweekschool Bandoeng tahun 1866 dengan gedung yang mewah. Dua gedung sekolah yang berkualitas setara dengan Kweschool Bandoeng adalah membangun sekolah guru yang lebih besar di Magelang sebagai pengganti sekolah guru di Soeracrta selama ini. Hal ini juga akan dilakukan dengan membangun sekolah guru di Padang Sidempeoan untuk menggantikan sekolah guru di Tanobato.

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad 31-10-1874:‘.. Iskander sendiri setelah lulus di Belanda, comeback menjadi kepala sekolah guru di Tapanoeli. yang sekarang sedang ditransfer, dan memperoleh organisasi yang lebih besar’. Algemeen Handelsblad, 21-09-1875: ‘..pemerintah telah merencanakan pengembangan pendidikan di beberapa tempat. Magelang, Bandong dan Probolinggo (Java); di Amboina; di Tondano; untuk Bandjermasin; di Fort de Kock; Padang Sidempoean, dan Makassar’.

Sementara itu, penduduk di Soeracarta dan di Preanger sangat berharap kepada dua guru muda karena inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu agar sekembalinya studi dari Belanda mutu pendidikan segera meningkat di Jawa. Namun semua harapan itu segera sirna karena tiga guru yang dikirim tersebut mengalami sakit dan kemudian meninggal dunia satu per satu. Willem Iskander juga tidak kembali, karena Willem Iskander tahun 1876 dikabarkan meninggal dunia di Belanda setelah beberapa bulan sebelumnya tiga guru muda yang dibawa Willem Iskander satu per satu meninggal dunia. Sekolah guru Kweekschool Magelang dan Kweekschool Padang Sidempoean tetap berjalan seperti yang telah direncanakan.

Program peningkatan guru pribumi telah gagal. Namun untuk tetap mengupayakan peningkatan sekolah guru, pemerintah Nederlandsch Indie merealisasikan sarnn dari Radja Willem III. Ini terlihat pada tahun 1877 di Kweekschool Fort de Kock ditempatkan kepala sekolah berlisensi Eropa, Mr. Harmsen.

Sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean akhirnya dibuka tahun 1879. Namun ketika, sekolah guru yang baru dan lebih besar di Padang Sidempuan dibuka, diketahui yang menjadi Direktur Kweekschool Padang Sidempoean adalah Mr. Harmsen sebagai pengganti Willem Iskander. Sementara  Mr. Harmsen sebelumnya pada tahun 1877 telah ditempatkan di Kweekschool Fort de Kock.

Pada tahun 1881 untuk menambah guru di Kweekschool Padang Sidempoean ditambahkan seorang guru bernama Charles Adrian van Ophuijsen yang sebelumnya magang di Kweekschool Probolinggo. Charles Adrian van Ophuijsen, lahir di Solok, anak mantan Controleur di Afdeeling Natal dan mantan Asisten Residen di Afdeeling Agam, CHW van Ophuijsen. Untuk sekadar mengingat kembali, Charles Adrian van Ophuijsen  adalah anak CHW van Ophuijsen, pendiri Kweekschool Fort de Kock tahun 1856.

Pada tahun 1881 kembali Dokter Djawa School ditingkatkan yakni dengan menambah satu tahun pada tingkat persiapan sehingga lama studi di Docter Djawa School menjadi delapan tahun. Dengan lama studi delapan tahun itu berarti Docter Djawa School kira-kira setingkat Diploma-2 pada masa sekarang. Dengan kata lain, sekolah Dokter Djawa School telah setara dengan perguruan tinggi.

Beberapa dokter yang cukup terkenal dari program dokter delapan tahun di Docter Djawa School ini adalah Dr. Madjilis (asal Mandailing dan Angkola); Dr. Abdoel Rivai (asal Bengcoelen); Dr. Wahidin Soedirohoesodo (dari Djogjakarta). Tiga dokter ini memiliki reputasi sendiri-sendiri. Dr. Madjilis bahkan lebih terkenal daripada Dr. Wahidin (pengagas Boedi Oetomo). Dr. Madjilis adalah dokter terbaik di angkatannya yang lulus tahun 1886 (Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1886). Dr. Madjilis adalah alumni Docter Djawa School yang setelah habis masa dinas bekerja untuk pemerintah diberi lisensi oleh pemerintah untuk membuka praktik dokter sendiri. Atas prestasi itu, Dr. Madjilis kemudian direkrut sebuah perusahan perkebunan di Tandjong Balai sebagai dokter yang dipekerjakan di perusahaan. Dr. Abdoel Rivai setelah selesai berdinas di pemerintah berangkat studi ke Belanda dan mendapat gelar dokter Belanda tahun 1908. Hal yang sama  juga dilakukan dokter Djawa Ph. Laoh berasal dari Minahasa yang meraih gelar dokter Belanda tahun 1910. Dr. Wahidin Soedirohoesoedo terkenal karena perjalanannya di seluruh Jawa yang memunculkan ide untuk penggalangan dana untuk meningkatkan pendidikan (terutama) di Jawa yang menjadi pangkal perkara didirikannya organisasi kebangsaan Boedi Oetomo.

Sekolah guru Kweekschool semakin berkembang pesat. Hal ini boleh jadi karena keuletan dari Charles Adrian van Ophuijsen. Sebab Charles Adrian van Ophuijsen telah diangkat menjadi Direktur Kweekschool Padang Sidempoean untuk menggantikan Mr. Harmsen. Charles Adrian van Ophuijsen tidak hanya seorang guru tetapi juga sangat gemar melakukan penelitian di sastra dan bahasa di Tanah Batak. Charles Adrian van Ophuijsen tampaknya sangat menikmati dengan perannya sebagai guru dan peneliti di Padang Sidempoean. Guru Charles Adrian van Ophuijsen meski berada di daerah pedalaman Sumatra di Padang Sidempoean juga adalah anggota klub studi ilmiah di Batavia. Charles Adrian van Ophuijsen cukup lama di Padang Sidempoean, dari delapan tahun menjadi guru di Padang Sidempuan, lima tahun terakhir Charles Adrian van Ophuijsen sebagai Direktur sebelum dirinya diangkat sebagai Direktur Pendidikan Pantai Barat Sumatra yang berkedudukan di Padang.

Charles Adrian van Ophuijsen telah menjadi keajaiban yang kedua di Afdeeling Mandiling en Angkola. Sebelumnya Willem Iskander dapat diangggap sebagai suatua keajaiban yang pertama. Boleh dikatakan Charles Adrian van Ophuijsen adalah penerus cita-cita Willem Iskander dalam upaya meningkatan pendidikan di Afdeeling Mandiling dan Ankola. Itu telah dapat dicapai. Banyak murid-murid Charles Adrian van Ophuijsen yang cemerlang dalam studi, berdedikasi dalam mengajar dan sukses di bidang lain. Beberapa mantan siswanya yang terkenal adalah Dja Endar Moeda (lulus tahun 1884); Soetan Casajangan (lulus 1887); Soetan Martoea Radja (lulus 1890) dan Mangaradja Salamboewe (lulus 1892). Kelak, Dja Endar Moeda dikenal sebagai pendidir organisasi kebangsaan Medan Perdamain (1900); Soetan Casajangan pendiri organisasi mahasiswa di Belanda Indisch Vereeniging (1908); Soetan Martoea Radja adalah ayah dari Ir. MO Parlindoengan (insinyur teknik kedua dari Delf, adik kelas Ir. Soerachman) dan Mangaradja Salamboewe adalah anak Dr, Asta (alumni pertama Docter Djawa School dari luar Jawa).  Mangaradja Salamboewe juga adalah editor surat kabar kedua pribumi, Pertja Timor di Medan (1902-1908). Sedangkan editor pribumi pertama adalah Dja Endar Moeda sendiri (editor Pertja Barat di Padang 1897-1907). Dja Endar Moeda juga adalah kakek Dr. Ida Loemongga, Ph.D, (perempuan Indonesia pertama yang bergelat doktor).

Pada tahun 1890  kembali Docter Djawa School ditingkatkan. Siswa-siswa yang diterima di Docter Djawa School adalah lulusan sekolah Eropa tujuh tahun (Europeesche Lagere  School/ELS). Lama studi di Docter Djawa School tetap delapan tahun yang mana untuk tingkat persiapan selama tiga tahun dan tingkat medik selama lima tahun. Namun karena sekolah ELS adalah tujuh tahun maka dengan sendirinya lama studi di Docter Djawa School dapat dikatakan menjadi lebih lama. Hal ini karena sebelumnya siswa yang diterima di Docter Djawa School adalah siswa-siswa lulusan sekolah pribumi (enam tahun). Disamping itu, karena sekolah ELS adalah sekolah Eropa dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, maka mahasiswa di Docter Djawa School seakan memiliki standar bahasa Belanda. Ada untungnya ada ruginya. Sementara itu, sebaliknya beberapa sekolah guru harus ditutup, termasuk Kweekshool Padang Sidempoean.

Ketika Docter Djawa School terus ditingkatkan mutunya, sekolah-sekolah guru sebaliknya banyak yang ditutup. Ini semua karena terjadinya defisit anggaran pemerintah. Salah satu yang terkena dampak itu adalah melikuidasi sekolah-sekolah guru. Sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean ditutup tahun 1892. Siswa-ssiwa yang akan melanjutkan sekolah guru diarahkan ke Kweekschool Fort de Kock. Sekolah guru lainnya yang ditutup adalah Kweekschool Bandjarmasin (1893) dan Kweekschool Makassar (1895). Praktis hanya tinggal empat sekolah guru, yakni: di Fort de Kock (sejak 1856); Bandoeng (sejak 1866); Ambon (sejak 1873); dan Probolinggo (sejak 1875).  

Awalnya sempat kekhawatiran orang tua di Afdeeling Mandailing dan Angkola atas penutupan sekolah guru Kweekschool Padang Sidempiean. Ini seakan reputasi guru asal afdeeling Mandailing dan Angkola seakan hilang sendirinya. Sekolah guru di Afdeeling Mandailing en Angkola sudah ada sejak 1862 (era Willem Iskander) dan penggantnya Kweekschool Padang Sidempoean (era Charles Adriaan van Ophuijsen). Namun tidak lama ketika Kweekschool Padang Sidempoean ditutup ada kebijakan pemerintah bahwa pribumi dapat diterima di sekolah Eropa ELS di Padang Sidempoean. Ini seakan tetap membuka peluang bagi siswa-siswa asal Mandailing en Angkola untuk studi kedokteran dengan aturan abru (syarat lulusan ELS). Sementara itu, minat untuk menjadi guru di Afdeeling Mandailing en Angkola ternyata tidak surut meski harus melanjutkan studi jauh ke Kweekschool Fort de Kock.

Beberapa guru asal Afdeeling Mandailing en Angkola lulusan Kweekschool Fort de Kock ternyata banyak yang sukses kemudian. Mereka itu guru Taif Nasution, ayah dari SM Amin Nasution (gebernur pertama Sumatra Utara); Aden Lubis, ayah Kolonel Zulkifli Lubis (perintis intelijen Indonedia); Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng lulus Kweekschool Fort de Kock tahun 1898 . Radja Goenoeng adalah penilik sekolah pertam di Oostkust Sumatra yang berkedudukan di Medan dan anggota pribumi pertama dewan kota (gemeeteraad) Medan; Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan lulus 1909 dan kemudian melanjutkan sekolah pertanian (Lanbouw School) di Buitenzorg tahun 1911. Soetan Kenaikan adalah alumni pertama sekolah menengah pertanian (Midlebare Landbow School) Buitenozeog tahun 1914 yang kelak menjadi direktur sekolah pertanian yang pertama di West Sumatra’ dan GB Joshua Batabara yang setelah lulus Kweekschool Fort de Kock melanjutkan sekolah ke Hogere Kweekschool di Poeworedjo dan lulus 1923. Setelah menjadi guru HIS di beberapa tempat, GB Joshua mendapat beasiswa melanjutkan studi ke Belanda dan lulus tahun 1931. GB Joshua adalah pendiri perguruan Joshua Instituut di Medan pada tahun 1932 (masih eksis hingga hari ini).

Lulusan Docter Djawa School generasi baru ini yang terkenal adalah Dr. Haroen Al Rasjid (lulus 1902), Dr. Mohamad Hamzah (1902), Dr. Abdoel Hakim (1905), Dr. Abdoel Karim (1905) dan Dr. Tjipto Mangoengkoesoemo (1905). Dokter lainnya antara lain dua bersudara Tehupeiory. Dr. Haroen Al Rasjid adalah ayah dari Dr. Ida Loemongga, Ph.D (perempuan Indonesia pertama bergelar Ph.D tahun 1931). Dr. Mohamad Hamzah, kepala dinas kesehatan dan anggota dewan kota di Pematang Siantar, Dr. Mohamad Hamzah adalah saudara sepupu Mr. Soetan Casajangan (pendiri Indisch Vereeniging tahun 1908). Dr. Abdoel Hakim, Dr. Abdoel Karim dan Dr. Tjipto Mangoengkoesoemo sama-sama satu kelas dan sama-sama lulus tahun 1905 di Docter Djawa School.

Beberapa alumni sekolah Docter Djawa School gererasi ELS ini yang melanjutkan studi ke Belanda antara lain: Dr. Abdoel Rivai, Ph. Laoh. Salah satu diantara mereka yang studi lebih lanjut ke Belanda yang melanjutkan studi doktoral adalah Dr. DJ Apituley yang meraih gelar doktor (Ph.D) di Universiteit Amsterdam dengan desertasi berjudul: 'Onderzoekingen over de histiogenese van émail en mambraan van Nasmyth' (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 10-07-1925).

Pada tahun 1902 lama studi menjadi sembilan tahun yang mana nama Docter Djawa School diubah menjadi STOVIA (School  tot  Opleiding  van  Inlandsche  Artsen). Lama studi tingkat persiapan tiga tahun tetapi tingkat medik menjadi enam tahun. Dengan lama studi sembilan tahun itu sudah dapat dianggap setara dengan sarjana. Lulusan pertama STOVIA antara lain Dr. Soetomo (1911) dan Dr. Radjamin Nasution (1912).

Lulusan STOVIA untuk setara dengan dokter lisensi Eropa (Belanda) harus melanjutkan studi ke Belanda. Sejumlah dokter lulusan STOVIA yang melanjutkan studi ke Belanda untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran setara Belanda adalah Dr. Sowarno, Dr. Soetomo, Dr. Sardjito, Dr. Mohamad Sjaaf, Dr. Sjoeib Proehoeman, Dr, Achmad Mochtar, Dr. T Mansoer, Dr. Aminoedin Pohan, Dr. Diapari Siregar, Dr. Gindo Siregar, Dr. Pamenan Harahap. Beberapa diantara mereka ini yang melanjutkan ke tingkat doktoral dan meraih gelar Ph.D adalah Dr, Soewarno, Ph.D, Dr. Sarjito, Ph.D, Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D, Dr. Achmad Mochtar, Ph.D, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, Dr. Aminoedin Pohan, Ph.D,   

Perkembangan Perguruan Tinggi di Hindia Belanda: Keguruan, Kedokteran, Kedokteran Hewan, Pertanian, Hukum, Pemerintahan dan Teknik

Sekolah keguruan (kweekschool) dan sekolah kedokteran (Docter Djawa School) sudah sejak lama diselenggarakan. Sekolah guru yang pertama didirikan di Souracrta tahun 1850 dan sekolah kedokteran Docter Djawa School didirikan pada tahun 1851. Dua sekolah tinggi ini telah meluluskan guru dan dokter dalam jumlah yang banyak dan tersebar di seluruh Nederlandsch Indie.

Perkembangan perguruan tinggi di Nederlandsch Indie merupakan tindak lanjut pemerintah setelah perguruan tinggi di bidang kedokteran dan bidang keguruan karena kebutuhan di sektor lain seperti bidang hukum, bidang kedokteran hewan, bidang pertanian dan lain sebagainya. Perkembangan perguruan tinggi ini juga seiring dengan semakin banyaknya sekolah-sekolah berbahasa pengantar bahasa Belanda yang dibangun dan juga karena diberikannnya akses yang lebih baik bagi siswa-siswa pribumi ke sekolah-sekolah yang selama ini hanya terbatas untuk orang Eropa/Belanda seperti tingkat sekolah HBS, HIS, MULO, AMS. Sekolah-sekolah elit Eropa/Belanda juga dimungkinkan untuk dimasuki oleh siswa-siswa pribumi seperti sekolah K Willem III School dan Prins Hendrik School.

Sekolah kedokteran Docter Djawa School yang setara Diploma telah ditingkatkan menjadi sekolah kedokteran STOVIA yang setara dengan sarjana pada tahun 1902. Namun sekolah guru tetap tidak pernah ditingkatkan. Untuk menjadi dokter dan guru berlisensi Eropa harus melanjutkan studi ke Belanda.

Untuk guru yang berlisensi Eropa pertama adalah Willem Iskander tahun 1860 namun tidak tercapai ketika ingin melanjutkan tingkat sarjana tahun 1876 karena meninggal dunia semasa studi di Belanda. Alumni-alumni sekolah guru yang melanjutkan studi ke Belanda yang pertama adalah Soetan Casajangan pada tahun 1905, kemudian menyusul beberapa guru lainnya termasuk Dahlan Abdoellah, Tan Malaka dan GB Joshua Batubara. Demikian juga dokter-dokter yang melanjutkan studi ke Belanda sudah cukup banyak.

Sementara itu sejumlah kursus-kursus untuk memenuhi kebutuhan di bidang lain sudah sejak lama diselenggarakan. Salah satu alumni kursus kedokteran hewan adalah Si Badorang yang menjadi dokter hewan pada tahun 1887.  Dokter Si Badorang adalah ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. Kursus-kursus yang telah diformalkan menjadi sekolah tinggi adalah Sekolah Pamong Pradja OSVIA pada tahun 1900. Sementara Sekolah Pertanian (Lanbouw School) didirikan tahun 1903, sedangkan Sekolah Kedokteran Hewan (Veeartsen School) didirikan tahun 1907. Kedua sekolah tinggi ini diselenggarakan di Buitenzorg (kini Bogor).

Salah satu lulusan pertama yang merupakan angkatan pertama Veeartsen School adalah JA Kaligis (1911). Lulusan angkatan kedua Veeartsen School salah satu diantaranya adalah Sorip Tagor pada tahun 1812 yang lalu kemudian diangkat menjad asisten dosen. Pada tahun 1913 Sorip Tagor melanjutkan studi kedokteran hewan ke Utrecht dan lulus tahun 1920. Sorip Tagor adalah dokter hewan pertama berlisensi Eropa/Belanda.  Dr. Sorip Tagor Harahap kelak dikenal sebagai kakek dari Inez dan Rysti Tagor. Pada tahun 1914 Alimoesa lulus dari Veeartsen School dan ditempatkan di Pematang Siantar dan kemudian menjadi kepala dinas peternakan Simaloengoen en Karolanden dan menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Pematang Siantar. Pada tahun 1924 Dr. Alimoesa Harahap terpilih menjadi anggota Volksraad dari dapil Noord Sumatra (Tapanoeli en Atjeh).

Pada tahun 1909 didirikan Sekolah Hukum (Rechts School) di Batavia. Siswa yang diterima di sekolah pendidikan hukum ini adalah sekolah dasar HIS. Lama studi adalah enam tahun yang terbagi dalam tingkat persiapan selama tiga tahun dan tingkat rechten selama tiga tahun. Ini berarti kira-kira setara dengan sekolah pendidikan guru (SPG). Dalam perkembangannya lulusan sekolah MULO atau lulusan sekolah pamong MOSVIA dapat diterima dan langsung ke tingkat rechten.

Beberapa nama yang terkenal lulusan Rechts School di Batavia ini adalah Mr. Soepomo, Ph,D dan Mr. Radja Enda Boemi, Ph.D. Raden Soepomo lulusan MULO diterima Rechts School pada tahun 1920. Pada tahun 1922 Raden Soepomo naik dari kelas dua ke kelas tiga Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-06-1922). Pada bulan Juli 1923 Raden Soepom dinyatakan lulus dan kemudian ditempatkan di pengadilan Landraad Sragen. Lalu pada tahun 1924 Rade Soepomo melanjutkan studi ke Belanda dan berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1927. Alinoedin Siregar, lulusan HIS di Padang Sidempoean dan diterima di Rechts School pada tahun 1912. Alinoedin Siregar lulus Rechts School tahun 1918 dan langsung ditempatkan di pengadilan Landraad Medan. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi, lahir di Batang Toroe, Padang Sidempoean melanjutkan studi ke Belanda memperoleh gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum di Universiteit Leiden tahun 1925 dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Radja Enda Boemi adalah ahli hukum pertama dari Tanah Batak, orang Indonesia keempat yang meraih gelar Ph.D di bidang hukum (Raden Soepomo yang keenam). . .

Pada tahun 1912 Sekolah Pertanian (Lanbouw School) di Buitenzorg ditingkatkan yang berubah namanya menjadi Middelbare Landbouwschool. Siswa yang diterima harus lulusan MULO atau Kweekschool. Sebelumnya pada tahun 1910 telah didirikan sekolah budidaya pertanian Cultuur School di Soekaboemi. Perbedaannya adalah Lanbouw School menekankan pada pendidikan pertanian tanaman pangan dan kehutanan, sedangkan Cultuur School pada budidaya perikanan dan peternakan.

Salah satu lulusan pertama sekolah Middelbare Landbouwschool adalah Abdoel Azis Nasution yang lulus tahun 1914.Abdoel Azis Nasution, lulusan Kweekschool Forr de Kock dan langsung melanjutkan ke sekolah Lanbouw School di Buitenzorg tahun 1911. Saat terjadi perubahan Lanbouw School menjadi Middelbare Landbouwschool, Abdoel Azis Nasution berada di kelas dua ditransfer Middelbare Landbouwschool. Oleh karena itu Abdoel Azis Nasution adalah lulusan pertama Middelbare Landbouwschool. Setelah lulus ditempatkan di sebagai pegawai pemerintah dan berpindah-pindah tempat. Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan adalah pendiri sekolah pertanian swasta pertama (di Loeboek Sikaping tahun1935).

Pada tahun 1913 STOVIA ditingkatkan dengan lama studi 10 tahun. Siswa yang diterima tidak hanya pribumi tetapi juga siswa-siswa orang Eropa/Belanda dan siswa-siswa timur asing seperti Tionghoa dan Arab. Pada tahun yang sama (1913) di Soerabaja didirikan sekolah kedokteran baru yang disebut NIAS. Sekolah kedokteran di Soerabaja hanya dikhusukan untuk orang-orang pribumi.

Salah satu mahasiswa yang terkenal dari NIAS adalah Mohamad Nawir yang masuk tahun 1929. Mohamad Nawir adalah lulusan Koning Willem III School Afdeeling HBS-B (IPA). Mohammad Nawir yang pada masa ini lebih dikenal dengan nama Achmad Nawir adalah pemain sepakbola HBS Soerabaja dan NIAS yang pada tahun 1938 menjadi kapten tim ke Piala Dunia di Prancis. Dosen-dosen yang teridentifikasi di sekolah kedokteran Soerabaja ini adalah Dr. Mohamad Sjaaf. Ph.D dan Dr. Soetomo (pendiri Boedi Oetomo),

Pada tahun 1914 didirikan sekolah tinggi keguruan Hoogere Kweekschool (HKS) di Poerworedjo. Lulusan yang diterima di sekolah tinggi keguruan ini adalah lulusan sekolah guru Kweekschool atau kemudian diterima lulusan MULO. Lama studi adalah tiga tahun. Ini berarti lulusan HKS kira-kira setara dengan SPG. Dalam perkembangannya HKS ini ditutup dan didirikan HKS di Bandoeng.

Salah satu lulusan HKS Poerworedjo adalah GB Joshua Batubara kelahiran Sipirok, Afdeeling Padang Sidempoean. Sebelum melanjutkan studi ke Poerworedjo 1923, GB Joshua menyelesaikan sekolah guru di Kweekschoool Fort de Kock. Pada tahun 1929 GB Joshua melanjutkan studi ke Belanda dan lulus tahun 1931 mendapat akta LO.

Sejauh ini sekolah-sekolah tinggi yang didirikan pada dasarnya masih setara dengan sekolah menengah atau paling tinggi setara Diploma untuk lulusan STOVIA. Sekolah pertanian Landbouw School (MULO atau Kweekschool + 3 tahun); Rechts School (HIS/MULO + 3 tahun); Veeartsen School (HIS+5 tahun); HKS (Kweekschool +3 tahun); dan OSVIA (HIS + 3 tahun). Sementara itu, meski STOVIA dan NIAS tampak jauh lebih tinggi (ELS/MULO + 10 tahun) namun tidak setara dengan dokter lulusan Belanda. Oleh karena itu, lulusan STOVIA/NIAS harus melanjutkan studi ke Belanda untuk mendapatkan akte dokter penuh (setara Eropa/Belanda). Hal ini menjadi persoalan yang serius bagi guru Soetan Casajangan, pendiria Indisch Vereeniging. Soetan Casajangan setelah lulus sarjana pendidikan kembali ke tanah air pada tahun 1913. Sebelum pulang ke tanah air Soetan Casajangan melakukan pertemua dengan para sarjana dan ahli yang memiliki minat (perhatian) tentang Nederlandsch Indie.

Pemerintah Hindia Belanda (Gubernur Jenderal di Batavia) membuat rencana pada tahun 1916 untuk memenuhi kebutuhan di Hindia Belanda akan mengirim pegawai muda pribumi untuk pelatihan (opleiding) ke Technische Hoogeschool te Delft pada tahun anggaran 1916 sebanyak 77 orang dan 1917 sebanyak 95 orang (lihat De Preanger-bode, 26-07-1916). Rencana pemerintah ini setahun setelah keberangkatan Soerachman melajutkan studi ke Delft. Soerachman berangkat studi ke Belanda. pada tanggal 15 September 1915 dari Batavia menuju Amsterdam (De Maasbode, 16-09-1915). Soerachman seakan menantang untuk ke Delft karena tingkat kesulitas yang tinggi di Delf. Pribumi pertama yang sekolah di Delf adalah Raden Kartono pada tahun 1896 namun baru setahun pindah ke bidang sastra di universitas lain. Raden Kartono, lulusan HBS Semarang adalah kakak RA Kartini.

Ada rencana Pemerintah Hindia Belanda untuk mengirim banyak siswa studi ke Belanda diduga kuat untuk merespon tekanan para pakar dan pemerhati Hindia Belanda di Belanda. Sebagaimana diketahui, pidato Soetan Casajanagan pada tahun 1911 di hadapan para pakar di Belanda sangat santun tetapi memberi makna yang dalam yang menggetarkan hati peserta forum yang juga dihadiri pegiat pendidikan dan bahkan profesor-profesor di sekolah tinggi di Belanda. Kutipan pidato Soetan Casjangan dilansir sejumlah surat kabar di negeri Belanda dan di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda di Negeri Belanda dan orang-orang Belanda di Hindia Belanda dengan sendirinya sudah saling mengetahui problem dan harapan yang disampaikan oleh Soetan Casajanagan.

Soetan Casajangan, mantan guru di Padang Sidempoean, alumni Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887 berjuang untuk meningkatkan pendidikan pribumi. Ketika tengah kuliah di negeri Belanda, sepak terjang Soetan Casajangan sudah diketahui umum sebagai tokoh sentral di Indisch Vereeniging, karena itu Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:

‘Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

‘..Saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi)’. 

Boleh jadi statement Soetan Casajangan yang mempertentangkan ‘coklat’ dan ‘putih’ di antara intelektual Indonesia di Belanda adalah yang pertama. Perasaan itu sudah dikemukakannya secara gamblang di depan publik yang mengindikasikan tidak ada lagi ketakutan dan memulai perjuangan (tentu saja pada ssat itu masih pada level ketidakadilan). Statement ini juga terdapat dalam buku karya Soetan Casajangan yang diterbitkan, statement ini merupakan kesimpulan. Soetan Casajangan sendiri lulus kuliah dengan sertifikat guru Eropa tahun 1911. Sebelum pulang ke tanah air Soetan Casajangan menerbitkan buku berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi). Buku ini diterbitkan oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij di Barn tahun 1913.

Rencana Pemerintah Hindia Belanda tersebut tidak jadi diwujudkan. Hal ini karena di Belanda dan di Hindia Belanda dalam perkembangannya pada tahun 1917 muncul ide dan berkembang pemikiran, bukan memberangkatkan siswa-siswa ke Belanda tetapi mendatangkan dosen-dosen untuk mendirikan sekolah tinggi teknik di Nederlandsch Indie. Sultan Djogja merespon dengan positif dan bahkan bersedia menyediakan lahan meski dia tahu Bandoeng menjadi kandidat kuat (lihat De Preanger-bode, 19-08-1917). Sebelumnya sudah beredar informasi bahwa rencana sekolah tinggi itu sedang mempertimbangkan Bandoeng (lihat De Preanger-bode, 25-07-1917).

Sementara di Delft sudah dibentuk komisi yang dipimpin oleh Prof. Klopper. Di Delft Prof. Klopper mendapat masukan dari Ir. HA Brouwer, seorang insinyur di Kementerian PU di Hindia Belanda yang baru tiba di Delft karena diangkat sebagai dosen di Technische Hoogeschool te Delft (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-07-1918. De Telegraaf, 12-05-1919 melaporkan Technische Hoogeschool te Bandoeng rencana akan dibuka tahun 1921 (Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1919). Namun dalam perkembangannya rencana ini dimajukan menjadi akhir Juli 1920, perkuliahan selama empat tahun dan Ijzzermann dan Klopper melakukan persiapan di Hindia Belanda. Sekolah tinggi ini hanya satu fakultas, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (Provinciale Drentsche en Asser courant, 16-08-1919). Pada tanggal 18 September Prof. Klopper akan berangkat ke Hindia Belanda untuk persiapan pembukaan Technische Hoogeschool te Delft (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-09-1919). Persiapan fisik Technische Hoogeschool didukung oleh Gemeente Bandoeng. Penawaran dilakukan sejak 1 Mei dan pemerintah lokal telah mempresentasikan di hadapan komite dan Pemerintah Hindia Belanda (lihat  Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1919). Ini mengindikasikan sebelum kedatangan Prof. Klopper, Bandoeng sudah ditetapkan sebagai lokasi Technische Hoogeschool. Ini dengan sendirinya harapan Djogja sirna.

Dalam analisis Prof. Klopper pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng sangat masuk akal (Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1919) karena juga memungkinkan orang Belanda di Hindia Belanda (baca: Indo) tidak harus ke Delft. Prof. Klopper menyatakan sebagian besar mereka gagal di Delft. Dalam analisis ini tidak menyinggung siswa-siswa pribumi sebagai kandidat di sekolah tinggi teknik (boleh jadi karena siswa pribumi modusnya masih seputar bidang pendidikan guru, kedokteran, hukum dan pertanian (kedokteran hewan).

Akhirnya Technische Hoogeschool te Bandoeng mulai terwujud. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11-12-1919 melaporkan sambil menunggu penyelesaian banguan, Prof Klopper sudah berhasil menghimpun (mengadministrasikan) sebanyak 23 dosen dan sebanyak 87 kandidat mahasiswa. Dalam hal ini  tentu saja tidak sulit menemukan kandidat dosen maupun kandidat mahasiswa. Sebab di Hindia Belanda sudah sejak lama terdapat banyak insiyur lulusan di Belanda dan beberapa tahun terakhir ini jumlah HBS (afdeeling-B/Eksak) semakin banyak.

