Senin, 17 Juli 2017

Sejarah Kota Depok (15): Sejarah Pondok Cina di Tepi Sungai Tjiliwoeng; Lauw Tjeng Siang dan Situs Rumah Tua Pondok Cina

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Sejarah Pondok Cina dimulai sejak adanya Land Pondok Tjina. Itu bermula sejak era VOC (Belanda). Nama Pondok Tjina tidak hanya terkenal dari masa ke masa, tetapi juga Landerien Pondok Tjina pada masa ini lokasi dimana berada Universitas Indonesia, Detos, Margo City dan Tol Cijago. Keutamaan Land Pondok Tjina di masa lampau adalah land pertama setelah batas Afdeeling Batavia/Meester Cornelis dengan Afdeeling Buitenzorg. Ibarat kata: Land Pondok Tjina di masa lampau adalah Pintu Gerbang Kota Depok pada masa kini.  

Area UI, bagian dari Land Pondok Tjina tempo doeloe
Sejauh ini Sejarah Land Pondok Tjina belum ditulis. Padahal Landerien Pondok Tjina memiliki riwayat sendiri. Seperti apa sejarahnya? Itu pertanyaan yang akan ditelusuri.

Dalam serial Sejarah Kota Depok ini, Sejarah Landerien Depok sudah cukup banyak disajikan. Kali ini, Sejarah Landerien Pondok Tjina yang dihadirkan secara khusus. Sejarah landerien yang lainnya akan disusul kemudian, seperti: Sejarah Cinere, Sejarah Sawangan, Sejarah Cilodong dan landerien lainnya.

Di Kota Depok yang sekarang di masa lampau terdapat sejumlah land yang dimiliki orang tertentu yang disebut Landerien atau Particulier Land (Tanah Partikelir). Pusat kegiatan di Landerien tersebut berada di Landhuis, suatu area yang terdiri dari bangunan utama (landhuis) yang menjadi tempat tinggal pemilik dan lokasi bangunan lain seperti gudang, pabrik dan barak tempat tenaga kerja. Landerien yang terdapat di Kota Depok yang sekarang antara lain: Land Pondok Tjina, Land Depok, Land Pondok Terong, Land Ratoe Djaja, Land Sawangan, Land Tjinere, Land Tjimanggis, Land Tjilodong, Land Tapos.

Peta Landerien Pondok Tjina

Dalam Peta 1901, di ujung jalan Karet yang sekarang adalah lokasi Landhuis (Gedung Tuan Tanah). Beberapa bangunan dekat Landhuis ini yang besar kemungkinan adalah gudang komoditi, pabrik pengolahan, gudang/bengkel peralatan dan perlengkapan dan rumah pembantu. Juga terlihat beberapa barak tenaga kerja yang lokasinya berdekatan dengan perkampungan penduduk asli.

Landhuis Pondok Tjina, 1901
Tenaga kerja yang digunakan Tuan Tanah biasanya tenaga kerja yang didatangkan dari jauh. Di jaman doeloe tenaga kerja ini adalah para budak (slaven) yang kemudian digantikan dengan mendatangkan koeli dari Tiongkok. Penduduk asli biasanya terbentuk atau membentuk komunitas sendiri yang disebut kampong. Penduduk asli jarang digunakan sebagai tenaga kerja di Landerien untuk menghindari munculnya konflik dan lebih dijadikan sebagai partnership. Penduduk asli ini mengusahakan lahan untuk dijadikan sawah, perikanan, ladang dan peternakan untuk menghasilkan padi, buah-buahan, sayur-sayuran, ikan dan ternak. Hasil produksi penduduk asli ini sebagian dikonsumsi sendiri dan sebagian yang lain dijual ke Landhuis atau ke pasar-pasar terdekat. Oleh karena, secara hukum kolonial, Landerien adalah pemilik maka penduduk asli dalam posisi penyewa dengan cara bagi hasil misalnya 1/9 (pemilik 1 penyewa 9 bagian).

Landerien yang berpusat di Landhuis ini secara teknis sejak doeloe mengusahakan komoditi ekspor yang bernilai tinggi dalam skala besar. Sejak era VOC tanaman ekspor seperti tebu, indigo, kapulaga, kopi, kelapa dan sebagainya. Landhuis adakalanya memiliki pabrik pengolahan sendiri apakah produk akhir atau produk setengah jadi. Pada saat peta tersebut dibuat (1901) terlihat beberapa persil yang mengindikasikan lahan perkebunan (plantation). Persil perkebunan terlihat di area yang menjadi lahan Universitas Indonesia hingga ke Pasar Kemiri yang sekarang.

Peta Land Pondok Tjina, 1901
Batas-batas Landerien Pondok Tjina ini mulai dari batas sungai Tjiliwong di timur hingga batas kanal Kali Baroe di Tanah Baroe di barat. Batas di utara adalah batas UI yang sekarang (flyover). Batas ini masih diikuti sekarang yang merupakan batas antara DKI Jakarta dan Kota Depok. Sementara di selatan berbatasan dengan Land Depok di jalan STM dan bengkel Ramanda yang sekarang. Batas ini masih diikuti sekarang yang membedakan Kelurahan Depok dengan Kelurahan Kemiri Moeka.

Lokasi dimana Landhuis berada di suatu Landerien biasanya menjadi ibukota (hoofdplaats). Dari sinilah administrasi dan pengusahaan lahan-lahan di suatu landerien. Sementara di beberapa titik di dalam Landerien terdapat beberapa kampong yang masing-masing terdiri sejumlah rumah penduduk asli. Beberapa kampong yang terdapat di Land Pondok Tjina adalah Kampong Bodjong di batas UI yang sekarang, Kalapa Doewa, Kemiri Moeka dan Bedji.

Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873
Jalur kereta api Batavia-Buitenzorg dibuka dan mulai beroperasi tahun 1873 (Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873). Salah satu halte yang dilalui berada di Pondok Tjina. Keberadaan halte di Pondok Tjina diduga karena adanya Lanhuis Pondok Tjina. Hal ini juga terjadi di Land Depok (Halte Depok) dan Land Tjitajam (halte Tjitajam) serta Land Tandjong West di (K)lenteng Agoeng (Halte Lenteng Agoeng).

Adanya halte kereta api di Pondok Tjina, di satu sisi Land Pondok Tjina semakin berkembang dan di sisi lain akan membuat Land Sawangan lebih berkembang. Di masa lampau (era VOC) jalan dari dan ke Land Sawangan melalui Land Depok dan melalui Sringsing (Land Tandong West). Lalu kemudian (sebelum adanya halte Pondok Tjina) sudah terbentuk jalan akses dari Land Sawangan ke Land Pondok Tjina melalui Tanah Baroe. Posisi Pondok Tjina juga sangat strategis sebab sejak VOC Pondok Tjina adalah satu-satunya jalan akses ke sisi timur sungai Tjiliwong (Oosterweg) melalui (pelabuhan) sungai dengan menggunakan getek/rakit. Oleh karenanya di halte Pondok Tjina yang sudah lama menjadi simpul (interchage) akan bertambah ramai lagi dan diuga menjadi faktor penting yang menyebabkan munculnya pemukiman baru di sekitar stasion (lihat Peta 1901). Jika Landhuis Pondok Tjina selama ini sebagai hoofdplaats (ibukota) maka area sekitar stasion Pondok Tjina seakan menjadi pusat keramaian baru (pusat perdagangan/bisnis).