Prof. Ir, J. Klopper yang ditunjuk komisi di Belanda lalu kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengukuhkannya sebagai Rektor (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Perkuliahan di Technische Hoogeschool te Bandoeng akan dimulai Juni 1920. Salah satu persiapan adalah diadakannya pameran studi (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Juga disebutkan dalam berita ini bahwa Dewan Persatuan Indo-Eropa (Indo-Europeesch Verbond)  dalam pertemuannya 26 Januari memutuskan untuk menggalang dana melalui anggotanya untuk penyediaan beasiswa bagi kandidat mahasiswa yang kurang mampu. Menurut perkiraan setiap mahasiswa selama empat tahun termasuk pemondokan akan menghabiskan dana sebesar f6,000. Suatu angka yang besar. Selain itu juga diberitakan diadakan Kongres Insinyur di Batavia yang juga turut dihadiri pengurus pusat di Belanda. Salah satu keputusan kongres ini Persatuan Insinyur Belanda chapter Nederlandsch Indie berpndah kantor ke Bandoeng (De Sumatra post, 18-02-1920).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-07-1920: ‘Ketua Dewan Direksi Technische Hoogeschool, KAR Bosscha memberikan kata sambutan untuk menyambut hadirin dan kemudian Wakil Dewan Direktur Lembaga Pendidikan Tinggi Pendidikan Teknik Tinggi Hindia Belanda Ir. RA van Sandick memberikan kata sambutan di hadapan Ny. Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum. Sandick menjelaskan sejarah yayasan itu sangat singkat, dimulai tahun 1917 berkumpul dari berbagai pihak dan mulai mengumpulkan dana dari berbagai kalangan seperti perusahaan perdagangan, industri, pertanian dan pelayaran yang hingga tahun 1919 terkumpul dana sebesar 3V3 juta gulden dan kemudian terbentuk Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie yang mana bernegosiasi dengan pemerintah (perwakilan Menteri Koloni) sehingga muncul fungsi baru yang mana saya ditunjuk. Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie menawarkan untuk pendirian sekolah tinggi teknik di Hindia Belanda dan lalu para pendiri membentuk Dewan Direksi lalu menugaskan tiga orang untuk mulai mengerjakannnya yakni (1) Prof. Ir. CW Weys, mantan Hoofdkfgenieur der BOW, mantan Hoogleeraar in de tropische waterbouwkunde aan de Technische Hoogeschool te Delft, yang sekarang menjabat sebagai Directeur der NV Rystlanden Michiels-Aroold, (2) Prof. Dr. S. Hoogewei, mantan Rector magnificus der Technische Hoogeschool te Delft, pengajar di bidang kimia, dan (3) saya sendiri merangkap sebagai sekretaris. Tim ini merancang untuk dua program studi yakni insinyur sipil dan insinyur kimia. Oleh karena pembiayaan yang besar untuk kimia dan teknologinya sehingga (untuk sementara) hanya untuk teknik sipil saja. Pada tanggal 1 Mei 1919 ditunjuk Prof. Klopper dan melakukan kunjungan kesini untuk bernegosiasi dan pembicaaan dengan pemerintah dan kemudian menetapkan lokasi di Bandoeng... bulan Juli 1919 dilakukan sebuah upacara yang termasuk peletakan batu pertama dan penanaman empat pohon yang melambangkan harapan...arsitek bangunan Ir H. Madame Pont dan proyek dipimpin oleh mantan Kolonel genie VL Slors dan Kapten genis MT van Staveren dari angkatan darat....Tujuan kami adalah bahwa insinyur Technische Hoogeschool te Bandoeng di masa depan akan setara dengan insinyur dari perguruan tinggi teknik ternaik di Westersche terbaik, yang mana kurikulum kami akan mengacu (copy paste) dari kurikulum Technische Hoogeschool te Delft...’

Jika diperhatikan secara cermat dari hasil analis Prof, Klopper yang tidak sedikitpun menyinggung tentang kandidat mahasiswa pribumi. Namun dalam perkembangan berikutnya ketika menjelang Technische Hoogeschool te Bandoeng kandidat pribumi diakomodir (De Preanger-bode, 03-07-1920). Mengapa muncul tarik ulur? Tidak jelas. Namun yang jelas, pada bulan Oktober 1920 kembali Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato di hadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tanggal 28 Oktober 1920, Soetan Casajangan, berdiri untuk kali kedua di hadapan para ahli/pakar Belanda dengan makalah 19 halaman yang berjudul 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Berikut beberapa petikan isi pidatonya:

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

‘....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada tanggal 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..

Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan...saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan [pemerintah kolonial]...’

Isi pidato ini tampaknya ditujukan untuk mengoreksi kebijakan pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng yang tidak memihak pribumi. Sebab isu saat itu soal ketidaksetaraan sangat menonjol pada sekolah tinggi teknik ini. Dalam daftar mahasiswa baru di tahun pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng hanya terdapat dua jatah pribumi. Saat itu Soetan Casajangan adalah Direktur Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Yang tidak terduga, dalam forum ini turut dihadiri oleh Soeltan Djogja [yang pernah secara sekarela menawarkan lahan untuk pendirian Technische Hoogeschool]. Dalam forum hanya Soetan Casajangan yang diminta berpiadato, dalam forum ini ini juga terindikasi panitia mengundang orang pribumi lainnya yakni Soeltan Djogjakarta.

Pidato Soetan Casajangan ini dan kehadiran Soeltan sangat strategis dan menjadi bentuk protes. Pada saat itu boleh dikatakan kedua tokoh ini sangat memerhatikan pendidikan penduduk pribumi. Oleh karenanya kedua tokoh ini tidak hanya tokoh perubahan tetapi juga berani berkorban: Soetan Casajangan dengan memikirkn kata-kata yang cukup tajam dengan cara penyampaian yang diplomatis dan Soeltan Djogja dengan tulus ikhlas menyedikan lahan. Lantas apakah ini yang menyebabkan perubahan kebijakan Technische Hoogeschool te Bandoeng? Sudah barang tentu, karena tidak ada pemicu lain kecuali melalui Vereeniging Moederland en Kolonien yang memiliki hubungan langsung dengan istitusi lain seperti Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie yang memayungi Technische Hoogeschool te Bandoeng. Soetan Casajangan tidak hanya pemikir yang brilian, juga Soetan Casajangan mendapat apresiasi yang luas dari kalangan orang-orang Belanda. 

Pengakuan ahli/pakar Belanda terkemuka terhadap pemikiran dan perjuangan Soetan Casajangan diwujudkan dalam berbagai bentuk. W. J. Giel mengungkapkan kekaguman terhadap potret seorang pelopor pribumi di Hindia Belanda bernama Soetan Casajangan di dalam sebuah artikel berjudul ‘Een Inlandsch pionier in Nederland' yang ditulis tanggal 23 Maret 1913. Artikel ini (n.l.de Batakker M. Soetan Casajangan Soripada)’ diterbitkan di Weekblad.voor Indie 10 (1913-14). Bentuk-bentuk lainnya yang mengapresiasi tentang Soetan Casajangan antara lain: Een Batakker over Indie. (Resumé eener lezing van R. Soetan Casajangan over: “Een en ander ter bevordering van den vooruitgang van Nederl. Indie).10 May 1913; Hilgebs (Th. J. A.). Een ontwikkelde Inlander (nl. Soetan  Casajangan) over onderwijs en onderwijspolitiek. De School v. N. I. 3 (1912-13); Onze Koloniën: Een serie Monographieën bijeengebracht door R.A. van Sandick. Eerste reeks/first series (All publ.). [Eerste druk; First edition]; dan Essays Published by the Netherlands East-Indian San-Francisco Committee, Dept. of Agriculture, Industry and Commerce, Masalah 2-33 by G.C.T. van Dorp, 1914. Singkat kata: Tidak seorang pun yang berbicara tentang pendidikan tinggi hingga munculnya Technische Hoogeschool te Bandoeng  kecuali Soetan Casajangan, orang yang selama hidupnya hanya berpikir tentang kemajuan pendidikan pribumi. Oleh karenanya Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) sampai dua kali mengundang Soetan Casajangan untuk berbicara/pidato dihadapan para anggotanya (tahun 1911 dan tahun 1920).

Pada tahun kedua tahun 1921 akhirnya Technische Hoogeschool te Bandoeng mengakomodir kandidat mahasiswa pribumi lebih banyak. Saya tidak ingin mengatakan hal itu terjadi karena pengaruh atau faktor Soetan Casajangan, tetapi saya meminta pembaca untuk menyimpulkan sendiri. Salah satu diantaranya adalah Soekarno lulusan HBS di Soerabaja pada bulan Juli 1921. Nama-nama mahasiswa pribumi yang seangkatan dengan (Raden) Soekarno (angkatan kedua) adalah M. Soetoto, M. Anwari, M. Koesoemaningrat, M. Soetedjo dan JAH Ondang. Catatan: dua mahasiswa pertama Technische Hoogeschool te Bandoeng R. Katamso dan R. Soeria Nata Legawa diduga gagal di tahun kedua (lihat De Preanger-bode, 08-05-1922).

Sejarah pendidikan tinggi di Hindia Belanda dimulai tahun 1850 dengan mendirikan sekolah guru di Soerakarta dan mendirikan sekolah kedokteran (docter djawa school) di Batavia tahun 1851. Pada tahun 1854 dua siswa asal afdeeling Mandailing dan Angkola (kemudian menjadi afdeeling Padang Sidempoean) bernama Si Asta dan Si Angan diterima di Docter Djawa School. Dua siswa ini adalah yang pertama dari luar Jawa (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Pada tahun 1856 Kweekschool Fort de Kock (untuk Sumatra). Pada tahun 1857 adik kelas Si Asta dan Si Angan bernama Si Sati melanjutkan studi di sekolah guru di Haarlem, Belanda. Setelah selesai studi dan mendapat akte guru Eropa (1861), Si Sati yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander (sesuai nama raja dan pemikir Eropa) pulang ke tanah air dan membangun sekolah guru di kampung halamannya di Tanobato tahun 1862 (sekolah guru ketiga setelah Soerakarta dan For de Kock). Pada tahun 1879 Kweeksvhool Tanobato ditingkatkan dengan membangun sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean. Salah satu guru terkenal di Kweekschool Padang Sidempoean adalah Charles Adriaan van Ophuijsen yang mendedikasikan dirinya selama delapan tahun dan lima tahun terakhir menjadi direktur Kweekschool Padang Sidempoean tersebut. Di sekolah guru inilah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajanagn memulai pendidikan guru dan lulus 1887 (yang pada nantinya 1905 melanjutkan studi ke Belanda di Haarlem (sekolah Willem Iskander dulu). Pada tahun 1902 Docter Djawa School (lima tahun) berubah menjadi STOVIA dan kemudian 10 tahun. Pada tahun 1907 Veeartsen School didirikan di Buitenzorg dan kemudian Recht School di Batavia. Kweekschool ditingkatkan menjadi HKS. Lalu tibalah gilirannya muncul perguruan tinggi (hoogeschool) yang sebenarnya: Technische Hoogeschool (Teknik di Bandoeng, 1920).

Siapa sesungguhnya Soetan Casajangan yang berdiri di depan Belanda dalam membela pendidikan pribumi? Soetan Casajangan lahir di Padang Sidempuan, 30 Oktober 1874. Lulus sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1887. Guru yang berdedikasi ini pada tahun 1905 (setelah mengajar 18 tahun) berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan akta kepala sekolah (lisensi Eropa) di Haarlem.. Soetan Casajangan adalah sosok yang berbeda (paling elegan dan percaya diri) diantara mahasiswa-mahasiswa lainnya. Surat kabar Telegraaf mewawancara Soetan Casajangan di Amsterdam yang dilansir Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907 (hanya mengutip beberapa saja di sini).

‘(Jurnalis)…mengapa anda mengambil risiko jauh studi kesini meninggalkan kesenangan di kampungmu, calon koeria, yang seharusnya sudah pension jadi guru dan anda juga harus rela meninggalkan anak istri yang setia menunggumu (Soetan Casajangan)…Anda tahu untuk masyarakat saya, masih banyak yang perlu dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik oleh guru Ophuijsen (mantan gurunya di Kweekschool Padang Sidempoean)….tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan melemah pada semua sendi kehidupan.. saya punya rencana pembangunan dan pengembangan lebih lanjut dari penduduk asli di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia)..saya mengajak anak-anak muda untuk datang ke sini (Belanda) agar bisa belajar banyak..di kampong saya kehidupan pemuda statis, baik laki-laki dan perempuan..dari hari ke hari hanya bekerja di sawah (laki-laki) dan menumbuk padi (perempuan)….anda tahu dalam Filosofi Batak kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di kepala, dan karenanya kami harus tekun agar tetap intelek…’.

Ketika jumlah mahasiswa sekitar 20 orang, pada tahun 1908 Soetan Casajangan mempelopori pendirian persatuan pelajar Indonesia (baca: Nederlandsch Indie) dengan nama Indisch Vereeniging (kelak menjadi Perhimpoenan Indonesia/PI Belanda). Sejak itu nama Soetan Casajangan tidak hanya terkenal di Tanah Air tetapi juga di Negeri Belanda. Seperti disebutkan di atas Soetan Casajangan telah dua kali berpidato di hadapan para ahli/pakar Belanda (tahun 1911 dan tahun 1920). Ini mengindikasikan bahwa hingga tahun 1920 (hingga saat permulaan didirikannya THS di Bandoeng) hanya Soetan Casajangan yang dapat dikatakan orang Indonesia yang aktif di bidang akademik, memiliki visi nasional dan satu-satunya yang memiliki keberanian mengemukaan pendapat di forum resmi. Soetan Casajangan haruslah diakui dan ditempatkan pada posisi teratas dalam perjuangan program pendidikan umum dan progam perguruan tinggi. Sebab jika dilihat alasan mengapa guru Soetan Casajangan saat sudah berumur 30 tahun masih melanjutkan studi ke Belanda karena sadar pendidikan tinggi adalah instrumen penting dalam perubahan dan kemajuan bangsa. Mengapa penulis-penulis sejarah (pendidikan) Indonesia tidak melihat fakta ini? Singkat kata: Soetan Casajangan adalah penerus Willem Iskander.

Universiteit van Indonesie: Transformasi dari Era Kolonial Belanda ke Era Republik Indonesia

Technische Hoogeschool te Bandoeng yang dibuka tahun 1920 adalah perguruan tinggi pertama di Nederlandsch Indie. Lulusannya akan disebut insinyur dan setara dengan insinyur lulusan Eropa/Belanda. Ini sebuah tonggak besar dalam pertumbuhan dan perkembangan pendidikan khususnya pendidikan/ sekolah tinggi. Pada tahun 1924, Technische Hoogeschool te Bandoeng diakuisisi oleh pemerintah. Ini mirip yang pernah dialami oleh Kweekschool Tanobato yang didirikan tahun 1862. Jelang sekolah guru itu menghasilkan lulusan pertama pada tahun 1865 Kweekschool Tanobato diakuisisi pemerintah sebagai kweekschool negeri yang ketiga.

Pada tahun 1924 bersamaan dengan akuisisi Technische Hoogeschool te Bandoeng oleh pemerintah, juga pemerintah meningkatkan sekolah hukum Rechts School menjadi perguruan tinggi hukum Rechtshoogeschool te Batavia. Dengan demikian, pada tahun 1924 di Nederlandsch Indie sudah terdapat dua buah perguruan tinggi (negeri).

Perhuruan tinggi Technische Hoogeschool te Bandoeng baru meluluskan pertama kali tahun 1925  Mereka berhak gelar insinyur (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-05-1925). Daftar lulusan perdana ini adalah Arnold Bik, Binkhorst, Bokslag, Hardenberg, Hoetjer, Joon, Kist dan Nobbe. Sementara Soekarno memasuki tahun terakhir. Dalam daftar ini termasuk M. Anwari, RM Koesoemaningrat, JAH Ondang dan M. Soetoto. Pada tahun berikutnya De Indische courant, 07-05-1926 melaporkan mahasiswa yang lulus dan meraih gelar insinyur diantaranya Soekarno, M. Anwari, JAH Ondang dan M. Soetedjo. Diantara mereka yang lulus tahun ini yang pertama adalah Ir. Soekarno. Dengan demikian alumni pribumi pertama Technische Hoogeschool te Bandoeng adalah Ir. Soekarno (kelak menjadi Presiden RI pertama).

Pada bulan-bulan ini juga dilaporkan mahasiswa yang lulus di sekolah tinggi lainnya. Di STOVIA diantaranya Diapari Siregar (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-05-1926). Di Utrecht seorang wanita muda bernama Ida Loemongga berhasil meraih gelar dokter (1926), yang kemudian langsung mengambil spesialis dan berhak memperoleh dokter spesialis jantung tahun 1929 (lihat De Tijd :godsdienstig-staatkundigdagblad, 21-03-1929). Pada tahun 1931 Ida Loemongga (Nasution) meraih gealr doktor (Ph.D) dalam bidang kedokteran, Ida Loemongga adalah perempuan Indonesia bergelar Ph.D.

Pada tahun 1927 giliran sekolah kedokteran STOVIA yang diringkatkan menjadi perguruan tinggi kedokteran Geneeskundige Hoogeschool te Batavia. Sementara sekolah kedokteran NIAS te Soerabaja tetap sebagai sekolah kedokteran yang tetap hanya menerima siswa-ssiwa pribumi. Dengan ditingkatkannya STOVIA menjadi Geneeskundige Hoogeschool maka di Nederlandsch Indie sudah terdapat tiga buah perguruan tinggi.

Masih pada tahun 1927 sekolah pamong pradja atau pada masa ini disebut sekolah pemerintahan dilakukan reorganisasi. Semua sekolah pamong pradja yang terdapat di Bandoeng, Magelanng dan Probolinggo, Serang, Madioen, Blitar dan OSVIA yang didirikan tahun 1918 di Fort de Kock dilikuidasi sehubungan dengan pembentukan sekolah pamong pradja yang lebih tinggi MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren). MOSVIA ditempatkan di Magelang.  Hal ini mirip dengan yang pernah terjadi ketika Lanbouw School di Buitenzorg tahun 1912 ditingkatkan menjadi Middelbare Lanbouw School.

Selama perkembangan sekolah tinggi yang ada (teknik, hukum dan kedokteran) juga muncul kursus-kursus (pendidikan singkat selama satu atau dua tahun) pada bidang lain sehubungan dengan kebutuhan tenaga-tenaga ahli muda seperti di bidang bea dan cukai, ekonomi/perdagangan, apoteker dan statistik. Kursus-kursus ini mensyaratkan lulusan HBS.

Beberapa lulusan kursus-kursus ini diantaranya: Abdoel Hakim Harahap setelah lulus HBS di Prins Hendrik School tahun1927 mengikuti kursus pendidikan ekonomi/perdagangan yang pertama. Abdoel Hakim Harahap kelak dikenal sebagai Wakil Perdana Menteri Republik (yang terakhir) di Djogjakarta dan kemudian menjadi Gubernur Sumatera Utara; Kalisati Siregar mengikuti kursus pendidikan Statistik yang pertama dan ditempatkan di kantor pusat Statistik di Batavia. Pada saat pendudukan Jepang pulang kampung di Padang Sidempoean. Pada saat era perang kemerdekaan Kalisati Siregar menjabat Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Tapanoeli Selatan. Kalisati Siregar lebih dikena; sebagai ayah dari Dr. Hariman Siregar (ketua Dewan Mahasiswa UI yang menjadi pemimpin Malari 1974); Maskut Siregar kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh Kalisati Siregar. Pada saat pendudukan Jepang juga pulang kampung di Sipirok yang jua turut angkat senjata melawan Belanda pada perang kemerdekaan. Maskut Siregar lebih dikenal sebagai ayah dari Drs. Arifin Siregar, Ph.D (mantan Gubernur Bank Indonesia dan mantan Menteri Perdagangan); dan Ismail Harahap mengikuti kursus pendidikan apoteker yang pertama tahun 1938. Setelah lulus ditempatkan sebagai apoteker di Soerabaja. Ismail Harahap kelak lebih dikenal sebagai ayah Datoe Oloan Harahap alias Ucok AKA (pionir musik rock Indonesia).    

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1940 pemerintah membentuk universitas yang disebut Universiteit van Indonesie. Pendukung pembentukan universitas ini yang sudah ada adalah THS (berdiri 1920); RHS (1924) dan GHS (1927) yang akan dijadikan fakultas. Seiring dengan pembentukan universitas ini dilakukan penggabungan Middelbare Landbouwschool dan Veeartsen School yang berada di Buitenzorg sebagai Landbouw Hogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian). Perguruan tinggi pertanian di Buitenzorg ini menjadi fakultas pendukung pembentukan universitas. Dengan demikian sudah terdapat empat fakultas. Satu lagi fakultas yang dibentuk sehubungan dengan pembentukan Universiteit van Indonesie ini adalah Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte yang membuka pendaftaran pada tanggal 1 Oktober 1940. Lalu perkuliahan awal di Universiteit van Indonesiea dimulai pada tanggal 4 Desember 1940. Sejak 31 Oktober 1941 sekolah-sekolah tinggi yang ada sudah disebut fakultas seperi  Landbowkundige Faculteit.

Salah satu mahasiswa yang diterima Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat) di Universiteit van Indonesie adalah Ida Nasoetion.  Soerabaijasch handelsblad 28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian preliminary (kelas satu) di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte. Ida Nasoetion sangat tertarik dan menikmati kuliah di sekolah tinggi ini karena bakatnya di bidang sastra sejak masuk di Koning Willem III School. Ida Nasoetion lahir tahun 1922 dan mengikuti pendidikan dasar Eropa (ELS) di Sibolga. Keluarga mereka pindah ke Batavia sehubungan dengan ayahnya pindah tugas dari Sibolga ke Batavia. Pada tahun 1934 Ida Nasoetion didaftarkan di Koningin Wilhelmina School. Di sekolah elit Belanda ini Ida Nasoetion menempuh pendidikan enam tahun (SMP dan SMA). Bataviaasch nieuwsblad, 05-06-1935 melaporkan ujian transisi di K. W. III School yang mana diantaranya Ida Nasoetion dipromosikan dari kelas pertama ke kelas dua. Bataviaasch nieuwsblad, 29-05-1937 melaporkan siswa-siswa K.W. III School yang naik ke kelas empat yang mana terdapat nama I. Nasoetion (m), Pada pertengahan tahun 1940 Ida Nasoetion lulus ujian akhir di KW III School dan direkomendasikan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Negeri Belanda namun pilihannya jatuh pada Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit van Indonesie .

Ida Nasoetion yang baru kuliah satu tahun, tiba-tiba situasi dan kondisi di Indonesia berubah. Pada akhir Desember 1941 pasukan Jepang telah melakukan pemboman di Tarempa, Kepulauan Riau yang membuat Belanda mengalami sok. Satu per satu kilang minyak di Kalimantan dan Sumatra diduduki tentara Jepang. Di Batavia semuanya menjadi berhenti termasuk kampus Ida Nasoetion. Pada tanggal 1 Maret 1942 kapal-kapal perang Jepang telah merapat di luar Batavia di teluk Banten dan Cirebon. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura setelah diadakan perundingan di Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Setelah tanggal tersebut maka berakhir sudah pemerintahan Belanda di Indonesia dan Universiteit van Indonesie ditutup. Ida Nasoetion berhenti pula kuliah.

Pada saat pendudukan Jepang Universiteit van Indonesia disesuaikan dengan keinginan pemerintahan militer Jepang dan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh rakyat Indonesia. Setelah suasana menjadi tenang, pemerintahan militer Jepang memberikan izin untuk pendidikan tinggi dibuka kembali. Pada tanggal 29 April 1943 Fakultas Sastra dan Filsafat melakukan aktivitas kembali. Namun karena dosen-dosen sebelumnya adalah orang Belanda, kini mereka pulang ke Negeri Belanda, maka aktivitas perkuliahan tidak berjalan semestinya. Lagi pula jumlah mahasiswa yang ada hanya dapat dihitung dengan jari. Mahasiswa yang beberapa orang ini, salah satunya Ida Nasoetion lebih banyak belajar mandiri dan melakukan aktivitas sastra di luar kampus. Pada masa ini Ida Nasoetion banyak berinteraksi dengan sastrawan-sastrawan angkatan Poejangga Baroe (nama majalah menggantikan Balai Poestaka), seperti Soetan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Sedangkan angkatan Balai Poestaka antara lain Merari Siregar dan Sanusi Pane plus Muhammad Kasim dan Suman Hs. Semua nama-nama yang disebut tersebut berasal dari kampungnya di Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli. Dengan demikian, Ida Nasoetion tidak kekurangan mentor.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia mulai merencanakan pendidikan tinggi dengan membentuk institusi pengelola Badan Perguruan Tinggi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Sarwono. Ph.D. Namun belum lama Indonesia merdeka, Belanda datang kembali. Pada tahun 1946 universitas yang pernah dibentuk sebelum perang (Universiteit van Indonesie) direalisasikan kembali dengan nama universitas darurat Noord-Universiteit van Nederlandsch Indie yang memulai kegiatannya pada tanggal 21 Januari 1946. Lalu dalam perkembangannya pada tanggal 12 Maret 1947 semasa Prof. Dr. Cornelis Douwe de Langen universitas darurat diubah menjadi Universiteit van Indonesie.

Iklan penerimaan Universiteit Indonesie, 24-10-1947
Pada saat dibukanya kembali 'Universitas Darurat' Universitas Indonesia terdiri dari delapan fakultas (faculteit)dan selusin lembaga (institute) yang semua di bawah naungan Universitas Indonesia (lihat Het nieuws: algemeen dagblad, 24-10-1947). Fakultas yang ada terdiri dari Fakultas Kedokteran (faculteiten der geneeskunde di Batavia, Fakultas Kedokteran Hewan (faculteiten der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian (faculteit van landbouw wetenschap) di Bogor. Selain itu terdapat Fakultas Hukum (faculteiten der rechts), Fakultas Ilmu Sosial (faculteiten der sociale weten), Fakultas Sastra dan Filsafat (faculteit der letteren en wijsbegeerte). Fakultas lainnya adalah Fakultas Sains dan (faculteit der exacte wetenschap) dan Fakultas Teknik (faculteit van technische wetenschap) di Bandoeng. Lembaga/institut yang ada dan yang akan diadakan antara lain: pendidikan jasmani (instituut voor lichamelijke) di Bandung, dental institute (tandheelkundig instituut) di Surabaija dan pelatihan meteorologi di Bandoeng dan pelatihan guru yang akan diadakan.

Mahasiswa Indonesia yang mulai aktif kuliah lalu ikut berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia. Ketika situasi perkuliahan di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit van Indonesie sudah mulai kondusif, Ida Nasoetion langsung jiwa merdeka Ida Nasoetion tetap bergelora. Dengan dimulainya otonomi kampus, Ida Nasoetion bersama G. Harahap dari jurusan jurnalistik melihat celah ini dengan menggagas dan mendirikan perhimpunan mahasiswa.

Dengan kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan organisasi mereka dengan nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat PMUI pada tanggal 20 November 1947. Pada awal organisasi mahasiswa ini didirikan anggotanya baru sebanyak 30 mahasiswa dan lambat laun sebelum ulang tahun yang pertama anggotanya sudah menjadi 100 mahasiswa (hanya memperhitungkan yang di Batavia). Ida Nasoetion adalah presiden pertama perhimpunan mahasiswa Indonesia. Gelagat Ida Nasoetion dibalik memersatukan mahasiswa ini tercium juga oleh intelijen Belanda. Sebelumnya pada tanggal 5 Februari 1947 di Djogjakarta telah dibentuk organisasi Himpoenan Mahasiswa Islam yang dipimpin oleh Lafran Pane.
.
Belum genap satu semester Ida Nasoetion menjabat Presiden PMUI, kabar buruk telah datang menimpanya. Koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-04-1948 melaporkan Ida Nasoetion hilang. Dalam berita itu dinyatakan sebagai berikut: ‘seorang esais Indonesia berumur 26 tahun, Ida Nasution hilang. Selama delapan hari penyelidikan tetap sejauh ini tanpa hasil. Mereka (Ida dan kawan-kawannya) berangkat pada tanggal 23 Maret di pagi hari dengan kereta api ke Buitenzorg, di mana mereka menghabiskan hari di sekitar Masing, Tjiawi’. Sementara itu, koran Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948 memberitakan sebagai berikut: ‘Sejak 23 Maret, seorang mahasiswa Indonesia Ida Nasution menghilang. Pada tanggal itu mereka ke Tjigombong untuk menghabiskan beberapa waktu di danau Tjigombong (kini, danau Lido). Namun, Ida Nasoetion yang akan kembali pada hari yang sama, tetapi hilang entah dimana.

Tiga pionir pendiri organisasi mahasiswa
Pada tahun 1947 dua pimpinan mahasiswa membentuk dua organisasi mahasiswa yakni Lafran Pane dan Ida Nasution. Lafran Pane mendirikan HMI sedangkan Ida Nasution mendirikan PMUI. Jika ditarik ke belakang, pada tahun 1908, pimpinan mahasiswa adalah Soetan Casajangan dengan mendirikan organisasi mahasiswa yang disebut Indisch Vereeniging di Leiden, Belanda. Organisasi pertama mahasiswa ini kemudian ditansformasi Mohammad Hatta dan kawan-kawan menjadi PPI Belanda. Kepemimpinan PPI Belanda setelah Mohammad Hatta adalah Parlindoengan Lubis sebagai ketua dan Mohammad Ildrem Siregar sebagai bendahara,  Untuk sekadar diketahui, Soetan Casajangan, Lafran Pane dan Ida Nasution adalah pendiri organisasi mahasiswa yang berasal Padang Sidempuan. Organisasi mahasiswa PMUI kelak menjadi cikal bakal Dewan Mahasiswa di masing-masing PTN yang terbentuk (pecahan UI seperti ITB dan IPB). Salah satu tokoh utama Dewan Mahasiswa UI adalah Hariman Siregar kelahiran Padang Sidempuan yang terkenal dengan Peristiwa Malari tahun 1974. Tiga Pionir Pendiri Organisasi Mahasiswa Indonesia

Ida Nasution dalam hal ini di Djakarta jelas sosok perempuan Indonesia yang tampil ke depan sebagaimana Ida Loemnggaakan pada tahun 1922 berangkat studi ke Belanda dan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1931. Ida Nasution juga telah melengkapi tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa Indonesoa asal Afdeeling Padang Sidempoean seperti yang telah dilakukan oleh Lafran Pane (pendiri HMI, 1947) dan Soetan Casajangan (pendiri Indisch Vereeniging, 1908).

Mereka ini juga telah memperkaya dunia pendidikan yang telah dirintis oleh Sati Nasution alias Willem Iskander di Tano Bato, Mandailing (1857) dan diperkuat oleh Charles Adriaan van Ophuijsen di Padang Sidempoean (1881) serta dipertegas oleh Radjioen Harahao gelar Soetan Casajangan di Leiden (1911). Paralel dengan perjuangan di bidang pendidikan juga seiring dengan pergerakan politik kebangasan yang dimulai oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda dengan mendirikan Medan Perdamaian di Padang (1900) dan Parada Harahap mempelopori pendiria  PPPKI di Batavia (1927) serta Amir Sjarifoeddin Harahap yang konsisten memperjuangkan kemerdekaan dengan teguh dan tetap non-cooperative baik dengan Belanda maupun Jepang. Mereka itu semua adalah tokoh-tokoh penting lintas generasi yang berasal dari Afdeeling Padang Sidempeoan, Residentie Tapanoeli.  

Sehubungan dengan perkembangan Universiteit van Indonesie muncul gagasan pembentukan fakultas di Negara Indonesia Timur. Sebagaimana diketahui Negara Indonesia Timur telah terbentuk pada akhir tahun 1946 yang beribukota di Makassar. Negara Indonesia Timur terdiri dari Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku. Oleh karenanya, muncul gagasan untuk membentuk fakultas di Makassar yang menjadi bagian dari Universiteit van Indonesie. Fakultas yang akan didirikan tersebut di Makassar adalah fakultas ekonomi.