Untuk sekadar pembanding, seorang pembaca menulis (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-04-1866) mengatakan bahwa ‘...30 tahun yang lalu (sekitar 1836) jalan sisi barat sungai Tjiliwong disebut Westerweg (jalan barat) yang melalui Land Menting en Matraman, Tandjong West, Pondok Tjina, Depok, Tjitajam, Bodjong Gedeh, Tjiliboet, Gedoeng Badak. Namun kini lebih populer disebut Middenwerg (jalan tengah) karena di sisi barat (Westerweg) sudah muncul Pasar Baroe Doeri melalui Land Tanabang en Djati terus ke Tjinere. Gerobak atau pedati dari Tjiliboet dan Bodjong Gedeh sudah lebih sering melalui Westerweg ke Pasar Baroe Doeri...’. Meski jalur barat sudah berkembang, jalur tengah tetap ramai karena dari Buitenzorg, Tjiliboet, Bodjong Gede via Depok dan Pondok Tjina terus ke Land Menting en Djati terus ke Meester Cornelis (kini Jatinegara). Sedang dari jalur Oosterweg dari Buitenzorg melalui Tjimanggis juga menuju Meester Cornelis.

Oleh karenanya, sebelum adanya jalur (halte) kereta api, Land Pondok Tjina secara ekonomi (perdagangan) lebih penting dari Land Depok. Orang-orang dari Land Tjitajam, Land Depok dan bahkan Land Tandjong West yang bepergian ke Tjimanggis harus melalui Land Pondok Tjina. Hal ini karena ada (pelabuhan) sungai untuk penyeberangan. Sedangkan Land Depok sendiri hanya terkenal secara sosial karena telah lama (sejak VOC) menjadi pusat komunitas (gemeente) Kristen, sejak era Cornelis Chastelein. Setelah adanya kereta api, Land Depok baru berkembang yang berpusat di sekitar halte (stasion) Depok.

Lauw Tjeng Siang

Lauw Tek Lok adalah seorang yang terkenal. Lauw Tek Lok terungkap sebagai pemilik Land Tjimanggis ketika Pemerintah (militer Hindia Belanda) pada tahun 1876 bernegosiasi dengan Lauw Tek Lok, sebagai pemilik Land Tjimanggis untuk dibangun barak sementara untuk artileri negara (land een temporaire kazerne voor de artillerie op te richten) yakni semacam garnisun (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-08-1876). Pembangunan garnisun ini untuk menambah kekuatan militer di wilayah tengah (diantara Weltevreden dan Buitenzorg). Penempatan sebuah garnisun di Tjimanggis dipicu karena sebelumnya (1860an) telah terjadi kerusuhan (semacam pemberontakan) di Land Pondok Terong (Ratoe Djaja).

Kerusuhan di Ratoe Djaja berawal dari kerusuhan sebelumnya di Bekasi (tidak jauh dari gemeente Toegoe). Setelah kerusahan di Bekasi dapat diatasi, eskalasi politik meningkat di Ratoe Djaja. Tokoh-tokoh kerusuhan di Bekasi merangsek ke Ratoe Djaja (tidak jauh dari gemeente Depok).

Land Tjimanggis kemudian sebagian beralih kepemilikan dari swasta (partikelir) ke pemerintah (militer). Hal ini dapat diketahui karena garnisun militer akhirnya terealisasi di Land Tjimanggis. Kasus yang sama sebelumnya (1873) pemerintah melalui Pengadilan Tinggi di Batavia memutuskan pembebasan lahan untuk keperluan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg para pemiliki lahan mendapat konpensasi.


Land Tjimanggis adalah salah satu land penting di sisi timur sungai Tjiliwong. Salah satu pos jalan trans-Java sejak Daendles antara Batavia dan Buitenzorg berada di Tjimanggis. Pos Tjimanggis adalah pos yang berada di tengah antara Pos Bidara Tjina di Meester Cornelis dan Pos Tjilioer di Buitenzorg. Sebagai pos yang berada di tengah, Pos Tjimanggis oleh para crew pedati/caravan dijadikan tempat bermalam baik yang dari Bidara Tjina maupun yang dari Tjiloear. Dari aspek bisnis (perdagangan) Land Tjimanggis terpenting di sisi timur Tjiliwong dan Land Pondok Tjina yang terpenting di sisi barat sungai Tjiliwong.

Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1898
Land Pondok Tjina yang merupakan tetangga Land Tjimanggis diketahui pemiliknya adalah seorang Tionghoa bernama Lauw Tjeng Siang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1898). Ini bermula ketika Lauw Tjeng Siang, pemilik lahan di Afdeeling Buitenzorg (Res. Batavia) yang terletak di lahan swasta (particuliere land) di Pondok Tjina  mengajukan permohonan untuk pengaturan pasokan air negara dari tanggal 15 April hingga 15 September untuk kepentingan Land Pondok Tjina.

Tidak diketahui jelas apakah pemilik Land Tjimanggis dan pemilik Land Pondok Tjina dari keluarga yang sama (dilihat dari marganya yang sama: Lauw). Kepemilikan kedua lahaan besar kemungkinan berkaitan satu sama lain karena selain kedua land bertetangga, juga satu-satunya interchage di sungai Tjiliwong hanya terdapat di kedua sisi land ini (Land Tjimanggis di sisi timur sungai Tjilwong dan Land Pondok Tjina di sisi barat sungai Tjiliwong’.

Lauw Tjeng Siang sebelumnya terkenal sebagai pedagang besar dan pelaku bisnis keuangan di Tanabang en Pasar Senen (Bataviaasch handelsblad, 04-10-1886). Lauw Tjeng Siang juga adalah salah satu pemiliki properti di Pasar Senen (Weltevreden). Bisnisnya yang paling terkenal di Pasar Senen adalah rumah pegadaian (pandhuis). Lauw Tjeng Siang juga kerap memasang iklan untuk pelelangan barang-barang tertentu, seperti poselin, rumah dan bahkan (bangunan dan lahan) pertanian.

Lauw Tjeng Siang dan Lauw Tjeng Hoeij melakukan bisnis serupa di Buitenzorg (Bataviaasch handelsblad, 30-04-1887). Lauw Tjeng Hoeij sendiri sebelumnya dikenal sebagai pelaku pegadaian di Tanabang dan Lauw Tjeng Siang sebagai pelaku bisnis pegadaian di Patjenongan (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-03-1875). Lauw Tjeng Hoeij Lauw Tjeng Hoeij memiliki saudara bernama Lauw Kim Fong (Bataviaasch handelsblad, 20-04-1880).

Ini mengindikasikan bahwa Lauw Tjeng Siang sudah sejak lama berkiprah pada bisnis keuangan di berbagai tempat. Oleh karenanya Lauw Tjeng Siang sebagai pemilik Land  (tanah partikeli) bukanlah hal yang luar biasa. Yang tetap menjadi pertanyaan adalah mengapa Lauw Tjeng Siang memiliki lahan di Pondok Tjina (Land Pondok Tjina). Sebab lahan di Pondok Tjina bukanlah lahan yang subur seperti di Land Depok.

Bataviaasch handelsblad, 04-10-1884
Lauw Tjeng Siang beralamat di Kampong Balie Kramat. Hal ini diketahui dari iklan yang dipasangnya untuk menyewakan sebuah rumah yang dindingnya setengah batu (semen) dan setengah bambu dengan lantai batu di Bidara Tjina (Bataviaasch handelsblad, 04-10-1884).

Pada tahun 1902 di Land Pondok Tjina yang merupakan lahan milik Kapiten Cina, Lauw Tjeng Siang ditemukan suatu rumah untuk pencetakan uang palsu. Di dalam kasus ini tidak disebutkan apakah Lauw Tjeng Siang terlibat. Namun dengan memperhatikan rumah itu berada di lahan properti Lauw Tjeng Siang apalagi Lauw Tjeng Siang diketahui sudah sejak lama berprofesi di bidang keuangan, maka besar kemungkinan pelaku utama dalam hal ini adalah Lauw Tjeng Siang.