Dalam proses pembentukan fakultas ekonomi di Makassar didatangkan dan kemudian dikirim ke Makassar Prof. Dr. EON Broek, profesor di 'Utrecht yang pernah sebelumnya mengajar di Universitas California untuk melakukan penjajagan dan memberikan saran bagi fakultas ekonomi dari universitas federal Indonesia, yang akan didirikan di Makassar (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 25-08-1947). Disebutkan di Makassar juga Prof. dr. Bonne, Presiden Universitas van Indonesie datang untuk diskusi tentang struktur fakultas ekonomi, yang juga akan dikaitkan dengan pendidikan untuk layanan diplomatik. Dalam perkembangannya juga muncul gagasan pembukaan fakultas kedokteran (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 15-09-1947) melaporkan berkenaan dengan pendirian Faultas Ekonomi di Makassar yang akan dilakukan, pada bulan November akan diadakan pelatihan bagi guru-guru bidang economie, statistiek, boekhouden en handélsrekenen karena kebutuhan untuk sekolah menengah. Persyaratan penerimaan adalah HBS 5 tahun atau setara. Lama studi akan berlangsung tiga tahun. Iklan penerimaan mahasiswa diumumkan di surat kabat (lihat antara lain De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 10-11-1947). Selanjutnya, dilaporkan bahwa profesor pertama telah bekerja sejak Februari, Prof. Joh. J. Hanrath untuk persiapan fakultas ini (Nieuwe courant, 13-04-1948), Disebutkan bahwa Prof. Hanrath sekarang memberikan kuliah dalam ekonomi deskriptif, statistik dan geografi ekonomi. Prof Hanrath sekarang memberikan kuliah dalam ekonomi deskriptif, statistik dan geografi ekonomi. Mereka yang lulus penndidikan tiga tahun ini (setingkat akademi) diwajibakn selama lima tahun untuk guru di sekolah. Mereka yang mengikuti pendidikan ekonomi ini. Mereka yang mengikuti pendidikan ini adalah Tionghoa, Indo-Eropa, Menado, warga Minahasa, Batavia, Semarang dan Soerabaja. Akhirnya fakultas ekonomi di Makassar yang menjadi bagian dari Universiteit van Indonesia bertempat di gedung dewan di Makassar resmi dibuka bulan Oktober 1948 (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 09-10-1948). Sejak inilah di Indonesia muncul perguruan tinggi ekonomi, suatu perguruan tinggi yang belum pernah ada di seluruh Hindia Belanda. Pendaftaran untuk tahun akademik 1948-1949 mulai 1 Agustus telah dibuka (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 16-07-1948), Disebutkan kuliah akan dimulai pada tanggal yang ditentukan.

Pada dies natalis yang pertama Fakultas Ekonomi, Universiteit van Indonesie di Makassar sudah terdeskripsikan kemajuannya (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-10-1949). Disebutkan dalam dies natalis pertama dari Fakultas Ekonomi yang dirayakan di Fort Rotterdam di Makasser dihadiri banyak undangan. Diantara yang hadir Kepala Departemen Pendidikan Tinggi Afdeeling OK en W dan Menteri Keuangan, Dekan fakultas, Prof. J. Hanrath, memberikan ikhtisar tentang kinerja selama tahun pertama keberadaannya dan mengingatkan bahwa pada awal tahun pendirian fakultas hanya terdaftar 36 mahasiswa, sementara jumlah ini sekarang telah meningkat yang secara keseluruhan sudah mencapai 77 mahasiswa . Distribusi mahasiswa sebanyak 48 orang Indonesia, 19 Tionghoa dan sembilan orang Eropa. Dari Indonesia Indonesia terdiri dari 20 mahasiswa asal Indonesia Timur, 15 mahasiswa, 11 mahasiswa dari Sumatra dan satu mahasiswa dari Soenda. Lebih lanjut Prof. J. Hanrath mangatakan bahwa ttelah terbentuk korps mahasiswa Makassar yang sekarang telah memiliki 60 anggota, sementara Persatuan Mahasiswa Indonesia dengan 41 anggota. Disebutkannya bahwa saat ini fakultas telah memiliki empat profesor (kecuali Prof. Hanrath) yakni Prof. Heer, Prof. Versluys dan Prof. Winkelman plus sejumlah dosen. Kemudian dekan Hanrath memberikan gambaran tentang fasilitas fakultas yang mana mahasiswa yang dapat ditampung di asrama masih terlalu sedikit dan akan diperbanuak secara bertahap. Perpustakaan sangat cepat tumbuh berkat kontribusi Prof Hanrath namun itu tidak cukup dan diharapkan, bagaimanapun, kontribusi dari berbagai pihak diharapkan terutama dari negeri Belanda dan pihak berwenang di daerah ini untuk bersedia menyerahkan buku untuk fakultas muda ini.

Dalam perkuliahan 1948-1949 pendaftaran dibuka dari tanggal 1 Agustus 1948 (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-08-1948). Dalam pengumuman yang ditandatangani oleh Presiden Universiteit van Indonesie Prof. Dr. AA Cense jumlah fakultas sudah bertambah dan pendaftaran dilakukan sebagai berikut: Fakultas Kedokteran di Kantor Perguruan Tinggi Kedokteran, Salemba 6, Batavia; Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial dan Fakultas Sastra dan Filsafat di Kantor Fakultas terakhir, Oranje Boulevard 72, Batavia; Fakultas Ilmu Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan di Kantor Fakultas Kedokteran Hewan, Van Imhoffplein 1, Buitenzorg; Fakultas Teknik dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Program Universitas untuk Latihan Fisik dan untuk pelatihan sebagai Guru Seni di Kantor kantor Technische Hoogeschool, Hogeschoolweg 10, Bandoeng; Fakultas Kedokteran di Soerabaja dan Institut Universitas untuk Kedokteran Gigi di kantor Direktur Institut Universita yang dimaksud terakhir, Viaductstraat 47 (Gedung NIAS Lama), Soerabaja; Fakultas Ilmu Ekonomi di Makasser di kantor Dekan, Huize Baraja di Makassar. Juga disebutkan setiap pendaftar harus menyerahkan sertifikat Diploma (asli) dan dua foto paspor. Biaya f300 sepanjang tahun harus dibayar.

Sebelumnya, pada bulan Desember 1947 ada wacana untuk memindahkan Universiteit van Indonesie dari Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor). Alasannya lebih banyak kesempatan perumahan daripada di ibukota yang penuh sesak. Akan tetapi, pertanyaan besarnya adalah dimana universitas itu ditempatkan. Lalu dibentuk suatu komite untuk melakukan studi kelayakan. Hasilnya tidak ada keberatan dari pemerintah (Belanda) untuk menggunakan Istana Buitenzorg sebagai kandidat universitas. Sejumlah professor dari Belanda sudah dikontak untuk bergabung. Pemindahan pertama akan dilakukan bagi Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan (landbouwkundige en de veterinaire faculteit) yang kebetulan ada di Buitenzorg (Bogor).

Namun tidak bisa direalisasi segera karena militer masih menjadikannya sebagai garnisum (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 16-12-1947). Situasi dan kondisi masih perang antara militer Belanda dengan militer/laskar Indonesia). Dalam perkembangannya, komite untuk persiapan Universiteit van Indoensie di Butenzorg (yang salah satu anggotanya Prof. Husein Djajanegara) membatalkan niat untuk pemusatan semua fakultas di Istana Buitenzorg karena terlalu sempit (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-04-1948). Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan memulai aktivitas namun secara seremonial baru diresmikan pada tahun tanggal 20 November 1948. Peresmian Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan (faculteiten van landbouwwetenschap en van diergeneeskunde) ini berlangsung di gedung Umum Balai Penelitian Pertanian yang dihadiri senat Universiteit van Indonesie di Buitenzorg (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 13-11-1948). Namun perkuliahan belum efektif karena masih terjadi perang di sekitar Buitenzorg (De nieuwsgier, 22-11-1948).

Selanjutnya Universiteit van Indonesie terus mengalami perkembangan. Sejauh ini Universiteit van Indonesie merupakan universitas yang fakultasnya terdapat di beberapa tempat. Dalam perkembangannya juga terjadi perluasan Universiteit van Indonesie baik dengan cara mendirikan departemen maupun institut-institut pendukungnya. Paralel dengan perkembangan Universiteit van Indonesie yang berpusat di Djakarta juga tumbuh dan berkembang universitas Republik Indonesia yang berpusat di Djogjakarta. Dalam penataan ini, Universiteit van Indonesie telah selesai membuat panduan yang komprehensif (Nieuwe courant, 17-09-1948).

Panduan Universitas van Indonesie ini adalah panduan yang pertama diterbitkan yang bertepatan dengan tahun akademik 1948-1949. Disebutkan Universiteit van Indonesie telah dibentuk lebih dari dua tahun setelah berdirinya, telah tumbuh menjadi organisme besar, yang banyak cabang ilmu pengetahuan dan ilmu pendidikan dan dengan perkuliahan yang makin teratur. Panduan universitas ini diharapkan dapat memperlancar proses pendidirikan di Universiteit van Indonesie. Dalam panduan ini, universitas ini secara resmi dibuka pada Januari 1946 sebagai ‘Universitas Darurat’ yang terdiri dari lima fakultas (kedokteran, hukum, sastra dan filsafat, ilmu pertanian dan ilmu teknik) yang secara keseluruhan terdapat sebanyak 221 mahasiswa.  Sekarang panduan ini memberikan gambaran tentang sembilan fakultas yang terdiri dari tiga fakultas di Batavia (hukum dan ilmu sosial, kedokteran, sastra dan filsafat); dua fakultas di Bandoeng (teknik dan dan ilmu pasti), dua fakultas di Buitenzorg (ilmu pertanian dan kedokteran hewan); dan masing-masing satu fakultas di Makassar (ilmu ekonomi) dan Soerabaja (kedokteran). Juga disebutkan ada sejumlah kursus yang dilakukan tahun 1947 yang sekarang sedang dilanjutkan. Kursus-kursus ini sebagian telah diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan yang segera dalam masyarakat Indonesia masa kini yang berubah dengan cepat. Catatan: sejak awal pendirian telah bertambah empat fakultas, yakni fakultas kedokteran di Soerabaja (pembentukan baru), fakultas ilmu pasti di Bandoeng (pemekaran), fakultas pertanian di Buitenzorg (pemekaran) dan  fakultas ekonomi di Makassar (pembentukan baru).

Dalam proses perkembangan Universiteit van Indonesie, telah terjadi proses politik yang cepat di tingkat nasional. Ini dimulai dengan konferensi antara Indonesia dan Belanda yang disebut KMB yang diadakan di Den Haag tahun 1949. Akhirnya Indonesia benar-benar diakui oleh Belanda sebagai negara berdaulat yang diberlakukan pada akhir tahun 1949. Dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda maka di bidang politik juga dengan sendirinya Belanda mengakui kedaulatan RI di bidang pendidikan. Sejak inilah Universiteit van Indonesie (era Belanda) melakukan transformasi menjadi Universitas Indonesia (era Indonesia). Namun transformasi tersebut masih ada yang mengganjal.

Itu semua karena hasil KMB belum sepenuhnya diterima oleh rakyat Indonesia. Para Republiken melihat hasil KMB dengan terbentuknya struktur pemerintah yang bersifat federal (RIS) tidak mencerminkan Indonesia sebagai 100 Persen RI. Ketika pemimpin RIS (via Menteri Pendidikan) menginginkan Universitas Gadjah Mada yang didirikan para Republiken pada tanggal 19 Desember 1949 di Djogjakarta digabungkan dengan universitas nasional sehubungan dengan penunjukan Ir, Soerachman sebagai Presiden Universiteit Indonesa (di Dajakarta) terjadi resistensi. Hal ini dikhawatirkan para Republiken bahwa Universitas Gadjah Mada sebagai situs penting perjuangan RI merebut kemerdekaan Indonesia secara penuuh akan hilang dengan peleburan tersebut. Seiring dengan proses tarik-menarik ini juga masih terjadi proses politik dengan gerakan NKRI dari Medan yang menginginkan hanya satu pemerintahan. Akhirnya Presiden Ir. Soekarno merespon gerakan NKRI dari Medan dengan membubarkan RIS dan kembali ke (NK)RI yang secara defacto dimulai pada tanggal 17 Agustus 1950. Dengan berakhirnya RIS, pada tahun 1951 Jajasan Universita Indonesia dibentuk dengan Presiden Mr. Soepomo. Ph.D maka dimulailah tonggak awal Universitas Indonesia.   

Setelah RIS dibubarkan dan kembali ke NKRI, dengan debentuknya Jajasan Universitas Indonesia yang diketuai oleh Prof. Soepomo, maka Universitas Indonesia mulai menjalankan aktivitas pergruan tinggi dengan jiwa negara berdaulat dan 100 persen RI. Lu kemudian Jajasan Universitas Indonesia diakuisi pemerintah dengan menjadikannya universitas negeri yang kedua (untuk menyusul universitas negeri pertama, Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta). Dalam fase proses penegerian Universitas Indonesia tahun 1951 ini pimpinannya tetap dijabat oleh Prof. Soepomo sebagai presiden.

Universitas Indoneesia of Republik Indonesia tahun 1951 berbasis pada Geneeskundige Hogeschool yang menjadi Fakultas Kedokteran. Geneeskundige Hogeschool pada dasarnya adalah kelanjutan dari STOVIA. Jika mundur ke masa lampau, Docter Djawa School yang mengawali kegiatannya pada tahun 1851 adalah cikal bakal STOVIA. Secara tidak langsung, Universitas Indonesia of Republik Indonesia tahun 1951 pada dasarnya sudah berlangsung satu abad, suatu rentang waktu yang sangat-sangat panjang. Setelah satu abad pula dapat dikatakan Universitas Indonesia berdaulat secara penuh. Pada tahun 1951 Universitas Indonesia secara formal ditata ala Indonesia yang dimulai dengan penyesuaian kurikulum dengan pendidikan nasional Indonesia dan meng-Indnesia-kan para dosen.

Pada tahun 1951 secara de facto dan secara dejure terdapat dua universitas nasional (negeri), yakni: Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Setelah Indonesia kembali ke (NK)RI, Universitas Gadjah Mada, universitas para Republiken (100% RI) dengan cepat tumbuh dan berkembang. Peran Dr. Sardjito, Ph.D sebagai presiden pertama (sejak 1949) dalam hal ini cukup menonjol. Para senat Universitas Gadjah Mada tampaknya lega setelah Ir. Soekarno mendukung penuh NKRI.

Enam fakultas Universitas Gadjah Mada diantaranya fakultas ilmu politik, fakultas hukum, fakultas kedokteran dan fakultas teknik. Sebelum digabungkan sebagai bagian dari Universitas Gadjah Mada, fakultas teknik adalah sekolah tinggi teknik yang didirikan oleh Prof. Rooseno (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-08-1953). Sementara itu, Universitas Indonesia yang fakultas-fakultasnya terdapat di beberapa kota terus dilakukan konsolidasi.

Ir. Soekarno yang sempat ‘mengingkari’ RI dan membelakangi Djogjakarta kemudian direspon baik oleh senat Universitas Gadjah Mada. Untuk mengikat komitmen Ir. Soekarno terus berjuang demi NKRI. Senat Universitas Gadjah Mada kemudian menilai dan memberikan gelar doktor honaris causa kepada Ir, Soekarno (lihat Nieuwe courant, 20-09-1951). Promosi gelar tersebut dilakukan di auditorium Universitas Gadjah Mada. Presiden Universitas, Profesor Sardjito membuka sidang dan kemudian membacakan isi penganugerahan itu lalu diserahkan kepada Presiden Soekarno. Presiden Soekarno kemudian menyampaikan pidato. Dalam sidang pemberian gelar doktor kepada presiden (NK)RI Ir. Soekarno turut hadir Presiden Universitas Indonesia, Prof. Soepomo.

Universitas Indonesia melakukan dies natalis yang ketiga (1953) Universitas Indonesia akan diselenggarakan di Bandoeng yang diadakan di aula van de technische faculteit (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1953). Dies natalis Universitas Gadjah Mada yang keempat baru akan dilakukan bulan Desember (De nieuwsgier, 21-12-1953).

Dalam perkembangannya, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada dimekarkan dengan adanya keinginan pemerintah untuk membentuk universitas negeri Universitas Airlangga di Soerabaja.

Menteri Pendidikan Mohamad Jamin mengumumkan akan melakukan reorganisasi universitas di Indonesia (De nieuwsgier, 19-05-1954). Menteri Pendidikan menyebutkan rencananya sekarang adalah untuk memperluas jumlah universitas negeri menjadi lima buah. Pertama, Universitas Indonesia akan diubah namanya menjadi Universitas Poernawarman. Universitas Indonesia saat ini memiliki fakultas di Jakarta, Bogor dan Bandung. Kedua, pemerintah akan membangun Universitas Adityawarman di Sumatra. Ketiga, tetap mempertahankan Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta. Keempat, Universitas Airlangga akan didirikan di Soerabaja yang merupakan gabungan dari cabang Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Untuk universitas kelima disebutkan Universitas Hasanoeddin di Sulawesi yang berlokasi di Makassar.

Sebelumnya sudah ada universitas negeri yang pertama di Djogjakarta, yakni Universitas Gadjah Mada yang secara dejure diformalkanpada akhir tahun 1949. Lalu kemudian Jajasan Universitas Indonesia di Djakarta diakuisisi oleh pemerintah dan dijadikan sebagai universitas negeri pada tahun 1951. Masih pada tahun 1951, di Djakarta berdiri Akademi Wartawan

Algemeen...de Preangerbode, 19-02-1951
Akademi Wartawan Djakarta didirikan Parada Harahap (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 19-02-1951). Akademi pertama ini berlokasi di Deca Park (kini lapangan Monas bagian utara yang sekarang). Akademi Wartawan Djakarta diresmikan oleh Parada Harahap tanggal 2 Maret 1951 (De nieuwsgier, 03-03-1951). Dosen-dosen di Akademi Wartawan Djakarta, selain Parada Harahap adalah Drs. Wabman Hilal, Mr. Moh. Sjah, GR. Pantouw, Mr. Drs. Sibarani, Hamka, Schilte, Situmorang dan Nn. Soh (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 19-02-1951). Selain itu ditambahkan Mr. Tamboenan (De nieuwsgier, 29-03-1951) dan kemudian Mr. Soenarjo (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-04-1951). Lalu kemudian menyusul Ds. FKN Harahap, Sumarto Djojodihardjo, Ny. Mr. Sudjanadiwirja-Harahap dan Adinegoro (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-02-1952). Akademi ini telah memiliki badan hukum sebagai bentuk yayasan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-04-1952). Memasuki tahun ketiga, Akademi Wartawan mengangkat guru besar Basaroedin Nasution (De nieuwsgier, 22-08-1952) dan Ketua Senat S. Pirngadie (De nieuwsgier, 03-09-1952). Akademi Wartawan Djakarta kemudian menambah ruangan baru untuk perkuliahan di gedung Adhuc Stat di Soeropati (De nieuwsgier, 03-09-1952). Salah satu mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta adalah seorang mantan ketua tentara pelajar di Padang Sidempoean bernama Ali Mochtar Hoeta Soehoet. Saat kuliah di Akademi Wartawan Djakarta  Ali Mochtar Hoetasoehot sudah bekerja sebagai kepala administrasi umum harian Indonesia Raja (pimpinan Mochtra Lubis). Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga adalah ketua senat mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta. Akademi ini kelak berubah nama menjadi Akademi Bahasa Asing (ABA) di Menteng. Ali Mochtar Hoeta Soehoe sendiri kelak dikenal sebagai pendiri/pemilik Akademi Publisistik di Lenteng Agoeng (masih eksis hingga sekrangan, kini lebih dikenal sebagai kampus tercinta IISIP Lenteng Agung).

Seperti di Djogjakarta dan Djakarta, perguruan tinggi juga muncul di kota-kota lainnya, seperti di Soerabaja, Padang dan Medan. Seperti terlihat, pendiri perguruan tinggi tersebut adalah juga para tokoh-tokoh yang sudah memberi kontribusi dalam perjuangan di era kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Mereka itu antara lain Dr. Sardjito, Ph.D yang menjadi Presiden Universitas Gadjah Mada, Dr. Soepomo, Ph.D yang kini menjadi Presiden Universitas Indonesia dan Parada Harahap yang kini mendirikan Akademi Wartawan Djakarta. Demikian juga dengan tokoh-tokoh perjuangan seperti di Padang dan Medan.

Di Padang didirikan sekolah tinggi hukum, perguruan tinggi pertama di Sumatra. (Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-08-1951). Disebutkan dalam pembukaannya dihadiri oleh Prof. Mr. Hazairin Harahap, Ph.D. Pendiri sekolah hukum ini adalah Mr. Egon Hakim Nasution, sarjana hukum alumni Universiteit Leiden, anak wali kota Padang, Dr. Abdoel Hakim (sekelas dengan Dr, Tjipto Mangoenkoesoemo di Docter Djawa School di Batavia).

Di Medan telah dibentuk Jajasan Universitas Sumatra Utara (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1952). Jajasan ini adalah badan penyelenggara Universitas Sumatra Utara yang memulai aktivitasnya dengan mendirikan fakultas kedokteran di Medan. Presiden Jajasan adalah Abdoel Hakim Harahap (gubernur Sumatra Utara) yang mana dalam susunan dewan terdapat Dr. Mohamad Ildrem Siregar, alumni fakultas kedokteran Universiteit Amsterdam, bendahara Perhimpoenan Indonesia (1936-1940). Akta pendirian Univeristas Sumatra Utara dibuat oleh notaris Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoeman (notaris Indonesia kelima).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-12-1951: ‘Di Medan dan sekitarnya, Universitas Untuk Sumatera Utara. Gubernur Sumatera Utara, Abdul Hakim Harahap mengirim surat yang ditujukan kepada coordinator dewan dari Aceh dan Tapanuli dan semua bupati  di wilayah itu, yang dimaksudkan untuk mengumpulkan dana di kalangan penduduk dalam rangka untuk meningkatkan modal bagi pendirian Universitas Sumatera Utara di Medan. Dana yang terkumpul akan dikelola oleh badan khusus, dan hal ini dimaksudkan bahwa pada awal tahun depan dapat memulai studi di universitas ini untuk Sumatera Utara. Gubernur Abdul Hakim menempatkan dalam suratnya menyatakan bahwa dia sudah berulang kali didesak untuk mengambil inisiatif untuk pendirian universitas yang mana mereka umumnya meminta untuk memulai fakultas kedokteran. Gubernur berharap bahwa pemerintah akan mengatur sebuah universitas di Medan yang mana sekarang ingin masyarakat Sumatera Utara memungkinkan dirinya untuk menaikkan dana yang diperlukan. Hal ini dipertimbangkan sebesar Rp 1 per kapita untuk memberikan kontribusi, selain kontribusi dari sector perdagangan, industri dan lainnya. Gubernur berharap pengumpulan daba selesai pada akhir Februari’.

Pembentukan Universitas Airlangga kemudian direalisasikan pada tahun 1954 yang merupakan gabungan lembaga-lembaga pendidikan yakni berbagai perguruan tinggi dan institut yang ada di Soerabaja. Peresmian Universitas Airlangga yang langsung dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1954 tepat pada hari Pahlawan (De nieuwsgier, 12-11-1954). Untuk Pelantikan Presiden Universitas Airlangga Prof. G. Priggodigdo sendiri akan dilakukan kemudian.

Pada awal tahun 1954 Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada membuka cabang di Semarang (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 05-01-1954). Disebutkan perguruan tinggi farmasi ini adalah perguruan tinggi yang pertama di Semarang. Pembukaan dilakukan oleh Presiden Universitas Gadjah Mada yang turut dihadiri Prof. Sardjono dan Prof Mr Notonegoro dan undangan lainnya seperti Overste Saragih, Komandan Teritorial.

Presiden Universitas Gadjah Mada Prof. Sardjito mulai menghadapi kesulitan dalam soal dosen. Ini terkait dengan pendirian Universitas Airlangga di Soerabaja. Sejumlah dosen dan profoesor yang mengajar di Universitas Airlangga juga adalah dosen dan profesor di Universitas Gadjah Mada, Untuk mencari solusi telah bertemu dan mendiskusikan persoalan ini antara Presiden Universitas Airlangga di Surabaya, Prof. AG Pringgodigdo dan Prof. Sardjito (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 01-12-1954). Prof. Sardjito menyatakan bahwa para profesor yang mengajar di Universitas Airlangga akan tetap sebagai profesor Universitas Gadjah Mada karena mereka memegang keputusan pengangkatan sebagai profesor di Universitas Gadjah Mada. Namun, Universitas Gadjah Mada akan terus mendukung Universitas Airlangga yang belum memiliki profesor dan dosen yang berkualitas. Sebelum pertemuan dua presiden univeritas ini sebelumnya. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sempat ditutup setelah pembukaan resmi Universitas Airlangga oleh Presiden Soekarno. Hal ini karena sebelumnya tidak ada kontak yang dilakukan antara Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada.

Persoalan ini muncul karena pada dasarnya fakultas hukum yang dibentuk sebagai bagian dari Universitas Airlangga pada dasarnya adalah cabang fakultas hukum Universita Gadjah Mada di Soerabaja. Sedangkan fakultas kedokteran yang menjadi bagian dari Universitas Airlangga adalah fakultas kedokteran dan lembaga kedokteran gigi yang berada di bawah Universitas Indonesia. Dalam hal pembentukan Universitas Airlangga sebenarnya adalah pemekaran Universitas Indonesia tetapi dalam hal ini Universitas Gadjah Mada harus melepaskan cabangnya yang berada di Soerabaja. Sebelum Universitas Airlangga didirikan sudah berdiri beberapa perguruan tinggi di Soerabaja. Salah satu perguruan tinggi tersebut adalah fakultas kedokteran Soerabaja yang merupakan kelanjutan sekolah kedokteran di era kolonial Belanda (NIAS) dan menjadi bagian dari Universiteit Indonesia. Salah satu profesor fakultas kedokteran Soerabaja tersebut adalah Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, alumni STOVIA yang meraih gelar Ph.D di Belanda tahun 1930. Pada tahun 1935 Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D diangkat sebagai kepala laboratorium Soerabaja. Saat ini Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D juga adalah Kepala Dinas Kesehatan di Jawa Timur. Di era kolonial Belanda Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D juga pernah menjabat kepala dinas kesehatan Residentie Soerabaja dan juga Residentie Kediri. Pengangkatan Dr. Proehoeman, Ph.D dapat dibaca pada surat kabar De vrije pers: ochtendbulletin, 06-04-1951: ‘Fakultas kedokteran. Dengan keputusan Menteri Pendidikan, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, dokter di klinik dokter praktik di Soerabaja, ditunjuk sebagai dokter kelas satu (baca: Profesor), di Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran di Soerabaja’. Fakultas kedokteran di Soerabaja inilah yang menjadi salah satu pendukung didirikannya Universitas Airlangga bersama-sama dengan cabang fakultas hukum Universitas Gadjah Mada.

Pada tahun 1954 Dr. Sardjito. Ph.D sudah memimpin universitas selama lima tahun. Dr. Sardjito akan berakhir masa jabatannya sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada. Dr. Sardjito mulai menjabat pada tanggal 19 Desember 1949. Ini berarti pada tanggal 19 Desember 1954 Dr. Sardjito telah menjadi Presiden Universitas Gadjah Mada selama lima tahun. Kini, Dr. Sardjito sudah lima tahun lebih menjabat.

Pada rapat tahunan yang dipimpin Dr. Sardjito terungkap bahwa jumlah mahasiswa sebanyak 7444 orang, dosen sebanyak  122 serta asisten dosen sebanyak 115 orang, tigas asisten WHO, sebanyak 28 orang profesor asing termasuk 21 profesor Belanda (De vrije pers : ochtendbulletin, 20-09-1954). Disebutkan dari hasil rapat tahunan ini fakultas voor juridische, economische, sociale en politieke wetenchappèn akan dipecah menjadi tiga fakultas: Faculteit voor juridische; Faculteit voor Sociale en Economische; dan Faculteit voor politieke wetenchappèn. De nieuwsgier, 21-09-1954 melaporkan Universitas Gadjah Mada yang saat ini memiliki 7.444 mahasiswa. Terdiri dari 1.944 mahasiswa kedokteran dan farmasi, sebanyak 3.101 mahasiswa ilmu hukum, ekonomi, sosial dan politik. Sementara sebanyak 1.113 mahasiswa teknik dan sebanyak 419 mahasiswa pertanian’.

Dalam rapat kabinet diputuskan pengangkatan kembali Profesor M. Sardjito sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-04-1955). Sejauh ini memang, Dr. Sardjito terbilang sukses menata dan mengembangkan Universitas Gadjah Mada. Alasan itulah yang besar kemungkinan mengapa Dr. Sardjito masih dipecaya pemerintah untuk menjabat sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada untuk periode kedua (1955-1960). Beberapa hari kemudian Dr. Sardjito menghadiri acara pemisahan fakultas di Universitas Airlangga di Soerabaja.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-04-1955: ‘Di hadapan Presiden Universitas Gadjah Mada dan Presiden Universitas Indonesia, banyak dosen dan profesor dari Universitas Airlangga dan banyak tamu undangan, Sabtu Menteri Pendidikan, Mohamad Jamin, Ketua dan anggota Dewan Pengawas dan Presiden Universitas Airlangga di auditorium fakultas kedokteran di Surabaja. Setelah membaca teks pemisahan Fakultas Kedokteran dan Institut Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, dan teks pemisahan Fakultas Ilmu Hukum dan Fakultas Ekonomi, Sosial dan Politik dari Universitas Gadjah Mada, masing-masing oleh Presiden Univeristeit Indonesia, Prof. Bahder Djohan dan Presiden Universitas Gadjah Mada, Prof. Sardjito, menandatangani akta pemisahan empat fakultas. Menteri Pendidikan mengatakan dalam sambutannya bahwa, berkat keunggulan universitas-universitas di Universita Gadjah Mada dan Universitas Indonesia, maka Universitas Airlangga dapat didirikan. Berbicara tentang masa depan Universitas Airlangga, Mohamad Jamin mengatakan bahwa jumlah profesor dan dosen akan ditambah sesegera mungkin. Jumlah fakultas di Universitas Airlangga juga akan diperluas, sementara pembangunan blok bangunan yang dibutuhkan akan dipercepat. Mohamad Jamin mengatakan bahwa dana yang diperlukan tersedia meskipun fakta bahwa kondisi keuangan, seperti yang dia katakan, saat ini masih ‘gelap’. Dalam pidatonya setelah penandatanganan akta pemisahan empat fakultas, Prof. Sardjito, Presiden Universitas Gadjah Mada memnberi gambaran singkat tentang perkembangan fakultas hukum Universitas Gadjah Mada di Soerabaja sejak didirikan. Jumlah keseluruhan mahasiswa adalah 169 mahasiswa, yang mengikuti ujian pendahuluan, diantaranya sebanyak 12 mahasiswa telah lulus (66.4%) dan dari 21 mahasiswa yang mengikuti ujian akhir, diantaranya 14 berhasil (66,7%). Setelah acara resmi, Menteri, para presiden universitas, dewan para kurator, para profesor, dosen dan tamu yang hadir menuju ruang resepsi, dimana dilakukan acara pemberian ucapan selamat kepada Presiden Universitas Airlangga dan Dewan Pengawas’.  

Pemerintah Republik Indonesia terus menambah universitas negeri. Universitas Indonesia yang fakultas dan cabang-cabangnya masih terpencar-pencar (sebagaimana sebelumnya Universitas Gadjah Mada yang juga memiliki cabang di Soerabaja dan Semarang) menjadi target pembentukan universitas negeri yang baru. Namun itu masih belum prioritas. Sukses pembentukan universitas negeri di Soerabaja tetap menjadi dasar untuk pembentukan universitas negeri yang baru. Universitas negeri yang baru akan dipersiapkan di Sumatra dan Sulawesi.

Gagasan pembentukan universitas negeri di Sumatra sudah muncul pada bulan Mei 1954 (De nieuwsgier, 19-05-1954). Usulan ini datang dari Djakarta. Saat itu yang menjadi Menteri Pendidikan adalah Mohamad Jamin. Nama universitas yang diusulkan adlah Universitas Adityawarman. Dalam hubungan tersebut Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan F. Hoetasoit telah mengunjungi Middcn-Sumatra dan telah menetapkan ada dua fakultas dari Universitas Adityawarman yang berlokasi di Midden Sumatra yakni Fakultas Pertanian di Pajakoemboeh dan Fakultas Padagogik di Batoesangkar. Sementara fakultas lain akan ditetapkan lokasinya di daerah lain di Sumatera, misalnya di Palembang dan Medan (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 18-06-1954). Proses pembentukan universitas negeri di Sumatra ini berarti sebelum Universitas Airlangga diresmikan pada tanggal 10 November 1954. Penetapan nama Adityawarman dan penentuan dua fakultas lebih awal di Midden Sumatra tidak begitu jelas. Sebab saat itu, perguruan tinggi yang sudah ada dan terbilang baik yakni fakultas kedokteran di Medan di bawah Jajasan Universitas Sumatra Utara. Namun yang jelas bahwa fakultas pertanian dan fakultas pedagogik yang ditetapkan di Pajakoemboeh dan Batoesangkar sesungguhnya belum berwujud dan baru tahap perencanaan. Oleh karena dana pemeritah yang terbatas dan keinginan masyarakat di Midden Sumatra termasuk di perantauan berinisiatif untuk membantu dengan penggalangan dana masyarakat seperti di Bandoeng (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 04-09-1954). Hal serupa ini sudah pernah dilakukan pengagalangan dana masyarakat di Sumatra Utara tahun 1952 yang ikut mendukung kesuksesan pendirian Jajasan Universitas Sumatra Utara yang dipimpin oleh Gubernur Sumatra Utara Abdoel Hakim Harahap. Lantas apakah Jajasan Universitas Sumatra Utara yang membawahi fakultas kedokteran di Medan tidak berminat untuk penegerian atau ikut bergabung dengan maksud pemerintah mendirikan universitas di Sumatra dengan nama Adityawarman? Namun yang jelas sudah ada delegasi yang datang dari Padang ke Jakarta yang ingin Universitas Adityawarman segera direalisasikan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-09-1954). Tidak diketahui mengapa tujuan pendirian universitas di Sumatra kemudian menjadi hanya terbatas di Midden Sumatra saja. Untuk merespon delegasi, pemerintah di Djakarta setuju jika usulan Perguruan Tinggi Hukum Pantjasila diakuisisi untuk melengkapi Universitas Adityawarman sehingga menjadi tiga fakultas. Ketika Boerhanoeddin Harahap muncul sebagai Perdana Menteri RI usulan pendirian Universitas Adityawarman yang hanya terbatas di Midden Sumatra ini sudah pada tahap proses akhir.

Desakan masyarakat di Midden Sumatra agar pendirian universitas negeri di Sumatra terus meningkat. Boleh jadi desakan ini semakin menguat lebih-lebih Universitas Airlangga di Soerabaja akan segera dibuka, Dan, boleh juga minat para pegiat pendidikan tinggi di Sumatra Utara tidak terlalu tertarik dengan usulan pemerintah pusat untuk mendirikan universitas Sumatra lebih-lebih karena dipusatkan di Midden Sumatra, sementara universitas di Sumatra Utara yang berlokasi di Medan sudah beroperasi. Tampaknya di era Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap proses pendirian universitas Sumatra yang menggebu sedikit tertahan atau kurang terinformasikan.

Saat inilah muncul pendirian fakultas kedokteran di Bukittinggi, di satu sisi untuk melengkapi fakultas pertanian di Pajakoemboeh, fakultas pedagogik di Batoesangkar dan (kemungkinan) pengakusisian perguruan tinggi hukum Pantjasila yang dipimpin oleh Mr. Egon Hakim Nasution di Padang dan di sisi lain untuk mengimbangi eksistensi fakultas kedokteran di Medan yang sudah berjalan. Untuk memimpin proses pendirian fakultas kedokteran di Bukittingi ditunjuk Prof. Dr. Mohamad Sjaaf. Ph.D, dosen di fakultas kedokteran di Soerabaja. Meski Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D kelahiran Boekittinggi sudah pindah ke Bukittingi, Prof. Dr. Sjoeib Prohoeman, Ph.D kelahiran Pajakoemboh masih tetap bertahan sebagai dosen di fakultas kedokteran Soerabaja (yang telah bergabung dengan Universitas Airlangga). Setahun setelah dalam fase awal pendirian fakultas kedokteran di Bukittinggi, Prof. Saaf menginformasikan sangat sulit mendapatkan tenaga dosen. Sejumlah dosen potensial sudah sejak lama bergabung di fakultas kedokteran di Jajasan Universitas Sumatra Utara di Medan, seperti Prof. Dr. T. Mansoer, Ph.D. Prof. Dr. Aminoedin Pohan, Ph.D  dan Prof. Dr. Mohamad Ildrem Siregar. Dr. Achmad Mochtar, Ph.D kelahiran Bondjol yang cukup potensial untuk di Sumatra, namun sudah meninggal tahun 1945 dibunuh oleh militer Jepang.

Baru pada era Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (yang kedua) usulan pendirian universitas Sumatra di Midden Sumatra mengemuka kembali. Hal ini juga seiring dengan telah tercukupinya minimal lima fakultas pendukung untuk pendirian sebuah universitas. Dalam proses awal pendirian fakultas kedokteran di Midden Sumatra mulai muncul masalah kecukupan dosen.

Kelangkaan dosen untuk fakultas kedokteran untuk dialihkan ke Sumatra telah diiformasikan oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta setelah memberi kuliah umum di Bukittinggi (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1956). Lebih lanjut Mohamad Hatta mengatakan bahwa di Universitas Indonesia sendiri masih kekurangan dosen kedokteran. Oleh karenanya, menurut Mohamad Hatta tidak tepat fakultas kedokteran Bukittinggi meminta tambahan dosen kedokteran dari Jawa. Masalah lain yang menyebabkan kesulitan di Bukittinggi menurut Mohamad Hatta adalah ketersediaan perumahan. Disamping itu, Wakil Presiden (Mohamad Hatta) mengatakan bahwa penduduk tidak bersedia menyerahkan tanahnya untuk bangunan-bangunan fakulteit. Juga Wakil Presiden menyatakan bahwa niat pemerintah untuk mendirikan setidaknya satu universitas di setiap provinsi. Tetapi pemerintah saat ini menghadapi banyak kesulitan.

Sementara itu di Medan, Jajasan Universitas Sumatra terus memperkuat fakultas-fakultas yang dimilikinya secara mandiri. Apalagi, rencana awal pemerintah pusat untuk mendirikan universitas Sumatra telah berbelok arah ke Midden Sumatra yang berpusat di Bukittinggi. Universitas Sumatra telah dipersepsikan sebagai Universitas Midden Sumatra. Itu seiring dengan adanya niat pemerintah pusat untuk mendirikan minimal satu universitas di setiap provinsi. Yang jelas baru di satu provinsi (Midden Sumatra) di Sumatra universitas yang didukung habis oleh pemerintah pusat. Di daerah lainnya entah kapan.

Jajasan Universitas Sumatra Utara terdiri dari dewan dan pelaksana. Struktur Dewan Universitas Sumatra yang terakhir adalah sebagai berikut (Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-01-1954): Ketua adalah Gubernur Sumatra Utara (saat ini Mr. SM Aminn Nasution); Wakil Ketua, Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem (notaris pertama Sumatra); Sekretaris/Bendahara, Dr. Soemarsono. Para anggota: de burgemeester van Medan; Oh Tjie Lien; Dr. Barlan; Dr. Maas; Dr. Aminoediin Pohan, Ph.D; Ir. Tahir, Anwar en Madong Lubis. Pelaksana eksekutidf adalah para dekan dan jajarannya. Nama-nama dekan diantaranya: Dr. A. Sofyan (Fakultas Kedokteran) dan Mr. T. Dzulakarnain (Fakultas Hukum).  

Dalam perkembangannya, Gubernur Midden Sumatra telah menerima surat dari Departemen Pendidikan yang mengizinkan pembukaan sebuah universitas di Bukittinggi (De nieuwsgier, 24-07-1956). Dalam hubungan ini, Gubernur diminta untuk mengajukan proposal. Gubernur telah mengundang semua Bupati dan Wali Kota di Midden Sumatra untuk menghadiri upacara pembukaan universitas pada bulan September tahun ini (13 September 1956, red),

Sehubungan dengan pendirian universitas ini, surat diterima dari Wakil Presiden Drs Mohamad Hatta, yang mana ia memberikan saran, untuk memberikan nama universitas yakni nama yang memiliki nilai khusus untuk daerah yang bersangkutan (West Sumatra) dengan nama Tuanku Imam Bondjol. Sebelumnya ketika Menteri Pendidikan dijabat Mohamad Jamin mengusulkan untuk menggunakan nama Adiyawarman. Sementara itu, Prof. Mohamad Sjaaf, dekan fakultas kedokteran di Bukitlinggi merekomendasikan nama Andalas untuk universitas.

Dalam perkembangannya universitas negeri pertama di Sumatra ini kemudian ternyata bukan namanya Universitas Adityawarman, akan tetapi nama yang muncul adalah Universitas Andalas. Usul nama Andalas ini merupakan usul dari Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D. Ini dengan sendirinya nama Adityawarman yang ditetapkan oleh Mohamad Jamin (semasa menjabat Menteri Pendidikan) tidak disetujui. Demikian juga usul Wakil Presiden Mohamad Hatta yang memberi nama Tuanku Imam Bondjol tidak diterima. Universitas Andalas lalu diresmikan pada tanggal 13 September 1956. Universitas Andalas dengan sendirinya menjadi universitas negeri yang keempat. Sebelumnya, untuk jabatan Presiden Universitas Andalas telah ditunjuk Prof. Dr. Mohamad Sjaaf (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-08-1956). Disebutkan, pada sidang Kabinet, Prof. Dr. Mohd Sjaaf diputuskan sebagai Presiden Universitas Andalas di Bukittinggi.

Pembentukan Universitas Andalas ini sejatinya adalah bertumpu pada Fakultas Hukum (eks perguruan tinggi Pantjasila). Perguruan tinggi Pantjasila telah didirikan oleh Mr. Egon Hakim Nasution dkk pada tahun 1950. Perguruan Tinggi Hukum Pantjasila sudah eksis sejak sejak 1950 dan telah menghasilkan lulusan. Sementara perguruan tinggi lainnya yang menjadi fakultas pendukung pendirian Universitas Andalas benar-benar baru dimulai dari nol ketika ada keinginan pemerintah pusat pada tahun 1954 untuk mendirikan universitas di Sumatra. Lulusan pertama Universitas Andalas adalah berasal dari fakultas hukum

Pada tahap berikutnya usulan pendirian universitas negeri di Sulawesi dapat direalisasikan. Universitas negeri ini merupakan bagian dari program penyebaran perguruan tinggi di Indonesia. Nama universitas negeri yang akan diabngun di Sulawesi sudah disebut sebelumnya dengan nama Universita Hasanoedin yang berlokasi di Makassar. Universitas Hasanoeddin kemudian menjadi universitas negeri yang kelima.

Nun disana di Kabupaten Tapanuli Selatan (eks Afdeeling Padang Sidempoean) para orangtua mulai khawatir putra-putrinya sulit memasuki perguruan tinggi karena situasi ekonomi nasional juga dirasakan di Tapanuli Selatan yang terus memburuk. Perguruan tinggi yang dulu sangat terasa dekat yang berada di Batavia dan Buitenzorg bahkan yang di Belanda sekan terasa jauh yang ada di Padang dan Medan. Itu semua karena zaman telah berubah situasi dan kondisi yang dihadapi juga telah drastis berubah (setelah era pendudukan Jepang).

Binanga Siregar, mantan Residen Tapanoeli ketika melihat sudah berdiri beberapa universitas negeri, muncul situasi yang tidak menguntungkan bagi putra-putri Tapanuli Selatan (eks Afdeeling Padang Sidempoean). Hal ini karena kondisi ekonomi orang  tua yang semakin memburuk dan akan sulit membiayai anak-anak jika kuliah jauh dari kampung halaman, Untuk itu Binanga Siergar meminta perhatian pemerintah pusat untuk mendirikan universitas di Tapanuli.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-09-1957. Universitas Tapanuli. Warga Tapanuli, yang juga anggota dari majelis konstituante, Binanga Siregar, menyatakan dalam sebuah wawancara dengan kantor berita PIA bahwa pengusulan Universitas Tapanuli adalah untuk kepentingan pendidikan semata, pencerdasan masa depan masyarakat di Tapanuli. Karena itu Binanga Siregar bersikeras untuk mendirikan sebuah universitas di Tapanuli. Pada saat ini di Tapanuli terdapat lima belas sekolah menengah, yang memberikan 200 lulusan setiap tahunnya. Lulusan ini harus pergi untuk kelanjutan studi mereka ke daerah-daerah di luar Tapanuli, prihatin karena memerlukan biaya besar, terutama jika mereka melanjutkan studi di Jawa’.

Usulan Binanga Siregar ini memang secara intens dibahas. Namun Gubernur Sumatra Utara Mr. SM Amin Nasution menganggap pendirian universitas negeri di Residentie Tapanoeli belum waktunya (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-10-1957). Alasan gubernur ini dapat dipahami, karena di ibukota Provinsi Sumatra Utara yang beribukota di Medan belum ada universitas negeri. Ide penegerian Jajasan Universita Sumatra dulu yang sempat dibahas di era kabinet Boerhanoedin Harahap, kini kembali diperbincankan di Medan. Gubernur SM Amin ingin lebih membesarkan lebih dahulu Jajasan Universitas Sumatra Utara.

Pada fase dimana pembahasan Universitas Tapanuli, sebenarnya juga terjadi pengusulan pembentukan universitas negeri di Bandoeng karena THS Bandoeng selama ini dianggap sebagai Universitas Indonesia cabang Bandoeng. Akhirnya dibentuk Universitas Padjadjaran di Bandoeng tetapi Universitas Tapanuli masih terkendala.

Provinsi Sumatra Utara yang kini hanya terdiri dari dua residentie (Residentie Tapanoeli dan Residentie Sumatra Timur) setelah bulan Januari 1957 Residentie Atjeh dipisahkan menjadi provinsi. Gubernur Sumatra Utara Mr. SM Amin mulai memikirkan dan berpendapat justru Jajasan Universita Sumatra Utara yang didirikan oleh Gubernur Abdoel Hakim Harahap tahun 1951 diproses menjadi universitas negeri. Saat ini muncul intrik-intrik dan gerakan politik di Sumatra Barat yang tidak puas dengan pemerintah pusat di Djakarta. Pemerintah pusat mulai mengangkat kembali pengusulan Jajasan Universitas Sumatra Utara dan dijadikan sebagai universitas negeri. Lalu usulan universitas di Tapanueli ditunda dan universitas di Medan yang didahulukan. Akhirnya Universita Sumatra Utara di Medan diresmikan sebagai universitas negeri pada tahun 1957. Sementara itu, gerakan yang terus berkembang di Sumatra Barat akhirnya menjadi terbuka yang kemudian muncul apa yang dikenal sebagai Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Pemekaran Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada yang sempat tertunda karena adanya pembangkangan politik di Sumatra yang berbasis di Sumatra Barat dan Sulawesi yang berbasis di Sulawesi Utara (PRRI/Permesta) kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai bagian dari pemisahan (pemekaran) Universitas Indonesia. Pembentukan ITB ini terlaksana pada  tahun 1959. Lalu kemudian dilakukan pembentukan Universitas Diponegoro di Semarang yang sebelumnya juga terdapat cabang dari Universitas Gadjah Mada. Universitas Diponegoro secara resmi berdiri tahun 1961. Last but not least: Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor kemudian dibentuk menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1963.

Silsilah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia
Pemekaran Universitas Gadjah Mada dengan terbentuknya Univesitas Diponegoro tahun 1961 merupakan bentuk pemekaran yang terakhir dari Universitas Gadjah Mada. Hal ini juga bagi Universitas Indonesia, pembentukan IPB menjadi pemekaran terakhir dari Universitasb Indonesia. Sejak itu pemerintah RI, paling tidak telah memiliki 10 perguruan tinggi negeri (PTN), yakni: (1) Universitas Gadjah Mada, (2) Universitas Indonesia, (3) Universitas Airlangga, (4) Universitas Andalas, (5) Universitas Hasanoedin, (6) Universitas Padjadjaran, (7) Universitas Sumatra Utara, (8) Institut Teknologi Bandung, (9) Universitas Diponegoro, dan (10) Institut Pertanian Bogor.

Perkembangan universitas negeri sesungguhnya masih terus berlangsung di berbagai daerah. Namun untuk Universitas Gadjah Mada dan Universita Indonesia sebagai induk universitas negeri sudah memasuki tahap stasionary dan perubahan yang terjadi dua universitas lebih pada penguatan institusinya sendiri dalam hal pengembangan fakultas dan departemen.

Setelah Universitas Indonesia dirampingkan karena adanya proses pemisahan (pemekaran) yang terbentuknya ITB dan IPB, maka Universitas Indonesia mulai lebih fokus penataan internal. Era baru Universitas dimulai lagi.

Universitas Indonesia: Mr. Mochtar Koesoemaatmadja; Mr. Aida Dalkit Harahap dan Mr. Sheherazade Radjamin Nasution

Unversitas Indonesia pada fase peralihan dari era kolonial (Belanda) ke era kedaulatan (Indonesia) dilakukan pada tanggal 2 Februari 1950 yang mana pimpinan universitas berganti dari Prof. Dr. Wietse Radsma kepada Ir. RM Pandji Soerachman Tjokroadisoerio. Tanggal peralihan tersebut yakni tanggal 2 Februari 1950 menjadi titik tolak Universitas Indonesia secara resmi beradaulat. Fakultas yang ada adalah: Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum dan Sosial dan Fakultas Sastra dan Filsafat. Tiga fakultas ini berada di Djakarta.

Fakultas Teknik dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam di Bandoeng; Fakultas Pertanian dan Fakulteit Kedokteran Hewan di Bogor; Fakultas Hukum di Makassar; Fakulteit Kedokteran di Soerbaja. Disamping itu masih terdapat lembaga-lembaga.

Mahasiswa-mahasiswa yang lulus pada masa transisi ini antara lain: Lulus tahun 1950 di Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial (faculteit voor rechtsgeleerdheid en sociale wetenschappen van de Universiteit van Indonesie) adalah Mej. Lo Gwat Wan, Mej. Rr. Sri Widojati Notopradjo, BML Janz, Soeparman Sastrosoehardjo, Ko Eng Han dan Ong Tjing Boen (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1950). Mahasiswa yang lulus pada tahun 1950 masih ditemukan orang Belanda seperti BML Janz.

Di Fakultas Hukum dan Sosial diangkat dekan (baru) yakni Prof. Djoko Soetono (De vrije pers : ochtendbulletin, 13-12-1950). Disebutkan Prof. Djoko Soetono akan mengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik. Selain itu juga disebutkan diangkat Prof. Mr. Dr. Hazairin Harahap (Hukum Adat dan Hukum Islam); Prof, Mr, S. Kolopaking Sanyatavijaya (Sosiologi dan Ekonomi); Prof. Mr. Drs. Notonegoro (Hukum Agraria dan Politik Agraria); Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D (Ekonomi Indonesia); Prof. Mr. AP Funke (Hukum Perdagangan); Prof, Mr. WLG Lemaire (Hukum Perdata Antar Golongan); Prof, Dr, H Muller (Kriminalistik); Prof. Dr. DH Burger (Kapita Selekta Ekonomi Indonesia); Prof. Mr. WME Noach (Krimonologi): Prof. Dr. RF Beerling (Filsafat Hukum); dosen Mr. H Th. Chabot (Kapita Selekta Hukum Adat); dosen Mr. R Satoechid Kartanegara (Hukum Pidana dan Prosedur Pidana); dosen Mr. Koesmadi (Hukum Perdata); dosen Mr. R. Soewandi (Hukum Notariat). Catatan: Soewandi adalah notariat pribumi pertama. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D adalah Menteri Perdagangan dan Perindustrian.

Pada tahun 1951 yang lulus di Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial antara lain A. Moerad Astrawinata dan Auwjong Peng Koen (Nieuwe courant, 17-04-1951). Nama Auwjong Peng Koen lebih dikenal sebagai PK Ojong, pendiri surat kabar harian Kompas.  Pada tahun-tahun selanjutnya, mahasiswa-mahasiswa Tionghoa di Fakultas Hukum yang sebelumnya tampak dominan secara perlahan berkurang. Jumlah mahasiswa Belanda akhirnya menghilang dan lalu kemudian didominasi pribumi seperti tampak lulusan tahun 1952. Yang lulus tahun 1952 di Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial antara lain Soleiman Soeriadinata en Tagor Daulay.

Jika memperhatikan ke belakang, Tagor Daulay diterima pada tahun 1940. Pada tahun 1941 naik ke kelas dua (Bataviaasch nieuwsblad, 02-09-1941). Sebagaimana telah disebutkan, pada tahun 1940 juga Ida Nasution diterima di Fakultas Sastra saat mana Universiteit van Indonesie dimulai. Namun pada awal tahun 1942 perkuliahan ditutup karena pendudukan Jepang. Pada tahun 1948 muncul lagi nama Tagor Daulay yang lulus kelas dua (lihat De nieuwsgier, 29-09-1948). Ida Nasution tidak bisa melanjutkan kuliah karena bulan Maret 1948, Ida Nasution ketua dewan mahasiswa (ketua PMUI) dilaporkan menghilang yang diduga dibunuh intel/militer Belanda. Tagor Daulay akhirnya menyelesaikan kuliahnya hingga mendapat gelar sarjana hukum (Mr).  

Indonesiasi Universitas Indonesia sudah dimulai pada tahun 1951. Ini ditandai dengan pembentukan Jajasan Universita Indonesia yang mana Ir. Soerachman digantikan oleh Prof. Mr. Soepomo, Ph.D. Meski demikian proses perkuliahan tetap berlangsung berkesinambungan. Mahasiswa-mahasiswa yang register sejak era kolonial Belanda (sebelum perang) dapat melanjutkan pendidikannya di era perang kemerdekaan dan era pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (setelah 27 Desember 1949). Jumlah mahasiswa yang lulus di Fakultas Hukum kemudian dari tahun ke tahun semakin banyak. Ini mengindikasikan semakin banyak mahasiswa lama (era Belanda) dan mahasiswa baru (era perang dan era RI) yang register.

Sementara itu, Universitas Indonesia mengangkat Profesor yang baru (De nieuwsgier, 15-12-1953). Disebutkan Presiden Universitas Indonesia Prof. Mr. Dr. Soepomo mengangkat Bahder Djohan, mantan Menteri Pendidikan sebagai profesor luar biasa dalam bidang penyakit tropis di Fakultas Kedokteran. Sebelumnya, Prof. Mr. Dr. Soepomo telah menghadiri dies natalis ketiga faculteit der letteren van de universiteit van Indonesie (De nieuwsgier, 05-12-1953). Dalam dies natalis ini juga dilakukan pergantian kepala departemen dari Noegroho Notosoesanto kepada Kamaloedin. Dalam dies natalis ini Prof. Soepomo didampingi oleh dekan Fakultas Sastra, Prof. Prijana.  

Pada awal tahun 1954 Prof. Soepomo, Presiden Universitas Indonesia diusulkan untuk menjadi duta besar untuk Inggris (De nieuwsgier, 17-03-1954). Profesor Soepomo akan menggatikan Dr. Soebandrio yang akan dipindahkan ke Moskow (De Telegraaf,     24-03-1954). Lalu kemudian Prof. Soepomo diangkat menjadi duta besar untuk Inggris. Namun pengganti Presiden Universitas Indonesia tidak segera ditunjuk. Organisasi-organisasi mahasiswa di Universitas Indonesia melakukan unjuk rasa meminta Menteri Pendidikan untuk menunjuk seseorang untuk menggantikan Prof Dr Soepomo (De nieuwsgier, 08-05-1954). Organisasi yang menandatangani permintaan adalah: GMD, PMKRI, GMKI, HMI, Ta Hsueh Hsueh Shiang Hui, PMPI, IPPI dan PSSDI. Menteri Pendidikan sat ini adalah Mohamad Jamin. Lalu kemudian giliran dewan mahasiswa Universitas Indonesia (studentenraad van de Universiteit van Indonesie)  yang mendesak pemerintah untuk menunjuk seorang presiden baru untuk Universitas sesegera mungkin (De nieuwsgier, 16-06-1954)/ Disebutkan bahwa dewan mahasiswa meminta presiden baru akan mendedikasikan perhatian dan kemampuannya untuk pengembangan Universitas Indonesia dan bahwa pengangkatannya tidak akan memiliki pertimbangan politik. Sementara itu dari sisi pemerintah melalui Menteri Pendidikan Mohamad Jamin berdalih bahwa penunjukan Presiden Universitas yang baru menunggu status baru Universitas Indonesia dengan nama baru Universitas Poernawarman (De nieuwsgier, 19-05-1954).

Fakultas Matematika dan Fisika Universitas Indonesia (Faculteit van Wis- en Natuurkunde van de Universiteit van Indonesie) di Bandoeng untuk kali pertama melakukan promosi doktor (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 12-04-1954). Nama yang dipromsikan adalah Theodorus Reinders Rix lahir di Veendam dengan desertasi berjudul ‘Enige additiereacties aan oethoxyacetyleen’ yang mana sebagai promotor adalah Prof. Dr. M. Grube. Upacara berlangsung hari Sabtu bertempat di auditorium Fakultas Ilmu Teknik. Dalam promosi ini turut dihadiri oleh Presiden Universitas Indonesia Prof. dr. Mr. Soepomo dan dekan Prof. dr. H. Th. M. Leeman. Promosi ini juga dihadiri oleh banyak profesor dari dua fakultas yang berada di Bandoeng.

Terkait dengan ‘pemberhentian’ Prof. Soepomo sebagai Presiden Universitas Indonesia tidak diketahui secara jelas apakah Prof. Soepomo berprestasi atau tidak memimpin Universitas Indonesia. Namun yang jelas Prof. Soepomo sudah ditempatkan sebagai duta besar di Inggris. Padahal menurut normanya Prof. Soepomo belum waktunya untuk diganti. Sebab Presiden Universitas Gadjah Mada sendiri masih dijabat oleh Prof. Sardjito (sejak 1949). Sementara Prof. Soepomo baru menjabat sebagai Presiden Universitas Indonesia baru sekitar tiga tahun. Para mahasiswa mewanti-wanti agar presiden universitas yang baru figur yang memiliki dedikasi dan tidak bermuatan politik.

Prof. Soepomo adalah anggota Partai PIR (lihat De Volkskrant, 08-09-1954). Partai PIR dalam kabinet adalah juga partai berkuasa. Anggota PIR terdapat pada posisi Wakil Perdana Menteri (Wongsenegoro), Menteri Dalam Negeri (Prof. Dr. Mr. Hazairin Harahap) dan Menteri Perhubungan/Menteri PU (Prof. Ir. Rooseno). De Volkskrant, 08-09-1954 menyebutkan partai PIR yang merekomendasi Prof. Soepomo untuk duta besar Inggris meski Prof. Soepomo sendiri lebih menginginkan untuk ditempatkan untuk duta besar di PBB.   

Presiden Universitas Indonesia yang terus lowong membuat anggota parlemen dari fraksi Parkindo, Nawawi mengajukan pertanyaan ke pemerintah (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-10-1954). Nawawi telah mengajukan pertanyaan tertulis kepada pemerintah, dimana dia bertanya apakah pemerintah memiliki pendapat yang sama seperti dia. bahwa ini adalah masalah yang mendesak dan bahwa seorang wakil harus ditunjuk sesegera mungkin. Selanjutnya, Nawawi menanyakan persyaratan dan kondisi apa yang ditetapkan pemerintah saat menunjuk presiden universitas dan bagaimana prosedur penunjukan ini. Selanjutnya, Nawawi menanyakan apakah Universitas Indonesia memiliki tekad bulat dalam hal ini, dan jika demikian, apa fungsinya (Universitas Indonesia) dalam prosedur penunjukan ini. Setelah sekian bulan Universitas Indonedia tidak memiliki Presiden, akhirnya pemerintah melalui Dewan Menteri memutuskan pada tanggal 17 November 1954 untuk mengangkat Prof. dr. Bahder Djohan (De nieuwsgier, 18-11-1954).

Sebelum pengangkatan ini telah terjadi perubahan struktur kabinet yang mana Wakil Pernana Menteri Wongsonegoro dari partai PIR telah digantikan oleh Zainul Arifin Pohan dari Partai NU. Menteri Dalam Negeri Prof, Hazairin Harahap juga telah diganti. Posisi Prof. Ir. Rooseno dari PIR digeser posisinya menjadi dari Menteri Perhubungan dan Menteri PU menjadi Menteri Perekonomian.

Pengangkatkan Prof. dr. Bahder Djohan memuculkan pertanyaan dan terkesan lebih bernuansa politis daripada akademis. Sebelumnya Bahder Djohan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan (September 1950-April 1951). Dr. Bahder Djohan sendiri baru diangkat sebagai profesor luar biasa (De nieuwsgier, 15-12-1953). Jabatan profesor yang diberikan hanya berstatus luar biasa. Pendidikan Bahder Djohan hanya lulus dokter dari STOVIA (tahun 1928), bukan dokter sarjana penuh dari universitas di Belanda. Posisi akademik Dr. Bahder Djohan berbeda dengan Presiden Universitas Gadjah Mada Dr. Sardjito, Ph.D lulusan dokter Belanda peraih gelar doktor (Ph.D) dan Presiden Universitas Indonesia sebelumnya Mr. Soepomo, Ph.D lulusan sekolah hukum Belanda dan peraih gelar doktor (Ph.D).

Interval antara pengangkatan Dr. Bahder Djohan sebagai dosen (profesor luar biasa) di Universitas Indonesia (Desember 1953) dengan keputusan penunjukan Dr. Bahder Djohan menjadi Presiden Universitas Indonesia (November 1954) bahkan belum genap setahun. Dalam pengangkatan dosen luar biasa Dr. Bahder Djohan turut dihadiri (diantarkan) oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta.  Lalu beberapa bulan kemudian muncul berita Presiden Universitas Indonesia akan dicopot dan ditugaskan untuk duta besar di Inggris (De nieuwsgier, 17-03-1954). Padahal Prof. Mr. Soepomo, Ph.D baru tahun 1951 diangkat sebagai Presiden Universitas Indonesia. Dan sudah barang tentu Prof Soepomo lebih menginginkan tetap di kampus dari pada sebagai diplomatik. Prof. Soepomo sejak meraih gelar doktor sudah intens di bidang penelitian hukum dan menjadi dosen (Profesor) di Rechts Hoogeschool di era Belanda. Boleh jadi hal yang bersifat politis sangat dikhawatirkan mahasiswa ketika melakukan demonstrasi sebelumnya. Sebagaimana dalam waktu dekat, untuk presiden Universitas Airlangga yang baru dibentuk akan dijabat oleh seorang akademisi Prof. G. Pringgodigdo. Bukankah di Universitas Indonesia yang memiliki fakultas di Djakarta, Bandoeng dan Bogor terdapat cukup banyak profesor yang kapabel? Penunjukan Dr. Bahder Djohan dari luar lingkungan kampus menjadi presiden universitas terkesan lebih bersifat politis daripada akademik. Dr. Bahder Djohan terkesan merupakan skenario Menteri Pendidikan Mohanmad Jamin dan Wakil Presiden Mohamad Hatta (yang pro kerjasama dengan asing). Ini terlihat saat Prof. Mr. Soepomo, Ph.D sudah tidak menjabat sebagai presiden (sekitar April 1954) dengan pengangkatan presiden universitas yang baru (November 1954) cukup lama dikosongkan alias digantung. Apakah harus cukup waktu bagi Dr. Bahder Djohan untuk memahami konstelasi di dalam internal Universitas Indonesia lalu baru kemudian ditunjuk sebagai presiden universitas. Tampaknya cukup lama Universitas Indonesia dikorbankan untuk mendapatkan presiden universitas yang baru.Penunjukan presiden Universitas Indonesia yang sekarang (1954) harus dibedakan dengan penunjukan Ir. Soerachman sebagai presiden Universiteit Indonesia (di era RIS). Ir. Soerachman adalah alumni pertama teknik kimia di Delf.