Haagsche courant, 04-06-1902
Haagsche courant, 04-06-1902: ‘Di real estate di Pondok-Tjina, milik kapten Cina, Lauw Tjeng Siang, pencarian dilakukan di sebuah rumah yang sebelumnya atas petunjuk dari Schmidt, pembuatan uang kertas palsu yang telah terjadi. Hal itu bahwa terbukti benar; dalam pencarian tersebut sulit untuk mencapai rumah, tempat kerja, ditemukan, seluruhnya sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh S.’

Namun demikian, nama Lauw Tjeng Siang tetap eksis. Apakah Lauw Tjeng Siang terlibat kasus pemalsuan uang menjadi tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, Lauw Tjeng Siang tetaplah sebagai seorang pengusaha besar di bidang keuangan.

Lauw Tjeng Siang, pemilik land Pondok Tjina yang beralamat di Kampong Bali dan secara hukum memiliki jabatan sebagai Kapiten Cina dengan mendapat gaji dari pemerintah (suatu gelar atau jabatan pemimpin komunitas Tinghoa di wilayah tertentu setingkat di bawah Majoor Cina dan setingkat di atas Luitenant Cina).

Akan tetapi, Bataviaasch nieuwsblad, 18-06-1904 melaporkan bahwa Lauw Tjeng Siang telah melelang properti kantor pegadaian di Meester Cornelis senilai f 12.128. Sejak berita penjualan (pelelangan) ini nama Lauw Tjeng Siang menghilang, dan menghilang selamanya.

Bataviaasch nieuwsblad, 20-09-1926
Nama yang muncul di Land Pondok Tjina kemudian adalah seorang yang bermarga Lauw yang bernama lengkap Lauw Koei Liong (Bataviaasch nieuwsblad, 20-09-1926). Disebutkan Lauw Koei Liong Lauw Koei Liong sebagai manajer dan co-pemilik (beheerder en mede-eigenaar) particuliere landerijen Pondok Tjina. Mereka ini juga pemilik  Land Tjinere. Munculnya nama pemilik ini terkait dengan pembangunan irigasi. Namun demikian, apakah Lauw Tjeng Siang masih sebagai pemilik tidak diketahui jelas. Dugaan bahwa Lauw Tjeng Siang dan Lauw Koei Liong masih dalam satu kerabat dekat.

Asal Usul Land Pondok Tjina

Pondok Tjina, seperti halnya Sringsing, Depok dan Ratoe Djaja adalah nama-nama tempat yang sudah dicatat sejak awal. Adanya kepemilikan lahan (land) di area terjauh di hulu sungai Tjiliwong adalah Land Depok yang dimiliki oleh Cornelis Chastelein (sejak 1696). Kapan muncul lahan kepemilikan di Pondok Tjina tidak diketahui secara pasti. Adanya kepemilikan lahan di Pondok Tjina paling telat sudah diketahui pada tahun 1816.

Bataviasche courant, 14-12-1816
Seorang pemilik pertama lahan padang rumput dan lahan belukar yang disebut Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji yang berbatasan di sebelah barat Kali Bata, di sebelah timur groore river dan di selatan berada Land Depok serta di utara Land Sringseng oleh Mr. Jansen menjual yang didalamnya terdapat satu rumah batu dan beberapa bangunan kayu dan beberapa bangunan bambu; disamping itu Mr Jansen juga menjual lahan yang disebut Land Tanah Baroe yang berbatasan di timur dengan Land Kali Bata, di barat dengan Kali Croecoet dan berada di selatan Land Pondok Tjina yang didalamnya terdapat bangunan untuk tenaga kerja, kantor dan gudang persediaan (lihat Bataviasche courant, 14-12-1816).

Dari informasi ini sudah terdeteksi nama Land Pondok Tjina. Land ini menunjukkan suatu lahan di tempat dimana disebut Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji. Nama-nama ini mengindikasikan nama kampong yang terdapat di lahan tersebut. Ketiga nama ini kemudian disatukan dengan satu penyebutan sebagai Land Pondok Tjina. Oleh karena Land Pondok Tjina dan Land Tanah Baroe merupakan satu kepemilikan (oleh Jansen), maka semuanya kelak di sebut dengan nama tunggal: Land Pondok Tjina.

Bataviasche courant, 08-09-1821
Yang membeli eks lahan Mr. Jansen ini adalah Mr Wiltenaer. Namun dalam perkembangannya, lahan yang dipromosikan sebagai land goed Pondok Tjina dijual kembali pada tahun 1921 (Bataviasche courant, 08-09-1821). Lahan ini dijual besar kemungkinan karena pemiliknya telah meninggal dunia. Yang menjual lahan ini sebagaimana di dalam iklan adalah janda Wiltenaer

Rumah Tua Pondok Cina

Situs rumah tua Pondok Cina
Satu hal yang menyisakan pertanyaan adalah apakah Kapiten Lauw Cheng Siang berkaitan dengan sebuah rumah tua yang berada di Pondok Cina yang kini menjadi bagian dari halaman Margo City. Ini tentu sulit diketahui secara pasti karena sejauh ini tidak ada data dan informasi yang dapat menjelaskannya. Tentu saja untuk menjawab itu memerlukan penelusuran tersediri dengan menggunakan dokumen-dokumen pribadi yang dimiliki oleh keluarga Lauw Cheng Siang.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

3 komentar:

  1. Halo Admin Poestaha Depok
    Perkenalkan nama saya Fasya Mahasiswa dari UIN Syarif Hiddayatullah Jakarta Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. Saya Izin mengutip beberapa artikel dan sumber dari tulisan ini untuk dijadikan sebagai bukti di skripsi saya. Dan saya juga ingin menayakan juga apa ada ya arsip atau photo bukti bahwa tanah partikeli yang ada di daerah Pondok Cina, Kukusan, Beji, Kemiri Muka, dan Tanah Baru apa masih bisa ditemukan ya?. Sekian dari saya kurang lebih mohon maaf atas kekurangan. Terimakasih atas ilmunya Bapak atau Ibu Admin Blog ini

    BalasHapus
  2. Silahkan saja Bung Fzylbr. Pengetahuan seharusnya disebarluaskan.Saya tidak punya foro lagi, semuanya sudah saya insert dalam artikel-artikel. Soal arsip sebenarnya hanya sebatas peta wilayah land Pondok Tjina yang pada peta-peta lama diidentifikasi batas-batasnya. Land Pondok Tjina termasuk nam-nama kampong yang disebut seperti Bedji dan Koekoesan. Batas-batas ini dibuat pada era VOC yang kemudian dijual kepada perorangan atau perusahaan sebagai tanah swasta/partikelir. Semuan lahan yang dibatasi termasuk yang berada di atasnya (termasuk penduduknya) yang sebelumnya di bawah otoritas pemerintah (termasuk pajak) dialihkan kepada swasta (penduduk bayar pajak kepada swasta dan juga memberikan tenaga dalam bentuk rodi sejumlah hari tertentu setiap bulannya, semacam negara dalam negara. Pada era Pemerintah Hindia Belanda tanah-tanah partikelir ini dibeli oleh pemerintah (penduduk kemudian bayar pajaknya kepada pemerintah)Tanah-tanah yang diusahakan penduduk itu dari turun temurun mungkin sejak masa lampau sebelum VOC diteruskan keturunannya hingga sekarang (tentu saja sudah diperjual belikan sedikit demi sekit (girik)hingga menjadi situasi dan kondisi kota yang sekarang (SHM). Sebagian sisa tanah-tanah partikelir ini dibeli pemerintah RI. Bukti pengalihan inilah yang ada sejak era Hindia Belanda hingga era RI dalam bentuk arsip negara. Saya menduga sulit menemukannya kembali di arsip-arsip lama BPN.
    Demikian Bung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Admin Poestaha Depok. Baik saya akan kroscek kembali di Arsip Nasional dan BPN jika masih bisa memungkinkan untuk ditelusuri jika ada. Terimakasih juga atas Info dan bantuannya Admin, Sehat dan bahagian selalu menyertai ya

      Hapus