Presiden Universitas Indonesia yang baru Prof. Bahder Djohan dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 Desember 1954 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-12-1954). Dalam pelantikan Universitas Indonesia bersamaan dengan pelantikan Presiden Universitas Airlangga Prof. G. Pringgodigdo. Upacara pelantikan ini berlangsung di Djakarta yang juga dihadiri oleh hampir semua menteri, kepala staf angkatan laut dan udara, kepala polisi negara bagian dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya.

Mengapa tidak ada kepala staf angkatan darat? Itu karena Presiden Soekarno telah memecat Kolonel Abdul Haris Nasution akibat peristiwa 17 Oktober 1952. Militer kala itu meminta Presiden untuk membubarkan Parlemen karena terlalu merecokin pemerintah eksekutif (kabinet). Permintaan itu dilakukan dengan cara demonstrasi di depan istana yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober. Saat itu partai yang berkuasa adalah PNI. Kekosongan fungsi pimpinan angkatan darat lalu dibebankan kepada komisi pertahanan di parlemen yang dipimpin oleh Zainoel Arifin Pohan (Masyumi). Selain Kolonel Abdul Haris Nasution yang dirumahkan juga Major General TB Simatoepang. Lalu kemudian juga Menteri Pertahanan Hamengkoeboewono dicopot. Selama dirumahkan, Kolonel Abdul Haris Nasution tidak melakukan perlawanan dan hanya berdiam di rumah dan menulis buku yang kemudian dikenal buku Pokok-Pokok Gerilya. Dalam perkebangannya orang-orang NU memisahkan diri dari Partai Masyumi dan membentuk Partai NU yang mana sebagi ketua NU adalah Zainoel Arifin Pohan. Partai PNI pecah kongsi di parlemen dengan Masyumi dan kemudian PNI membentuk koalisi baru dengan kabinet baru: Ali Sastroamidjojo sebagai Pernana Menteri (PNI) dan Wongsonegoro sebagai Wakil PM I (PIR) serta Zainoel Arifin Pohan sebagai Wikil PM II. Namun entah mengapa Prof. Soepomo dicopot sebagai Presiden Universitas Indonesia dan didubeskan ke Inggris ((De nieuwsgier, 17-03-1954). Setelah kehilangan Prof. Soepomo sebagai anggota PIR, kemudian PIR mulai tidak nyaman. Kasak kusuk tentang pemerintahan Ali Sastroamidjojo mulai merebak. Kasak kusuk itu semakin kencang sejak ditemukan ada indikasi penyelundupan yang dilakukan tentara di Jawa Barat dan Sulawesi (Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-10-1954). Komandan Teritorial Sulawesi telah dipanggil Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan ke Jakarta. Moral tentara yang tidak memiliki pemimpin (Kolonel Abdoel Haris Nasution masih dirumahkan) ikut teracuni menambah daftar kegagalan kabinet Ali Sastroamidjojo. Isu kegagalan pemerintah dijadikan Partai PIR untuk mulai menyerang pemerintah. Wakil Perdana Menteri I, Wongsonegoro mundur, Menteri Dalam Negeri, Prof. Hazairin Harahap ditarik partainya, PIR. Demikian juga Prof. Ir. Rooseno (PIR) menyusul penarikan Prof. Hazairin. Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin (NU) harus diserahi tugas-tugas Wongsonegoro dan Hazairin ketika pemilu semakin dekat. Tidak hanya disitu: Menteri Pertahanan lalu dicopot. Kabinet Ali-Arifin makin lama makin lemah karena karena kehilangan mayoritas di parlemen. Masyumi yang dipimpin Boerhanoeddin Harahap terus menekan PNI yang dianggap gagal memerintah, Demikian juga surat kabar Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis terus mengkritisi pemerintah yang telah gagal. Perdana Menteri Ali Satroamidjojo akhirnya mundur. Zainul Arifin Pohan juga turut mundur. Kabinet Ali tamat jelang pemilu. Partai PIR yang mengincar Perdana Menteri, tetapi Partai PIR kalah bertarung di parlemen melawan Masyumi. Lalu Masyumi membentuk kabinet baru dengan Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap. NU dibawah pemimpin politiknya, Zainul Arifin Pohan mati langkah (NU beberapa tahun sebelumnya telah keluar dari Masyumi). NU lantas konsentrasi untuk memenangkan pemilu. Kabinet baru menghadapi tantangan berat yakni jelang pemilu pertama. Perdana Menteri Boerhanoedin Harahap lalu memasukkan dua tokoh penting dalam kabinetnya yakni Prof, Dr. Soemitro Djojohadikoesomo (PSI) sebagai Menteri Keuangan dan Abdoel Hakim Harahap yang diposisikan sebagai Menteri Negara (bidang Pertahanan) untuk membantu Boerhanoeddin Harahap yang selain sebagai perdana menteri juga rangkap sebagai Menteri Pertahanan.  Kebetulan dua menteri ini sama-sama satu alumni Prins Hendrik School Batavia: Abdoel Hakim Harahap (lulus) 1927) dan Soemitro Djojohadikoesomo (lulus 1935). Kakak kelas mereka Mohamad Hatta (lulus 1921). Kabinet Boerhanoeddin Harahap diresmikan pada 12 Agustus 1955. Hal yang pertama dilakukan PM Boerhanoeddin Harahap adalah meminta menterinya Abdoel Hakim Harahap (mantan Residen Tapanoeli di era perang dan mantan Gubernur Sumatra Utara di era pasca pengakuan kedaulutan RI oleh Belanda) untuk mendamaikan para tentara dan memilih pemimpinya. Dalam pertemuan semua kolonel di Djogjakarta muncul dua kandidat utama: Kolonel Abdoel Haris Nasoetion dan Kolonel Zulkifli Lubis. Akhirnya yang terpilih adalah Abdoel Haris Nasoetion. Zulkifli Lubis tampaknya tidak puas, karena selama ini sangat dekat dengan Soekarno. Di lain pihak, Soekarno mau tak mau harus menerima (kembali) Abdoel Haris Nasoetion yang pernah ‘dirumahkannya’. Selama dirumahkan Abdoel Haris Nasoetion tekun ‘belajar’ dan berhasil menulis buku Pokok-Pokok Gerilya. Dalam perkembangannya di parlemen terjadi koalisasi PNI dan Partai NU ‘menghantam’ Masjumi yang mengusulkan UU Anti Korupsi. Boerhanuddin Harahap tidak puas, UU Anti Korupsi tidak berhasil digolkan. Boerhanoeddin Harahap lalu mengundurkan diri dan kabinetnya dibubarkan pada tanggal 24 Maret 1956. Prof. Soemitro memfokuskan diri di Universitas Indonesia. Meski Abdoel Hakim Harahap pensiun tetapi mengembalikan fungsi Kepala Staf Angkatan Darat bukan pekerjaan mudah. Hanya Abdoel Hakim Harahap yang mampu mendamaikan para kolonel seluruh Indonesia. Ali Sastroamidjojo kembali menjadi Perdana Menteri dan Zainul Arifin Pohan menjadi Wakil Pernana Menteri II (Kabinet Ali-2). Namun dalam perkembangannya, Mochtar Lubis, pimpinan surat kabar Indonesia Raya  mulai mengangkat isu korupsi di tubuh kabinet yang mana Ali Sastroamidjojo habis-habisan membela menterinya yang diduga memperkaya diri dengan jalan korupsi. Mochtar Lubis mendapat dukungan dari Kolonel Zulkifli Lubis. Mochtar Lubis membuka front opini kepada Ali Sastroamidjojo.

Pada tahun 1955. dalam usianya yang kelima tahun, Universitas Indonesia masih terus berjuang untuk meningkatkan mutu. Jumlah universitas yang ada saat ini adalah Universitas Indonesia di Djakarta,Unversitas Gadjah Mada di Djokjakarta dan Universitas Airlangga di Soerabaja. Sejauh ini Universitas Indonesia terdiri dari delapan fakultas, yakni: (1) Fakultas Hukum (rechten); (2) Fakultas Ekonomi (economie); (3) Fakultas Teknik (techniek) di Bandoeng; (4) Fakultas MIPA (wisen natuurkunde) di Bandoeng; (5) Fakultas Kedokteran (medicijnen); (6) Fakultas Pertanian (landbouw) di Bogor; (7) Fakultas Sastra (literatuur); dan (8) Fakultas Kedokteran Hewan (veerartsenijkunde).

Distrubusi (jumlah) mahasiswa Universita Indonesia pada tahun 1953 adalah sebagai berikut (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 17-02-1953): Fakultas Kedokteran Djakarta (864 mahasiswa); Fakultas Hukum dan Sosial (857); Fakultas Sastra (242); Fakultas Ekonomi (1.015); Fakultas Pertanian di Bogor (340); Fakultas Kedokteran Hewan di Bogor (67); Fakultas Teknik di Bandoeng (1.845); Fakultas Matematika dan Ilmu Alam di Bandoeng (395); Fakultas Pendidikan Jasmani di Bandoeng (68); Fakultas Kedokteran di Soerbaja (874); Fakultas Kedokteran Gigi di Soerabaja (224) dan Fakultas Hukum di Makassar (63).

Jumlah mahasiswa yang register tahun ini adalah sebagai berikut: hukum 669, ekonomi 581, teknik 565, matematika dan ilmu fisika 274, kedokteran 233, pertanian 170, literatur 139 dan kedokteran hewan 63. Tingkat kelulusan tahun ini hanya Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan yang terbilang memuaskan. Fakultas-fakultas lainnya tingkat kelulusan kurang dari 10 persen. Hasil yang paling buruk adalah Fakultas Ekonomi, yang tahun ini hanya meluluskan hanya tujuh mahasiswa (kira-kira dua persen). Tingkat kelulusan dihitung sebagai rasio antara jumlah yang lulus dengan jumlah pendaftaran baru (keluar-masuk). Data ini bersumber dari laporan Presiden Universitas Indonesia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-10-1955).

De nieuwsgier, 21-09-1955: ‘Simposium ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sedang merayakan lustrum pertama bulan ini. Puncak dari perayaan lustrum ini dua simposium yang didedikasikan untuk masalah-masalah sosial yang penting. Sebuah simposium tentang interpretasi Pasal- 33 (UUD 45) akan diadakan di auditorium di Dajalan Salemba No. 4 pada hari Jumat 23 September pukul 7.30 malam. Simposium pertama ini adalah Wilopo. Sedangkan sebagai pembicara debut pertama Widjojo Nitisastro yang akan diadakan pada hari Senin 26 September pukul 8 malam di auditorium, suatu simposium yang ditujukan untuk rencana industrialisasi untuk Indonesia. Untuk pembahasa dua simposium itu adalah Dipokusumo dan Sarbimi, MA. Kedua simposium diketuai oleh Prof. Dr Sumitro Djojohadikoesoemo. Undangan tersedia dari panitia lustrum d/a Fakultas Ekonomi, Salemba’.

Pada tahun 1955 kembali Fakultas Hukum dan Sosial kembali beberapa kali menghasilkan lulusan. Diantara lulusan tersebut terdapat nama-nama Sheherazade Radjamin Nasution dan Mochtar Koesoemaatmadja. Untuk sekadar mengingatkan kembali bahwa Sheherazade Radjamin Nasution adalah putri dari Dr. Radjamin Nasution (pendiri Partai Bangsa Indonesia bersama Dr. Soetomo). Dr. Radjamin Nasution adalah wali kota pertama Soerabaja. Sedangkan Mochtar Koesoemaatmadja adalah anak dari Mr. RM Koesoemah Atmadja, Ph.D (orang Indonesia kedua yang meraih gelar Ph.D di bidang hukum). Mochtar Koesoemaatmadja kelak dikenal sebagai Menteri Luar Negeri.

Untuk menjadi sarjana tidaklah mudah. Meski jumlah mahasiswa yang register bertambah dari waktu ke waktu tetapi kenyataannya tingkat kelulusan per fakultas sangatlah rendah (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-10-1955). Disebutkan bahwa mayoritas mahasiswa tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari orang tua mereka dan karena itu terpaksa mahasiswa menjadi bekerja. Di semua fakultas Universitas Indonesia saat ini terdapat 1.514 mahasisa perempuan, kira-kira enam persen dari total jumlah mahasiswa. Dalam persentase, para mahasiswa perempuan memiliki tingkat kelulusan yang lebih baik jika dibandingkan mahasiswa laki-laki. Menurut kesan beberapa profesor, gadis-gadis itu mengabdikan diri mereka lebih serius daripada rekan pria mereka untuk belajar. Faktor lain, yang juga disebut hambatan bagi kemajuan pendidikan universitas di Indonesia adalah kurangnya memadai dosen. Setiap profesor disini kelebihan beban, sehingga dia tidak punya waktu untuk penelitian dan kerja ilmiah dan dia hampir tidak bisa mengikuti perkembangan profesinya.

Pada tahun 1956 kembali Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas Indonesia menghasilkan sarjana hukum (Meester in de Rechten), Dalam daftar yang lulus pada bulan Februari terdapat nama Aida Dalkit Harahap (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 21-02-1956). Aida Dalkit Harahap tergolong generasi baru, generasi Republik Indonesia. Aida Dalkit Harahap diterima tahun 1952, dan pada tahun 1953 diberitakan lulus ujian kelas satu (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 27-01-1953).

Aida Dalkit Harahap telah menyusul Sheherazade Radjamin Nasution sebagai sarjana hukum. Aida Dalkit Harahap adalah putri dari Parada Harahap (penggagas PPPKI tahun 1927). Dua sarjana hukum ini adalah dua pertama perempuan Batak yang meraih gelar sarjana hukum. Setahun kemudian, Mr. Aida Dalkit Harahap menikah dengan Datu Porkas Daulay tanggal 14 Agustus 1957 di Pintu Padang, Tapanuli Selatan sebagaimana tampak dalam iklan keluarga di surat kabar Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-08-1957. Datu Porkas Daulay adalah teman sekelas Aida Dalkit di Fakultas Hukum dan Sosial Universutas Indonesia. Datu Porkas Daulay setelah lulus ditempatkan di pengadilan negeri medan sebagai jaksa senior (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 12-02-1957).  Catatan tambahan: surat kabar legendaris Java-bode sejak tahun 1952 sudah diakuisisi oleh Parada Harahap.      

Universitas Indonesia pada tahun 1956 untuk kali pertama memberikan gelar doktor honoris causa. Gelar pertama ini diberikan kepada Dr. R. Kodjat (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 27-06-1956). Doktor kehormatan ini diberikan dalam sebuah upacara di auditorium Universitas Indonesia. Dr. R Kodjat adalah kepala Lembaga Penelitian dan Pengendalian Penyakit dari Departemen Kesehatan. Pemberian gelar diberikan sebagai penghormatan untuk pahalanya di bidang memerangi raspberrya. Ini adalah gelar doktor kehormatan pertama yang dianugerahkan oleh Universitas Indonesia. Upacara ini dihadiri oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta, Presiden Parlemen Mr. Sartono, Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Mr. Hoetasoit dan sejumlah besar pihak yang tertarik. Dekan fakultas kedokteran. Prof. Soedjono Djoened Poesponegoro. bertindak sebagai promotor.

Gelar doktor luar biasa (doktor honoris causa) yang pertama adalah Presidenm Ir. Soekarno. Gelar doktor luar biasa kepada Presiden Ir. Soekarno diberikan oleh Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta pada tahun 1952. Gelar ini lebih pada suatu bentuk penghormatan sebagai pejuang Indonesia, yang terakhir sebagai tokoh penting dalam kembalinya Indonesia ke negara kesatuan (NKRI) yang sempat sebelumnya berwujud RIS (dominasi negara-negara federal yang di sani- sini pengaruh Belanda masih ada). Perdana Menteri RIS adalah Mohamad Hatta. Pemberian gelar doktor honoris causa kepada Ir. Soekarno hanya semata-mata sebagai gelar kehormatan yang tidak terkait dengan eksistensi Universitas Gadjah Mada sebagai lingkungan kampus yang menganut otonomi perguruan tinggi. Sementara gelar profesor luar biasa yang diberikan kepada Dr. Bahder Djohan kenyataannya tidak hanya sebagai profesor luar biasa untuk fungsi akademik (pengajar) tetapi juga telah diangkat menjadi Presiden Universitas Indonesia.  

Untuk mengejar ketertinggalan Fakultas Ekonomi Universita Indonesia dalam menghasilan lulusan, berbagai kegiatan telah dilangsungkan di Fakultas Ekonomi. Sebelumnya telah dilangsungkan simposium pada lustrum kelima (De nieuwsgier, 21-09-1955).  Keberadanm Fakultas Ekonomi di sisi eksternal juga semakin dirasakan oleh pemerintah. Hal ini terlihat pada sidang kabinet yang membentuk Dewan Ekonomi dan Perencanaan (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-05-1956). Dewan ini diketuai oleh Perdana Menteri yang terdiri dari dua Wakil Perdana Menteri dan beberapa Menteri yang bertugas untuk menasihati Kabinet tentang masalah-masalah sosio-ekonomi dan perencanaan di bidang ini. Dalam sidang kabinet ini juga telah menyetujui pengangkatan Prof. J. Rietveldt sebagai profesor di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Saat pemerintahan kabinet yang baru  (Kabinet Ali Sastroamidjojo) membentuk Dewan Ekonomi dan Perencanaan, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo (Mantan Menteri Keuangan pada Kabinet Boerhanoeddin Harahap yang dibubarakan 3 Maret 1956) yang masih Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia  berangkat ke Amerika Serikat pada hari Senin (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1956). Disebutkan, Prof. Dr. Soemitro akan menghadiri seminar yang diadakan Merril Center for Economics, selama sekitar enam minggu, dimana pemikiran akan dipertukarkan antara para ekonom dari seluruh dunia. Prof. Dr. Soemitro akan ditunjuk sebagai anggota dari lima anggota Komite Pengarah. Setelah menghadiri seminar, Prof. Soemitro akan memberikan kuliah tamu di University of California at Berkeley. Setelah kunjungannya ke Amerika Serikat, Prof. Soemitro juga akan melakukan kunjungan ke Universitas Manchester di Inggris.

Sementara Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo ke Amerika Serikat, mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ekonomi juga telah diberangkat ke Bukittinggi untuk melakukan studi lapangan (De nieuwsgier, 09-07-1956). Disebutkan sebanyak 20 mahasiswa dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia telah tiba di Bukittinggi yang mana mereka akan mempelajari desa-ekonomi.

Nieuwsblad van het Noorden, 22-08-1956 memberitakan EF Jahn adalah salah satu dosen di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Mr. Jahn juga disebut memiliki kantor akuntan terkenal di Jakarta. Surat kabar Indonesia Raja mengganggap Mr. Jhan selama ini adalah warga negara Indonesia. Sementara itu, Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-08-1956 memberitakan penunjukan GJ Wolhoff sebagai Profesor di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia telah disetujui pemerintah.

Dalam perkembangannya muncul usulan pemerintah untuk memekarkan Universitas Indonesia dengan memisahkan dua fakultas yang berada di Bandoeng untuk membentuk satu universitas. Presiden Universitas Indonesia, Prof. dr. Bahder Djohan tampaknya kurang sepakat dengan usul itu (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-02-1957). Presiden Universitas Indonesia, Bahder Djohan mengatakan bahwa semua profesor Indonesia akan keluar jika pemerintah memutuskan untuk memisahkan Fakultas Teknik dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam dengan membentuk universitas baru di Bandung. Penyataan ini disampaikan Bahder Djohan dalam sambutannya untuk menandai Dies Natalis. Presiden Universitas Indonesia mengumumkan dalam kesempatan tersebut bahwa mantan Presiden Universitas Indonesia, Prof. Mr Soepomo, Ph.D sekarang telah kembali di kampus Universitas Indonesia.

Mengapa usul pemisahan Universitas Indonesia dan pembentukan universitas di Bandoeng ada yang pro dan ada yang kontra. Boleh jadi ini ada kaitannya dengan suasana batin pada saat itu dimana di Bukittinggi telah diresmikan Universitas Andalas pada bulan September 1956 (ide awalnya tahun 1954 adalah universitas untuk seluruh Sumatra bergeser menjadi universitas di Sumatra Tengah) oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta yang kemudian Wakil Presiden Mohamad Hatta meleatakkan jabatan tanggal 1 Desember 1956 dan kemudian disusul kudeta pemerintah pusat di Bukittinggi oleh Letkol Achmad Husein. Selanjutnya Sidang Majelis Konstituante (setelah masa reses) dipindahkan ke Bandoeng pada bulan Januari 1957. Selain itu para pemimpin tentara sudah intens di Bandoeng seperti halnya dengan interogasi-interogasi yang dilakukan terhadap eks pemimpin seperti interogasi Prof. Soemitro. Dalam perkembangannya pemisahan Universitas Indonesia itu memang tidak terjadi tetapi pebentukan universitas di Bandoeng dipercepat dengan direalisasikannya pendirian Universitas Padjadjaran pada bulan September 1957 sebagai universitas negeri keenam. Mungkin bagi Bandoeng, tidak ada rotan akar pun jadilah. Dengan semakin memanasnya suhu politik di Sumatra Tengah, juga terjadi ekskalasi politik di pusat yang mana Kabinet Ali-II dibubarkan dengan membentuk kabinet baru yang dipimpin oleh Ir. Djoeanda yang tengah naik daun. Kabinet Djoeanda diresmikan pada bulan April 1957 yang mana sebagai Perdana Menteri Ir. Djoeanda dan Menteri Dalam Negeri Sanoesi Hardjadinata (mantan Gubernur Jawa Barat). Lengkap sudah tokoh-tokoh Bandoeng dalam struktur baru kepemimpinan Indonesia: Ir. Soekarno (Presiden), Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution (Kepala Staf), Ir. Djoeanda (Perdana Menteri) dan Sanoesi Hardjadinata (Menteri Dalam Negeri). Sudah barang tentu sedikit banyak dalam hubungan ini dapat dikaitkan dengan Ir. Djoeanda adalah adik kelas Ir. Soekarno di THS Bandoeng di era Belanda; dan juga sudah terbentuknya sejak lama dua sekawan Gubernur Jawa Barat Sanoesi Hardjadinata dan Panglima Siliwangi Kolonel Abdoel Haris Nasution di era awal pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Yang tak terduga adalah penyegeraan Jajasan Universitas Sumatra Utara yang dibentuk sejak tahun 1952 diresmikan sebagai universitas negeri ketujuh pada bulan November 1957. Akhirnya pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang diproklamirkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Lalu muncul pertanyaan: mengapa Presiden Universitas Indonesia Prof. Bahder Djohan harus digantikan sebelum waktunya pada bulan Meret Maret 1958? Apakah penggantian ini terkait dengan pernyataan Bahder Djohan yang menolak pemisahan Universitas Indonesia dengan membentuk universitas di Bandoeng? Entahlah. Catatan: Presiden Universitas Indonesia yang baru Prof. Soedjono Djoened Poesponegoro (dekan Fakultas Kedokteran). Sedangkan dekan Fakultas Ekonomi, Prof. Soemitro Djojohadikoesooemo sudah menjadi bagian dari PRRI.

Para petinggi di Universitas Indonesia juga adalah mantan pejabat tinggi atau menteria dan masih dimungkinkan jika bisa membagi waktu rangkap jabatan di pemerintahan dan di universitas. Presiden Universitas Indonesia sejak yang pertama Prof. Ir. Soerachman, kemudan dilanjutkan Prof. Soepomo dan yang sekarang Prof. Dr. Bahder Djohan adalah mantan menteri. Salah satu yang pernah bestatus menteri pada level dekan adalah Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-04-1957: ‘Prof. Dr. Dra. GC Schuil dalam pidato pengukuhan dirinya pada peresmian sebagai guru besar dalam ilmu akuntansi di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Dalam upacara peresmian profesor ini dihadiri antara lain oleh Presiden Universitas Prof. Bahder Djohan. Pejabat Dekan Fakultas Ekonomi, Djoko Soetono, Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mr. Saubari. Bendahara Umum Mr. Sugiarto, dewan pengawas, profesor dan dosen Fakultas Ekonomi. Disebutkan Prof. Dr. dra. Schuil tidak hanya seorang profesor tetapi juga Kepala Departemen Akuntansi di Kementerian Keuangan, yang mana dia telah bekerja selama lima tahun.

Satu hal yang menimbulkan pertanyaan adalah tidak hadirnya Soemitro Djojohadikoesoemo  Dekan Fakultas Ekonomi yang dalam hal ini dinyatakan Djoko Soetono sebagai pejabat dekan. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menjabat dekan Fakultas Ekonomi Universitas sejak tahun pendirian fakultas yang juga sejak pendirian Universitas Indonesia pada tahun 1950. Disebutkan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo akan tinggal di Singapoera.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1957: ‘Anggota parlemen mempertanyaan tentang Soemitro. Anggota parlemen Sutoko Djojosubroto dari PNI mengajukan pertanyaan kepada pemerintah tentang Dr. Soemitro Djojohadikusumo yang meninggalkan jabatannya sebagai profesor di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Menurut laporan yang belum dikonfirmasi, Dr. Soemitro akan tinggal di Singapura selama beberapa minggu setelah ia menghabiskan beberapa waktu di Padang. Sutoko Djojosubroto bertanya kepada pemerintah tentang ini, yang mana status saat ini dari Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, sekarang dia telah meninggalkan jabatannya sebagai pegawai negeri sipil untuk beberapa waktu; apakah seorang deputi telah ditunjuk dan apakah pemerintah siap untuk menempatkan ketentuan yang dapat memberikan jaminan bahwa peristiwa semacam itu, yang secara khusus merugikan negara pada umumnya dan dunia siswa pada khususnya, Juga disebutkan, surat kabar Merdeka melaporkan pagi ini, Departemen Pendidikan telah mengirim surat ke Dewan Universitas Indonesia dengan permintaan untuk mengganti Dr. Soemitro, dan mengusulkan bahwa Prof. Djojodiguno, seorang dekan di Universitas Gadjah Mada, sebagai kemungkinan pengganti Prof. Soemitro’.

Ketidakhadiran Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di kampus Universitas Indonesia seakan mengingatkan beberapa waktu yang lalu yang mana Prof. Mr. Soepomo, Ph.D tiba-tiba dicopot sebagai Presiden Universitas Indonesia dan ditugaskan untuk fungsi duta besar. Sebagaimana Prof. Soepomo, juga Prof. Soemitro adalah seorang ilmuwan yang seharusnya berada di dalam kampus untuk kepentingan dunia ilmu pengetahuan dan dunia mahasiswa.

Dr. Soemitro (20-04-1951)
Pada tahun 1951 pemerintah pernah menugaskan Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo untuk mencari ahli ekonomi ke Eropa dan PBB (lihat Trouw, 24-07-1951). Disebutkan bahwa Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, selama tujuh minggu di Eropa dan PBB untuk merekrut ahli ekonomi atas nama pemerintah Indonesia. Sekembalinya ke Jakarta ia telah mengumumkan bahwa ia yakin ia telah berhasil. Prof. Dr. Ostling dari Universitas Stockholm siap untuk mendedikasikan kekuatannya ke Indonesia. Selain itu, 25 ahli Eropa lainnya, termasuk beberapa warga Belanda, serta ekonom Australia Dr Callin Clark dari Universitas Queensland telah menyatakan kesediaan mereka. Pemerintah Indonesia sekarang harus membuat pilihan. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyediakan 12 ahli ekonomi secara gratis sebagai bantuan yang diberikan yang akan diberi status pegawai negeri Indonesia, gaji mereka akan dibayar oleh PBB, Sementara status para ahli yang akan direkrut berbeda, beberapa akan menjadi pegawai negeri, badan perencanaan negara, yang lain akan ditunjuk di bank-bank Indonesia dan yang lain akan menjadi tamu pemerintah. Untuk grup Schacht, yang akan tinggal selama tiga bulan dan akan memiliki kesempatan untuk mempelajari situasi keuangan dan ekonomi, demikian kata Soemitro. Para ahli yang direkrut juga akan memberikan ceramah beberapa jam per minggu. Perhatian besar ditunjukkan oleh para ahli ekonomi Swiss. Namun, para ahli Jerman memiliki sedikit kesempatan untuk memberikan kekuatan mereka. Soemitro telah mencatat bahwa suasana di berbagai kalangan internasional tentang Indonesia ‘tidak terlalu baik’.

Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo masih diperlukan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia mengingat kekurangan profesor sehingga Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia harus mengimpor guru besar. Selain itu, tingkat lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia masih terbilang rendah. Keutamaan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo saat ini karena ahli ekonomi orang Indonesia yang bergelar doktor (Ph.D0 terbilang masih sangat langka, jika boleh disebut hanya tersisa satu-satunya Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.

Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo lahir tahun 1917. Pada tahun 1934 Soemitro Djojohadikoesoemo naik dari kelas empat ke kelas lima HBS Afdeeling-B (sosial dan budaya) di sekolah elit Prins Hendrik School di Batavia. Di jurusan yang sama, Mohamad Hatta lulus tahun 1921 dan Abdoel Hakim Harahap lulus pada tahun 1927. Sedangkan di Afdeeling-B, Ida Loemongga lulus pada tahun 1922. Ida Loemongga Nasution adalah perempuan Indonesia peraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1931; Abdoel Hakim Harahap kelak dikenal sebagai Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta dan Gubernur Sumatra Utara; Mohamad Hatta adalah tokoh penting sejak era kolonial Belanda yang dikabarkan sejak 1 Desember 1956 telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. RM Soemitro Djojohadikoesoemo lulus ujian akhir di PHS (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-06-1935). Dalam daftar yang lulus terdapat nama RR Moediarti Djoened Poesponegoro. RM Soemitro Djojohadikoesoemo dengan kapal Op ten Noort dari Tandjong Priok tanggal 7 September yang dilanjutkan dengan kapal Postdam dari Singapoera pada tanggal 10 September 1935 berangkat ke Belanda. Raden Mas Soemitro Djojohadikoesoemo berhasil ujian candidat ekonomi di Handelshoogeschool di Rotterdam (Nieuwsblad van het Noorden, 22-10-1937). Sekolah tinggi ekonomi ini juga sebelumnya Mohammad Hatta lulus tahun 1932. Di Belanda Soemitro Djojohadikoesoemo aktif organisasi mahasiswa. Dalam kepengurusan Roekoen Peladjar Indonesia (ROEPI) terdiri dari ketua Hertog dan Wakil Ketua Daliloedin Lubis. Organ ROEPI adalah majalah Soeara Roepi dengan ketua Redaksi Maroeto dan para anggota Soemitro dan T. Tobing (Zaans volksblad : sociaal-democratisch dagblad, 07-02-1939). Pengurus Perhimpoenan Indonesia saat itu (periode 1936-1940) adalah Parlindoengan Lubis (ketua); Sidhartawan (sekretaris); dan Mohamad Ildrem Siregar (bendahara). Parlindoengan Lubis adalah abang dari Daliloedin Lubis. Soemitro Djojohadikoesoemo lulus ujian doktoral (Drs) di bidang ekonomi (De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 11-07-1940).  Saat ini di Belanda dalam situasi sedikit gamang karena Jerman menduduki Belanda sejak Mei 1940. Tidak berapa lama, Parlindoengan Lubis lulus ujian dan meraih gelar dokter (lihat De standard, 26-10-1940). Namun dalam perkembangannya, Dr. Parlindoengan Lubis yang anti fasis (termasuk anti Jepang) ditangkap militer Jerman lalu dijebloskan ke kamp NAZI Jerman (satu-satunya orang Indonesia di kamp NAZI). Sidhartawan dikabarkan meninggal tetapi Parlindoengan Lubis masih bisa bertahan. Selama tokoh-tokoh PI ditahan, mahasiswa-mahasiswa masih bisa berkuliah. Daliloedin Lubis lulus dan meraih gelar dokter dari Universiet Amsterdam tahun 1941. Soemitro Djojohadikoesoemo yang melanjutkan studi ke tingkat doktoral akhirnya dapat meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1943 di bidang ekonomi dengan desertasi berjudul ‘Het volkscredietwezcn in de depressie’ (Maandschrift van het Centraal Bureau voor de Statistiek = Revue mensuelle du Bureau Central de Statistique du Royaume des Pays-Bas, 31-10-1943). Setelah selesai studi, sebagaimana orang-orang Indonesia di Belanda tidak bisa kembali ke tanah air karena sudah terputus hubungan antara Belanda dan Indonesia. Orang-orang Indonesia, termasuk Dr. Soemitro tetap bertahan di Belanda dan Dr Parlindoengan Lubis tetap di dalam tahanan di kamp konsentrasi NAZI. Kepemimpinan Perhimpoenan Indonesia tetap eksis, meski tanpa ketua tetapi FKN Harahap dan kawan-kawan tetap meneruskan perjuangan dengan menerbitkan majalah yang pro kemerdekaan Indonesia. FKN Harahap (pecatur tangguh yang pernah mengalahkan juara catur Belanda) menggaungkan kembali semangat Indonesia dengan Indonesia Raya. Ini dapat dibaca pada edisi De bevrijding: weekblad uitgegeven door de Indonesische Vereniging Perhimpoenan Indonesia, 15-05-1945: ‘Pada musim semi tahun 1944..kami tetap berjuang...kegamangan dalam menyelesaikan studi...kami terus melawan Jepang... muncul utusan dari Kedutaan Besar Jepang di Berlin untuk memberikan umpan, mahasiswa Indonesia membuang umpan tersebut. Itu adalah siasat untuk menangkap Mahasiswa Indonesia dengan jaring mereka... tiga tahun bagi orang Indonesia dari semua kehilangan hubungan dengan keluarga mereka!..Untuk itu jangan lupa dan harus sadar Seberapa jauh studi Anda sudah berkembang. Apakah Anda semua terburu-buru untuk ujian, atau mungkin ujian terakhir Anda pergi?...FKN Harahap’. Kegiatan mahasiswa Indonesia juga dapat dibaca pada edisi De bevrijding: weekblad uitgegeven door de Indonesische Vereniging Perhimpoenan Indonesia, 26-05-1945): ‘De vrijheidsbetogingen te Amsterdam (9 Mei 1945). Demonstrasi besar di Amsterdam dengan mengatasnamakan Perhimpunan Indonesia untuk menuntut kemerdekaan Indonesia yang berkumpul di lapangan Istana Kerajaan. Bendera Merah Putih menjulang diantara demonstrasi. Banyak orang Amsterdam yang mendukung demo ini dengan simpati. Beberapa orang Amsterdam juga ikut naik panggung untuk berbicara untuk mendukung kemerdekaan Indonesia termasuk Wali Kota Amsterdam...FKN Harahap telah berpidato, yang mewakili atas nama Perhimpoenan Indonesia untuk mengatakan beberapa kata. mengucapkan terima kasih kepada orang-orang Belanda untuk semua dukungan dan simpati ini, yang mana orang Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus memperjuangkan kemerdekaan...’. Dalam Rapat Umum yang dilakukan oleh kepanitiaan yang dibentuk orang-orang Indonesia (Perhimpoenan Indonesia) yang disebut Verbond van Indonesische Burger (VIB) yang diadakan di Foyer van de Stadsgehoorzaal te Leiden pada hari Jumat 13 Juli menghadirkan dua pembicara (lihat De kroniek, 11-07-1945). Dua pembicara tersebut adalah R. Poeradiredja dengan judul ‘Indonesie! Beheer of Bevrijding?’ dan RM Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo dengan judul ‘Sociaal-economische problemen rondom Indonesie’. Pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, sekutu menghancurkan Jerman/NAZI, Parlindoengan Lubis dibebaskan. Lalu kemudian Parlindoengan Lubis, Soemitro Djojohadikoesoemo dan lainnya secara bertahap pulang ke tanah air. Sementara FKN Harahap yang belum selesai studi tetap meneruskan studi. Lalu kemudian sebuah manifesto di Belanda diumumkan yang mana agar Belanda untuk menahan diri untuk perang dan memberi kesempatan bagi Indonesia untuk mandiri. Penandatangan manifesto ini termasuk didalamnya FKN Harahap (De waarheid, 03-01-1946). Akhirnya FKN Harahap berhasil menyelesaikan studi dan menjadi sarjana (Friesch dagblad, 10-07-1946). FKN Harahap akhirnya kembali ke tanah air. Perjuangan FKN Harahap dan kawan-kawan di Belanda (1945) seakan mengakhiri Perhimpoenan Indonesia yang digagas oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan yang saat pendiriannya pada tahun 1908 yang disebut Indisch Vereeniging. Jika dulu (1908) Husein Djajadiningrat dan Soetan Casajangan bahu-membahu mengawali, maka tahun 1945 FKN Harahap dan Soemitro Djojohadikoesomo mengakhiri.

Di tanah air, dalam posisi Kabinet Sjahrir yang tengah menghadapi tekanan militer Belanda (NICA), Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D dari Belanda menghadiri sidang PBB di London sebagai penasehat ekonomi Belanda (Nieuwe courant, 20-03-1946). Disebutkan dengan mengutip dari Straits Times bahwa Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D dan Dr. Djairin Zain telah tiba di Singapoera tanggal 12 Maret. Mereka berdua ke London menjadi bagian delegasi Belanda ke PBB. Ketika diwancara mereka menyatakan bahwa Indonesia harus memiliki kursi di PBB, karena dalam banyak hal negara Indonesia dianggap setara dengan sejumlah negara yang diwakili di PBB. Mereka berdua menyatakan tidak menjadi masalah dalam struktur Indonesia merdeka dalam kerangka Persemakmuran Belanda. Dr Soemitro Djojohadikoesoemo dan Mr. Djairin Zain, dua anggota Indonesia dari delegasi yang mewakili Belanda pada sesi pertama PBB di London telah tiba dengan kapal perang Inggris dan kembali ke Batavia. Menteri Pendidikan Todoeng Harahap Soetan Goenoeng Moelia dari Departemen Pendidikan Republik memberitahukan bahwa keduanya akan menemui (Perdana Menteri) Sjahrir dan menjelaskan secara ekstensif tentang kunjungan mereka di London’.  Beberapa bulan kemudian ketika diketahui Perdana Menteri Soetan Sjahrir akan mau bekerjasama dengan Belanda, Soetan Sjahrir diculik oleh kelompok oposisi (Nieuwe courant, 01-07-1946). Disebutkan pada malam 27-28 Juni di Solo, selain Soetan Sjahriri, juga diculik Menteri Kesejahteraan Rakyat Darmawan, General Majoor Soedibjo, Mr. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo dan tentara lainnya. Ini merupakan peristiwa yang serius, yang tidak bisa ditoleransi oleh pemerintah republik. Di sisi lain, Menteri Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap marah besar atas tindakan penculikan tersebut. Sejak penculikan kendali pemerintah diambilalih oleh Presiden Soekarno. Disebutkan pihak yang menculik adalah pengikut Tan Malaka dan Soebardjo. Setelah ultimatum Soekarno kepada penculik akhirnya Soetan Sjahrir dibebaskan di Solo. Mr. Amir Sjarifoeddin dari Djogjakarta datang ke Solo untuk membebaskan yang lain dari penjara termasuk Soemitro Djojohadikoesoemo (Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 11-07-1946).

Dalam kunjungan sekelompok pengusaha orang Belanda yang dipimpin oleh Dr P. Koets ke Djogjakarta juga berdiskusi dengan para pimpinan Bank Negara Indonesia (Nieuwe courant, 17-10-1946). Disebutkan delegasi itu berdiskusi dengan pimpinan bank tersebut yakni Margono Djojohadikoesoemo (Presiden); Sabaroedin (Direktur Pertama), dan beberapa pimpinan lainnya, termasuk penasihat keuangan Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.  Margono Djojohadikoesoemo adalah ayah dari Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Dalam perkembangannya, Republik Indonesia mendirikan korporasi Perbankan dan Perdagangan di Batavia dengan modal NLG 20 Juta yang mana NLG 4 Juta telah disetor. Sebanyak 60% dari saham tetap di tangan pemerintah Republik dan 40% adalah untuk publik. Manajemen terdiri dari Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo dan Dr. Ong Eng, keduanya meninggalkan Belanda ke Indonesia tahun lalu, Dr Soemitro adalah penasehat ekonomi delegasi Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa di London pada tahun 1945 (Algemeen Handelsblad, 14-01-1947). Setelah perjanjian Linggarjati dan munculnya permasalahan baru, Indonesia kembali mengirim delegasi ke sidang dewan keamaan PBB (De Gooi- en Eemlander: nieuws- en advertentieblad, 13-08-1947). Disebutkan  Sesi Dewan Keamanan untuk masalah Indonesia ditunda sampai Kamis malam. Perwakilan dari republik Indonesia akan mengambil bagian dalam perdebatan. Delegasi Republik antara lain Soetan Sjahrir dan Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.

Kemudian Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Kepala korporasi Perbankan dan Perdagangan di Batavia dikirim ke Amerika Serikat (De tijd : dagblad voor Nederland, 23-09-1947). Disebutkan Soemitro Djojohadikoesoemoe dan asistennya Soedjatmoko, mantan editor Independen, sekarang di New York, dikirim ke Amerika Serikat oleh pemerintah Republik Inonesia untuk bertemu American Banknote Companv untuk membeli kembali pencetakan kertas bank republikae, dan dilaporkan bahwa Dr. Soemitro juga akan menangani masalah yang berkaitan dengan Martin Behrman dan masalah pertukaran luar negeri dari republik di Amerika Serikat. Margono Djojohadikoesoemo. Sementara itu. Direktur Bank Negara, diberitakan ‘Antara’ bahwa situasi sistem keuangan republik tidak perlu dikhawatirkan, meskipun agresi Belanda, tidak ada inflasi yang signifikan di wilayah Republik. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo adalah perwakilan Republik Indonesia di Washington (Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 06-08-1948). Dalam satu kesempatan Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menegaskan bahwa ECA tidak akan menyediakan dana dukungan untuk Belanda, yang akan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk keperluan militer. Dia mengatakan bahwa upaya oleh Amerika Serikat untuk membangun kembali ekonomi Eropa akan ditakdirkan gagal selama negara-negara Eropa Barat tidak mengubah sikap mereka terhadap kolonial Asia. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di Amerika Serikat sudah cukup lama dan menjadi perwakilan resmi Republik Indonesia. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo mengkrtik sebagian pers Amerika Serikat sebagai ‘de goede doctor Jojo’ dan dalam satu kesempatan wawancara Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo mengklaim bahwa penduduk Indonesia sampai saat ini belum mendapatkan manfaat dari Marshall dollars voor Indonesie atau Marshall Plan (Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche courant en Vrije Twentsche courant, 15-03-1949). Hal ini boleh jadi karena pemerintah Indonesia telah vakum setelah Soekarno dan Mohamad Hatta ditangkap dan diasingkan pasca pendudukan Djogjakarta Desember 1948. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo selama di Amerika juga berinteraksi dengan Mr. Matthew Fox (Fox Corp.) yang memainkan peran awal bisnis Amerika Serikat di Indonesia (dalam perdagangan dan juga potensi pertambangan). Bagi orang Belanda, Fox adalah lawan mereka di Indonesia. Disebutkan ada satu perjanjian yang disebut Perjanjian Fox dengan komposisi 51 persen dan 49 persen untuk Indonesia. Disebutkan bahwa pada  tanggal 10 Februari 1949, seorang juru bicara dari Departemen Luar Negeri (Amerika Serikat?) menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan Fox Corp, karena monopolistik dan (karena itu) sekarang ada ‘blokade’ dari Belanda (De vrije pers: ochtendbulletin, 16-05-1949). Apakah sejak ini telah dimulai Amerikanisasi menggantikan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda? Dan, apakah sejak ini munculnya ide penguasaan Freefort? Yang jelas keberadaan Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di Amerika Serikat menjadi perwakilan Indonesia yang strategis bagi Amerika Serikat meski Pemerintahan RI dalam kondisi vakum. Akhirnya, setelah gencatan senjata antara RI dan militer Belanda dalam persiapan konferensi (KMB di Den Haag) pemerintah Indonesia semakin aktif kembali di Djogjakarta. Dalam fase sejumlah (perwakilan) pemerintah Indonesia di luar negeri diminta kembali (pulang) ke Djogjakarta (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 14-07-1949). Disebutkan pemerintah Republik telah memanggil perwakilan ekonomi di United Staden (Washington?), Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, dan perwakilan republik di Dewan Keamanan PBB (London?), N. Palar, ke Djokja, serta Menteri Luar Negeri dalam pemerintahan darurat, Mr. AA Maramis (New Delhi?)’. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo termasuk salah satu bagian dari delegasi RI ke konferensi KMB di Den Haag (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 09-09-1949). Disebutkan, ‘Setelah pendirian kedaulatan di Indonesia, perhatian pertama kami adalah mengembalikan orang ke tempat kerja: membangun tempat untuk mengembangkan ekonomi’ kata Soemitro Djojohadikoesoemo, ahli keuangan republikan dan anggota delegasi republik di RTC’. Pimpinan delegasi RI adalah Mohamad Hatta (Wakil Presiden), ketua penasehat ekonomi adalah Abdoel Hakim Harahap (Residen Tapanoeli) dan dalam barisan penasehat ekonomi termasuk ahli keuangan Soemitro Djojohadikoesoemo. Mereka bertiga ini, dulunya adalah alumni sekolah elit Prins Hendrik School di Batavia yang mana Mohamad Hatta lulus 1921, Abdoel Hakuim Harahap lulus 1927 dan Soemitro Djojohadikoesoemo lulus tahun 1935. Abdoel Hakuim Harahap adalah kepala kantor ekonomi di Groot Indie (bacaL Indonesia Timur) yang berkedudukan di Makassar sebelum terjadinya pendudukan Jepang.

Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda dan terbentuknya pemerintahan RIS (sejak 20 Desember 1949), Untuk mengisi formasi departmen Ecomische Zaken (Departemen Kemakmuran) telah disusun dan diangkat sejumlah pejabat (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 31-12-1949). Di dalam daftar ini untuk Dir. Gen. van het Planbureau (Dirjen Perencanaan) diangkat Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Namun pemerintahan RIS tidak bertahan lama dan kembali ke NKRI. Ini bernula karena hasil KMB yang mana pemerintahan dengan bentuk RIS (yang beribukota di Djakarta) yang mana Mohamad Hatta sebagai Perdana Menteri. Lalu di Djogjakarta muncul pemerintahan sendiri RI yang mana sebagai Wakil Perdana Menteri Abdoel Hakim Harahap.Setelah terjadinya gerakan NKRI di Medan, Soekarno membubarkan RIS dan membentuk NKRI (Kabinet Natsir). Pemerintahan RI juga membubarkan diri. Dalam struktur kabinet baru ini terkesan sebagai orang-orang Republiken di Djogjakarta, yakni: Perdana Menteri Mohamad Natsir; Wakil Perdana Menteri Soeltan Hamengkoeboewono; Menteri Dalam Negeri Assat (eks Presiden RI di Djogjakarta). Dengan kata lain inilah kemenangan kaum RepubIiken (NKRI) terhadap kaum federalis (RIS). Soemitro Djojohadikoesoemo dalam Kabinet Natsir ini diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Kabinet Natsir berlangsung 6 September 1950 tetapi telah menandai awal pemerintahan NKRI (hingga sekarang), Sementara Mohamad Hatta kembali menjadi Wakil Presiden (mendampingi Ir. Soekarno). Sedangkan Abdoel Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara pada tanggal 25 Januari 1951.

Itulah riwayat awal Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D. Ini pula yang menjadi riwayat awal tiga alumni sekolah elit Prins Hendrik School di Batavia, HBS Afdeeling-B (sosial dan budaya): Mohamad Hatta, Abdoel Hakim Harahap dan Soemitro Djojohadikoesoemo sendiri

Lantas kemana Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo pergi meninggalkan tugasnya sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Menurut laporan yang belum dikonfirmasi sebagaimana diberitakan surat kabar Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1957, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo akan tinggal di Singapura selama beberapa minggu setelah ia menghabiskan beberapa waktu di Padang. Ada apa gerangan yang terjadi?

Di Midden Sumatra, tanggal 20 Desember 1956 telah terjadi peristiwa kudeta pemerintah pusat, yang mana Letkol Ahmad Hoesein, kepala resimen di Midden Sumatra merebut kekuasaan Roeslan Moeljohardjo, Gubernur Midden Sumatra yang berkedudukan di Bukittinggi sebagai representasi pemerintah pusat. Jika Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo diduga sudah ke Padang, itu berarti dilakukan setelah tanggal 20 Desember 1956. Ketidakhadiran Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di kampus sudah terindikasi pada bulan April 1957 yang mana Djoko Soetono sudah menjadi pejabat dekat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-04-1957). Apakah ada kaitan pernyataan Presiden Universitas Indonesia, Prof. dr. Bahder Djohan (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-02-1957) dengan menghilangnya Prof, Soemitro. Presiden Universitas Indonesia, Bahder Djohan mengatakan bahwa semua profesor Indonesia akan keluar jika pemerintah memutuskan untuk memisahkan Fakultas Teknik dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam dengan membentuk universitas baru di Bandung. Dan apa pula makna pengumuman Prof Bahder Djohan yang mengatakan bahwa mantan Presiden Universitas Indonesia, Prof. Mr Soepomo, Ph.D telah kembali ke kampus Universitas Indonesia.

Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo hingga bulan Oktober 1957 paling tidak telah menghilang dari kampus selama enam bulan. Itu waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pemerintah melalui  Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan membuat panggilan terakhir (ultimatum) melalui radio untuk Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusunio, Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia untuk melanjutkan posisinya sebagai Dekan. Batas waktu panggilan terakhir ini 10 hari sejak hari Kamis malam (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-10-1957). Disebutkan Kementerian Pendidikan akan mengambil langkah yang tepat terhadap Prof, Soemitro jika, setelah berakhirnya sepuluh hari ini, sejak 10 Oktober 1957. Panggilan radio ini disiarkan oleh Radio Djakarta dan ditujukan ke Midden Sumatra atau Menado, dimana menurut anggapan Kementerian Pendidikan, Prof. Sumitro saat ini tinggal. Dalam panggilan ini dan panggilan sebelumnya tidak menyebutkan jaminan apapun untuk Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo.

Dalam beberapa bulan terakhir ini telah terjadi dinamika politik yang sangat cepat. Wakil Presiden Mohamad Hatta telah ‘pecah kongsi’ dengan Presiden Soekarno. Wakil Presiden Mohamad Hatta telah meletakkan jabatannya terhitung tanggal 1 Desember 1956. Satu surat kabar di Djakarta menulis dalam catatan pojok dengan bunyi berikut: ‘Dwi Tunggal: Tanggal Tunggal, Tinggal Tunggal’. Beberapa hari kemudian setelah dwi tunggal retak terjadi kudeta di Bukittinggi pada tanggal 20 Desember 1956 yang dilakukan oleh Letkol Ahmad Husein terhadap Gubernur Midden Sumatra, Roeslan Moeljohardjo. Hanya satu orang yang paling bersedih dengan retaknya dwitunggal tersebut, yakni Parada Harahap. Jika kembali ke masa lampau pada tahun pendirian PPPKI, Parada Harahap, sekretaris PPPKI yang juga menjadi kepala kantor gedung PPPKI, hanya tiga foto yang dipajang Parada Harahap di dinding ruang pertamuan, yakni: Diponegoro, Soekarno dan Mohamad Hatta. Saat ini, Parada Harahap sudah pensiun. Parada Harahap pensiun setelah dua putrinya menjadi sarjana dan salah satu lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1956. Kedua putri Parada Harahap tersebut telah menikah tahun 1957.

Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo meninggalkan jabatannya sebagai Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, setelah Mohamad Hatta menanggalkan jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Apakah ada kaitan antara Soemitro Djojohadikoesoemo dan Mohamad Hatta? Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tepatnya meninggalkan jabatan sebagai Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia setelah Kabinet Boerhanoedin Harahap dibubarkan pada tangga 3 Maret 1956. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tidak berada di kampus lagi saat Prof. Dr. Dra. GC Schuil diresmikan sebagai guru besar dalam ilmu akuntansi di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-04-1957). Apakah ada kaitan antara Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo dan Mr. Boerhanoedin Harahap?
: ‘
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo pernah menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 27 April 1951). Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952). Namun pada Kabinet Soekiman ini, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo mengundurkan diri (Nieuwsblad van het Noorden, 02-08-1951). Disebutkan Prof. Soemitro, tidak setuju dengan sikap lalai dari pemerintah versus kesulitan ekonomi saat ini. Prof Soemitro menyatakan: Hanya sebuah kabinet nasional yang kuat, yang membawa kepentingan negara dan orang-orang ke hati, akan mampu mengatasi situasi saat ini. Tanah ini menderita karena hal-hal yang belum dilakukan di bawah pemerintahan Dr Sukiman saat ini. Hanya aksi yang kuat dan berani yang dapat menghentikan agitasi dan infiltrasi komunis di serikat-serikat buruh muda Indonesia. Kurangnya tekad dan kegagalan untuk mengambil langkah oleh pemerintah memberikan banyak kesempatan untuk agitasi oleh minoritas komunis. Prof. Soemitri sekarang bermaksud untuk mendedikasikan dirinya untuk membangun koperasi ekonomi dan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo kembali menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 30 Juli 1953); dan kembali menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Boerhanoedin Harahap (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956).

Ketidakhadiran Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di kampus menjadi berlarut-larut. Lalu kemudian Kementerian Pendidikan mengultimatum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo selama 10 hari sejak sejak 10 Oktober 1957. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sendiri sejatinya adalah orang Indonesia tiada duanya dalam urusan ekonomi. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tidak hanya diultimatum oleh Kementerian Pendidikan yang membawahi Universita Indonesia; Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebelumnya telah menjadi buronan militer.

Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo adalah salah satu ekonom Indonesia saat itu yang paling berkompenten. Tentu saja jumlahnya sangat langka. Ekonom lainnya adalah Mohamad Hatta, yang kini telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Ekonom Indonesia pertama adalah Dr. Samsi meraih gelar doktor pada tahun 1923 di Handelshoogeschool Rotterdam (doktor ekonomi Indonesia pertama). Di kampus ini Mohamad Hatta pada tahun 1921 register dan pada tahun 1935 register Soemitro Djojohadikoesoemo (meraih doktor tahun 1943). Ahli ekonomi sejauh ini termasuk ahli yang cukup langka sebagaimana ahli teknik kimia. Insinyur teknik kimia Indonesia yang pertama adalah Ir. Soeracham (Presiden Universitas Indonesia yang pertama, 1950-1951). Sedangkan insinyur teknik kimia yang kedua yang juga lulusan Delf adalah AFP Siregar MO Parlindoengan. Ir. Soerachman telah tiada, meninggal dunia pada tahun 1952. Hanya tinggal MO Parlindoengan alumnik teknik kimia Delf. MO Parlindoengan saat ini adalah Direktur Perusahaan Sendjata dan Mesioe di Bandoeng (kini dikenal PT. PINDAD).

Ketidakhadiran di kampus adalah satu hal, dan ketidakhadiran Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di dalam hal ekonomi Indonesia adalah hal yang lain lagi. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menjadi suatu dilema. Kehilangan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sangat merugikan Universitas Indonesia umumnya dan Fakultas Ekonomi khususnya. Yang tidak boleh dilupakan juga menghilangkan kesempatan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universita Indonesia untuk menyerap ilmu yang dimiliki oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, sebagai ekonomi kaliber internasional.

Setelah tidak menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Natsir, nama Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo masih tetap jaminan mutu. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tetap dirangkul sebagai penasehat Kementerian Urusan Ekonomi, orang Indonesia di Javaasch Bank, anggota perencanaan negara dan anggota dewan ekonomi keuangan. Namun entah mengapa di era Kabinet Soekiman semua itu dilepaskan oleh  Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo (lihat De Volkskrant, 03-08-1951). Pada kabinet berikutnya Kabinet Wilopo, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo kembali diangkat sebagai menteri yakni Menteri Keuangan. Saat menjabat  Menteri Keuangan ini Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo situasi dan kondisi keuangan Indonesia tengah memburuk. Kehadiran Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tidak bisa ditinggalkan. Ini terlihat ketika ada sidang tahunan IMF di Meksiko City yang merupakan tahun dimana Indonesia akan mengajukan diri sebagai anggota, hanya mengirm delegasi kecil yang dipimpin oleh setingkat Bendahara Umum Kementerian Keuangan (Trouw, 30-08-1952). Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tidak bisa meninggalkan Indonesia. Awalnya adalah keinginan Menteri Soemitro untuk secara pribadi pergi ke pertemuan ini. Namun, sulitnya posisi keuangan dan ekonomi Indonesia, tidak membenarkan perjalanan ke luar negeri, menurut menteri, Situasi keuangan domestik tidak memungkinkan absennya beberapa minggu, yang tentu saja tidak juga dapat terlibat dalam pertemuan IMF. Perwakilan Indonesia meninggalkan Jakarta via Amerika Serikat pada 26 Agustus. Satu hal yang menjadi persoalan genting negara adalah bahwa pemerintah telah defisit sebesar $4 Juta. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo melihat masalah ini muncul karena tidak adanya koordinasi antar kementerian. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo mengujukan untuk dilakukan koordinasi (De Volkskrant, 10-12-1952). Disebutkan ada beberapa kementerian yang melakukan pengelolaan anggaran sendiri. Oleh karena tidak adanya kordinasi antar departemen yang menyebabkan penggunaan anggaran menjadi membengkak. Dengan koordinasi diharapkan akan tercipta efisiensi. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menerapkan kebijakan pemotongan anggaran.

Dalam kabinet berikutnya Kabinet Ali Sastroamidjojo (sejak Juli 1953), Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo digantikan oleh Dr. Ong Eng Die (mantan Menteri Muda Keuangan di era Kabinet Sjarifoeddin Harahap, 1947-1948). Dalam kabinet ini kebijakan pemotongan anggaran tidak diterapkan, Defisit anggaran kemudian membengkak lagi (De Volkskrant, 27-11-1953). Kebijakan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo selalu dijadikan kambing hitam dalam kabinet ini (De Volkskrant, 02-02-1954). Ekonomi keuangan Indonesia terus menurun. Para analisis menyimpulkan tidak ada yang berani melakukan gebrakan, kecuali Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia yang dianggap sebagai satu-satunya yang menjalankan kebijakan rehabilitasi ekonomi Indonesia sejak kemerdekaan dengan program penghematan (De Volkskrant, 12-03-1955). Catatan: Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D dan Dr. Ong Eng Die, Ph.D sejatinya sudah lama saling kenal. Mereka berdua ekonom Indonesia yang pulang ke tanah air pada tahun 1946 (era Kabinet Sjahrir). Keduanya sama-sama meraih gelar doktor (Ph.D) di tahun 1943. Ong Eng Die lulus di Universiteit Amsterdam dan Soemitro Djojohadikoesoemo di Universiteit Rotterdam. Ong Eng Die lulus ujian doktoral tahun 1940 di Vrij Universiteit Amsterdam (Nieuwsblad van het Noorden, 01-06-1940). Lalu kemudian melanjutkan ke tingkat doktor dan berhasil meraih gelar doktor (Ph.D). Disertasi Ong Eng Die tentang Chineezen in Nederlandsch-lndie: Een sociographische over het economische, sociale en cultureele leven der Chineezen in Nederlandsche Indie (lihat Maandschrift van het Centraal Bureau voor de Statistiek = Revue mensuelle du Bureau Central de Statistique du Royaume des Pays-Bas, 30-06-1943). Ong Eng Die salah satu anggota delegasi ke perundingan Renville yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. Sebelumnya Soemitro Djojohadikoesoemo telah diutus oleh PM Amir Sjarifoeddin Harahap ke dewan keamanan PBB (De Gooi- en Eemlander : nieuws- en advertentieblad, 13-08-1947). Jadi Ong Eng Die (PNI) dan Soemitro Djojohadikoesoemo (PSI) pada masa ini semacam pertarungan dua pendekar ekonomi Indonesia di kancah politik.

Java-bode, 12-07-1955
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo yang sejak tahun 1953 bersama Prof. F. Weinreb memimpin Lembaga Penjelidikan Ekonomi dan Masjarakat digantikan oleh Drs. Widjojo Nitisastro (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-07-1955). Boleh jadi pergantian ini dikaitkan dengan semakin melemahnya Kabinet Ali (PNI) setelah ditinggalkan oleh Partai PIR dan semakin menguatnya peluang Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo untuk menduduki kembali Menteri Keuangan. Pemerintahan akan dipimpin oleh Masyumi. Dan memang terbukti Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundurkan  diri dan membubarkan kabinet yang paralel terbentuk kabinet baru pimpinan Boerhanoeddin Harahap.

Dalam Kabinet Boerhanoeddin Harahap ini Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo diproyeksikan sebagai Menteri Keuangan (kembali). Jelang  pengumuman Kabinet Boehanoeddin Harahap ini, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ketua Dewan PSI di Soerabaja di dalam rapat umum memberikan pidato tentang sebab kemiskinan di Indonesia (De nieuwsgier, 03-08-1955). Lebih lanjut Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo mengatakan bagian miskin dunia, termasuk milik Indonesia. Ini adalah tujuan populer untuk dua blok besar di dunia (Komunis dan Kapitalis), Menyadari hal yang penting itu posisi negara kita, kita harus memastikan bahwa negara kita bukan bola politik dari blok-blok ini, menurut Prof. Soemitro. Itulah mengapa kita tidak boleh lagi menidurkan diri dengan gagasan bahwa Indonesia itu kaya dan subur, Kekayaan yang didiskon dengan tenaga kerja yang besar tidak berarti apa-apa jika tidak ada juga kekuatan produktif. yang bisa meningkatkan taraf hidup rakyat. Kemiskinan bukanlah kehendak Tuhan, tetapi memiliki penyebab dibuat. Sebagai penyebab kemiskinan di Indonesia, Dr Soemitro menyebutkan kurangnya kapital dan sarana serta kurangnya pengetahuan dan wawasan. Karena ekonomi di semua bidang area ini dapat dikompensasikan. Berbicara tentang situasi saat ini, Prof. Soemitro mengatakan bahwa pemerintah sebelumnya berurusan dengan uang dengan tidak bertanggung jawab (dan seterusnya).

Akhirnya Wakil Presiden Mohamad Hatta menyatakan krisis kabinet berakhir hari ini dan Boerhanoeddin Harahap akan menjadi pimpinan kabinet baru (Trouw, 11-08-1955). Disebutkan bahwa Harahap, 38 tahun dari Masyumi mengatakan dari 23 posisi akan dibagi oleh 11 atau 12 partai. Disebutkan lebih lanjut Boerhanoeddin Harahap akan bertindak sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan. Untuk posisi menteri luar negeri diisi oleh mantan duta besar Indonesia di Prancis dan untuk Menteri Keuangan akan dipimpin oleh Prof. Soemitro (mantan Ketua LPEM, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia). Dalam kabinet ini ada tiga menteri negara, salah satu diantaranya Abdoel Hakim Harahap (di bidang pertahanan). Catatan: Abdoel Hakim Harahap adalah adik kelas Mohamad Hatta dan kakak kelas Soemitro dulu di era kolonial Belanda di sekolah elit Prins Hendrik School Batavia. Dalam pelantikan kabinet baru ini tidak hadir Presiden Soekarno dan pemimpin perwira Kolonel [Zulkifli] Loebis dan hanya dihadiri Wakil Presiden Mohamad Hatta (De Volkskrant, 13-08-1955).

Sejak tahun 1952 tidak ada Kepala Staf, karena Kolonel Abdoel Haris Nasoetion dipecat karena melakukan demostrasi 17 Oktober 1952 di depan istana. Sejak kekosongan pimpinan militer tertinggi tersebut lalu diangkat Kolonel Zulkifli Lubis dengan  status Kepala Perwira. Presiden Soekarno memposisikan Lubis sebagai kepala perwira untuk jaga-jaga jika Nasution dan kawan-kawan melakukan kudeta. Untuk sekadar diketahui Zulkifli Lubis dan Abdoel Haris Nasution berasal dari kampung yang sama di Kotanopan. Pintar Soekarno. Memang ampuh. Kolonel Abdoel Haris Nasution terbukti berdiam diri di rumah sejak tahun 1952 tetapi meski demikian Abdoel Haris Nasution berhasil menulis buku Pokok-Pokok Gerilya (buku siasat perang gerilya yang legendaris). Pada tahun 1955 ini, Menteri Negara Abdoel Hakim Harahap dapat mendamaikan dua pimpinan perwira yang berseberangan ini. Abdoel Hakim Harahap sendiri di Tapanoeli dijuluki sebagai Residen Perang (Residen Tapanoeli yang ikut angkat senjata berperang melawan Agresi Militer Belanda kedua, 1948). Boleh jadi ini alasan Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap yang merangkap Menteri Pertahanan membutuhkan Menteri Negara yang menangani pertahanan untuk membantunya, membantu mendamaikan para perwira. Selain itu, boleh jadi Abdoel Hakim Harahap yang meminta kepada Boerhanoeddin Harahap agar dikembalikan Prof. Soemitro sebagai Menteri Keuangan. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tidak mewakili partai PSI (karena PSI tidak ikut) dalam kabinet tetapi diminta sebagai seorang profesional (lihat De Telegraaf, 13-06-1957).  Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo adalah adik kelas Abdoel Hakim Harahap dulu di Prins Hendrik School Batavia. Abdoel Hakim Harahap di tahun-tahun akhir era kolonial Belanda adalah kepala kantor ekonomi di Indonesia Timur yang berkedudukan di Makassar. Boleh jadi Abdoel Hakim Harahap mengetahui betul kapabiltas Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.

Sementara itu pers asing menyebut Boerhanoeddin Harahap memilih kembali Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo (lihat misalnya Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 23-08-1955). Disebutkan  Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo salah satu portofolio yang paling tanpa pamrih di Indonesia pada tahun 1955, yang dipimpin Prof. Dr Soemitro Djojohadikoesoemo (PSI), seorang ekonom kaliber internasional yang dalam bulan-bulan belakangan melancarkan kritik tajam kepada mantan Menteri Keuangan, Dr. Ong Eng Die’. Isu pokok kabinet Boerhanoeddin Harahap ini adalah kesuksesan dalam menyelenggarakan pemilihan umum yang bersih. Juga pengiriman delegasi ke perundingan Indonesia-Belanda untuk membicara dua permasalahan yang tersisa antara Indonesia dan Belanda yakni masalah perjanjian ekonomi dan keuangan; masalah irian Barat (De Telegraaf, 03-01-1956). Salah satu anggota delegasi ke perundingan di Jenewa adalah Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Selama di Swiss, delegasi Indonesia mengundang makan malam duta besar Amerika Serikat, duta besar Inggris dan duta besar India (De Volkskrant, 05-01-1956). Disebutkan anggota delegasi Belanda cemburu dan sedikit curiga. Het Parool, 07-02-1956 menulis hasil wawancara dengan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Disebutkan bahwa Prof. Zijlstra, Menteri Urusan Ekonomi Belanda yang menjadi anggota delegasi Belanda adalah adik kelas Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di Handelsecomiche Hoogeschool di Rotterdam. Juga disebutkan keduanya menjadi profesor di tahun yang sama. Dedikasinya dalam jabatan profesor, yang bahkan belum bisa ia tinggalkan meski sebagai menteri. Dia adalah dekan Fakultas Ekonomi di Djakarta. Sudah terhitung 2.000 mahasiswanya, sebanyak 300 diantaranya sudah mengikuti ujian. Soemitro mencoba untuk mengajarkan mahasiswa-mahasiwanya khususnya ekonomi Indonesia di pedesaan. Tidak ada yang diizinkan untuk melakukan ujian bersamanya jika ia tidak tinggal selama paling tidak tiga bulan dalam desa dengan biaya sepuluh rupiah per hari dan telah melakukan studi tentang kehidupan ekonomi masyarakat semacam itu (dan seterusnya: akan ditampilkan kemudian, red).

PNI telah melakukan konsolidasi di parlemen. Sebagaimana sebelumnnyaMasyumi dan PSI menekan PNI setelah keluar PIR dari koalisi yang kemudian terbentuk Kabinet Boerhanoedin Harahap. Kini, PNI yang menekan Masyumi sehingga muncul kompromi (PNI, Masyumi dan NU) yang mana Kabinet Boerhanoedin Harahap harus digantikan Kabinet Ali (kedua) dan diresmikan pada 3 Maret 1956. Dalam peresmian ini Ir. Soekarno dan Kolonel Abdoel Haris Nasution hadir sementara Mohamad Hatta tidak bersedia hadir. Oleh karena Soemitro tidak diakomodir di Kabinet Ali-II, maka dengan sendirinya Prof. Soemitro tidak bisa lagi melanjutkan program-program ekonomi dan keuangannya. Tiga setengah bulan setelah pergantian kabinet, Soemitro diberitakan berangkat ke Amerika Serikat (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1956). Disebutkan, mantan Menteri Keuangan di Kabinet Boerhanoeddin Harahap, Prof Soemitro Djojohadikoesoemo, yang saat ini dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, berangkat ke Amerika Serikat pada hari Senin. Prof. dr. Soemitro akan menghadiri seminar Merril Center for Economics selama sekitar enam minggu, dimana pemikiran akan dipertukarkan antara para ekonom dari seluruh dunia. Prof. dr. Soemitro akan ditunjuk sebagai anggota dari lima anggota ‘komite pengarah’. Setelah menghadiri seminar, Prof. Soemitro akan memberikan kuliah tamu di University of California di Berkeley. Setelah kunjungannya ke United States, Prof. Soemitro juga akan melakukan kunjungan ke Universitas Manchester di Inggris.

Satu hal yang dihasilkan Kabinet Borhanoeddin Harahap adalah sukses penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR (September 1955) dan pemilihan umum anggota Konstituante (MPR) pada bulan Desember 1955. Prof Soemitro Djojohadikoesoemo masih menjadi Menteri Keuangan saat dua golongan legislatif ini memulai kerjanya. Setelah pergantian kabinet pada bulan Maret 1956 lalu pada bulan Juni Prof Soemitro Djojohadikoesoemo ke Amerika Serikat. Sepulang dari luar negeri, Prof Soemitro Djojohadikoesoemo kembali ke kampus sebagai dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Pada bulan Januari 1957, setelah reses 48 hari, Majelis Konstituante pada tanggal 14 Januari di Bandung melakukan rapat pleno yang diikuti oleh 337 anggota dari 484 anggota konstituante. Sesuai Pasal 137, ayat (1) kuorum adalah 323. Rapat konstituante ini juga dihadiri oleh Perdana Menteri Ali Sastroadjojo, Wakil Perdana Menteri-1 Idham Chalid dan berbagai undangan lainnya (Het nieuwsblad voor Sumatra, 17-01-1957). Rapat hari Senin yang dimulai pukul 10 pagi yang dibuka dengan pidato Ketua Konstituante Mr. Wilopo. Dalam pembukaan ini Mr. Wilopo menjelaskan komposisi terakhir anggota Konstituante seperti jumlah yang hadir pada sesi terakhir sebeleum reses, anggota yang mengundurkan diri, anggota yang meninggal dunia. Mr. Wilopo juga mengumumkan anggota baru yang diangkat termasuk diantaranya Mr. Wongsonegoro (PIR); Prof. Mr. Hazairin Harahap (PIR); Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo (PSI); dan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo (PSI). Juga diinformasikan para anggota Masyumi dari Sumatera Barat tidak hadir di sesi pertama pada 14 Januari. Menurut sebuah telegram yang dikirim ke sekretariat oleh para anggota ini, situasi di Sumatera Barat tidak memungkinkan mereka untuk meninggalkan daerah itu. Catatan: Tanggal 20 Desember 1956.Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah di Bukittinggi dari Gubernur Roeslan Muljohardjo (sebagai awal krisis). Sebelumnya tanggal 1 Desember 1956 Wakil Presiden Mohamad Hatta meletakkan jabatan.

Sebagaimana sebelumnya, saat menjabat sebagai Menteri Keuangan, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tetap peduli dengan kampus sebagai dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Hal ini juga dilakukan tetap dilakukan oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo saat diangkat anggota majelis konstituante. Dalam fase ini di Djakarta ditangkap seorang direktur dari perdagangan China karena terlibat kasus ‘Hongkong Barter’ yang mencakup ratusan juta rupiah (Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 27-03-1957). Dari interogasi ini kemudian  dipanggil sejumlah orang untuk dimintai keterangan di Bandoeng oleh polisi militer. Diantara orang-orang yang dipanggil adalah Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Disebutkan, hari ini, Kepala Staf Tentara Indonesia, Mayor Jenderal [Abdoel Haris] Naspetion bahwa tentara dimaklumkan dengan kekuatan dibawah keadaan perang dan pengepungan akan memberantas korupsi di kalangan pemerintah. Menurut juru bicara komando militer setempat di Jakarta, para pihak dipanggil oleh penguasa militer di Bandoeng sehubungan dengan apa yang disebut skandal ‘Hong Kong-barter’. Dari interogasi di Bandoeng ini tidak diketahui kelanjutannya hingga muncul berita bahwa sudah dikeluarkan perintah penangkapan terhadap mantan Menteri Keuangan Prof. Soemitro (Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland,        21-05-1957). Disebutkan otoritas militer Indonesia mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap mantan Menteri Keuangan Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, atas tuduhan korupsi. Soemitro telah dipanggil beberapa kali oleh polisi militer di Bandoeng untuk didengar mengenai masalah ini, tetapi dia tidak pernah menanggapi panggilan-panggilan ini. Keberadaannya saat ini tidak diketahui.

Telegraaf, 13-06-1957
Beberapa hari kemudian Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo membuat penyataan di Padang (Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 28-05-1957). Disebutkan mantan Menteri Keuangan, Dr Soemitro Djojohadikoesoemo, yang mana surat perintah penangkapan telah dikeluarkan oleh otoritas militer di Jawa, saat ini berada di Padang di Sumatra Tengah. Dalam pernyataan yang dibuatnya hari ini, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo menyangkal permintaan maaf bahwa terlibat dalam malpraktek. Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo mengatakan tidak mematuhi panggilan dari otoritas militer untuk ditanyai karena dia menolak untuk tunduk pada ‘wilekeurige tyrannie’. Juga disebutkan Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo tiba di Padang 14 hari yang lalu. De Volkskrant, 08-06-1957 memuat berita yang bersumber dari kantor berita AP di Singapoeralis 7 Juni bahwa mantan Menteri Keuangan, Dr Soemitro Djojohadikoesoemo, yang dicari oleh polisi militer Indonesia, melarikan diri dari Djakarta dan bergabung dengan gerilyawan Sumatra. Ini dikatakan dalam sebuah pernyataan bahwa itu (surat pernyataan) diselundupkan ke Singapura. Dalam pernyataan ini dia menuduh pemerintah Indonesia tirani dan penyalahgunaan kekuasaan. Dia mengatakan bahwa dia telah melarikan diri dari ibukota pada tanggal 8 Mei: ‘Saya telah menggabungkan kekuatan yang dengan jujur berjuang untuk kesejahteraan dan kemajuan rakyat kami’ kata pernyataan itu. De Telegraaf, 13-06-1957 juga memmuat hasil wawancara korespondennya dengan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di Padang yang pada intinya menjelaskan mengapa bergabung dengan lawan-lawan Soekarn. Juga keterangan tentang dia telah dipanggil ke Bandoeng dua kali. Interogasi pertamanya terjadi pada 26 Maret 1957 dan pada akhir interogasi dia diberitahu bahwa tidak ada alasan untuk menangkapnya. Lalu kemudian ia berangkat ke Konferensi Ekonomi di Tokyo. Setelah kembali, ia dipanggil ke Bandoeng untuk wawancara kedua, itu terjadi pada tanggal 6 dan 7 Mei 1957. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan dana dan sumbangan partai untuk kampanye pemilihan, dana apa pun, dikelola oleh Dr. Soemitro, dan pinjaman yang diberikan kepadanya sebagai Menteri Keuangan di era Kabinet Burhanoddin Harahap.

Inilah alasannya mengapa Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo diketahui pada bulan April 1957 tidak lagi menghadiri sebuah kegiatan penting di kampus Fakultas Ekonomi, Universita Indonesia tetapi telah diwakili oleh seorang pejabat dekan, Djoko Soetono (Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-04-1957). Menurut berita Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo diduga telah pergi ke Padang. Sejak itu Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo yang mulai menjabat dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia 1951, tidak pernah kembali ke kampus dan bahkan pada bulan Oktober 1957 Kementerian Pendidikan mengultimatum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo layaknya seorang buronan.

Saat Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo sudah diketahui berada di Sumatra (PRRI), Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-10-1957 melaporkan Ford Foundation yang berbasis di New York telah mengalokasikan anggaran untuk Indonesia. Besarnya dana dari Ford Foundation tersebut sebesar $162.790 diberikan kepada Institut untuk pelatihan dosen Fakultas Teknik di Bandoeng dan untuk bantuan pelatihan teknis lainnya; bantuan juga diberikan sebesar $77.000 untuk beasiswa studi ke University of California dan untuk staf peneliti dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan untuk staf peneliti dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta juga mendapat bantuan sebesar $5.000 untuk memperluas penelitian dan untuk Fakultas Ekonomi.

Siapa yang mendapat beasiswa untuk studi ke University of California at Berkeley dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia adalah calon-calon ekonom Indonesia kelak. Mereka itu adalah sarjana-sarjana baru di Fakultas Ekonomi yang notabene sebagai penerus Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Apakah dana hibah dari Ford Foundation merupakan upaya dari Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo? Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1956 pernah memberitakan Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo berangkat ke Amerika Serikat untuk menghadiri seminar yang diadakan Merril Center for Economics. Prof. Dr. Soemitro sebagai anggota dari lima anggota Komite Pengarah. Setelah menghadiri seminar, Prof. Soemitro akan memberikan kuliah tamu di University of California at Berkeley.

Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo telah menjadi bagian dari PRRI. Itu berarti Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo telah menjadi musuh pemerintah pusat. Dalam hal ini, pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan) sebagai pemilik Universita Indonesia akan dengan sendirinya memecat Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai guru besar di Universitas Indonesia.

Akhirnya pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang diproklamirkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dalam daftar yang beredar di berbagai surat kabar Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo menjadi anggota kabinet PRRI yang dipimpin oleh Sjafroedin Prawiranegara.

Untuk pengganti Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo diangkat Prof. Djoko Soetono pada tahun 1958. Selama posisi Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo belum begitu jelas (karena PRRI), Djoko Soetono paling tidak sejak April 1954 sudah menjadi pejabat dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Prof. Djoko Soetono sendiri bukanlah seorang ekonomi melainkan ahli hukum. Sebelumnya,  Prof. Mr. Djoko Soetono adalah dekan Fakultas Hukum dan Sosial.  Prof. Mr. Djoko Soetono diangkat sebagai dekan Fakultas Hukum dan Sosial pada tahun 1950 (lihat De vrije pers : ochtendbulletin, 13-12-1950).

Djoko Soetono diterima di Rechts Hoogeschool Batavia tahun 1926. Pada tahun 1927 Raden Djoko Soetono lulus ujian kelas satu (Bataviaasch nieuwsblad, 18-07-1927). Lulus ujian kelas dua pada tahun 1928 (De Indische courant, 20-12-1928). Djoko Soetono lulus ujian pertama tingkat doktoral (De Indische courant, 20-08-1934).     Djoko Soetono berhasil ujian doktoral tingkat dua pada tahun 1936 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-08-1936). Djoko Soetono lulus ujian doktoral tingkat tiga (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-12-1938). Doktoral tingkat tiga setara dengan gelar doktor (Ph.D). Pada tahun 1938 yang meraih gelar Ph,D di Rechts Hoogeschool Batavia adalah Dr. Hazairin Harahap, Ph.D. Djoko Soetono adalah dosen di Universitas Gadjah Mada tahun 1946 (De waarheid, 26-11-1946). Pada saat perjanjian Linggarjati, Djoko Soetono memberikan analisis hukum terhadap isi perjanjian yang telah dibuat oleh delegasi Indonesia dan Belanda. Pada tahun 1950 Djoko Soetono diangkat sebagai dekan Fakultas Hukum dan Sosial di Universitas Indonesia. Dalam pelantikan Prof. Dr. H. Th. Chabot sebagai guru besar Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyrakat di Makassar turut dihadiri oleh Presiden Universitas Indonesia Prif. Mr. Soepomo, Ph.D, Wakil Presiden Universitas Indonesia Prof. Mr. Wisaksono dan dekan Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Prof. Mr. Djoko Soetnono (De vrije pers: ochtendbulletin, 14-10-1952). Prof. mr. R. Djokosoetono sebagai dekan Akademi Hukum Militer. Akademi ini dipersiapkan sejak tahun 1952  (De nieuwsgier, 30-10-1953). Disebutkan direktur akademi adalah Mr. Basaroedin Nasution. Salah satu pengawas Akademi Hukum Militer ini adalah General Majoor TB Simatoepang, Kepala Staf Angkatan Perang RI. Pada tahun 1956, Djoko Soetono masih sebagai dekan Akademi Hukum Militer (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-10-1956). Disebutkan Akademi Hukum Militer melakukan wisuda pertama. Pemerintah pusat mengirim delegasi ke Sumatra Tengah setelah kudeta yang terjadi di Bukittinggi untuk menghubungi militer yang mengabilalih pemerintahan. Soekarno telah meminta pendapat hukum kepada Prof, Djoko Soetono terhadap kasus pengambilalihan ini.(Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad, 22-12-1956).

Tidak lama setelah diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), di kampus Universitas Indonesia terjadi pergantian pimpinan. Presiden Universitas Indonesia Prof. Bahder Djohan digantikan oleh Presiden Universitas Indonesia yang baru Prof. Soedjono Djoened Poesponegoro (dekan Fakultas Kedokteran). Pergantian ini dilakukan pada bulan Maret 1958.

Soedjono Djoened Poesponegoro adalah angkatan pertama perguruan tinggi kedokteran Geneeskundige Hoogeschool di Batavia tahun 1927 (sebelum ditingkatkan statusnya sekolah kedokteran Batavia disebut STOVIA). Soedjono Djoened Poesponegoro lulus dan mendapat gelar dokter pada tahun 1934. Pada tahun 1934 Soedjono Djoened Poesponegoro melanjutkan pendidikan kedokteran ke Belanda dan tahun 1935 mendapat gelar dokter di Utrecht. Soedjono Djoened Poesponegoro langsung melanjutkan pada tingkat doktoral dan meraih gelar doktor (Ph.D) dari Universiteit Leiden pada bulan Mei 1938 dengan disertasi berjudul ‘Het glucose-, melkzuur- en chloridengehalte van den liquor cerebrospinalis bij meningitides’ (Algemeen Handelsblad, 13-05-1938). Dr. Soedjono Djoened Poesponegoro, Ph.D telah menambah daftar orang Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph.D). Orang Indonesia pertama peraih gelar doktor di bidang kedokteran adalah Dr. Sarwono, Ph.D pada tahun 1919 dan perempuan Indonesia pertama peraih gelar doktor (Ph.D) adalah Dr. Ida Loemongga Nasution. Ph.D pada tahun 1931 di Utrecht. Untuk gelar sarjana kedokteran (dokter) diraih Ida Loemongga di Universiteit Amsterdam tahun 1927.

Lalu muncul pertanyaan: mengapa Presiden Universitas Indonesia Prof. Bahder Djohan harus digantikan sebelum waktunya pada bulan Maret 1958? Apakah penggantian ini terkait dengan pernyataan Bahder Djohan yang menolak pemisahan Universitas Indonesia dengan membentuk universitas di Bandoeng? Entahlah.

Yang jelas itu wewenang Pemerintah Pusat yang dalam hal ini Kementerian Pendidikan. Pada tanggal  9 April 1957 telah terjadi pergantian kabinet dari Kabinet Ali-II yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo ke kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ir. Djoeanda Djuanda Kartawidjaja dengan mengangat Prijono sebagai Menteri Pendidikan.

Prof. Bahder Djohan diganti diganti pada Kabinet Djoeanda pada bulan Maret 1958.  Prof. Bahder Djohan diangkat sebagai Presiden Universitas Indonesia pada bulan Maret 1954. Ini berarti Prof. Bahder Djohan baru menjabat selama tiga tahun (yang normalnya pengangkatan/kembali dalam lima tahun). Saat pengangkatan Prof. Bahder Djohan sebagai Presiden Universitas Indonesia, posisi Menteri Pendidikan dijabat oleh Mohamad Jamin masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Untuk sebagai pembanding: Presiden Universitas Gadjah Mada masih dijabat oleh Prof. Dr. Sardjito, Ph.D (sejak 1949). Tampaknya, siapapun Menteri Pendidikan, Prof. Dr. Sardjito, Ph.D sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada akan tetap aman, sebab Prof. Dr. Sardjito, Ph.D memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno, bahkan sejak era kolonial Belanda.

Universitas di Bandoeng sudah diresmikan sejak September 1957 yang disebut Universitas Padjadjaran. Universitas di Bandoeng berdiri sendiri, bukan bagian dari dua fakultas yang menjadi bagian dari Universitas Indonesia. Proses pendirian universitas di Bandoeng ini bermula Januari 1947 (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1957). Disebutkan pada pertemuan antara Menteri Pendidikan dan stafnya, Gubernur Jawa Barat Sanoesi Hardjadinata, perwakilan dari Universitas Indonesia dan komite untuk pembentukan sebuah universitas negeri di Bandung telah sepakat untuk mendirikan universitas negeri yang baru pada pertengahan tahun 1957. Pada tanggal 6 Januari 1957, panitia akan mengadakan pertemuan untuk melaporkan kemajuan yang dicapai untuk mewujudkan pembentukan universitas negeri yang keenam. Namun sejauh ini yang dimaksud pembentukan universitas negeri yang keenam tersebut adalah dengan cara memisahkan dua fakultas yang ada di Bandoeng yang merupakan bagian dari Universitas Indonesia. Hal ini sudah barang tentu terkait dengan pernyataan dari Presiden Universitas Indonesia Prof. Bahder Djohan: ‘bahwa semua profesor Indonesia akan keluar jika pemerintah memutuskan untuk memisahkan Fakultas Teknik dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam dengan membentuk universitas baru di Bandoeng’ (lihat kembali Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-02-1957). Penolakan dari Prof. Bahder Djohan ini boleh jadi telah membuat pertimbangan baru untuk membentuk universitas negeri yang keenam tanpa mengikutsertakan dua fakultas Universita Indonesia yang berada di Bandoeng.

Presiden Universitas Indonesia yang baru Prof. Djoko Soetono jelas menghadapi tantangan yang lebih berat. Pada satu sisi suhu politik nasional sangat panas (PRRI vs Pemerintah Pusat) dan pada sisi lain wacana pemisahan dua fakultas yang menjadi bagian Universitas Indonesia terus bergulir. Pertimbangannya hanya semata-mata efisiensi: di satu pihak mengefektifkan ruang kerja Universitas Indonesia dan di pihak lain untuk meratakan jalan agar fakultas teknik dan fakultas ilmu alam lebih mandiri dan bersinergi satu sama lain dengan kemungkinan membuka fakultas-fakultas baru.

Fakultas Teknik di Bandoeng dibuka tahun 1920. Desain pendirian Technisch Hoogeschool di Bandoeng pada tahun 1920 sesungguhnya adalah copy paste Universiteit te Delf. Dekan (baca: Rektor) pertama Technisch Hoogeschool di Bandoeng adalah guru besar Universiteit te Delf.  Prof. Ir, J. Klopper yang ditunjuk komisi di Belanda lalu kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengukuhkannya sebagai Rektor (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Technische Hoogeschool te Bandoeng didirikan dengan satu fakultas Faculteit der Weg- en Waterbouwkande (opleidingtot civie-inganieur). Walau bukan mahasiswa pribumi pertama, Ir. Soekarno adalah lulusan pertama (bersama Ir. Anwari) Technisch Hoogeschool di Bandoeng pada tahun 1926. Technisch Hoogeschool di Bandoeng sebagai bagian dari Univesiteit van Indonesie di akhir era kolonial Belanda terbilang perguruan tinggi pertama karena dibuka tahun 1920. Pada pasca pengakuan kedaulatan RI, Technisch Hoogeschool di Bandoeng tetap termasuk bagian dari Universitas Indonesia. Sejak keberadaan fakultas teknik di Bandoeng tahun 1920, sejumlah mahasiswa Indonesia ada yang studi langsung  ke Belanda. AFP Siregar gelar MO Parlindoengan berangkat tahun 1937 dan setelah meraih gelar insiyur teknik kimia di Delf tahun 1942 pulang ke tanah air (saat pendudukan Jepang). Setelah pengakuan kedaulatan RI, MO Perlinddoengan diangkat menjadi Direktur Perusahan Sendjata dan Mesioe/PSM di Bandoeng. Mahasiswa asal Indonesia pertama di Universiteit Delf adalah R, Kartono (kakak RA Kartini) namun gagal tahun 1899 (dan beralih ke sastra). Baru kemudian Ir. Soerachman berhasil lulus di Delf tahun 1920 (berangkat studi tahun 1915). Setelah Ir. Soerachman menyusul Raden Mas Sarwedo. Namun pada tahun 1923 di Technische Universiteit Delft, Raden Mas Sarwedo dikabarkan meninggal dunia (lihat De Preanger-bode, 11-01-1923). Andaikan Mas Sarwedo hidup maka Mas Sarwedo akan lulus bersamaan waktunya dengan Soekarno di Technische Hoogeschool di Bandoeng. Ir. Soekarno lulus tahun 1926 di Bandoeng. Nama-nama alumni Technische Hoogeschool/Universiteit te Delft yang perlu dicatat adalah Masdoeki Oemar yang lulus pada tahun 1953, setahun sebelum MO Parlindoengan pension direktur PSM di Bandoeng. Masdoeki pada tahun 1957 ditunjuk sebagai Pemimpin Proyek Bendoengan Djatiluhur yang diselesaikannya pada tahun 1967. Pada tahun 1957 Raden Soewardi dinyatakan lulus di Technische Universiteit Delft pada bidang fisika (natuurkundig ingenieur) (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-11-1956). Setahun kemudian tahun 1957 dua lulusan baru Technische Universiteit Delft yakni insinyur galangan kapal F. Raden Mas Soejadi dan insinyur arsitektur pesawat Soegito (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 20-07-1957).

Akhirnya dua fakultas di Bandoeng yang menjadi bagian dari Universitas Indonesia dipisahkan dan dibentuk universitas sendiri yang disebut Institut Teknologi Bandoeng (ITB). Peresmian lembaga pendidikan tinggi ITB ini dilakukan pada tanggal 2 Maret 1959. ITB sendiri merupakan garis continuum dari Technisch Hoogeschool di Bandoeng yang dibuka tahun 1920. Sedangkan Fakultas Ilmu Alam baru dibentuk tahun 1947 (pada era perang kemerdekaan).

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-10-1947: ‘Faculteit exacte wetenschappen. Bandoeng, 2 Oktober (Aneta). Senin depan, di Bandoeng, fakultas ilmu eksakta dari Universitas Indonesia di Huygensweg No.2 akan dibuka secara resmi. Pada hari Selasa, kuliah dimulai dengan sekitar empat puluh mahasiswa. Fakulta baru ini sudah diberitakan pada bulan Maret (Nieuwe courant, 13-03-1947). Disebutkan dari Batavia, Pemerintah telah menyetujui pendirian nutuur-filosofische faculteit di Bandoeng. yang akan segera dibuka. Nama awalnya nutuur-filosofische faculteit telah bergeser menjadi faculteit exacte wetenschappen. Namun dalam perkembangannya berubah lagi menjadi de wis- en natuurkundige faculteit atau Fakultas Matematika dan Ilmu (Pengetahuan) Alam (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 01-09-1951). Sementara itu Fakultas Teknik juga terus berkembang. Setelah dibuka Departemen Teknik Sipil (Civiel Ir), Departemen Teknik Elektro, Teknik Pertambangan, Teknik Mesin (werktuigbouwkundig), Departmen Penera (Ijkers), Departemen Teknik Kimia (scheikunde) tahun 1950; kemudian dibuka Teknik Geodesi (De vrije pers: ochtendbulletin, 30-06-1950). Disebutkan jumlah mahasiswa yang memulai perkuliahan sebanyak 15 mahasiswa yang diikat dengan program beasiswa, jika telah lulus akan berkerja untuk pemerintah.

Dengan dipisahkannya dua fakultas yang ada di Bandoeng, Universitas Indonesia hanya menyisakan fakultas-fakultas yang ada di Djakarta dan Bogor: Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum; Fakultas Ekonomi; Fakultas Sastra di Djakarta dan Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan di Bogor. Sebelumnya Fakultas Kedokteran di Soerabaja telah dipisahkan dalam pembentukan Universitas Airlangga (1954) dan Fakultas Hukum di Makassar dalam pembentukan Universitas Hasanoedin di Makassar (1956).

Pada tahun 1940 Middelbare Landbouwschool dan Veeartsen School dilebur dan kemudian menjadi Landbouw Hogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian). Sementara itu. Fakultas Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940.dan memulai perkuliahan pertama pada tanggal 4 Desember 1940. Soerabaijasch handelsblad 28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian preliminary (kelas satu) di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte. Sejak 31 Oktober 1941 Sekolah Tinggi Pertanian di Bogor dikenal sebagai Landbowkundige Faculteit. Namun tidak lama kemudian terjadi pendudukan Jepang (1942), Pada tahun 1946 kembali datang Belanda (NICA). Pada Januari 1946 dibentuk universitas Nood-Universiteit van Nederlandsch Indie. Untuk menarik minat mahasiswa lama (sebelum pendudukan Jepang) dibuat kebijakan baru, karena sulitnya ekonomi dan pembiayaan bagi angkatan 1940 dan 1941 uang kuliah akan digratiskan (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 12-11-1946). Lalu kemudian pada tanggal 12 Maret 1947 Nood-Universiteit van Nederlandsch Indie diubah menjadi Universiteit van Indonesie (lihat Het nieuws: algemeen dagblad, 24-10-1947). Disebutkan Universiteit van Indonesie terdiri dari Fakultas Kedokteran (faculteiten der geneeskunde di Batavia, Fakultas Kedokteran Hewan dan Pertanian (faculteiten der dierengeneeskundie en van landbouw wetenschap) di Salemba 4 Djakarta. Selain itu terdapat Fakultas Hukum dan Sosial (faculteiten der rechts en sociale wetenschap) dan Fakultas Sastra dan Filsafat (faculteit der letteren en wijsbegeerte) di Wilhelminalaan 55 Djakarta. Fakultas lainnya adalah Fakultas Sains dan (faculteit der exacte wetenschap) dan Fakultas Teknik (faculteit van technische wetenschap) di Bandoeng. Iklan penerimaan Universiteit Indonesie, 24-10-1947

Pada bulan Desember 1947 ada wacana untuk memindahkan Universiteit van Indonesie dari Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor). Alasannya lebih banyak kesempatan perumahan daripada di ibukota yang penuh sesak. Akan tetapi, pertanyaan besarnya adalah dimana universitas itu ditempatkan. Lalu dibentuk suatu komite untuk melakukan studi kelayakan. Hasilnya tidak ada keberatan dari pemerintah (Belanda) untuk menggunakan Istana Buitenzorg sebagai kandidat universitas. Sejumlah professor dari Belanda sudah dikontak untuk bergabung. Pemindahan pertama akan dilakukan bagi Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan (landbouwkundige en de veterinaire faculteit) yang kebetulan dulunya berlokasi di Buitenzorg (Bogor). Namun tidak bisa direalisasi segera karena militer masih menjadikannya sebagai garnisum (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 16-12-1947). Situasi dan kondisi masih perang antara militer Belanda dengan militer/laskar Indonesia). Dalam perkembangannya, komite untuk persiapan Universiteit van Indoensie di Butenzorg (yang salah satu anggotanya Prof. Husein Djajanegara) membatalkan niat untuk pemusatan semua fakultas di Istana Buitenzorg karena terlalu sempit (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-04-1948). Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan sudah memulai aktivitas namun secara seremonial baru diresmikan pada tahun tanggal 20 November 1948. Peresmian Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan (faculteiten van landbouwwetenschap en van diergeneeskunde) ini berlangsung di gedung Umum Balai Penelitian Pertanian yang dihadiri senat Universiteit van Indonesie di Buitenzorg (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 13-11-1948). Namun perkuliahan belum efektif karena masih terjadi perang di sekitar Buitenzorg (De nieuwsgier, 22-11-1948). Untuk menyukseskan Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan di Buitenzorg pemerintah mengganggap perlu melakukan rekonstruksi gedung. Departemen PU (departement van Waterstaat en Wederopbouw) telah membuat kompetisi desain. Juri telah menentukan pemenang. Pemenang pertama dengan judul ‘A 365’ dari  Ingenieursbureau Ingeneger en Vrijburg di Bandoeng dan pemenang ketiga adalah dengan judul ‘Studie’ oleh Friedrich Silaban, directeur Gemeentewerken te Buitenzorg. Desain akan dipamerkan pada minggu pertama bulan Februari di Landbouw Hogeschool di Buitenzorg (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-01-1949).

Dalam perkembangannya, setelah ada peralihan dari Belanda ke Indonesia (1949) dibentuk Universiteit Indonesia tahun 1950. Presiden Universiteit Indonesia diangkat Ir. Soerachman yang diresmikan pada tanggal 2 Februari 1950. Lalu kemudian Universiteit Indonesia terdiri dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum dan Sosial, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sastra di Djakarta; Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Pertanian di Bogor; Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Alam di Bandoeng; Fakultas Kedokteran di Soerabaja dan Fakultas Hukum di Makassar.

Pada tahun 1963 Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Pertanian dipisahkan dari Universitas Indonesia dengan membentuk Institut Pertanian Bogor. Secara resmi Institut Pertanian didirikan pada tanggal 1 September 1963 dengan Presiden Prof. Dr. Sjarif Thajeb. Saat itu Prof. Dr. Sjarif Thajeb masih merangkap sebagai Ketua Presidium/Rektor Universitas Indonesia dan kemudian jabatan rektor Institut Pertanian Bogor didelegasikan kepada Prof. Dr. AJ Darman. Pada tahun 1964 Rektor Institut Pertanian Bogor dijabat oleh Prof. Dr. Ir. Tb. Bachtiar Rifai. Catatan: Terminologi Rektor dimulai tahun 1962.

Tb. Bachtiar Rifai diterima di Faculteit van Landbouwwetenschap van de Universiteit van Indonesië te Bogor tahun 1948. Pada tahun 1951 Tb. Bachtiar Rifai lulus ujian kelas tiga (De nieuwsgier, 09-02-1951). Lulus ujian kelas dua diantaranya Goenawan Satari. Pada tahun 1953 Bachtiar Rifai lulus ujian akhir dan mendapat gelar Insinyur (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-03-1953). Disebutkan Landbouwkundige Faculteit in Bogor telah meluluskan insinyur pertanian Indonesia pertama, Ir. Bachtiar Rifai. Dia telah ditunjuk sebagai asisten di fakultas ini. De nieuwsgier 01-06-1953 memberitakan Ir. TB Bachtiar Rifai diangkat berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan berlaku sejak 1 April 1953 sebagai asisten voor de afdeling landbouw-gemeenschappen van de Faculteit voor de landbouw van de Universiteit van Indonesie te Djakarta.  Sebelas tahun sejak pengangkatan Bachtiar Rifai menjadi Rektor Institut Pertanian Bogor.  Prof. Dr. Sjarif Thajeb sendiri adalah seorang dokter. Dr. Sjarif Thajeb lulusan sekolah kedokteran Djakarta di era pendudukan Jepang (suksesi STOVIA/Geneeskundige Hoogeschool).

Prof. Dr. AJ Darman adalah alumni sekolah kedokteran hewan. AJ Darman lulus dari sekolah kedokteran hewan di Bogor tahun 1932 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-05-1932). Disebutkan AJ Darman dan Hari Rajo Pane lulus ujian akhir di Nederlandsch Indische Veeartsen School te Buitenzorg. Setahun sebelumnya 1931, di Nederlandsch Indische Veeartsen School lulus ujian akhir F. Sihombing, Asoen dan Soedibio (De Indische courant, 11-06-1931). Setahun sebelumnya lagi, 1930 di Nederlandsch Indische Veeartsen School lulus ujian akhir antara lain Aboebakar Siregar, Soebardji dan Anwar Nasution (De Indische courant, 04-06-1930). Dr. Anwar Nasution adalah ayah dari Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution (Rektor IPB 1978-1987). Andi Hakim Nasution lahir di Batavia 30 Maret 1932, lulus HIS di Buitenzorg 1945, lulus sekolah menengah pertama tahun 1948, lulus sekolah menengah atas 1952 dan meraih Insinyur dari Fakultas Pertanian IPB, 1958.

AJ Darman, Hari Rajo Pane,  F. Sihombing, Asoen, Soedibio Aboebakar Siregar, Soebardji dan Anwar Nasution pada dasarnya terbilang sebagai lulusan Nederlandsch Indische Veeartsen School. Sebab pada tahun 1930 status Veeartsen School (syarat masuk setingkat SMP) telah ditingkatkan menjadi Nederlandsch Indische Veeartsen School (syarat masuk setingkat SMA). Veeartsen School sendiri didirikan tahun 1907. Siswa yang pertama dinyatakan lulus adalah JA Kaligis tahun 1910 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 31-10-1910). Siswa-siswa yang memulai studi dari tingkat pertama saat dibukanya Veeartsen School tahun 1907 baru lulus tahun 1912. Lantas mengapa JA Kaligis lulus tahun 1910. Ini karena pada tahun 1907 dua siswa di Lambouwschool pada tahun 1907 yang naik ke kelas dua ditransfer ke Veeartsen School untuk kelas dua (Lambouwschool didirikan 1903).  Salah satu diantara dua yang ditransfer tersebut adalah JA Kaligis. Pada bulan Agustus 1912 hanya satu siswa yang dinyatakan lulus yaitu Sorip Tagor (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-08-1912). Lalu kemudian Sorip Tagor diangkat sebagai asisten dosen (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-08-1912). Pada tahun 1913, Sorip Tagor diangkat lagi sebagai asisten dosen di Veeartsen School (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1913). Catatan: Pada tahun 1918 status Veeartsen School ditingkatkan dari persyaratan HIS menjadi MULO atau sederajat (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-05-1918). Sebelum Veeartsen School dibuka pada tahun 1907, pendidikan kedokteran hewan bagi pribumi dilakukan dengan program khusus (kursus dua tahun). Salah satu alumni kursus tersebut adalah Radja Prohoeman yang lulus tahun 1886. Pada tahun 1907 (saat Veeartsen School dibuka) dokter Radja Proehoeman diberitakan sebagai dokter hewan pemerintah di Padang Sidempoean (Bataviaasch nieuwsblad, 07-03-1907). Radja Proehoeman adalah ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D (meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam 1930).

Pada bulan Oktober 1913 Sorip Tagor berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar dokter hewan penuh (setara dokter hewan Belanda). Bulan Juni 1916, Sorip Tagor lulus dan diterima sebagai kandidat dokter hewan di Rijksveeartsenijschool, Utrecht (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916). Ini menandakan babak baru bagi pribumi untuk memulai studi kedokteran di negeri Belanda. Sorip Tagor menjadi pionir. Sorip Tagor lulus dari Rijksveeartsenijschool, Utrecht dan mendapat gelar dokter hewan (Dr) pada tahun 1920 (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1920). Sorip Tagor kembali ke tanah air dan diangkat sebagai dokter hewan di lingkungan istana Gubernur General.. Setelah lama nama JA Kaligis terdeteksi dengan kapal Grotius berangkat tanggal 31 Januari dari Batavia menuju Amsterdam (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Surat kabar Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 14-10-1920 memberitakan bahwa JA Kaligis salah satu dari mahasiswa yang lulus ujian bagian pertama di Utrecht. Ini berarti Dr. Sorip Tagor adalah pribumi pertama bergelar dokter hewan (saat itu dokter hewan ditulis dengan titel Dr). Sebagaimana halnya dengan Ir. Soerachman yang lulus di fakultas teknik kimia di Universiteit te Delf tahun 1920, para mahasiswa Indonesia telah mulai merambah ke fakultas-fakultas baru yang mana selama ini mahasiswa Indonesia di Belanda hanya di fakultas-fakultas kedokteran, hukum, sastra dan keguruan. Fakultas teknik (Ir. Soerachman) dan fakultas kedokteran hewan (Dr. Sorip Tagor) di Belanda merupakan dua tujuan baru mahasiswa Indonesia  untuk melanjutkan studi.

Dr. Sorip Tagor Harahap kelahiran Padang Sidempoean kelak lebih dikenal kakek (Ompung) dari Inez/Risty Tagor dan Deisti Astriani Tagor (istri Setya Novanto, Ketua DPR). Kelahiran Padang Sidempoean lainnya lulusan Veeartsen School te Buitenzorg yang berangkat studi ke Belanda adalah Dr. Tarip Siregar. Keberangkatan Dr. Tarip Siregar karena hadiah beasiswa yang diberikan pemerintah atas publikasi hasil penelitiannya dalam pemberantasan cacing pita pada ternak. Dr. Tarip Siregar berangkat ke Belanda tahun 1927. Dr. Tarip dinyatakan lulus ujian akhir dan mendapat gelar dokter (Dr) tahun 1930 di Veeartsenij Hoogeschool di Utrecht, Belanda (De Sumatra post, 07-10-1930). Cukup singkat karena hasil penelitiannya mendapat akselerasi di Utrecht. Hal ini yang membedakakan perbedaan masa studi Sorip Tagor (enam tahun) dengan masa studi Tarip Siregar yang hanya tiga tahun meski keduanya angkatan lama di Veeartsen School te Buitenzorg (Sorip Tagor lulus 1912 dan Tarip Siregar lulus 1914). Sorip Tagor berangkat studi ke Belanda tahun 1913 segera setelah lulus Veeartsen School te Buitenzorg, sementara Tarip Siregar baru berangkat tahun 1927 (setelah cukup lama berdinas dan banyak melakukan riset, seperti riset cacing pita pada sapi). Tarip Siregar berangkat studi ke Utrecht atas dasar hadiah (beasiswa) yang diberikan pemerintah karena sukses dalam penelitian lapangan. Setelah sempat bekerja di Belanda, baru pada tahun 1932, Dr. Tarip kembali ke tanah air dan atas permintaannya sendiri (karena sudah tidak muda lagi?) untuk ditempatkan di tanah kelahirannya di Padang Sidempuan (Residentie Tapanoeli). Dr. Tarip sangat terkenal di Taroetoeng, demikian juga di (pulau) Nias. Dr. Tarip telah melakukan penelitian dan telah menyelamatkan populasi babi di Nias dari penyakit. Ternak babi asal Nias tersebut telah dijamin oleh Dr. Tarip dan dapat dipasarkan ke Medan dan sebagian ke Singapoera.

Dr. AJ Darman setelah lulus di Veeartsen School te Buitenzorg tahun 1932 diangkat pemerintah sebagai dokter hewan pemerintah. Dr. AJ Darman ditempatkan di Kediri (lihat Soerabaijasch handelsblad, 24-07-1933). Dr. AJ Darman kemudian dipindahkan ke Probolinggo. Pada tahun 1939 Dr. AJ Darman dipindahkan ke Soengei-Penoe, Djambie (De Indische courant, 09-05-1939). Dr. AJ Darman dipindahkan lagi ke Pontianak (Bataviaasch nieuwsblad,     12-12-1940). Dr Darman, saat ini dokter hewan di Pontianak, telah ditunjuk sebagai dokter hewan kota di Medan (Soerabaijasch handelsblad, 05-08-1941). Sejak berakhirnya era kolonial Belanda nama Dr. AJ Darman belum ditemukan hingga akhirnya tercatat pada tahun 1963 sebagai Presidium/Rektor Institut Pertanian Bogor (Prof. Dr. AJ Darman). Boleh jadi selama tidak terdeteksi namanya di publik (1941-1963) mengabdi di almamaternya di eks Veeartsen School yang menjadi faculteit der lambouwskundige Universiteit van Indonesie (Universitas Indonesia) di Buitenzorg/Bogor.

Sejak 1963 Universitas Indonesia hanya terdiri dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum; Fakultas Ekonomi; dan Fakultas Sastra. Namun secara bertahap terjadi penambahan fakultas baru. Fakultas-fakultas baru tersebut adalah Fakultas Kedokteran Gigi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Fakultas Psikologi pada tahun 1960. Pada tahun 1964 dibentuk Fakultas Teknik dan tahun 1965 dibentuk Fakultas Kesehatan Masyarakat; lalu dibentuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 1968. Selanjutnya terbentuk Fakultas Ilmu Komputer tahun 1993; Fakultas Ilmu Keperawatan tahun 1995; Fakultas Farmasi tahun 2011; dan Fakultas Ilmu Administrasi tahun 2015.

Fakultas Kedokteran. Fakultas tertua yang secara historis dimulai dari sekeloh kedokteran tahun 1861 yang kemudian disebut Docter Djawa School, Pada tahun 1902 ditingkatkan dengan STOVIA. Lalu pada tahun 1927 ditingkatkan lagi menjadi Geneeskundige Hoogeschool, Sekolah Tinggi Kedokteran ini ketika dibentuk Universiteit van Indonesie tahun 1947 menjadi Faculteiten der Geneeskunde. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Universiteit van Indonesie diakuisisi oleh pemerintah yang secara resmi disebut Universiteit Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950. Faculteiten der Geneeskunde disebut Fakultas Kedokteran, Universita Indonesia (hingga sekarang).

Fakultas Hukum. Fakultas tertua kedua yang secara historis dimulai dari sekolah hukum pada tahun 1913 yang disebut Rechts School. Pada tahun 1924 sekolah hukum ini ditingkatkan menjadi Rechts Hoogeschool. Sekolah Tinggi Hukum ini ketika dibentuk Universiteit van Indonesie tahun 1947 menjadi Faculteiten der rechts en der sociale weten. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Universiteit van Indonesie diakuisisi oleh pemerintah yang secara resmi disebut Universiteit Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950. Faculteiten der rechts en der sociale weten disebut Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universita Indonesia. Lalu ilmu-ilmu sosial dipisahkan sehingga disebut Fakultas Hukum (hingga sekarang).

Fakultas Sastra. Fakultas tertua ketiga yang secara historis dimulai dari pembentukan Faculteit der letteren en wijsbegeerte tahun 1940. Sekolah Tinggi Sastra dan Filsafat ini menjadi bagian dari pembentukan Universiteit van Indonesie tahun 1947. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Universiteit van Indonesie diakuisisi oleh pemerintah yang secara resmi disebut Universiteit Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950. Faculteit der letteren en wijsbegeerte disebut Fakultas Sastra dan Filsafat, Universita Indonesia. Lalu ilmu-ilmu filsafat dipisahkan sehingga disebut Fakultas Sastra (hingga sekarang dengan nama Fakultas Ilmu Budaya).

Fakultas Ekonomi. Fakultas tertua keempat yang secara historis dimulai dari pembentukan Faculteiten der rechts en der sociale weten menjadi bagian dari pembentukan Universiteit van Indonesie tahun 1947. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Universiteit van Indonesie diakuisisi oleh pemerintah yang secara resmi disebut Universiteit Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950. Ilmu sosial ekonomi lalu dipisahkan dari Faculteiten der rechts en der sociale weten dengan membentuk Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (hingga sekarang dengan nama Fakultas Ekonomi dan Bisnis).

Fakultas Kedokteran Gigi. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1960 dengan nama Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia.

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1960 dengan nama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

Fakultas Psikologi. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1960 dengan memisahkan pendidikan psikologi dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia dengan nama Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia..

Fakultas Teknik. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1964 dengan nama Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.

Fakultas Kesehatan Masyarakat. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1965 dengan memisahkan ilmu-ilmu kesehatan masyarakat dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia dengan nama Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Fakultas yang secara historis dimulai dari pembentukan Faculteiten der rechts en der sociale weten menjadi bagian dari pembentukan Universiteit van Indonesie tahun 1947. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Universiteit van Indonesie diakuisisi oleh pemerintah yang secara resmi disebut Universiteit Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950. Ilmu-ilmu sosial dipisahkan tahun 1968 dengan membentuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (hingga sekarang).

Fakultas Ilmu Komputer. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1993 dengan nama Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia.

Fakultas Ilmu Keperawatan. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1995 dengan memisahkan pendidikan keperawatan dari Fakultas Kedokteran dengan nama Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia.

Fakultas Farmasi. Fakultas yang dibentuk baru tahun 2011 dengan memisahkan ilmu farmasi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dengan nama Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia.

Fakultas Ilmu Administrasi. Fakultas yang dibentuk baru tahun 2015 dengan memisahkan ilmu administrasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan nama Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.

Last but not least: Pada tahun 1953 Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo membentuk Lembaga Penjelidikan Ekonomi dan Masjarakat. Lalu pada tahun 1955 Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo digantikan oleh Drs. Widjojo Nitisastro (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-07-1955). Widjojo Nitisastro sendiri baru lulus tahun 1955 di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jika Fakultas Ekonomi diresmikan pada tanggal 18 September 1950, itu berarti Widjojo Nitisastro termasuk angkatan pertama Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Dengan kata lain, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo telah ‘melahirkan’ Widjojo Nitisastro yang langsung menggantikannya di Lembaga Penjelidikan Ekonomi dan Masjarakat sebagai direktur.

Departemen Sosial Ekonomi dipisahkan dari Faculteiten der Rechts en der Sociale Wetenchap (Fakultas Hukum dan Sosial) Universiteit Indonesia dan kemudian dibentuk Fakultas Eknomi, Universitas Indonesia yang diresmikan pada tanggal 18 September 1950. Tidak diketahui berapa jumlah mahasiswa terdaftar pada tahun pendirian Fakultas Ekonomi. Jumlah mahasiswa Fakultas Ekonomi pada tahun 1953 sebanyak 1.015 mahasiwa (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 17-02-1953). Jumlah mahasiswa terbanyak kedua di Universita Indonesia. Jumlah terbanyak terbanyak pertama adalah Fakultas Teknik di Bandoeng dengan 1.845 mahasiswa. Di bawah Fakultas Ekonomi adalah Fakultas Kedokteran di Soerbaja sebanyak 874 mahasiswa dan Fakultas Hukum dan Sosial di Djakarta sebanyak 857 mahasiswa. Pada Dies Natalis tahun 1955, Presiden Universitas Indonesia melaporakn jumlah mahasiswa yang register (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-10-1955). Disebutkan jumlah mahasiswa yang register di Fakultas Ekonomi sebanyak 581 mahasiswa. Jumlah mahasiswa yang register terbanyak di Fakultas Hukum sebanyak 669 mahasiswa (termasuk di Fakultas Hukum di Makassar). Di bawah Fakultas Ekonomi adalah Fakultas Teknik di Bandoeng sebanyak 565 mahasiswa. Presiden Universita Indonesia menyebutkan bahwa tingkat kelulusan tahun ini (1955) hanya Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan di Bogor yang terbilang memuaskan. Fakultas-fakultas lainnya tingkat kelulusan kurang dari 10 persen. Hasil yang paling buruk adalah Fakultas Ekonomi, yang tahun ini hanya meluluskan hanya tujuh mahasiswa (kira-kira dua persen). Salah satu mahasiswa yang lulus tahun 1955 tersebut adalah Drs. Widjojo Nitisastro dengan predikat Cum Laude.

Pada bulan Juni 1956 Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo berangkat ke Amerika Serikat (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1956). Disebutkan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo berangkat ke Amerika Serikat untuk menghadiri seminar yang diadakan Merril Center for Economics. Prof. Dr. Soemitro sebagai anggota dari lima anggota Komite Pengarah. Setelah menghadiri seminar, Prof. Soemitro akan memberikan kuliah tamu di University of California at Berkeley. Setahun kemudian Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-10-1957 melaporkan Ford Foundation yang berbasis di New York telah mengalokasikan anggaran untuk Indonesia. Disebutkan bahwa ‘besarnya dana dari Ford Foundation tersebut sebesar $162.790 diberikan kepada Institut untuk pelatihan dosen Fakultas Teknik di Bandoeng dan untuk bantuan pelatihan teknis lainnya; bantuan juga diberikan sebesar $77.000 untuk beasiswa studi ke University of California dan untuk staf peneliti dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia dan untuk staf peneliti dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta juga mendapat bantuan sebesar $5.000 untuk memperluas penelitian dan untuk Fakultas Ekonomi’.

Tidak diketahui secara jelas apakah ada kaitan antara kunjungan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo ke Amerika Serikat dan memberikan kuliah tamu di University of California at Berkeley tahun 1956 dengan alokasi dana dari Ford Foundation tahun 1957 ini. Yang jelas, Drs. Widjojo Nitisastro pada bulan September telah melanjutkan studi ekonomi dan demografi ke University of California di Berkeley. Drs. Widjojo Nitisastro lulus ujian dengan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1961 dengan desertasi berjudul ‘Migration, population growth and economic development: A case of the economic consequences of alterantive patters of inter-island migration’. Setelah lulus, Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D kembali ke tanah air dan kembali mengajar di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D telah menyamai seniornya, Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D yang meraih gelar doktor (Ph.D) di Universiteit Rotterdam pada tahun 1943. Boleh jadi Widjojo Nitisastro adalah ekonom keempat Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph,D). Sebelumnya, selain Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D juga Drs. Ong Eng Die, Ph.D pada tahun 1943 di Universiteit Amsterdam. Doktor pertama di bidang ekonomi diraih oleh Dr. Samsi Sastrawidagda di Universiteit Leiden pada tahun 1923. Orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) adalah Dr. Husein Djajadiningrat di Universiteit Leiden di bidang sastra pada tahun 1913. Sedangkan perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) adalah Dr. Ida Loemongga Nasution, Ph.D di Universiteit Utrecht di bidang kedokteran pada tahun 1931.

Pada bulan Oktober 1962,  Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D diangkat sebagau profesor di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Pada tahun 1964 Prof. Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D diangkat sebagai dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Prof. Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D menggantikan Prof. RS Soeria Atmadja.

Raden Soelaiman (RS) Soeria Atmadja di Economiche Zaken, dipindahkan dari Bandoeng ke Batavia sebagai Adviseur voor Volkscredietwezen en Coöperatie (Bataviaasch nieuwsblad, 22-03-1939). Pada tahun 1940 diangkat sebagai pegawai di Economisch Zaken (Bataviaasch nieuwsblad, 16-11-1940). Setelah pangakuan kedaulatan RI, pada era RIS tahun 1950 diangkat sebagai Kepala Bidang Organisasi (Hoofd Afd. Organitatie) di Economische Zaken (locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-01-1950). Disebutkan posisi Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di Econemiche Zaken adalah Directeur-Generaal van het Planbureau (Direktur Jenderal Perencanaan). Pada tahun 1954 RS Soeria Atmadja oleh Menteri Economische Zaken (Menteri Perekonomian) sebagai Presiden Direktur BRI yang baru (De vrije pers : ochtendbulletin, 15-06-1954). Sejauh ini sulit mencari informasi riwayat pendidikan RS Soeria Atmadja sebelum menjadi pegawai di Economische Zaken pada tahun 1939. Demikian, juga sulit mencari informasi tentang bagaimana proses perpindahan RS Soeria Atmadja dari Economische Zaken ke Universitas Indonesia; kapan diangkat sebagai profesor; dan bagaimana prosesnya menjadi dekan Fakultas Eknomi pada tahun 1962 untuk menggantikan Prof. Mr. Djoko Soetono. Namun yang jelas saat itu, sejak peristiwa PRRI, posisi Ir. Djoeanda sangat kuat di pemerintahan (sebagai Menteri Pertama). Sebagaimana diketahui Prof. Soemitro telah menjadi musuh pemerintah (berpihak ke PRRI). Apakah penempatan RS Soeria Atmadja di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia sebagai suatu strategi dari Ir. Djoeanda untuk memutus link antara Prof. Soemitro dengan Fakultas Ekonomi? Hal ini memang sulit dibuktikan karena minimnya data pendukung. Yang jelas kejadian yang mirip pernah terjadi ketika Wakil Presiden Mohamad Hatta dan Menteri Pendidikan Mohamad Jamin terkesan menempatkan Bahder Djohan di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia dan tidak lama kemudian Bahder Djohan diangkat sebagai Presiden Universitas Indonesia yang sudah lama lowong karena Prof. Soepomo telah ‘didubeskan’ ke Inggris.    

Pada saat menjadi dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia tahun1964, Prof. Widjojo Nitisastro mendirikan Lembaga Demografi. Dalam mendirikan lembaga demografi yang sesuai dengan bidang keahliannya ekonomi dan demografi, Prof. Widjojo Nitisastro dibantu oleh Nathanael Iskandar, Kartomo Wirosoehardjo dan Kartono Gunawan. Direktur Lembaga Demografi yang pertama adalah Nathanael Iskandar.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) dan Lembaga Demografi (LD) Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia adalah dua lembaga penelitian/kajian tertua di Universitas Indonesia dan bahkan di Indonesia. Direktur LPEM yang pertama adalah Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo (1953-1955) lalu yang kedua adalah Drs. Widjojo Nitisastro (1955-1957). Direktur LD yang pertama adalah Prof. Dr. Nathanael Iskandar (1964-1977), kemudian dilanjutkan secara berturut-turut Drs. Kartono Gunawan, MSc dan Prof. Dr. Kartomo Wirosuhardjo, MA.

Nathanael Iskandar (juga dikenal dengan nama Tan Goan Tiang). Pada tahun 1949 Tan Goan Tiang diterima di Faculteiten der Rechtsgeleerdheid en Sociale Wetenschappen, Universiteit van Indonesie. Tan Goan Tiang lulus ujian kelas satu tahun 1950 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,24-01-1950). Disebutkan Tan Goan Tiang dan Ridwan Jazid lulus ujian propaedeutisch di Department Sociale Wetenschappen. Tan Goan Tiang dan kawan-kawan adalah mahasiswa Departmen Sosial yang pertama.

Pada tahun 1949 studi sosial ditambahkan ke fakultas hukum (Nieuwe courant, 12-05-1949). Disebutkan bahwa mahasiswa sebelumnya di fakultas hukum setelah tahun keempat dapat memilih konsentrasi: hukum privat, hukum pidana, konstitusional atau sosial-ekonomi. Oleh karena waktunya dianggap sempit lalu dibuka departemen sosial sehingga fakultas hukum diperluas yang kemudian diubah menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial. Di dalam departemen ini terdapat tiga arah: sosial ekonomi, geografi sosial dan etnografi sosial (tetapi yang dua terakhir belum bisa diwujudkan). Tan Goan Tiang dkk dalam hal ini adalah mahasiswa Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Departemen Ilmu Sosial, spesialis (parogram studi) sosial ekonomi. Ketika Tan Goan Tiang lulus ujian kelas dua tahun 1950, Departemen Ilmu Sosial (program, studi Sosial Ekonomi) dipisahkan dari Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial dengan membentuk Fakultas Ekonomi.  

Pada tanggal 18 September 1950 Departemen Ilmu Sosial (program, studi Sosial Ekonomi) dipisahkan dari Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial dengan membentuk Fakultas Ekonomi. Sebagai dekan diangkat Mr, S. Kolopaking Sanyatavijaya.

Pada akhir tahun 1950 dilakukan pengangkatan sejumlah dosen dan profesor (De vrije pers: ochtendbulletin, 13-12-1950). Mereka yang diangkat tersebut dengan meta kuliah yang diajarkan, diantaranya Prof, Mr, S. Kolopaking Sanyatavijaya (mengajar Sosiologi dan Ekonomi); Prof. Dr. DH Burger (Kapita Selekta Ekonomi Indonesia); Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D (Ekonomi Indonesia). Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo sendiri adalah Menteri Perdagangan dan Perindustrian (Kabinet Natsir: sejak 6 September 1950).

Kabinet Natsir dibubarkan dan berakhir pada tanggal 27 April 1951. Sejak itu, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D ingin sepenuhnya di kampus dan ingin mengembangkan fakultas ekonomi. Masih pada tahun 1951 ini, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D diangkat sebagai dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia untuk menggantikan Prof, Mr, S. Kolopaking Sanyatavijaya. Pada saat Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D diangkat menjadi dekan, Tan Goan Tiang masih kuliah. Oleh karena Tan Goan Tiang berawal dari Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, maka dengan pembentukan Fakultas Ekonomi, Tan Goan Tiang juga ditransfer.

Pada tahun 1955 Fakultas Ekonomi baru meluluskan tujuh mahasiswa. Ketujuh mahasiswa itu sudah barang tentu lulus pada tahun 1955. Tujuh mahasiswa pertama yang lulus ini diantaranya adalah Drs. Widjojo Nitisastro dan Drs. Tan Goan Tiang. Pada tahun ini juga Drs. Widjojo Nitisastro menggantikan posisi Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D sebagai Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat yang telah didirikan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D pada tahun 1953.   

Pada tahun 1957 karena Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D berhalangan hadir lalu digantikan oleh Prof. Djoko Soetono (mantan dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial). Pada tahun ini juga Drs. Widjojo Nitisastro berangkat studi ke Amerika Serikat. Setelah meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1961 Widjojo Nitisastro kembali ke Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Setelah Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D diangkat sebagai profesor pada tahun 1962, dua tahun kemudian pada tahun 1964 Prof. Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D diangkat sebagai dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Prof. Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D menggantikan Prof. RS Soeria Atmadja. Pada tahun ini juga Prof. Drs. Widjojo Nitisastro dengan dosen-dosen yang lain seperti Tan Goan Tiang mendirikan Lembaga Demografi yang mana sebagai direktur adalah Tan Goan Tiang dengan nama lain Nathanael Iskander.



Saya sendiri awalnya diterima sebagai asisten peneliti di Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia tahun 1991, yang mana sebelumnya pernah bekerja selama satu tahun sebagai asisten peneliti di Departemen Ilmu Sosial dan Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Saya sendiri lulus dari Departmen Ilmu Sosial dan Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor tahun 1989. Departemen sosial ekonomi ini sejatinya adalah suatu departemen yang dulu eksis di Fakultas Hukum dan Sosial, Universitas Indonesia yang menjadi cikal bakal pembentukan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (1950). Tan Goan Tiang alias Nathanael Iskandar adalah direktur pertama Lembaga Demografi (1964-1977). Drs. Nathanael Iskandar adalah sarjana pertama dalam bidang ilmu sosial ekonomi di Indonesia. Saya tidak pernah bertemu dengan Prof. Nathanael Iskandar karena beliau sudah lama pensiun ketika saya masuk Lembaga Demografi. Namun demikian, saya kenal baik dengan anaknya yang menjadi rekan saya sebagai sesama peneliti di Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Nama Nathanael Iskandar diabadikan sebagai nama gedung utama, Gedung-A Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia di Depok.


Demikianlah sejarah panjang Universitas Indonesia. JASMERAH


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar